Senin, 13 September 2010

In Memoriam ”Gitu Aja Kok Repot…”

Agus Fathuddin Yusuf, Ainur Rohim
http://www.suaramerdeka.com/

BAGI Gus Dur urusan di dunia ini seolah-olah tidak ada masalah berat. Semuanya dianggap enteng dan simpel meski buat orang lain dirasa kiamat.

Kalimat ”gitu aja kok repot” yang sering kali dilontarkannya menegaskan hal itu. Begitu populernya ”gitu aja kok repot” menjadi trade mark seorang Abdurrahman Wahid. Lihatlah bagaimana Gus Pur (dr Handoyo) dalam Republik Mimpi menirukan kalimat itu sambil sekali-sekali tangan kanannya menepuk-nepuk sesuatu.

Ketika menjabat presiden, ”gitu aja kok repot” tetap menjadi ciri khas ketika menyampaikan pengarahan di berbagai acara, sekalipun acara resmi kenegaraan.

”Memang kalau di tangan Gus Dur, semua persoalan yang sulit dan rumit bisa menjadi cair,” tutur Drs H Slamet Effendy Yusuf MSi, mantan Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor. ”Jadi, gitu aja kok repot itu sudah biasa diucapkan sejak dulu,” katanya.

Ketika terjadi perbedaan pandangan antara Gus Dur dengan Mustasyar PBNU KH As’ad Syamsul Arifin. Hampir semua kiai dibuat bingung. Sampai pada puncaknya Kiai As’ad menjelang Munas dan Konbes NU di Pesantren Ihya Ulumuddin, Kesugihan Cilacap, menyatakan mufarraaqah dengan cucu Hadratussyaih KH Hasyim Asy’ari. Meski begitu, sebagai santri dia tetap rajin sowan ke Kiai As’ad di rumahnya kompleks Pesantren Salafiyah Safi’iyyah, Asembagus, Situbondo.

Menjelang Muktamar Ke-27 NU, 8-12 Desember 1984, di Jakarta muncul ”Kelompok G” yang antara lain anggotanya Gus Dur (GD), Said Budairi, Fahmi D Saefuddin, Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) dan Slamet Effendy Yusuf (SEY). Dikenal ”Kelompok G” karena rapat-rapatnya lebih sering di Gang G Pasar Minggu, Jakarta, rumah Said Budairi yang akhirnya menjadi Bendahara PBNU. Mereka bertugas membantu merumuskan konsep Khittah 1926 yang akhirnya disepakati di Situbondo. ”Ya biasa, Gus Dur selalu mengatakan, gitu aja kok repot. Memang semua masalah akhirnya ya selesai,” kata Slamet.
Darah Biru Secara genetis KH Abdurrahman Wahid merupakan keturunan darah biru. Darah biru bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah Subhanahu Wataala berupa kecerdasan luar biasa.

Dia anak seorang tokoh besar umat Islam, khususnya NU. Lahir di Denanyar, Jombang, 4 Agustus 1940. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy’ari. Ibunya, Hajjah Sholehah, juga keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Sansuri.

Nama lengkapnya Abdurrahman Addakhil, artinya Abdurrahman “Sang Penakluk”. Nama yang diambil ayahnya dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol (Andalusia). Belakangan kata Addakhil tidak cukup dikenal dan diganti nama Wahid, nama awal bapaknya, yang merupakan anak sulung KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU Ayahnya menjadi menteri agama pertama Indonesia. Dengan demikian, baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Namun, sejarah kehidupannya tak mencerminkan kehidupan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pesantren. Dia diajar mengaji dan membaca Alquran oleh kakeknya, Hasyim Asy’ari, di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim.

Panggilan “Gus” merupakan tradisi di kalangan pesantren untuk menyebut atau memanggil anak kiai. Di beberapa daerah Jawa Barat, sebutan Gus diganti “Kang” atau “Ning”. Karena namanya Abdurrahman Wahid, dia lebih populer dipanggil Gus Dur. Sama dengan orang memanggil Gus Munif, Gus Baqoh, Gus Kharis, Gus Ubed, Gus Mik, dan lain-lain.

Al-Zastrouw dalam buku Gus Dur Siapa Sih Sampeyan menulis, pada tahun 1949, ketika clash dengan Pemerintah Kolonial Belanda berakhir, dan ayahnya diangkat sebagai menteri agama,keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Gus Dur menyelesaikan sekolahnya di Jakarta. Untuk menambah pengetahuan dan melengkapi pendidikan formal, ia dikirim ayahnya mengikuti les privat bahasa Belanda. Dia menempuh pendidikan itu dengan naik sepeda.

Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam dan mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran bahasa Belanda, Buhl selalu menyajikan musik klasik Barat yang biasa dinikmati orang dewasa. Itulah kali pertama persentuhan Gus Dur kecil dengan budaya Barat.

Menjelang lulus SD, dia memenangi lomba karya tulis dan menerima hadiah dari Pemerintah. Pada april 1953, beberapa bulan sebelum kelulusan, dia pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan. Gus Dur terselamatkan, tetapi ayahnya meninggal dunia. Kematian Wahid Hasyim merupakan pukulan berat bagi keluarganya. Ibu Gus Dur Dur, Ny Sholehah, saat itu mengandung tiga bulan dan menanggung lima anak.

Ingin Jadi ABRI Mungkin tak pernah dibayangkan Gus Dur saat kanak-kanak, remaja, bahkan setelah menjadi Ketua Umum PBNU selama tiga periode. Ketika kecil dia sebenarnya ingin menjadi ABRI. Namun, karena sejak umur 14 tahun dia harus mengenakan kacamata minus, cita-cita itu kandas. Kendati harus berkacamata, Gus Dur justru tekun membaca buku. Berbagai buku dibacanya. Selain itu, ia sangat menyukai sepakbola, seni, catur, bahkan nonton film. Ketika sekolah di SMEP di Yogyakarta, nilainya jeblok, bahkan tinggal kelas. Ini karena ia terlalu menggandrungi banyak hal, terutama buku dan bioskop.

Kesenangannya pada buku membuat kawan-kawannya sesama santri kaget. Sebab, Gus Dur telah melahap buku-buku seperti filsafat Plato, Das Kapital karya Karl Marx, karya Thalles, novel-novel William Bochner, dan masih banyak lagi. Tidak banyak anak sebayanya yang saat itu mempunyai kegemaran seperti Gus Dur.

Pertama di Yogyakarta dia tinggal di Pesantren Krapyak. Namun tidak betah dan merasa terkekang. Atas bantuan ibunya, dia memilih kos di rumah Haji Junaedi, seorang pemimpin lokal Muhammadiyah. Di tempat itu dia kerasan. Sebagai anak kiai, tentu saja ia sangat menekuni ilmu agama. Hal ini sangat cocok dengan cita-cita ibunya yang menginginkan sang anak mewarisi kakek dan ayahnya untuk mengembangkan pesantren dan ilmu agama secara luas.

Gus Dur muda adalah sosok yang sangat rajin belajar, apa saja. Saat menimba ilmu di pesantren, dia tidak mau terkungkung oleh budaya di sana, tetapi ingin lebih banyak lagi memperoleh ilmu. Hal itu terbukti saat tiga tahun menjadi santri di Pesantren Tegalrejo Magelang asuhan KH Chudlori, Gus Dur masih ingin menambah ilmu dari pesantren lain seperti Pesantren Denanyar Jombang asuhan kakeknya, KH Bisri Syanusi.

Selama di pesantren itu, ia banyak menghabiskan waktunya dengan menimba ilmu dari para gurunya. Waktunya benar-benar dimanfaatkan untuk memperoleh sebanyak mungkin ilmu di sana. Pagi-pagi buta telah mengaji tiga kitab dengan seorang kiai pengasuh pesantren, seperti KH Fatah. Siang gantian dia mengajari para santri. Sehabis salat zuhur melanjutkan kembali menimba ilmu kepada kiai lain, seperti KH Masduki, kemudian mengaji kitab lain lagi dengan ustad sang kakek, KH Bisri Syansuri.

Ketekunan dan kegigihan yang luar biasa membuatnya banyak berbeda dari santri lain. Bahkan pada usia yang masih relatif muda, Gus Dur telah fasih dalam penguasaaan gramatika bahasa Arab. Itu tentu sangat membantunya saat Kuliah di Mesir Tahun 1960 Gus Dur berkesempatan menimba ilmu di Mesir melalui sebuah beasiswa yang diperoleh dari Departemen Agama. Saat itu usianya 23 tahun. Di sana ia menimba ilmu dengan mengambil spesialisasi bidang syariah yang dilaluinya selama tujuh tahun. Namun karena terlalu aktif berorganisasi, ia tidak berhasil menyelesaikan kuliah.

Dari Kairo ia pindah ke Baghdad, Irak, dengan mengambil spesialisasi sastra dan ilmu humoris. Di sinilah Gus Dur berkenalan dengan pemikiran tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim. Sebagai anak muda, Gus Dur yang penuh aktivitas belajar itu tidak melupakan urusan asmara. Hanya, model bercinta Gus Dur agak berbeda dari remaja saat itu. Hanya akibat tidak mau dilangkahi adiknya yang segera akan melangsungkan pernikahan, Gus Dur meminta tolong kakeknya, KH Bisri Syansuri, untuk melamar gadis pujaannya yang tak lain adalah bekas muridnya ketika Gus Dur mengajar di Pesantren Tambakberas.

Tidak hanya itu, Gus Dur meminta tolong sekaligus mewakili dirinya naik ke pelaminan. Gadis itu adalah Siti Nuriyah, putri H Abdulah Syukur, pedagang daging terkenal. Seorang gadis yang memang sebelum pergi ke Mesir telah “dipesan” melalui orang tua gadis itu. Ia kemudian tidak pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Komunikasi hanya melalui surat. Dan ternyata Gus Dur langsung menikahinya dengan cara yang unik pula: nikah jarak jauh. Nikah jarak jauh yang cukup unik itu berlangsung di Tambakberas, 11 Juli 1968. Sebagaimana permintaan dia, wakil pengantin laki-laki adalah Kiai Bisri Syansuri. Perkawinan unik dan langka ini membuat suasana perkawinan betul-betul istimewa, bahkan sempat membuat geger tamu undangan. Bagaimana tidak, pengantin laki-laki sudah tua. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada 11 September 1971, pasangan Gus Dur-Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan. Pernikahan yang unik itu menghasilkan empat putri. Mereka adalah Alissa Munawwarah, Arifah, Chyatunnufus, dan Inayah.

Ilmu Laduni Di kalangan warga NU, Gus Dur dinilai memiliki ilmu laduni, yakni ilmu yang diberikan Yang Maha Kuasa hanya kepada umatnya yang dikehendaki. Tak hanya warga Nahdliyyin, umat Islam, warga Indonesia, komunitas internasional juga sangat mengagumi pemikiran-pemikiran cemerlang Gus Dur. Demokrasi, pluralisme, antidiskriminasi, antikekerasan, Islam moderat, humanisme, dan lainnya adalah di antara banyak tema besar yang diperjuangkan Gus Dur sejak kepulangannya dari belajar di Universitas Al Azhar Mesir dan Universitas Baghdad Irak.

Bukti konkret bagaimana Gus Dur sangat tak menyukai kekerasan bisa dilihat dari kejadian politik yang berujung pada turunnya Gus Dur dari kursi presiden RI pada tahun 2001 lalu. Kendati memiliki massa pendukung fanatik berjumlah puluhan juta, mengingat NU adalah ormas Islam terbesar di Indonesia, Gus Dur melarang massa pendukungnya memakai cara-cara kekerasan ketika dia dijatuhkan dari kursi kepresidenan pada SI MPR 2001.

Begitu pun yang terjadi saat konflik PKB. Gus Dur bersama KH Ilyas Ruchiyat (Pondok Cipasung Tasikmalaya, Jabar), KH Moenasir Ali (Mojokerto, Jatim), KH Mustofa Bisri (Rembang, Jateng), dan KH Abdul Muchit Muzadi (Jember, Jatim) adalah pendiri dan deklarator PKB. Namun ketika konflik PKB memuncak dan terjadi dualisme kepemimpinan dan berujung terdepaknya Gus Dur dari kursi ketua umum dewan syuro, Gus Dur tak memakai cara-cara inkonstitusional, seperti kekerasan, untuk merebut kembali kepemimpinan puncak PKB.

Ya itulah Gus Dur, tak ada satu pihak pun yang meragukan komitmen dan kecintaan Gus Dur kepada bangsa dan negara yang berdasar Pancasila ini. Contohnya, ketika rezim Orde Baru (Orba) mulai mengharuskan semua parpol dan ormas menggunakan asas Pancasila, NU adalah organisasi nonparpol yang pertama kali menerapkan kebijakan itu.

Itu salah satu prestasi dan karya besar Gus Dur untuk bangsa ini terkait penanaman ideologi bangsa. Gus Dur berhasil mengegolkan itu berkat dukungan banyak kiai dan tokoh reformis di NU, seperti KH Achmad Siddiq (Jember), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KHMA Sahal Mahfudh, Fahmi Syaifuddin Zuhri, Said Budairy, dan lainnya. Keputusan NU pada Muktamar ke-27 itu dinilai Menteri Agama waktu itu, Munawir Sjadzali, sebagai kompromi cemerlang. Banyak kalangan memberikan respek dan apresiasi atas keputusan itu. Langkah NU itu di kemudian hari diikuti ormas lain.

Gus Dur itulah pribadi dan tokoh tanpa dendam. Komunikasinya sangat cair. Pada Maret 1991 mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) bersama sekitar 45 intelektual terkemuka di Indonesia. Fordem dilatari kegelisahan dan banyak kalangan kritis di Indonesia atas kemungkinan menguatnya politik sektarian di Indonesia. Gus Dur ingin mengingatkan bahwa Indonesia itu plural kendati kalangan Islam merupakan kekuatan mayoritas.

Tentu saja, pendirian Fordem sangat mengejutkan dan mengundang perhatian khusus pemerintah Soeharto. Kegiatan Gus Dur terus diawasi ketat. Puncaknya pada Muktamar NU di Pondok Cipasung, Tasikmalaya, Jabar, tahun 1994 terjadi intervensi luar biasa di forum muktamar. Gus Dur menang atas pesaingnya Abu Hasan. Organisasi NU diobrak-abrik oleh kekuatan eksternal, misalnya dengan berdirinya KPPNU yang dipimpin Abu Hasan.

Tapi, kekuatan arus bawah NU masih merapat dan melingkari Gus Dur. Mantan Presiden RI Ke-4 ini tetap dikukuhkan dan didukung sebagai orang pertama NU, ormas Islam Tradisional yang didirikan dua kakeknya: KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syamsuri. Gus Dur tetap berjalan dan bergerak kekuatan demokratis yang diyakininya. Pada tahun 1996 di Pondok Genggong, Probolinggo, Presiden Soeharto bersalaman dengan Gus Dur. Momentum politik itu menandai meredanya hubungan antiklimaks antara NU dan pemerintahan Orde Baru. Kejadian itu dikenang dengan sebutan Salaman Genggong.

Dalam kaitan Islam dan demokrasi, Douglas E Ramage dalam buku Tradisionalisme Radikal (Persinggungan NU-Negara), antara lain melukiskan bagaimana konsistensi yang begitu kuat dari Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi.

Ia terpilih sebagai ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Pondok Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, dengan dukungan kiai-kiai NU yang menghendaki NU kembali ke khittah 1926, seperti KH Achmad Siddiq, KH As’ad Syamsul Arifin, KHMA Sahal Mahfudh, dan lainnya. Munculnya Gus Dur di puncak kepemimpinan NU diawali dengan konflik cukup tajam antara kubu Cipete dengan tokoh utama KH Idham Chalid dan kubu Situbondo dengan tokoh puncak KH As’ad dan KH Achmad Siddiq.

Demikian pula pada Muktamar ke-28 NU di Pondok Krapyak Yogyakarta tahun 1989, Gus Dur terpilih secara aklamasi. Pondok Krapyak memiliki hubungan khusus dengan Gus Dur, karena yang bersangkutan pernah lama nyantri di pondok yang di bawah pimpinan KH Ali Maksum selain Pondok API Tegalrejo, Magelang di bawah pimpinan KH Chudlori. Adalah KH Ali Maksum yang menjadi Ketua Sementara PBNU dan Rais Am PBNU sekaligus ketika terjadi pertentangan di antara kubu Situbondo versus kubu Cipete menjelang Muktamar Situbondo dan pascapemilu 1992. Gus Dur menyerahkan tongkat kepemimpinan NU kepada KH Hasyim Muzadi pada Muktamar Lirboyo Kediri tahun 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez