Rabu, 13 Oktober 2010

TEMBANG ILIR-ILIR

Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/

Ilir ilir lir ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo,
tak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon,
penekna blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu peneken
kanggo masuh dodotira,
Dodotira kumitir bedhah pinggire
dondomana, jlumatana,
kanggo seba mengko sore
Mumpung gedhe rembulane
Mumpung jembar kalangane
Ha suraka … surak … hore…

Konon kabarnya, “Tembang Ilir-ilir” diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalidjaga, salah seorang wali sanga terkemuka di tanah Jawa, semasa abad XIV—XV Masehi. Tembang ini digunakan sebagai sarana berdakwah bagi Sunan Kalidjaga dalam rangka menyebarkan agama Islam di pulau Jawa pada masa itu. Mengingat masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya adalah masyarakat agraris, petani, dan masih dipengaruhi kuat oleh budaya lama (seperti Animisme, Dinamisme, Hindhu, Budha, dan kepercayaan lainya), maka tembang dolanan anak-anak itu dibuatlah melalui simbol-simbol masyarakat agraris di pedalaman Pulau Jawa. Makna dari tembang Ilir-ilir tersebut kurang lebih sebagai berikut.

Ilir ilir lir ilir “Bangun, bangun, bangunlah, bangun” Kanjeng Sunan Kalidjaga mengajak kita agar bangun dari kelelapan tidur panjang, segeralah sadar akan tugas dan kewajiban kita hidup di dunia ini, tidak hanya tidur saja. Setelah bangun dan sadar, segeralah mencari dan menemukan pencerahan sinar cahaya Tuhan. Maknanya, setelah engkau sadar, segeralah berbakti, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Mahakuasa, salah satunya diwujudkan dalam bentuk melakukan zikir dan bersembahyang sesuai dengan perintah agama.

Tandure wis sumilir “Tanamannya sudah semburat bersemi”. Biasanya orang Jawa yang agraris itu menanam padi di sawah atau ladang. Kini, tanaman padi itu sudah tampak semburat bersemi, sudah mulai berisi. Ibarat suatu tanaman padi yang sudah semburat bersemi tersebut, kebaktian, sadar, iman, dan takwa kita kepada Tuhan yang Mahakusa sudah mulai semburat bersemi pula. Oleh karena itu, lanjutkan dan tetap terus pelihara cahaya kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan yang Mahakuasa itu agar tetap menyala terus, agar semakin lama semakin bercahaya terang benderang untuk menerangi jalan hidup kita dari pondok dunia hingga sampai ke istana akhirat.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar “Tanaman padi tersebut sudah tampak menghijau berseri laksana pengantin baru”. Sebagaimana halnya seorang pengantin baru, tentu tampak indah, bahagia, dan berseri-seri. Seseorang yang telah sadar, penuh kebaktian kepada Tuhan yang Mahakuasa, diperkokoh dengan iman yang bulat, serta takwa yang berusaha teguh memenuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, tentu hidupnya akan tampak indah, bahagia, dan berseri-seri seperti pengantin baru yang senantiasa penuh kasih sayang sehingga dapat mengasyikan sekali. Apalagi suasananya masih dalam bulan madu, tentu membahagian sekali. Demikian halnya kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan yang dilandasi rasa kasih sayang kepada sesama umat, tentu sangat membahagiakan sekali.

Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi “Wahai, anak-anak pengembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu”. Biasanya di ladang atau di sawah, selain ditanami padi, juga ditanami pohon-pohonan sebagai peneduh di kala terik panas matahari yang menyengat bumi. Salah satu pohon yang ada di dekat pematang sawah atau ladang itu adalah pohon belimbing. Ketika seorang petani yang tengah berada di sawahnya melihat beberapa gembala, biasanya menggembalakan sapi, kerbau, atau kambing sebagai binatang piaraan petani, sang petani tersebut meminta bantuan para gembala itu untuk memanjatkan pohon belimbing, lalu memetik buahnya. Ada dua jenis belimbing, yaitu belimbing manis (yang enak dan segar rasanya, dapat sebagai pelepas dahaga) dan belimbing wuluh (belimbing sayur yang hijau dan masam rasanya). Buah belimbing manis rupanya kuning keemasan berlingir (seperti lekuk bintang) lima, tetapi permukaannya licin. Hal ini secara semiotis melambangkan lima watak utama yang harus diliki manusia untuk menyempurnakan kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaannya kepada Tuhan yang Mahakuasa. Lima watak keutamaan itu adalah: ridla (rela), qanaah (narima), al-shidqu (jujur), shabr (sabar), dan al-akhlaq al-karimah (berbudi pekerti lihur dan mulia). Sementra itu, belimbing wuluh yang rasanya asam hanya dapat menjadi enak setelah dimasak buat sayur asam. Tentu hal ini juga menyiratkan makna agar kelima watak utama tersebut, meskipun getir dan asam rasanya, tetaplah harus dapat diolah sedemikian rupa sehingga nanti dapat menjadi enak dirasakannya. Jadi, agar sempurna baktimu, sadarmu, imanmu, dan takwamu kepada Tuhan yang Mahakuasa, harusalah melaksanakan watak utama lima hal di atas.

Lunyu-lunyu peneken kanggo masuh dodotira “Biarpun licin, tetap panjatlah, untuk mencuci pakaianmu”. Setelah diguyur hujan, pohon belimbing tersebut begitu licin. Namun, tetaplah panjat dan petiklah buahnya untuk mencuci pakaian agar bersih suci. Buah belimbing pada zaman dahulu, sebelum ditemukan sabun, dapat digunakan untuk mencuci atau membersihkan pakaian. Kata “dodot” yang arti harfiahnya “pakaian” atau “kain”, sebagai lambang hati manusia. Jadi, maknanya hati manusia agar bersih dan mencapai kesucian, haruslah dicuci dengan revolusi jiwa mengubah watak, dari angkara murka, malas, dengki, iri, pendendam, tamak, loba, dan aniaya, menjadi watak manusia yang tulus ikhlas, bersyukur, tawakal, sabar, jujur, kasih sayang, dan berbudi pekerti luhur dan mulia. Hanya dengan kesucian inilah bekal manusia untuk dapat menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa di tahta suci hati sanubari (Kalbhu mukmin Batullah).

Dodotira kumitir bedhah pinggire/dondomana, jlumatana,/kanggo seba mengko sore “Pakaianmu bertikai-tikai sobek pinggirnya, jahitlah, jerumatlah, agar dapat dipakai menghadap nanti sore”. Secara semiotis menyiratkan makna bahwa pakaian (dodot) selain sebagai perumpamaan hati, juga menjadi lambang kepercayaan (iman) kepada Allah. Pakaian yang robek pinggirnya, agar pantas dipakainya, hendaklah harus dijahit atau dijerumat supaya utuh kembali. Hal ini mengandung makna bahwa kepercayaan (iman) kita kepada Allah haruslah tetap utuh (bulat), hendaklah dojaga agar jangan sampai surut, robek, gempil, atau sompel. Sesungguhnya orang yang telah berbakti, sadar, iman, dan takwa kepada Allah dan sudah suci hatinya, bilamana iman dan takwanya tersebut goncang, minipis, dan masih lobang-lobang, berarti orang tersebut belumlah sempurna kesuciannya. Sebab busana atau pakaiannya belum lengkap, utuh, untuk dipakainya menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa. Kata “mengko sore” sebagai penanda waktu bahwa ajal kematian kita sudah dekat. Oleh karenanya, sungguhpun belum tahu kapan kita dipanggil kembali ke hadirat Tuhan, setiap manusia harus sudah siap sedia sewaktu-waktu menerima panggilan Tuhan.

Mumpung gedhe rembulane/ Mumpung jembar kalangane ”Senyampang besar rembulanya, senyampang luas lingkarannya”. Pada waktu malam hari ketika terang bulan, bulan purnama raya, tampak sinar bulan begitu terang dan lingkaranya besar dan luas sekali. Hal ini bermakna untuk memberi pesan, yang berisi peringatkan, agar kawula muda (juga siapa pun) janganlah menunda-nunda waktu, selagi masih muda, senyampang masih sehat wal afiat gagah perkasa, dan mumpung masih mempunyai waktu panjang, bergegas-gegasalah atau bersiap-siap dan bersiagalah mengenakan busana kesucian untuk menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa, sewaktu-waktu, kapan pun, dan di mana pun kita berada. Sebab, jikalau sudah terlanjur tua renta, jompo, sakit-sakitan, dan pikun, tentu mustahil dapat mengenakan busana kesucian serta membina kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kepada Allah secara baik dan benar.

Ha suraka … surak … hore… “Ayo bersorak soraklah bergembira”. Hal ini menggambarkan perasaan, senang, bergembira ria, bahagia, dan juga senantiasa bersyukur kepada Tuhan yang Mahakuasa bahwa kita mampu mengenakan busana delapan watak keutaman (sadar, iman, takwa, ridla, tawakal, jujur, sabar, dan berbudi pekerti luhur dan mulia), mentaati sabda Allah, menjauhi semua larangan-Nya, dan memasuki Taman Kemulian Abadi, kembali bertunggal dengan Tuhan yang Mahakuasa. Amin.

Alquran dan Hermeneutika Inklusif

Ridwan Munawwar*
http://www.jawapos.co.id/

NUZULUL Quran adalah hari di mana kalam Tuhan turun ke bumi melalui Nabi Muhammad yang berperan sebagai mediator. Sebuah proses yang ajaib; firman Tuhan yang gaib dan transenden menjelma ke dalam bentuk imanen, yakni teks yang berisi kalimat sakral dan memiliki nilai sastrawi yang amat tinggi.

Alquran ada untuk manusia. Memang ia adalah sebentuk teks yang menempati posisi tertinggi dalam hierarki teks-teks pedoman umat Islam. Tapi, posisinya yang tinggi tidaklah bersifat eksklusif, melainkan inklusif. Alquran sangat terbuka untuk berbagai corak pemaknaan dan penafsiran.

Selama ini sudah banyak muncul kegelisahan yang menyatakan bahwa akar problema terbesar dari kemunduran peradaban Islam berkaitan dengan bagaimana umat Islam berhubungan dengan kitab sucinya itu. Alquran sering diposisikan secara eksklusif, tidak sembarang tangan dan pikiran boleh menyentuh dan menafsirinya.

Meminjam istilah Zuhairi Misrawi (2003), umat Islam cenderung berhadapan dengan Alquran secara monolog dan bukan dialog. Akibatnya, mayoritas umat Islam merasa cukup qurani dengan cara melafalkan dan menghafal Alquran saja. Dalam hal mengaplikasikan ajaran Alquran, umat Islam cenderung tekstualis dan skripturalistik semata. Monologisme itulah yang mempersempit pintu pemaknaan Alquran. Sebab, keterpakuan terhadap teks membuat manusia miskin akan pengalaman metateks atau miskin pemahaman makna transenden di balik teks.

Maka, kontekstualisasi penafsiran Alquran menjadi hal terpenting yang perlu terus dilakukan dan diperbarui tanpa henti sejalan dengan gerak realitas kultur yang juga rentan dengan perubahan. Tradisi hermeneutika Alquran yang dinamis, kreatif, dan membebaskan merupakan sarana utama untuk itu. Dan, kejumudan peradaban Islam dalam segala segmennya itu merupakan manifestasi kejumudan tradisi hermeneutika Alquran.

Golongan kaum muslim tertentu yang bersikap tertutup terhadap pembaruan tafsir Alquran biasanya cenderung fanatik terhadap tradisi tafsir Alquran periode awal, tradisi para sahabat, imam, dan ulama terdahulu. Padahal, dari dulu pun polemik ushul fiqih -yang tidak lain merupakan diskursus filosofis hermeneutika Alquran- sering terjadi. Konflik hermeneutika merupakan sebuah keniscayaan dalam kesejarahan Alquran sebagai poros sejarah umat Islam, dan suatu kenaifan apabila umat Islam justru menolak perbedaan (ikhtilaf) dalam mazhab-mazhab penafsiran. Bukankah Nabi sendiri bersabda bahwa perbedaan adalah rahmat karena di dalamnya terkandung hikmah.

Alquran Kauniyah

Barangkali yang selalu lupa untuk disadari oleh umat Islam, Alquran adalah bagian dari kebudayaan manusia. Ada semacam ketidaksadaran kolektif tertentu dalam diri umat Islam untuk takut melihat Alquran sebagai suatu bentuk imanen dalam kehidupan berbudaya kita. Alquran rasanya harus selalu terpisah dari kehidupan duniawi yang hiruk pikuk dan banal. Padahal, Alquran tidak mengambang di angkasa. Ia ada dalam hiruk pikuk kehidupan sosial kita yang pahit dan cadas. Ia ada dalam setiap sudut semesta. Bahkan, ia ada dalam kegelapan.

Alquran bukanlah semata ayat-ayat qauliyah sebagaimana yang tertuang dalam teks (scriptura) kitabnya. Alquran adalah ayat-ayat semesta. Bagi kaum ilmuwan sains alam (natuur wizkunde), anasir alam semesta adalah Alquran. Bagi kaum ilmuwan sosial, realitas masyarakat dan kebudayaan adalah Alquran yang harus senantiasa dibaca dan disikapi dengan bijak. Demikian seterusnya.

Bila kita kembali melihat sejarah Nuzulul Quran, tampaklah umat Islam saat itu mengalami pencerahan dengan datangnya sebuah kitab yang mampu menjawab pelbagai problematika umat. Alquran telah menjadi teks yang memetakan persoalan sosial umat muslim Arab secara objektif, sekaligus memberikan solusi serta nilai idealitas yang perlu dicapai masyarakat ke depan. Alquran menjadi das sollen bagi kebudayaan masyarakat saat itu.

Di situlah kita bisa melihat bahwa ayat qauliyah, ayat kauniyah, dan realitas kultur manusia secara ontologis merupakan suatu kesatuan siklikal yang saling melengkapi satu sama lain. Memang, di antara ketiganya terdapat paradoks yang kelam. Namun, justru di situlah tugas manusia sebagai khalifatullah untuk selalu bergerak mengharmonisasikan ketiganya.

Merayakan Tafsir

Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi yang tak berakal. Manusia dalam fitrahnya merupakan makhluk yang berakal. Akal berarti kesadaran inteligensia manusia yang termanifestasi dalam bentuk kognisi dan mental. Dalam membaca Alquran, mental dan kognisi bergerak aktif. Maka, tentunya tepat bila setiap tindak pembacaan teks dimaknai sebagai penafsiran. Membaca adalah ”menuliskan ulang” dalam bahasa mental dan bahasa pikir sang pembaca (Komaruddin Hidayat: 2003). Karena itu, salah satu fitrah manusia adalah ”the interpreter being”, makhluk penafsir.

Yang menjadi problematika tradisi tafsir dalam umat Islam adalah tugas penafsiran sering dihegemoni oleh kelas elite semata. Mufasir merupakan kelas sosial elite yang juga sering bersifat eksklusif. Padahal, pada konteks sejarah, kelas mufasir terbentuk karena kebutuhan sosial saat itu yang menuntut demikian. Jumlah masyarakat yang awam akan Alquran dan ilmu pengetahuan sangatlah banyak sehingga menuntut adanya pengorganisasian terhadap kelompok mujtahid-mufasir. Dengan begitu, mereka lebih mudah dalam mendistribusikan pengetahuan kepada umat.

Namun, di zaman yang sudah canggih dalam segi teknologi, informasi, serta ilmu pengetahuan ini, masyarakatnya juga cerdas. Karena itu, setiap orang harus diberi kebebasan dan hak untuk melakukan penafsiran personalnya atas Alquran. Sebab, setiap orang adalah mujtahid bagi dirinya sendiri.

Jangan khawatir akan munculnya sekte-sekte yang melenceng. Sebab, dengan strategi dialogis yang baik dan efektif, hal-hal yang dikhawatirkan itu akan bisa diselesaikan dengan tuntas. Apalagi, semakin hegemonik kelas mufasir mainstream dan semakin gencar represi terhadap hak menafsir, kesesatan justru akan semakin banyak bermunculan. Sudah saatnya kita mereformasi posisi kelas mufasir dalam tubuh masyarakat kita hingga dia menempati posisi yang demokratis dan mencerdaskan.

Kiranya, Nuzulul Quran menjadi momen yang tepat bagi masing-masing individu umat untuk merayakan kedekatan dengan Alquran secara personal itu. (*)

*) Esais, studi di Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga.

ANGKATAN 70-AN: KEMBALI KE TRADISI

(Konsep Estetik Abdul Hadi WM tentang Angkatan 70-an)*
Maman S Mahayana*
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kita mengenal adanya sejumlah penyebutan tentang penggolongan, periodesasi atau angkatan. Penyebutan itu tentu saja tidak serta-merta muncul begitu saja. Selalu ada usaha untuk merumuskan semangat yang melatarbelakanginya atau gerakan estetik yang mendasari karya-karya yang muncul sejalan dengan semangat zamannya. Dari sejumlah penamaan tentang angkatan atau periodesasi itu,1 menurut hemat saya, hanya ada tiga angkatan yang melandasi penamaannya atas dasar semangat atau gerakan estetik, yaitu Pujangga Baru,2 Angkatan 45,3 dan sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, 4 yaitu Angkatan 70-an.5

Sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, seperti menghadapi kegelisahan yang sama tentang situasi kesusastraan—dan kebudayaan—pasca Tragedi 1965, yaitu adanya semangat kebebasan berekspresi. Semangat kebebasan berekspresi itu dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik dalam kesenian, dan lebih khusus lagi, kesusastraan. Penolakan para seniman terhadap campur tangan politik dalam wilayah kesenian, telah menghilangkan tekanan-tekanan psikologis yang justru sangat penting bagi proses penciptaan karya seni, (2) penerbitan kembali sejumlah majalah dan suratkabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra, memungkinkan sastrawan punya banyak pilihan untuk mengirimkan karya-karyanya ke berbagai media massa itu tanpa pretensi adanya faktor di luar sastra, (3) terbitnya majalah Horison, majalah Sastra –yang kemudian menghentikan penerbitannya akibat kasus cerpen “Langit Makin Mendung”— dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi karya-karya eksperimental, ikut menciptakan suasana bagi lahirnya karya-karya yang lebih berbobot, sekaligus memungkinkan lahirnya sastrawan-sastrawan baru, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta, telah ikut mendorong lahirnya semangat berkreasi dan keberanian untuk melakukan eksperimentasi, (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan dalam memandang tradisi budaya tempatan memberi kemungkinan yang lebih luas bagi para sastrawan dalam melakukan eksplorasi estetiknya.

Sejak tahun 1968, dan terutama paroh pertama tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan berkreasi.6 Pada masa itu, berbagai karya eksperimental seperti memperoleh lahan yang subur dan momentum yang baik. Karya-karya eksperimental itu mencakupi semua ragam sastra (puisi, novel dan cerpen, dan drama). Maka, di antara karya-karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya. Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.

Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada dasawarsa tahun 1960-an, bahkan sudah sejak dasawarsa tahun 1950-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an. Jadi, kelompok ini dapat disebut sebagai sastrawan senior mengingat kiprah mereka yang memang sudah dimulai tahun-tahun sebelumnya. Yang termasuk kelompok sastrawan dari golongan ini antara lain, Gerson Poyk, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Husni Djamaludin, M. Fudoli Zaini, M. Poppy Hutagalung, Mahbub Djunaidi, Mohammad Diponegoro, Nasyah Djamin, N.H. Dini, Rachmat Djoko Pradopo, Rendra, Saini KM, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Subagio Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Titis Basino, Umar Kayam, Wildam Yatim, dan Wing Kardjo.

Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan golongan ini, antara lain, Abrar Yusra, Arswendo Atmowiloto, Aspar Paturusi, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Darmanto Jatman, Diah Hadaning, Ediruslan PE Amanriza, Emha Ainun Nadjib, Frans Nadjira, Hamid Jabbar, Iman Budhi Santosa, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Marianne Katoppo, Putu Arya Tirtawirya, Ragil Suwarna Pragolapati, Rayani Sriwidodo, Sanento Yuliman, Seno Gumira Ajidarma, Sides Sudyarto DS, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Toeti Herati Noerhadi, dan Wisran Hadi.

Ketiga, mereka yang menghasilkan karya dengan kecenderungan melakukan eksperimentasi. Di antaranya, ada yang sudah berkarya sejak tahun 1960-an, ada pula yang kemunculannya pada tahun 1970-an itu. Yang termasuk ke dalam golongan ini, antara lain, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Ikranagara, Ibrahim Sattah, Leon Agusta, Akhudiat, Adri Darmadji Woko, Darmanto Jatman, dan Yudhistira ANM Massardi.

Dilihat dari kecenderungan karya-karya mereka, ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurut Abdul Hadi WM, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:

1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;
2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;
3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.7

Berdasarkan ketiga kecenderungan itu, Abdul Hadi menyebutkan karya-karya dari sejumlah sastrawan sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut ini:

Kecenderungan pertama, yang menyikapi tradisi dengan begitu kreatif untuk keperluan inovasi, dapat dilihat pada karya-karya Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Arifin C Noer, dan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam seni tari dan teater tampak dalam karya Sardono W. Kusumo, Arifin C. Noer, W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Ikranagara. Mereka tidak berpretensi kedaerahan walaupun sadar mengambil unsur tradisi daerah.

Kecenderungan kedua dalam sastra dapat dilihat dalam karya-karya Nh. Dini, Umar Kayam, Ahmad Tohari,8 Darmanto Jt., Linus Suryadi A.G., Wisran Hadi, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardojo, dan lain-lain. … Kebanyakan dari mereka melihat tradisi sebagai produk sejarah yang bentuk-bentuknya sukar diubah dan merupakan ciri khas budaya masyarakat tertentu yang mungkin tak dimiliki suku bangsa lain.

Kecenderungan ketiga, yang menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-bentuk spiritualitas agama tampak dalam karya-karya Danarto, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, juga Sutardji Calzoum Bachri (dalam tahap akhir perkembangan kepenyairannya).9

Bagi Abdul Hadi WM,10 munculnya “kesadaran baru” dan “wawasan estetik baru” itu menunjukkan adanya perbedaan yang tajam dengan semangat dan wawasan estetik seperti yang terdapat pada karya-karya periode sebelumnya. Kecenderungan yang lain tampak dari kesadaran sastrawan tahun 1970-an itu yang mulai menolak realisme formal, dan mulai menerima improvisasi dan anti-rasionalisme. Danarto, bahkan menambahkan, selain anti-intelektualisme dan anti-rasionalisme, ada kecenderungan lain yang mencolok, yaitu adanya penjelajahan terhadap mistisisme dan tasawuf. Ciri lainnya, seperti dikatakan Dami N. Toda adalah anti-slogan. Pada karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur—Barat. Jadi, ada kesadaran dan semangat yang sama yang tampak dari karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya. Atas dasar itulah, Abdul Hadi WM menamakan sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 dalam sastra Indonesia.11

Alasan utama yang menjadi pemikiran Abdul Hadi menyebut sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 didasari oleh adanya semacam gerakan sastra yang membawa ciri baru dan perbedaan yang mencolok dengan ciri gerakan sastra sebelumnya. “Jadi, pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya.”

Ciri-ciri yang mencolok dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel yang dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan Budi Darma,12 memperlihatkan adanya kesamaan tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia modern dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting yang ditandai dengan penamaan Tokoh Kita (dalam novel-novel Iwan Simatupang) atau cukup disebutkan lelaki setengah baya, penjaga kuburan, buruh pabrik, walikota, pensiunan dan beberapa nama jabatan atau status sosial yang bisa berlaku untuk siapa saja. Latar tempat dan latar waktu juga tidak mengacu pada tempat dan waktu tertentu, sehingga dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur yang dalam novel konvensional selalu harus didasari pada rangkaian peristiwa yang mempunyai pertalian hubungan sebab-akibat (kausalitas), dalam novel-novel tahun 1970-an itu tidak lagi berlaku. Segala peristiwa bisa tumpang-tindih tak ada hubungan sebab-akibatnya (kausalitas). Peristiwa yang dihasilkan lakuan dan pikiran disajikan seketika secara serempak, seolah-olah peristiwa itu datang saling menyergap. Akibatnya, peristiwa itu seperti tidak jelas lagi juntrungannya. Model novel-novel yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai novel arus kesadaran (stream of conciousness), sebuah aliran dalam sastra (terutama prosa) yang menekankan cerita melalui pikiran, perasaan, dan alam bawah sadar tokoh-tokohnya.

Untuk cerpen, dapatlah kiranya diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, dan Umar Kayam13 Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, hewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh lain. Kumpulan cerpen Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’Rifat (1982) memperlihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, sementara karya-karya Putu Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengangkat tema-tema keterasingan manusia perkotaan. Begitulah, cerpen-cerpen Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaruan) dan pemberontakan terhadap wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita, tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.

Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer (10 Maret 1941—28 Mei 1995), Putu Wijaya, Rendra, Danarto, dan Ikranagara.14 Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, para pemain yang dalam konvensi drama sebelumnya harus tunduk dan setia pada teks naskah, kini para pemain itu dibolehkan melakukan improvisasi atau menyampaikan sesuatu di luar teks drama. Bahkan, ada pula naskah drama yang penulisannya bersamaan dengan proses latihan, sehingga begitu proses latihan selama beberapa minggu itu selesai, selesai pula penulisan naskahnya. Jadi, naskah diperlakukan hanya sebatas pegangan dasar, dan ketika pemain mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ekspresinya, pemain boleh melakukan improvisasi. Dengan begitu, pemain juga dituntut kreatif memanfaatkan momen-momen tertentu untuk mengekspresikan potensi permainannya.

Selain itu, mengingat identitas tokoh sengaja dibuat tidak jelas, maka seorang pemain dimungkinkan dapat menjalankan peran lebih dari satu tokoh. Ciri khas lainnya menyangkut lepasnya keterikatan pada panggung. Dalam hal ini, naskah-naskah drama yang konvensional, lazimnya sangat terikat pada panggung. Artinya, naskah itu harus sangat mempertimbangkan tata letak panggung berikut properti lainnya. Jadi, jika dalam konvensi naskah-naskah drama sebelumnya, latar tempat dengan segala propertinya harus serba jelas dan konkret, maka dalam sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting. Naskah drama itu ditulis dengan kesadaran bahwa pementasan itu dapat dilangsungkan di mana saja, di sembarang tempat. Jelas bahwa dramawan Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an itu, tidak hanya menyerap pengaruh drama kontemporer Barat, terutama drama-drama absurd, tetapi juga menyerap unsur drama tradisional yang banyak terdapat di Nusantara ini, seperti ketoprak (Jawa Timur), tanjidor dan lenong (Betawi). Demikian juga kostum pemain, tidak perlu sangat bergantung pada kostum tertentu. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama Bip-Bop, sebuah drama mini kata yang lebih mementingkan lakuan daripada dialog. Akibatnya, drama itu miskin sekali dialog, karena di sana yang dipentingkan adalah lakuan.15

Dalam bidang puisi, terjadi juga pemberontakan terhadap konvensi yang berlaku sebelumnya. Ikatan pada bait dan larik yang dalam puisi-puisi sebelumnya –terutama puisi zaman Pujangga Baru— sudah ditinggalkan Chairil Anwar, pada tahun 70-an itu tidak lagi dipersoalkan. Artinya, para penyair tidak merasa perlu memikirkan bait dan larik dalam puisinya itu. Puisi tahun 1970-an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan. Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa,16 ada pula yang sengaja disusun pendek-pendek. Dalam hal ini, semakin tidak jelas batas tegas antara prosa dan puisi. Penyair boleh saja menuliskan puisinya seperti sebuah cerpen, jika si penyair hendak memanfaatkan narasi bagi kepentingan puisinya. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk menggali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Abdul Hadi WM, Adji Darmadji Woko, Linus Suryadi, Darmanto Jatman, D. Zawawi Imaron, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, adalah beberapa nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.

Seperti posisi Chairil Anwar bagi Angkatan 45 dalam sastra Indonesia, kedudukan Sutardji Calzoum Bachri bagi Angkatan 70, juga tidak terpisahkan. Ia menjadi ikon bagi gerakan sastra pada dekade itu. Pemberontakan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya berhenti pada tataran bentuk –yang tak lagi mempersoalkan bait dan larik atau rima persajakan—tetapi juga makna. Abdul Hadi menyebutnya sebagai penyair avant-garde dengan kredo puisinya yang kontroversial dan menghebohkan.17 Penyair kelahiran Riau ini berhasil memanfaatkan mantera dari tradisi leluhurnya (Melayu) untuk kepentingan persajakannya yang tampak liar dan memukau. Di samping itu, renungannya yang mendalam tentang maut, kefanaan manusia, pencarian dan kerinduan pada Tuhan, memancarkan sebuah kesadaran transendental baru, yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kesadaran sufistik.18

Kredo atau pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, boleh dikatakan merupakan bentuk kesadaran itu dalam usahanya menawarkan pembaharuan. Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang bertarikh 30 Maret 1973 dan kemudian dimuat dalam majalah Horison (No. 12, Th. 9, Desember 1974) merupakan wujud pernyataan sikap atas pendirian kepenyairannya. Berikut ini dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.

“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, ….

Sebagai penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”19

Jika Sutardji Calzoum Bachri memanfaatkan mantera dari kultur Melayu20 dan belakangan masuk pengaruh pemikiran tasawuf dalam karya-karyanya yang kemudian, Linus Suryadi AG (3 Maret 1951—30 Juli 1999) dan Darmanto Jatman menggunakan kultur Jawa sebagai unsur penting dalam mengungkapkan ekspresi puitiknya. Goenawan Mohamad lebih khusus lagi mengangkat simbol-simbol dunia pewayangan, sedangkan Sapardi Djoko Damono –terutama pada awal-awal kepenyairannya— cenderung berorientasi pada filsafat Jawa. Dari kultur lain, muncul pula Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron (Madura), meski Abdul Hadi banyak pula menyerap pengaruh karya-karya agung para sastrawan sufi.

Dinamika yang terjadi dalam sastra Indonesia tahun 1970-an sebenarnya jauh lebih semarak. Selain bermunculan karya-karya yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan tradisi budaya leluhur (Batak, Cirebon, Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Minangkabau), tema-tema sufisme (tasawuf),21 dan keterasingan manusia modern, juga muncul beberapa gerakan yang ikut menyemarakkan kehidupan kesusastraan Indonesia tahun 70-an itu. Ada tiga hal yang menandai terjadinya kesemarakan itu dan terus berlanjut pada periode berikutnya.

Pertama, terbitnya sejumlah majalah hiburan, seperti Vista, Selecta, Varia, Aktuil, Top, Flamboyan, Violeta, yang kemudian disusul majalah-majalah wanita –Kartini Grup, di satu sisi melahirklan penulis-penulis baru, dan terutama para penulis wanita, dan di sisi lain, ikut menyebarkan popularitas sastra hiburan. Meskipun yang disebut terakhir –sastra hiburan—yang kemudian lebih sering disebut sastra populer, sudah berkembang sejak zaman sebelum Balai Pustaka,22 kemudian semarak kembali pada dasawarsa tahun 1950-an,23 pada tahun 1970-an itu keberadaannya cukup banyak mengundang reaksi berbagai kalangan.24 Beberapa novel Motinggo Boesje, Remy Sylado, menyusul Abdullah Harahap, Eddy D. Iskandar, Teguh Esha, Ashadi Siregar sampai ke novel yang ditulis para pengarang wanita, seperti Ike Soepomo, Marga T., Mira W. yang terbit tahun 1970-an itu adalah contoh novel populer.25 Dalam hal ini, seyogianya kita menempatkan posisi novel populer itu secara proporsional, sebab ada novel populer yang baik, ada pula yang buruk. Beberapa karya dari pengarang yang disebutkan itu, boleh dikatakan termasuk kategori novel populer yang baik. Bukankah novel-novel sastra yang serius juga ada yang masuk kategori baik, ada juga yang jelek?

Kedua, munculnya gerakan para penulis muda yang hendak memberontak pada kemapanan para penyair senior dan gugatan terhadap majalah Horison yang tidak dapat menampung karya-karya mereka.26 Penganjur utama gerakan ini adalah Remy Sylado (= 23761, nama pena Japie Tambayong) yang kebetulan menjadi pengasuh majalah Aktuil (1972—1978). Dalam majalah itulah, karya-karya mereka itu dimuat dan kemudian diberi label “Puisi Mbeling.” Salah satu ciri utama puisi mbeling adalah kuatnya semangat berkelakar, kata-kata dipermainkan begitu rupa, dan bentuk tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek kelakar itu. Di balik kelakar itu, ada sesuatu yang hendak ditawarkan mereka, yaitu kritik sosial dan kritik atas dominasi etnis tertentu dalam perekonomian nasional.27

Ketiga, jika majalah Aktuil dan majalah Top menggugat kemapanan majalah Horison dan para penyair senior melalui rubrik “Puisi Mbeling” atau “Puisi Lugu” yang isinya terkesan berkelakar, maka hal yang sama juga dilakukan dalam sebuah forum yang disebut “Pengadilan Puisi”. Forum yang pada mulanya terkesan bermain-main itu diselenggarakan di Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974. Bagaimana mungkin sebuah puisi diadili dengan menampilkan Sanento Yuliman sebagai Hakim Ketua, Darmanto Jatman sebagai Hakim Anggota, Slamet Kirnanto sebagai Jaksa, Taufiq Ismail sebagai Pembela dan sejumlah sastrawan Indonesia sebagai saksi-saksi? Saksi yang memberatkan antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudyarto, Abdul Hadi WM, dan Pamusuk Eneste, sedangkan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji, dan Yudistira A.N. bertindak sebagai saksi yang meringankan. Sesungguhnya, di balik kesan main-main itu, di dalamnya ada semangat pemberontakan terhadap perpuisian Indonesia. Ada tiga instansi yang menjadi sasaran gugatannya, yaitu (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia mutakhir, (2) kritikus sastra: H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, (3) penyair mapan: Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Goenawan Mohammad, dan (4) majalah sastra: Horison.

Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai Jaksa mengajukan empat tuntutan:

1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebagainya (dll) dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4. Horison dan Budaja Djaja harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum. Sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.28

Majelis Hakim yang diketuai Sanento Yuliman menolak semua tuntutan Slamet Kirnanto. Adapun keputusan Majelis Hakim tersebut adalah berikut ini:

1. Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra, yang akan segera didirikan.
2. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
3. Para penyair mapan, established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
4. Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit-nya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.29

“Pengadilan Puisi” sebagai sebuah peristiwa budaya tidaklah berpengaruh besar bagi proses penciptaan. Meskipun demikian, peristiwa itu tetap dapat dianggap penting mengingat ia mewakili semangat zamannya. Bagaimana para penyair muda masa itu merasa perlu melakukan perlawanan terhadap dominasi dan pengaruh penyair sebelumnya. Bagaimana pula mereka mengusung semangat perubahan. Dengan merujuk pada usaha pembaharuan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri, para penyair muda itu hendak menegaskan kembali keberadaan dan kontribusi mereka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.

Selang dua minggu setelah peristiwa itu, tepatnya 21 September 1974, di Jakarta diselenggarakan acara “Jawaban atas Pengadilan Puisi” dengan menampilkan para pembicara yang namanya disebut-sebut dalam Pengadilan Puisi, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Jawaban yang lebih menyerupai semacam pembelaan ini, tidak memberi pengaruh penting bagi perkembangan sastra Indonesia.

Demikianlah, kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1970-an itu memperlihatkan sebuah perkembangan penting yang tidak sekadar heboh sebagai sebuah wacana konseptual, melainkan diikuti dengan sejumlah karya yang dilandasi oleh kesadaran dan semangat membangun gerakan estetik. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai karya eksperimental, polemik dan perdebatan mengenai konsep-konsep kesastraan, serta derasnya semangat melakukan perubahan. Dalam hal itulah, pemikiran Abdul Hadi WM laksana merepresentasikan gerakan estetik Angkatan 70-an itu. Gerakan estetik itu seperti memperoleh legitimasi manakala Abdul Hadi WM selama lebih dari satu dasawarsa (1979—1990) mengasuh rubrik Dialog, sebuah lembaran kebudayaan dalam suratkabar Berita Buana. Dalam konteks itu, Abdul Hadi tidak hanya bertindak sekadar sebagai pengasuh, melainkan redaktur yang mempunyai kesadaran visioner yang coba menawarkan sebuah model estetik dalam kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.

* Makalah Seminar Tapak Budaya Paramadina: “Paradigma Abdul Hadi WM dalam Kebudayaan Indonesia” diselenggarakan Universitas Paramadina Mulya di Jakarta, 9 Juni 2008.

* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dosen luar biasa Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.

1 Beberapa pengamat sastra Indonesia kerap menyebutkan beberapa angkatan yang dianggap sebagai tonggak perjalanan kesusastraan Indonesia, yaitu (1) Angkatan Balai Pustaka –meski ada pula yang mengusulkan adanya angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pra-Balai Pustaka, (2) Angakatan Pujangga Baru, (3) Angkatan 45, (4) Angkatan ’66 –sebelum angkatan ini, Ajip Rosidi mengusulkan adanya Angkatan Terbaru untuk sastrawan yang berkiprah tahun 1950-an sampai awal 1960-an, (5) Angkatan 70-an, (6) Angkatan 80-an, dan (7) Angkatan 2000. Dari sejumlah penyebutan angkatan itu,

2 Semangat estetik Angkatan Pujangga Baru tampak jelas dalam esai-esai Sutan Takdir Alisjahbana tentang perbedaan pujangga lama dan pujangga baru yang termuat dalam majalah Pujangga Baru.

3 Konsep estetik Angkatan 45 dapat ditelusuri pada esai Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Achdiat Karta Mihardja, Rosihan Anwar, Aoh Karta Hadimadja, dan H.B. Jassin, H.B. Jassin, “Angkatan 45? Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189.

4 Penamaan Angkatan 66 sebagai sebuah gerakan sosial politik, muncul pertama kali dalam “Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru” yang berlangsung di Universitas Indonesia, 6—9 Mei 1966. Dalam kesusastraan Indonesia, nama Angkatan 66 mula pertama diangkat H.B. Jassin dalam artikelnya, “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi” yang dimuat majalah Horison, No. 2, Th. I, Agustus 1966. Seperti juga penamaan Angkatan 45 yang memancing berbagai tanggapan dan kontroversi, penamaan Angkatan 66 yang ditawarkan Jassin, juga mengundang serangkaian tanggapan dan reaksi. H.B. Jassin melandasi dasar pemikirannya tentang penamaan Angkatan 66 dengan bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika gelombang aksi mahasiswa dan pelajar berhasil menumbangkan rezim yang telah banyak melakukan penyelewengan. Ramainya perdebatan tentang Angkatan 66 ini mendorong Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Diskusi Besar tentang Angkatan 66 di Taman Ismail Marzuki, 27 Agustus 1969. Terlibat dalam diskusi itu, antara lain, H.B. Jassin, Subagio Sastrowardojo, S. Effendi, dan Ajip Rosidi. Lukman Ali bertindak sebagai moderator membuat cacatan sejumlah pendapat tentang angkatan dalam sastra Indonesia, “Ikhtisar Pendapat tentang Masalah Angkatan dalam Kesusastraan Indonesia” dimuat Budaja Djaya, No. 35, Th. IV, 1971. Sebuah rangkuman berbagai pendapat tentang Angkatan, mulai Angkatan 45 sampai Angkatan 66. Tampak di sana, proklamasi Jassin tentang Angkatan 66 membuka peluang terjadinya kontroversi.

5 Beberapa nama yang secara serius coba merumuskan gerakan estetik Angkatan 70-an, dapat disebutkan di sini, antara lain, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Dami N. Toda.

6 Contoh kasus semaraknya kebebasan berkreasi pascatragedi 1965 dapat kita lihat pada mencuatnya nama Iwan Simatupang (18 Januari 1928—4 Agustus 1970) sebagai tokoh penting dalam perkembangan sastra Indonesia zaman Orde Baru. Ia bolehlah dianggap sebagai salah seorang pemicu lahirnya karya-karya eksperimental, terutama dalam penulisan prosa dan (mungkin juga) dalam penulisan naskah drama. Karya pertamanya, drama Bulan Bujur Sangkar terbit tahun 1960, sebuah drama yang selesai ditulisnya tahun 1957 di Eropa, nyaris tak mendapat tanggapan apa pun ketika itu. Setelah itu, terutama setelah kematian istrinya –Cornelia Astrid van Geem—, ia seperti tenggelam, meski sempat menikah lagi dengan Tanneke Burki, seorang balerina dari Bandung (1961) yang hanya bertahan sampai awal tahun 1964. Antara 1964—1966, Iwan sama sekali tidak mau terlibat dalam organisasi apapun yang sedang berseteru. Pada tahun 1966, dua drama Iwan Simatupang, yaitu RT Nol/RW Nol dan Petang di Taman, terbit. Kedua drama ini pun belum mendapat tanggapan yang cukup ramai. Karya Iwan Simatupang mulai mendapat tanggapan luas, bahkan memunculkan polemik, justru setelah terbit novel Merahnya Merah (1968, selesai ditulis tahun 1961) dan terutama novel Ziarah (1969, novel Iwan pertama yang selesai ditulis tahun 1960, setelah kematian istrinya). Tampak di sini, tanggapan terhadap novel Iwan Simatupang begitu semarak, bersifat polemis, dan penting dalam menyemarakkan kehidupan kritik sastra. Sangat mungkin tanggapan masyarakat pembaca akan berbeda jika novel itu terbit tahun 1960-an ketika politik diusung sebagai panglima dan pengaruhnya memasuki hampir semua aspek kehidupan. Dengan demikian, terbitnya novel Iwan selepas tragedi tahun 1965, seperti memperoleh momentum yang tepat. Sejak itulah kemudian berlahiran karya-karya sejenis dari sastrawan lainnya yang memperlihatkan semangat eksperimentasi, sebagaimana yang telah dilakukan Iwan Simatupang. Betapa ramainya tanggapan pembaca terhadap karya-karya Iwan Simatupang, dapat dilihat dari semua tulisan tentang Iwan Simatupang, yang mencapai lebih dari 300-an tulisan, baik yang berupa resensi, artikel, esai, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Studi mendalam tentang Iwan Simatupang dilakukan Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980; buku ini berasal dari skripsi penulisnya tahun 1975 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, “Resepsi Novel-Novel Iwan Simatupang di Indonesia 1968—1988,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 1989), Okke KS Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang, (Jakarta: Intermasa, 1991; buku ini berasal dari disertasi penulisnya tahun 1990 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, Inspirasi? Nonsens! (Magelang: Indonesia Tera, 1999). Lihat juga Surat-Surat Politik Iwan Simatupang, 1964—1966 (Jakarta: LP3ES, 1986), surat-surat Iwan Simatupang yang dikumpulkan dan diberi Kata Pengantar Frans M. Parera. Pembicaraan mengenai perjalanan sastra Indonesia kontemporer, hampir tidak pernah menafikan tempat dan peranan Iwan Simatupang sebagai tokoh pembaharu.

7 Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.

8 Ahmad Tohari baru muncul namanya dan mulai diperhitungkan keberadaannya dalam sastra Indonesia awal tahun 80-an. Tidak begitu jelas, mengapa Abdul Hadi memasukkan nama Ahmad Tohari ke dalam sastrawan Angkatan 70-an.

9Abdul Hadi WM, Kembali …, hlm. 6—7.

10 Abdul Hadi WM, “Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia,” Makalah dibawakan dalam Diskusi Sastra di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 September 1984, dimuat juga dalam E. Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, hlm. 789—806. Penamaan Angkatan 70 sebenarnya sudah banyak dilontarkan Abdul Hadi dan Dami N. Toda sejak pertengahan dasawarsa 1970-an. Dalam artikel panjang “Kepenyairan di Indonesia tahun 70-an” yang dimuat bersambung di harian Berita Buana (14, 21, dan 28 Januari 1977), Abdul Hadi mengemukakan tokoh-tokoh persajakan utama 70-an seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Darmanto Jatman yang membawa kecenderungan baru, menggeser wawasan estetik lama dan mewarnai dunia persajakan sepanjang tahun 70-an.

11 Penamaan Angkatan 70 dalam sastra Indonesia ini tidak hanya diperkenalkan oleh Abdul Hadi WM, tetapi juga oleh Dami N. Toda sebagaimana diungkapkan dalam beberapa artikelnya, “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa,” Budaya Jaya, No. 12, Th. X, September 1977; “Tahap-Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia,” Budaya Jaya, No. 121 Th. XI, Juni 1978; “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir,” Horison, No. 8, Th. XVI, Agustus 1981. Lihat juga esai-esai Dami N. Toda dalam bukunya, Hamba-Hamba Kebudayaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto dalam wawancaranya dengan Abdul Hadi WM (Berita Buana, 14 Februari 1978) juga mengusung nama Angkatan 70 ketika keduanya melihat adanya kecenderungan baru yang terdapat dalam karya-karya yang terbit pada periode itu. Mengenai hal ini, Boen S. Oemarjati tidak secara tegas menyebut Angkatan 70, melainkan menyebutnya sebagai “periode”. Hal yang senada juga dilontarkan oleh Goenawan Mohamad yang menyebutnya sebagai “generasi sastrawan 1970-an”. Sementara itu, Korrie Layun Rampan, meskipun pandangan yang mendasarinya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Abdul Hadi dan Dami N. Toda, ia menyebut sastrawan pada periode itu sebagai “Angkatan 80”. Penamaan yang dilakukan Korrie ini mungkin diilhami oleh penamaan Angkatan ‘80 (De Tachtiger Beweging) Belanda yang menyerap pengaruh romantisisme Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia. Korrie sendiri tidak memberi alasan, mengapa ia menyebutnya sebagai Angkatan 80, dan tidak Angkatan 70. Padahal, penyebutan Angkatan 80 yang dilontarkan Korrie dalam artikelnya “Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” (Suara Karya, 24 Agustus 1984), jelas lebih kemudian dibandingkan dengan penamaan Angkatan 70 yang diangkat Abdul Hadi, Dami N. Toda, Danarto, dan Sutardji Calzoum Bachri sejak pertengahan dasawarsa 70-an, terutama ketika Abdul Hadi mengasuh lembar kebudayaan “Dialog” di harian Berita Buana antara tahun 1979—1990.

12 Beberapa novel mereka dapat disebutkan di sini, antara lain: Iwan Simatupang, Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975); Putu Wijaya, Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Keok (1978), Lho (1982), Pol (1987), dan beberapa novel lainnya yang mencapai lebih dari 10 novel; Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit (1976), Budi Darma, Olenka (1983).

13 Karya-karya mereka dapatlah disebutkan di sini, beberapa antaranya: Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’rifat (1982); Putu Wijaya, Bom (1978) Es (1980), dan Gres (1982), Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993), cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” memperoleh Hadiah Pertama Sayembara Majalah Sastra 1969; Fudoli Zaini, Lagu dari Jalanan (1982), Potret Manusia (1983), Kota Kelahiran (1985), Arafah (1985). Fudoli dua kali mendapat hadiah dari majalah Horison, yaitu untuk cerpennya “Si Kakek dan Burung Dara” (1966/1967), dan “Sisifus” (1977/1978; Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).

14 Karya-karya mereka yang muncul pada periode itu dapatlah disebutkan beberapa di antaranya: Arifin C. Noer, Mega-Mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Umang-Umang (1976), dan Sandek, Pemuda Pekerja (1979). Arifin sebenarnya sudah mulai berkarya sejak tahun 1963. Ia juga banyak menulis puisi. Drama-drama Arifin C. Noer, selain sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, juga dipentaskan di berbagai kota besar di Eropa, Amerika, dan Asia; Putu Wijaya, Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986); Putu Wijaya sebenarnya termasuk penulis produktif. Karyanya berupa kumpulan cerpen, novel, dan drama, lebih dari 40-an. Karya-karya Putu Wijaya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Jepang, Rusia, dan Arab. Ia juga kerap berkeliling dunia mementaskan karya-karyanya. Rendra, meskipun tak begitu banyak menulis naskah drama, ia dianggap sebagai salah tonggak penting dalam perjalanan teater Indonesia modern yang kemudian banyak mempengaruhi dramawan generasi berikutnya. Dua naskah drama yang dihasilkannya adalah Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954) terpilih sebagai pemenang pertama Sayembara Penulisan Drama Departemen P & K Yogyakarta tahun 1954, dan Panembahan Reso (1988), sebuah drma kolosal yang memerlukan waktu sekitar enam jam pementasannya. Ia banyak menulis puisi dan menerjemahkan drama klasik Yunani. Tetapi dramanya, Bip-Bop –drama minikata atau “Teater Puisi” menurut Dami N. Toda—yang dipentaskan tahun 1968 di Balai Budaya dan kemudian di Taman Ismail Marzuki, dianggap sebagai salah satu pembaharuan di bidang teater di Indonesia. Demikian juga dramanya, Mastodon yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (13 Desember 1973) dianggap membawa kebaruan dalam perkembangan drama Indonesia kontemporer. Dalam konteks itulah posisi Rendra ditempatkan sebagai salah seorang tokoh penting pembaharu drama di Indonesia. Danarto, Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976); Ikranagara, kariernya dimulai dengan menjadi aktor di Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer. Ia kemudian mendirikan teater sendiri, bernama Teater (Siapa) Saja. Sejak itu, ia banyak mementaskan drama dari naskah yang ditulisnya sendiri, antara lain, Topeng (1972), Saat-Saat Drum band Mengerang-ngerang (1973). Dari 20-an naskah drama lainnya yang sudah dipentaskan tetapi belum diterbitkan, antara lain, Para Narator, Gusti, Agung, Rang Gni, Ssst!!!, Byurrr! Tok Tok Tok, Zaman Kalong. Seperti Rendra, Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya, Ikranagara juga telah mementaskan karya-karyanya di berbagai kota di luar negeri, antara lain, di Manila, Singapura, Taipe, Kuala Lumpur, dan beberapa kota di Amerika. Sejumlah nama yang disebutkan di sini sekadar menegaskan adanya kecenderungan baru dalam drama di Indonesia tahun 1970-an itu. Nama-nama lain tentu masih berderet panjang. Sebut misalnya, Kuntowijoyo (18 September 1943—22 Februari 2005). Ia pada dekade 70-an itu sebenarnya menulis beberapa naskah drama, seperti Rumput-Rumput Danau Bento, Tidak Ada Cinta bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Topeng Kayu. Kecuali Topeng Kayu (2001), naskah-naskah lainnya belum diterbitkan dan masih berupa manuskrip. Bip-Bop dan Mastodon karya Rendra, misalnya, sejauh pengamatan masih tetap dalam bentuk manuskrip. Itulah yang terjadi pada banyak penulis drama di Indonesia. Naskah-naskah dramanya sekadar dipentaskan dan tidak dipublikasikan dalam bentuk terbitan buku.

15 Pembicaraan yang cukup mendalam mengenai drama kontemporer yang muncul tahun 1970-an dilakukan Goenawan Mohamad, “Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” Seks, Sastra, Kita, Jakarta: Sinar Harapan, 1980, hlm. 91—148.

16Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, misalnya, merupakan contoh puisi naratif yang panjang (192 halaman). Linus Suryadi sendiri menyebutnya sebagai prosa lirik, prosa yang dibangun seperti puisi yang mengingatkan kita pada bentuk syair atau hikayat dalam sastra lama. Dalam karya ini, Linus juga begitu banyak menggunakan kosa-kata Jawa, sehingga diperlukan lampiran Daftar Kosa Kata Jawa—Indonesia setebal hampir 50 halaman (halaman 193—238). Banyak pula pembaca dan pengamat sastra Indonesia yang mempertanyakan tempat Pengakuan Pariyem dalam sastra Indonesia; apakah termasuk sastra Indonesia atau sastra Jawa. Penulisan puisi naratif, sebelumnya banyak dilakukan Ajip Rosidi (Jante Arkidam) dan Ramadhan KH (Priangan si Jelita). Belakangan, Sapardi Djoko Damono juga banyak memanfaatkan pola puisi naratif dalam hampir semua antologi puisinya, seperti dalam antologi DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), sampai ke antologi puisinya yang belakangan, seperti Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1999), Ayat-Ayat Api (2000) cenderung menggunakan bentuk narasi yang jernih dengan bahasa yang sederhana. Gaya seperti ini banyak mempengaruhi para penyair yang kemudian.

17 Abdul Hadi WM, “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia,” Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm.36—46.

18 Istilah sastra sufi –sering juga dipakai istilah sastra sufistik—yang kemudian menjadi wacana perdebatan pada dekade tahun 1970-an itu, pertama kali dilontarkan Abdul Hadi WM dalam serangkaian artikelnya yang dimuat di lembar “Dialog” harian Berita Buana. Ia kemudian begitu gencar memperkenalkan –dan menerjemahkan— khazanah sastra sufi berikut pemikiran dan estetika para penyairnya. Antologi puisi Sastra Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985) merupakan salah satu usaha Abdul Hadi dalam mengangkat karya-karya penyair sufi, baik para penyair yang berasal dari Asia Barat, maupun para penyair dari wilayah Nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Bukhari Al-Jauhari, Yasadipuro I, Yasadipura II, Ronggowarsito sampai ke Amir Hamzah. Bukunya yang lain, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001) dan Hermeneutik, Estetika, dan Religiusitas (2004) adalah usaha serius Abdul Hadi dalam memperkenalkan sastra sufi. Belakangan, ia juga banyak memperkenalkan (dan menerjemahkan) khazanah sastra Timur, terutama Cina, Jepang, dan India. Sementara itu, istilah sastra sufistik digunakan juga Danarto, Nurcholis Madjid, Ali Audah, Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri dalam kaitannya dengan pemikiran tasawuf dalam sastra. Dari sana lahir istilah-istilah sejenis, seperti sastra profetik, sastra transendental (diperkenalkan Kuntowijoyo dalam Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki), sastra dzikir (diperkenalkan Taufiq Ismail dalam Catatan Kebudayaan, “Sastra sebagai Amal Shaleh,” Horison, No. 6 Juni 1984 ), dan sastra Islam yang makna dan cakupannya lebih luas.

19 Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hlm. 13—14.

20 Hal yang sama kemudian juga dilakukan Ibrahim Sattah (1943—19 januari 1988) sebagaimana tampak dalam tiga antologi puisinya, Dandandid (1975), Ibrahim (1980), dan Hai Ti (1981).

21 Pada dekade tahun 1970-an itu dan kemudian berlanjut pada dasawarsa berikutnya, wacana tentang sastra sufi tidak hanya semarak dalam perdebatan konsep-konsep, seperti istilah sastra sufi, sastra sufistik, sastra profetik, sastra dzikir, dan sastra transendental, tetapi juga muncul dalam banyak puisi, cerpen, novel, dan drama. Para penyair yang coba mengangkat tema-tema tasawuf, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Abdul Hadi WM, Apip Mustopa, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, Ibrahim Sattah, Ikranagara, Kuntowijoyo, Leon Agusta, Sides Sudyarto DS, Slamet Sukirnanto, Sutardji Calzoum Bachri, dan Taufiq Ismail. Tentu saja masih banyak nama yang tercecer yang sebenarnya pernah berkiprah pada periode itu.

22 Salah satu faktor yang mendorong didirikannya Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (1908) justru lantaran munculnya bacaan-bacaan hiburan yang diterbitkan pihak swasta. Setelah lembaga itu berganti nama menjadi Balai Pustaka (1917), pihak pemerintah kolonial Belanda menyebut bacaan yang diterbitkan di luar Balai Pustaka (swasta) sebagai “bacaan liar.” Mereka yang menerbitkan dan menjual buku-buku terbitan pihak swasta itu disebut sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” Satu ungkapan yang jelas bermaksud memarginalkan karya-karya sastra terbitan pihak swasta.

23 Pada dasawarsa 1950-an, bacaan-bacaan hiburan terutama terbitan Medan, cukup banyak diminati masyarakat luas. Kemasannya yang sederhana, bentuknya yang kecil seperti buku saku (pocketbook), cetakan yang agak buruk, dan kertasnya yang berkualitas rendah, menjadikan buku-buku sejenis itu dijual dengan harga murah. Karena harganya yang murah itu, ia dipersamakan dengan nilai uang terkecil, yaitu picis. Oleh karena itulah, buku-buku sejenis itu –yang umumnya mengangkat tema-tema percintaan—disebut roman picisan. Satu bentuk penghinaan terhadap buku-buku sejenis itu. Pembicaraan yang cukup luas mengenai buku-buku hiburan sejenis itu ditulis R. Roolvink, “Roman Pitjisan,” Pokok dan Tokoh, Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1953.

24 Kebanyakan masyarakat memandang novel-novel sejenis itu secara apriori yang dikaitkan dengan masalah pornografi. Jika dicermati serius, novel-novel itu sesungguhnya tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalam karya pornografi. Di dalam novel-novel itu, masalah seks sekadar bumbu. Itupun tak digambarkan secara vulgar. Jadi, pandangan masyarakat terhadap novel populer, terutama karya-karya Motinggo Boesje yang dikaitkan dengan pornografi dan menudingkan karya-karyanya sebagai novel porno, tidaklah seluruhnya benar.

25

Motinggo Boesje pada awal kepengarangannya banyak menulis karya sastra serius (drama, novel, dan cerpen). Memasuki tahun 1990-an, ia kembali menulis karya-karya serius. Bahkan novelnya, Sanu, Infinita Kembar (1985) –menurut pandangan H.B. Jassin dan Abdul Hadi WM—termasuk sebagai novel sufistik. Terlepas dari persoalan populer atau tidaknya novel-novel yang ditulisannya tahun 1970-an, sejauh pengamatan, Motinggo Boesje tercatat sebagai novelis Indonesia paling produktif. Sekitar 200-an novel telah dihasilkannya. Sejauh pengamatan, belum ada sastrawan Indonesia yang menghasilkan novel sebanyak Motinggo Boesje. Sementara itu, Remy Sylado, belakangan juga menulis novel-novel serius. Bahkan salah satu novelnya, Kerudung Merah Tirmizy (2002) terpilih sebagai pemenang Khatulistiwa Award. Eddy D. Iskandar dalam sastra Indonesia memang dikenal sebagai penulis sastra populer. Tetapi, dalam kesusastraan Sunda, ia termasuk sastrawan Sunda yang menghasilkan novel-novel yang bagus dalam bahasa Sunda.

26 Lihat Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 89—97. Periksa juga, Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono K.S., Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, Magelang: Indonesia Tera, 2001.

27 Dua artikel yang dimuat Budaya Jaya, No. 93, IX, Februari 1976, yang ditulis H.B. Jassin, “Beberapa Penyair di Depan Forum” (hlm. 65—85) dan Saini K.M., “Penyair-Penyair Muda Jakarta,” (hlm. 86—98) memberi gambaran cukup baik mengenai puisi-puisi Mbeling atau puisi lugu yang dimuat majalah Aktuil dan majalah Top.

28 Slamet Kirnanto, “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan Brengsek!” (Jawaban atas pengadilan puisi) dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Pengadilan Puisi, Jakarta: Gunung Agung, 1986.

29 Pamusuk Eneste (Ed.), Ibid.

Perjalanan Sastra tanpa Jejak Bahasa

Edy A Effendi
http://www.infoanda.com/Republika

Perjalanan sastra Indonesia dalam kurun waktu 2007 tidak mampu meninggalkan jejak kebahasaan yang cukup berarti bagi pertumbuhan sastra Indonesia. Jejak kebahasaan ini menjadi penting karena fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Seperti kata Roger Trigg, berpikir tidak mungkin dipisahkan dari bahasa, dan adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan produk pemikiran.

Untuk membangun keselarasan antara bahasa dan produk pemikiran, para sastrawan harus bergumul secara intens dengan dunia bahasa dan tidak serta merta melahirkan karya tanpa mau menjenguk ceruk-ceruk kebahasaan yang paling dalam. Hanya beberapa buku sastra yang bisa dijenguk keseriusannya mencari bahasa sebagai jangkar kreativitasnya. Sebutlah kumpulan cerita pendek Gus tf Sakai, Perantau (GPU, 2007), dan antologi puisi Zen Hae, Paus Merah Jambu (Akar, 2007).

Pergumulan secara intens dengan hutan rimba bahasa itulah, yang seringkali dipinggirkan sebagian kalangan sastra. Dalam wilayah sastra, khususnya puisi, bahasa menjadi satu kekuatan sentral dan menjadi satu gema untuk menciptakan kembali keberadaan dan kesadaran yang lebih tinggi dalam diri manusia.

Dari sudut pandang yang lain, maraknya antologi puisi yang bertebaran, tidak mampu membangun semangat kerja baru dalam wilayah puisi, terutama dalam menerapkan konsep estetika kata sebagai bagian dari proses kerja kreatif kepenyairan seseorang. Maka, ketika sebuah antologi terjebak dalam lingkaran wilayah kata yang dekaden, tradisi penulisan puisi yang dihibahkan dalam sebuah antologi, tidak lagi bersandar pada kekuatan kata dan berbagai varian yang berdiri di balik rimba kata.

Pada dataran itu, puisi kehilangan ruh, sugesti dan daya pikat sebagai wacana fiksi yang berfungsi memperkaya kata. Dan, akhirnya menjadi benar, sindiran yang pernah dilempar ke kubu penyair, bahwa bahasa yang ada masih seperti sebuah dusun datar yang baru saja dihuni para transmigran — lokasi yang diancam wabah, perdu yang dihampiri hama.

Situasi serupa juga menimpa tradisi penulisan cerita pendek. Cerita-cerita yang berhamburan di berbagai sudut media massa atau di berbagai ranah toko buku sepajang 2007 tak ubahnya jajaran cerita yang bisa disantap dengan sekejap. Ia tak mampu membangun monumen kebahasaan secara ajeg, utuh dan runut. Sebuah monumen kebahasaan yang sejatinya menghadirkan bahasa ibarat ruh atau inspirasi yang hidup dan bergerak dalam tubuh sang kreator.

Saya menemukan beberapa karya prosa pada kurun 2006-2007, jika dilacak dari sisi tapak kebahasaan, tidak cukup kuat membangun keselarasan teks dan konteks, bahkan tak cukup cermat memainkan kata-kata atau substansi bahasa dalam wilayah teks. Lihatlah prosa Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku (Akmal Nasery Basral, Ufuk, 2006), Dunia di Kepala Alice (Ucu Agustin, GPU, 2006), Edensor (Andrea Hirata, Bentang Pustaka, 2007), Galigi (Gunawan Maryanto, Koekoesan, 2007), Janda dari Jirah (Cok Sawitri, GPU, 2007), Linguae (Seno Gumira Ajidarma, GPU, Maret 2007), Mahasati (Qaris Tajudin, Akoer, 2007), Bulan Jingga dalam Kepala (M Fadjroel Rahman, RPU, 2007), September (Noorca M Massardi, Tiga Serangkai, 2006), dan Sintren (Dianing Widya, Grasindo, 2007).

Di tepi lain, saya menemukan karya-karya puisi yang terbit pada kurun 2006-2007, di mana penyair seringkali membiarkan sajak dengan tidak terlampau urut, terang dan padu, sehingga tidak mampu memberi vibrasi yang besar terhadap perkembangan bahasa. Lihat saja buku puisi Angsana (Soni Farid Maulana, Ultimus, 2007), Bau Betina (Binhad Nurrohmat, I:BOEKOE, 2007), Dongeng untuk Poppy (M Fadjroel Rahman, Bentang, 2007), Jam-Jam Gelisah (Todung Mulya Lubis, GPU, 2006), Kepada Cium (Joko Pinurbo, 2007), Laut Akhir (Isbedy Stiawan ZS, Bukupop, 2007), Menjadi Penyair Lagi (Acep Zamzam Noor, Pustaka Azan, 2007), Notasi Pendosa (Acep Iwan Saidi, LKiS, 2007), dan Tamsil Tubuh yang Terbelah (Amien Kamil, MataAngin, 2007).

Kultur lokal

Pada prosa Perantau Gus tf Sakai, misalnya, pengarang seharusnya bisa lebih menstimulir persoalan kelokalan dengan berpijak pada kultur Melayu sebagai akar bahasa Indonesia. Sayangnya, Gus tf tidak sepenuhnya mengambil setting lokal sebagai kosmologi penceritaan yang utuh.

Kasus serupa juga menimpa Zen Hae dengan kumpulan puisi Paus Merah Jambu. Penyair yang lahir dari kultur Betawi ini mengambil isu lokalitas hanya pada ruang penceritaan dan dialog yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dalam puisinya. Ia tidak menggarap secara lengkap potret lokalitas dari termin kebahasaan.

Pada titik ini, Sakai dan Hae, berhasil pada kemampuan memainkan irama kata pada teks yang disebar ke publik, tapi gagal mengambil lokalitas dari traktat kebahasaan. Saya menangkap upaya pencarian kebahasaan dengan bersandar pada kekuatan lokal adalah upaya ekstrim yang seharusnya dikembangkan pengarang, agar mampu mengambil identitas kebahasaan yang jelas.

Di tempat yang berbeda, kumpulan puisi Bau Betina Binhad Nurrohmat pun hanya terampil memainkan kata dengan melakukan penggemparan makna di berbagi sudut puisinya. Ia, dengan kredo penulisannya, berupaya mengolah diri dengan mencari kemungkinan-kemungkinan bentuk, cara, atau teknik alternatif untuk mengucapkan kenyataan.

Sedangkan bergerak untuk merambah wilayah baru adalah upaya menjamah realitas yang sebelumnya tak tergarap atau masih tergarap sepintas lalu, misalnya kekotaan, mitos lokal, seks dan tubuh. Sastra Indonesia mutakhir tampaknya cenderung memasuki wilayah-wilayah mikro dengan cara ucap yang masih terus bergulat mencari bentuk.

Binhad masih terjebak pada kubangan wilayah mikro dengan cara ucap yang masih melingkar-lingkar pada upaya pencarian bentuk, bukan pencarian dari ranah kebahasaan. Semestinya pengarang harus mampu mengambil setting lokal sebagai basis reproduksi penciptaan. Sebuah problem untuk melakukan sinergi dengan peristiwa di luar teks.

Jika sinergi itu tidak dikerjakan dengan tepat, penulisan setting lokal atau kultur lokal, akan terjebak pada penulisan fiksi yang ber-kiblat pada sejarah. Penulisan fiksi, penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah beberapa hal yang memiliki kaidah penceritaan yang berbeda.

Selama ini, penulisan sejarah di bangku-bangku pendidikan menjadi terdistori dan cenderung menyesatkan. Atau mungkin benar apa yang pernah dipaparkan Clifford Geertz, bahwa kehidupan sosial manusia tidak bisa keluar dari jaringan nilai dan makna yang mereka rajut sendiri yang kemudian terabaikan dalam kultur.

Pada akhirnya, bahasa bukan sekadar alat ucap para kreator dalam memproduksi kata-kata di dalam teks. Ia tak ubahnya jembatan pengarang dalam melakukan pencarian identitas kebahasaan. Di ranah ini, para pengarang yang melahirkan karya pada kurun 2007 tak memperlihatkan keseriusannya dalam mengelola bahasa.

*) Dosen sastra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Puisi Amir Hamzah Bukan Sastra Sufi

Kurniawan
http://www.tempointeraktif.com/

Meskipun selama ini puisi-puisi sastrawan Pujangga Baru, Amir Hamzah, sering dimasukkan sebagai karya sufistik, pengamat sastra Arief Bagus Prasetyo cenderung menolaknya.

“Amir Hamzah bahkan dimasukkan dalam antologi sastra sufi yang disusun oleh Abdul Hadi W.M.. Tapi, menurut saya, Amir Hamzah menjadi satu-satunya pengarang yang bukan sufi dalam antologi itu,” kata Arif dalam diskusi “Mendaras Amir Hamzah” di Freedom Institute, Jakarta, Kamis (24/6) malam. Acara yang dipandu Nirwan Dewanto itu juga menghadirkan Sapardi Djoko Damono sebagai pembicara.

Buku Sastra Sufi: Sebuah Atologi karya Abdul Hadi itu memuat karya-karya penyair mistikus dan filsuf Islam terkemuka, seperti Jalaludin Rumi, Al-Hallaj, Rabiah Al-Adawiyah, Hamzah Fansuri, Yasadipura I, Yasadipura II dan Raja Ali Haji.

Arif juga mengutip pandangan Goenawan Mohamad yang menekankan keresahan Amir Hamzah dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai masalah pokok dalam karya Amir. A Teeuw, kata Arif, juga mengakui hubungan Amir dengan kesastraan sufi.

Namun, Arif menunjukkan bahwa ada kontras yang nyata antara puisi sufistik dan puisi Amir. Dia mengutip “Syair Perahu” karya Hamzah Fansuri yang menyatakan “Hamba dan Tuhan tiada berbeda sebagai ekspresi persatuan penuh antara Tuhan dan manusia. Tapi, puisi “Turun Kembali” karya Amir justru mempertanyakan persatuan mistis itu (”Adakah begini jadinya/aku hamba engkau penghulu”) dan kemudian disangkal (”Aku dan engkau berlainan”).

Menurut Arif, kumpulan puisi Nyanyi Sunyi karya Amir mengantisipasi lahirnya puisi-puisi yang disebut Afrizal Malna berspirit “teologi-tanpa-bersama-dewa” dalam khazanah sastra Indonesia. Sejak Amir, terbentang jalan panjang kesunyian teologis, suatu kontinum religiusitas penuh luka, yang dilalui banyak penyair, seperti Chairil Anwar, Surtardji Calzoum Bachri, dan Acep Zamzam Noor.

Adapun Sapardi menampilkan puisi Amir Hamzah sebagai puisi gelap. “Bukan karena puisi Amir sukar dipahami karena belum menguasai sepenuhnya bahasa Indonesia, tapi justru oleh penguasaan tingkat tinggi,” kata penyair yang puisinya paling sering dikutip di kartu undangan perkawinan itu.

Sapardi mencontohkan puisi “Hanya Satu” karya Amir yang dimuat dalam antologi sajak “Puisi Baru” yang disusun Sutan Takdir Alisjahbana. Takdir merasa perlu memberi 10 catatan kaki untuk puisi itu, terutama untuk arti kata yang dianggap sulit oleh pembaca karena arkhaik.

Laut Dalam Puisi Isbedy Stiawan ZS

Peresensi Buku: M. Arman AZ
Judul buku: Perahu di Atas Sajadah (kumpulan puisi islami)
Pengarang: Isbedy Stiawan ZS
Penerbit: Bukupop, Jakarta
Cetakan: Oktober 2006
Halaman: xii + 84 hlm.
suarakarya-online.com

Mencari tuhan di baitil ka’bah

SASTRA SUFI SEBUAH ANTOLOGI
Penyunting: Abdul Hadi WM Penerbit:
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985, 300 halaman
Peresensi: Danarto
http://majalah.tempointeraktif.com/

SEORANG bangsawan tergopoh gopoh mendatangi Nabi Sulaiman. Ia bercerita bahwa Malaikat Maut mendatanginya, dan dengan mata yang mencereng mengawasinya penuh kebencian dan amarah.

“Lalu, apa yang bisa saya bantu?” tanya Nabi Sulaiman. “Oh, pelindung hidupku,” sahut bangsawan itu, “perintahkan angin supaya menerbangkan aku ke India.”

Nabi Sulaiman yang waskita dan digdaya itu, yang dapat berbicara dan memerintah segala makhluk, lalu memerintahkan angin untuk menerbangkan bangsawan tersebut melintasi lautan dan mendaratkannya dengan empuk di pedalaman India.

Keesokan harinya, ketika sidang pleno, Nabi Sulaiman menanyakan kepada Izrail, Malaikat Maut itu, kalau memang mau mencabut nyawa bangsawan tersebut, kenapa tidak lekas-lekas saja. Tak usah memandang dengan menakutkan segala. Malaikat Maut lalu bertutur kepada Nabi Sulaiman bahwa ia memang harus menakut-nakuti bangsawan itu terlebih dulu, supaya ia ngacir cepat-cepat dan jauh. “Dalam daftar, bangsawan itu memang harus mati di India,” ujar Izrail. Karya Jalaluddin Rumi (1207-1270) itu dikutip dalam antologi ini, di samping karya-karya sufi besar lainnya: Bayazid, Al-Hallaj, Al-Hujwiri, Arabi, Junaid, Attar, Hafiz, Khayyam, Rabiah, Sana’i, Sa’di, Iqbal jumlahnya lebih dari 30 tokoh.

Sastra sufi, baik prosa maupun puisi, selalu dapat menohok secara tepat, lewat perlambang, nasihat, pandangan, juga dongeng. Bahkan karya yang paling sederhana pun mengatasi zamannya. Sebuah karya yang lahir seribu tahun yang lalu dapat mengajak pembaca sekarang untuk hidup di zaman baheula itu. Yang luar biasa dari semuanya itu adalah kemampuan melukiskan Tuhan.

Sebagaimana sikap hidup mereka, para sufi juga berhemat di dalam mengekspresikan dirinya. Dan kesusastraan mereka menduduki tempat yang utama, ditopang oleh kehematan itu, selembar kertas dengan sebatang pensil. Sebatang pensil jika Ia Tuhan, selembar kertas jika ia makhluk, maka lengkaplah keterangan itu: pada mulanya Allah bertolak dari tulis-menulis itu. Tak ada yang begitu lebih murah penyelenggaraan sebuah kesenian kecuali dengan selembar kertas dan sebatang pensil.

Karya-karya sufi Indonesia - Hamzah Fansuri, Bukhari Al-Jauhari, Raja Ali Haji, Yasadipura I, Yasadipura II, dan Amir Hamzah - ikut hadir di sini. Yang unik bahwa warna lokal kalah oleh kekuatan tradisi kesufian. Jika seorang sufi tidak hanya pasrah melainkan dapat pula menonjolkan diri, maka sifat yang terakhir ini dapat pula muncul dalam pribadi sufi kita. Jika Hafiz (1326–1390), sufi Persia, menulis:

Tuhan, Hafiz rindu pada-Mu Lebih dari Nabi Sulaiman Hafiz rindu pada-Mu walau tangannya Tak mendapat apa-apa kecuali angin Hafiz rindu pada-Mu maka sufi Aceh Hamzah Fansuri (pertengahan abad ke-16 sampai perempat awal abad ke-l7), menulis: Hamzah Fansuri di dalam Mekah Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah Dan Barus ke Kudus terlalu payah Akhirnya dijumpa di dalam rumah

Dewasa ini buku-buku sufisme mengalir seperti hidangan perhelatan. Bahkan ada dua penerbit yang mengedarkan buku yang sama. Sesungguhnya apa yang sedang terjadi? Apakah sufisme sedang bangkit di Tanah Air? Boleh jadi kecenderungan sufistik sedang menyemarak di dalam sastra Indonesia. Namun, sesungguhnya sufisme, dan lebih-lebih sastra sufistik, asing di dalam masyarakat kita.

Untuk penerbitan selanjutnya, antologi ini masih dapat dikembangkan, mengingat masih ada sejumlah tokoh-tokoh sufi yang belum masuk.

Geliat Menulis Esai Kritik Sastra dan Eksistensi SST (Sanggar Sastra Tasik) di Tasikmalaya

D. Dudu AR
http://oase.kompas.com/

AJAKAN workshop menulis kritik sastra dan laporan budaya dari Jodhi Yudono (pemangku rubrik oase-kompas.com) kepada saya (Pondok Media) beberapa waktu lalu, merupakan salah satu indikasi produktivitas masyarakat Tasikmalaya–menulis essay kritik sastra–jarang geliatnya. Beliau menyatakan ingin sekali masyarakat Tasikmalaya intens menulis kritik sastra dalam rangka memasyarakatkan sastra. Pernyataan tersebut dikuatkan Ashmansah Timutiah (Budayawan dan salah satu pendiri Teater Ambang Wuruk), pada kesempatan acara Tadarus Puisi (04/09) di markas OI Trotoar bahwa sudah saatnya masyarakat Tasikmalaya sering mengadakan acara kritik sastra secara rutin, seiring kelahiran penyair-penyair baru, sepatutnya didampingi kritik konservatif dari apresiator (masyarakat) sehingga berkembang dinamis dan membudayakan masyarakat sadar sastra.

Berbeda dengan pelaku sastra seperti: Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, Soni Farid Maulana, Nazaruddin Azhar, Bode Riswandi, Yusran Arifin, Ashmansah Timutiah, Irvan Mulyadi, Sarabunis Mubarok, dll. Beliau-beliau ini produktif menulis essai seputar sastra. Ya, karena mereka sastrawan dan budayawan Tasikmalaya! Penelusuran saya, selama browsing alias berselancar di media online atau cetak pun hanya menemukan esai-esa sastra dari para pelaku sastra di atas. Artinya, masyarakat Tasikmalaya masih kurang aktif dan produktif menulis essay kritik sastra. Bukan masalah ingin menjadi penyair atau ahli sastra, setidaknya jiwa apresiasi dapat bertumbuh dan berkembang – dengan menulis esai kritik sastra – seiring waktu berjalan kesadaran masyarakat terhadap sastra akan meningkat.

Pada kenyataannya, kesadaran masyarakat Tasikmalaya dalam menulis esai kritik sastra, masih sangat minim. Pernyataan saya ini dapat dibuktikan dengan esai-esai yang setiap saya baca di media online atau cetak, hampir nihil yang penulisnya masyarakat (citizen) Tasikmalaya.

Menulis, erat kaitannya dengan membaca. Menurut hemat saya, ada dua ruang perihal kategori membaca (reseptif); literature (bahan bacaan/pustaka) dan lingkungan (peristiwa). Sebelum menulis, seseorang harus sadar membaca berbagai literatur dan lingkungan, sebagai referensi dan penguatan terhadap tulisan itu sendiri. Artinya, membaca memerlukan waktu dan kesadaran. Mungkin untuk sebagian orang, membaca itu membuang waktu dan energi. Barangkali ini yang menyebabkan masyarakat Tasikmalaya enggan menulis, khususnya esai kritik sastra. Seperti yang dikatakan Saeful Badar (Sastrawan dan Pemerhati Budaya), ”Menulis adalah menulis. Artinya dilewati setelah kita melakukan membaca. Kita tidak mungkin bisa menulis tanpa kita mampu membaca. Membaca tidak hanya yang berupa teks saja, tapi juga membaca beragam peristiwa dan berbagai fenomena di sekitar kita. Seribu kali orang berteriak ingin menjadi penulis, tapi dia ogah membaca apapun (cuek) terhadap segala hal yang berlaku di sekitarnya, maka seribu kali pula dia sebetulnya tengah mengatakan omong kosong belaka!!!!!”.

Latar belakang di atas mendorong saya sebagai warga masyarakat untuk menulis (jawaban) sekelumit perkembangan sastra di Tasikmalaya, alakadarnya. Pada tahun ini saja, Tasikmalaya diramaikan acara-acara sastra yang di antaranya: lomba baca puisi se-Jabar dan Banten (SST), lomba baca puisi tingkat SMP-SMU se-Priangan Timur (SMU Pasundan), lomba baca pusi siswa tingkat SD se-Priangan Timur (Aksara UPI Kampus Tasikmalaya), bedah buku antologi puisi karya Bode Riswandi (UNSIL), Tadarus Puisi, bedah antologi puisi tiga penyair sasntri: Aos Mahrus, Syifa Agnia, Aan A. Farhan (Komunitas Cermin), bedah buku antologi puisi karya Dhea Anugerah (Penyair Yogyakarta), dan bedah puisi penyair luar daerah lainnya.

Sanggar Sastra Tasik
Sepanjang pengetahuan penulis, tumbuh-kembang kesusasteraan di Tasikmalaya, khususnya sajak/ puisi memiliki perjalanan panjang, dimulai lahirnya Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, Nazaruddin Azhar, Soni Farid Maulana, Bode Riswandi, Sarabunis Mubarok, Irvan Mulyadi, Yusran Arifin, dll. Beliau-beliaulah yang memberi khazanah kesusasteraan di Tasikmalaya khususnya dan nasional. Kemudian membangun Yayasan Sanggar Sastra Tasik (SST) yang dikukuhkan dengan Akta Notaris Heri Hendriyana, SH. nomor 21.- tanggal 29 Oktober 1998 yang bersekretariat di Jalan Argasari No. 18 Telp. 0265-327386 Tasikmalaya 46122.

Selama ini pun, Sanggar Sastra Tasik telah berhasil menerbitkan antologi-antologi berikut:
(1) Antologi Puisi NAFAS GUNUNG. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 1997 bekerjasama dengan Penerbit Biduk Bandung. Berisi puisi-puisi yang lolos seleksi ketat pada acara Cakrawala Sastra Kita (CS-KITA) di Radio RSPD FM Tasikmalaya yang diasuh oleh Sanggar Sastra Tasik (SST).

(2) Antologi Puisi DATANG DARI MASA DEPAN. Editor Toto Sudarto Bachtiar, Acep Zamzam Noor, Hikmat Gumelar & Karno Kartadibrata. Terbit tahun 1999, berisi 37 puisi dari 37 Penyair Indonesia yang masuk nominasi Lomba Cipta Puisi Nasional, Pesta Sastra Tasikmalaya 1999.

(3) Antologi Puisi ORASI KUE SERABI. Editor Drs. Jojo Nuryanto M.Hum. Terbit tahun 2001 bekerja sama dengan Gedung Kesenian Tasikmalaya. Berisi
puisi-puisi para penyair Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Ciamis yang aktif
bersosialisasi di Sanggar Sastra Tasik (SST).

(4) Antologi Puisi 6 PENYAIR MENEMBUS UDARA. Editor Irvan Mulyadie. Terbit tahun 2001. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 1.

(5) Antologi Puisi EPIGRAM BUAT SUHARTO. Karya Saeful Badar. Terbit tahun 2001. Berisi 36 puisi sosial karya penyair Saeful Badar.

(6) Antologi Puisi 6 PENYAIR MEMBENTUR DINDING. Editor Nizar Kobani. Terbit tahun 2002. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 2.

(7) Antologi Puisi 6 PENYAIR MEMINUM ASPAL. Editor Sarabunis Mubarok. Terbit tahun 2002. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 3.

(8) Antologi Puisi MUKTAMAR. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari 30 Penyair peserta Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 yang diselenggarakan oleh Sanggar Sastra Tasik bekerjasama dengan Forum Komunikasi Sastra Jawa Barat di Tasikmalaya.

(9) Antologi Puisi 6 PENYAIR MENGHISAP KNALPOT. Editor Ashman Syah Timutiah. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi
Enam’ tahap ke 4.

(10) Antologi Puisi POLIGAMI. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari para Penyair Tasikmalaya yang lolos ‘Program Tradisi Enam’, sebuah program dengan mengupayakan uji publik dan telaah karya (kritik) bagi para penyair Sanggar Sastra Tasik (SST).

SST sebagai media sastra, menjadi vital eksistensinya menumbuh-kembangkan kesadaran masyarakat terhadap sastra di Tasikmalaya. Sebagai warga biasa, penulis berharap, SST tetap survive dan tidak jenuh menebarkan virus kesusasteraan di Tasikmalaya agar seiring perkembangan sastra yang sekarang telah beralih ke cyber sastra mampu mendampingi masyarakat untuk memahami dan tentunya memasyarakatkan sastra lebih intens lagi.

Dengan begitu, perkara menulis esai sastra yang masih minor dikidungkan masyarakat Tasikmalaya akan semakin mayor seiring perkembangan kesadaran masyarakat terhadap sastra meningkat. Terimakasih.

*) D. Dudu AR : Guru SDN. Perumnas 1 Cisalak Kecamatan Cipedes dan Pimpinan Pondok Media (Citizen Journalism Forum) Kota Tasikmalaya Jawa Barat

SURAT DARI SEOUL

WAN, SELAMAT JALAN!
Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Di pojok kampus HUFS? di pinggir Seoul. Aku terpaku sendiri di tengah kehidupan masyarakat Korea yang tak pernah diam. Segalanya bergerak: fanta rhei! Langkah-langkah cepat dan berderap. Para mahasiswa yang bergegas. Sepatu kulit berhak tinggi, menutup betis mereka. Suaranya keras menghentak jalanan dan tangga-tangga. Dedaunan rontok karena tuntutan hukum alam musim gugur. Sementara di dahan dan ranting pohon-pohon kesemek, bergelantungan buahnya yang berwarna merah menunggu keriput.

Aku memandang pohon eun heng yang meranggas bukan karena panas. Gundul, menyisakan dahan dan rerantingan, serupa kuku-kuku panjang nenek sihir. Satu-dua daunnya jatuh melayang. Mengingatkan pada sms Jamal D Rahman tadi malam. Penyair asal Madura yang puisi-puisinya kerap menggagalkanku untuk menyembunyikan decak pesona, berkirim kabar: Mohon doa. Wan Anwar kritis! Kini, di tengah siang yang dingin, jam 12.00 waktu Seoul, 23 November 2009, HP-ku bergetar. Ada sms masuk. Lagi, Jamal D Rahman berkabar duka: “Telah berpulang ke Rahmatullah, sahabat kita tercinta, sastrawan Moh Wan Anwar pada pukul 04.00 di RS Sari Asih, Serang-Banten.” Innalilahi wa innailaihi rojiun!

Di depan tubuh-tubuh yang terbungkus jaket, aku terhenyak. Tak Percaya! Pikiranku melayang ke Serang. Wan Anwar, sastrawan dengan sorot mata tajam. Penggerak sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan segala mobilitasnya. Teman berbincang yang mengasyikkan. Sahabat yang gigih membela kawan. Presenter favorit. Ah, Wan, e-mailmu yang berisi sejumlah puisi anak-anak muda Serang, belum sempat kubalas. Maafkanlah!

Tenggorokanku tersendak. Angin kering menusuk wajah. Mataku perih meski diselimuti hawa dingin. Awan putih yang dibawa angin, melayang, menjatuhkan kedinginan yang menggigilkan. Aku merasakan seperti ada air mata yang menetes satu-satu. Jarak panjang Seoul—Serang, putus sudah karena kau pergi ke dunia tanpa batas. Wan Anwar, penyair, cerpenis, kritikus yang selalu meriah dan tak pernah berduka itu, meninggalkan kita. Di tengah percakapan yang menghentak-meledak-ledak, aku tak kuasa berkata-kata. Tegur-sapa annyong haseyo dan gamsa hamnida seperti berlalu tanpa makna.
***

Wan, secara pribadi aku mengenalmu dulu ketika kau masih mahasiswa. Puisi-puisimu menarik, dan itu yang membuat kita berkawan. Lalu, lewat puisimu itu pula, aku merasa lebih dekat. Kau, bersama Cecep Syamsul Hari, mulai patut diperhitungkan sebagai penyair Bandung generasi setelah Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Soni Farid Maulana, dan sederet panjang penyair Bandung yang lebih senior. Mereka kokoh dengan kerajaannya dan kau masih merangkak ketika itu. Tetapi, makin hari, kau makin diperhitungkan, dan tambah mantap setelah bergabung dengan majalah sastra Horison.

Sebagai pribadi, kau pandai membahagiakan orang. Selalu ada gelak tawa di mana pun dan dengan siapa pun kau berbincang. Jika kau bercerita tentang seseorang, piawai betul kau mengubahnya menjadi cerpen lisan. Jika sudah begitu, aku kerap teringat Bang Hamid yang pandai membalut luka dengan tawa. Maka, ketika aku membacai puisi-puisimu, aku menangkap keterampilanmu adalah menyembunyikan misteri, juga dengan tawa. Pertanyaan besar tentang sesuatu yang entah, sengaja kau biarkan tetap menjadi misteri tak berjawab. Itulah yang kukatakan sebagai kegelisahan! Dan kini, pertanyaan itu terjawab sudah: kau tak sampai senja, seperti katamu: “Sebelum Senja Selesai!”*
***

Wan, pada awalnya, aku menangkap puisi-puisimu sebagai kegelisahan! Suasana batin yang diserbu misteri. Dengan cara yang khas, kau kadang memposisikan diri sebagai pengelana yang penasaran, pencari yang tiada pernah puas mencari, atau sebagai penggelisah yang menikmati benar kegelisahannya sendiri. Jadi, dalam hal tertentu, Wan, kau mengelana untuk mencari dan memelihara kegelisahan. Bahwa kemudian kau dihadapkan pada pertanyaan, rahasia atau misteri yang tak diketahui jawabannya, kau malah menikmati misteri dan rahasia itu dengan optimisme yang sebenarnya tak juga kau pahami. Tetapi kini, bagiku, itu lebih bermakna tanda-tanda: “berjalanlah lurus ke utara!” begitu katamu.

berjalanlah lurus ke utara, melintasi rimbun asam
dan masa silam, kau akan tahu darat dan laut
seperti bibir sepasang kekasih saling memagut
seperti maut yang tiap waktu terus beringsut

Wan, jadi itukah kegelisahanmu? Berjalan lurus ke utara …/seperti maut yang tiap waktu terus beringsut// Ah, kau seperti optimis, bahwa perjalananmu tak sampai senja.

Sesungguhnya, dengan sikap itu, pewartaanmu laksana sengaja membawa siapa pun ke dunia pencarian yang tak berkesudahan. Dan ketika kumasuki puisi-puisimu, aku dibetot oleh sebuah kekuatan makna, tergelincir pada pusaran larik-larik misteri. Jadilah, aku memasuki wilayah pencarian dengan segala kerahasiannya. Jelas, kau telah menghadapkan potret batin sosok pengelana yang berhasrat terus menggelandang atau sosok pencari yang tak pernah bertemu. Yang dapat kutangkap adalah serangkaian kegelisahan, deretan pertanyaan tak berjawab, atau kekecewaan yang berhenti pada potret diri. Kadangkala segalanya kemudian kau kembalikan lagi pada sesuatu yang kau yakini sendiri sebagai misteri. Itulah beberapa bagian komentarku yang tercatat pada kata pengantar antologi puisimu, Sebelum Senja Selesai (2002).

Akhirnya kutangkap juga pesan itu. Siapa pun kini, jika hendak mengejar makna puisi-puisimu, kuncinya ada pada larik awal. Seperti yang kutangkap pada “Lecutan-Lecutan”. Pada mulanya, kumaknai itu sebagai kesadaran akan perjalanan hidup. Lecutan secara metaforis bermakna: “Bergiatlah, rajin-rajinlah, kerjakanlah segera, cepatlah rampungkan!” Jadi, itu perkara karier dan pekerjaan. Dan kinerjamu memang menunjukkan itu. Maka, ketika di Pascasarjana UI, kau melejit sendiri, yang melecut kakak kelasmu, termasuklah di sana, Agus R Sarjono dan Jamal D Rahman. Kau sendiri seperti dilecut oleh entah siapa. Oh, tidak! Ternyata itu bentuk kesadaran akan tubuh yang tak dapat menghindar hukum alam: Ingat tubuh kita …

ingat tubuh kita
berbeban keinginan yang bertumpuk
berpijar memanaskan pasir pantai
yang menanti cumbu ombak
yang sepintas dan lepas lagi

Wan, bukankah itu pesan terakhirmu sesaat sebelum pergi: “Jaga kesehatan kalian!”

(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok, kini tinggal di Seoul sebagai Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul).

Era Baru Penghormatan terhadap Puisi

Fuska Sani Evani
http://www.suarapembaruan.com/

Kelompok musik Pardiman Djojonegoro yang juga meresepsi puisi ke dalam pitutur Jawa pada rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 Sabtu (25/8) di sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogyakarta.

Romo Sindhunata SJ, tampak manggut-manggut. Kadang menekuk siku, kadang geleng-geleng. “Asyik juga ya, gak kalah sama dangdut, bisa juga buat goyang,” katanya.

Ternyata, Romo Sindhu, sedang menikmati irama musik Hip-hop yang dilantunkan empat anak muda, Mamox, Heldi, Bo, dan Balan, personel “Jahanam” salah satu dari sekian kelompok musik Hip-hop di Yogyakarta.

Simak saja syair milik Romo Sindhu yang dilebur dalam irama hip hop.

Sengkuni leda- lede, Mimpi baris ngarep dhewe, Eh barisane menggok,Sengkuni kok malah ndheProk, nongji, nongro.

Anak-anak kelompok musik hip-hop asal Yogyakarta itu, melantunkan syair-syair puisi milik Romo Sindhunata SJ dari kumpulan puisinya Air Kata-kata berjudul Cintamu Sepahit Topi Miring, Rep Kedep dan karya mereka yakni Bingung. Kelompok lain juga tak kalah. Kontra mengambil puisi dari Azep Zamzam Noor.

Satu komentar biarawan eksentrik ini. “Saya apresiatif, saya senang, biar saja puisi saya mau diobok-obok yang penting mereka juga ikut mengapresiasi,” begitu Romo Sindhu sambil terus manggut-manggut.

Jelas, malam Minggu (Sabtu, 25/8) halaman sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogya, semarak oleh untaian-untaian puisi gaya baru. Ada puisi milik Taufiq Ismail dan Acep Zamzam Noor. Dengan puisi, Jahanam menjadi begitu terkenal di Jawa Tengah dan berhasil menjual album indie mereka yang berjudul Tumini sebanyak 20 ribu kopi.

Sementara Kontra me-ngaku hampir setiap bulan mendapat panggilan manggung sebanyak dua kali, dengan tarif Rp 1 juta untuk dalam kota serta Rp 1,5 juta (nett) untuk luar kota.

Adalah Word Aloud, rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 yang menjadi ajang pertama I Gede Putu Bawa Samargantang menyerukan sajaknya dalam bahasa Bali.

Sebanyak 14 penampil, tidak hanya berasal dari Yogyakarta saja. Selain Pardiman Djojonegoro, Abbas Ch feat Purwanto, Alex Suhendar, Erynthrina Baskoro feat L Enrico, Jahanam, Kontra, Jamaludin Latief, Dina Oktaviani, Afrizal Malna, Tony Maryana feat Ika Sri Wahyuningsih yang berasal dari YOgyakarta, tampil juga D Zawawi Imron (Madura), I Gede Putu Bawa Samargantang (Bali), Asmara Laut Tawar (Aceh), dan Irmansyah (Jakarta).

Kelompok music hip-hop “Jahanam” asal Yogyakarta dan Romo Sindhunata SJ, usai mendendangkan puisi dengan irama Hip-hop pada Word Aloud, rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 Sabtu (25/8) malam di sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogyakarta.

Parade Seni

Salah satu panitia, Risky Sasono menjelaskan, parade seni tulisan tangan ini akan diramaikan dengan berbagai penampilan yang mungkin tak lazim seperti story telling, monolog dengan dukungan multi media bahkan penampilan rapper Kontra yang akan mendendangkan musik rap dihadapan pengunjung.

“Word Aloud kali ini merupakan sebuah ruang ekspresi yang integral antara sastra dan pertunjukan. Jadi parade seni tulisan tangan ini akan diramaikan dengan berbagai penampilan yang mungkin tak lazim seperti story telling, monolog dengan dukungan multi media bahkan penampilan rapper Kontra yang akan mendendangkan musik rap,” kata Risky.

Suasana itu tampak sangat berbeda dengan acara sehari sebelumnya, saat 30 penyair se-Indonesia membacakan narasi-narasi yang puitis. Malam itu, puisi tidak lagi menjadi untaian kata-kata yang dibacakan dengan deklamasi. Tidak ada lagi unsur teaterikal. Namun, kata-kata bermajas itu menjadi semakin melejit dan bisa diterima kalangan anak muda.

Tidak ada lagi penyair, yang melantunkan puisi dengan menggebu-gebu. Tidak ada lagi menunggui dengan bosan. Membaca puisi, sekarang bisa dilakukan dengan apa saja.

“Bukannya sok puitis, tapi kami ingin mencari jati diri dalam puisi itu,” komentar Mamox.

Selain Mamox dan kelompoknya, setidaknya sudah ada 10 kelompok yang menggabungkan diri dan punya misi sama, yakni menyebarluaskan puisi-puisi karya para sastrawan kelas berat, kepada khalayak muda.

Lepas dari persoalan pementasan, puisi adalah pojok yang tersisa dari kesibukan yang melelahkan. Puisi adalah pengalaman. Membaca puisi dengan berteriak adalah menjadi kuno pada saat ini.

Memang bukan hal yang baru. Semua bentuk puisi dalam tradisi indonesia selalu mempunyai praktik pelisanan yang khas. Geguritan, pantun dan syair pernah menjadi primadona. Lambat laun hilang dan tergantikan deklamasi atau baca puisi. Rendra, adalah penggerak cara membaca yang mendayu-dayu.

Setelah itu, muncul Sutardji Calzoum Bachri dengan gaya dewa mabuk-nya. Namun lantas sepi.

Puisi milik Romo Sindhu contohnya. Bisa dilantunkan dengan nge-rap. Soal pertentangan? Pasti itu ada. Ada pendapat, puisi adalah kesakralan, dan harus dilantunkan oleh pakarnya. Namun, itu dulu. Sekarang, kalau tidak mau bercampur dengan dinamika, daya tarik puisi akan sirna.

Gairah nge-rap-kan puisi itu kemudian mencuat dan menuai sukses yang dikuti dengan pembuatan album kolektif, berjudul Poetry Hip Hop. Di dalam rekaman berbentuk cakram itu, ada 10 lagu yang dibawakan oleh 10 kelompok hip-hop Yogya. Dari Serat Centini (Sinom 231), sampai Dikawinkan Alam (Sitok Srengenge), Cinta Dalam Retropektif Alkohol Akhir Tahun (Saut Situmorang) hingga karya Sindhunata (Cintamu Sepahit Topi Miring), muncul menjadi sebuah repertoar yang sangat berbeda. Sebuah puisi percintaan dari Acep Zam-Zam, diotak-atik menjadi sebuah repertoar hip-hop yang erotis. Puisi-puisi itu lahir kembali dalam wajah dan era baru.

Massa Penyair dan Fanatisme Memalukan

Binhad Nurrohmat
http://www.kr.co.id/

BILA DISENSUS, penembus rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk ini sangat populer, “sakral”, sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus. Dua penulis sastra yang terakhir ini jumlahnya minim, bisa dikata hanya sehitungan jari tangan kita. Penyair juga dianggap representasi paling umum kesusastraan kita serta juru bicara kebudayaan kita.

Hampir setiap kota provinsi di Indonesia memiliki penyair yang dianggap sebagai wakil dari basis geografis-administratifnya masing-masing. Bahkan ada predikat personal-geografis yang dilekatkan pada identitas seorang penyair didasarkan pada tempat domisilinya, misal Afrizal Malna Penyair Jakarta, Acep Zamzam Noor Penyair Bandung, Amien Wangsitalaja Penyair Yogyakarta, Warih Wisatsana Penyair Bali, Isbedy Stiawan ZS Penyair Lampung dan masih banyak lagi.

Selain itu, saking banyaknya jumlah serta interaksi yang kuat antar penyair, mereka mendirikan komunitas atau forum di daerahnya masing-masing, yang sebagian besar anggota dan ketua serta pendirinya adalah penyair juga. Di Bandung ada Forum Sastra Bandung (FSB), di Jakarta ada Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), di Bali ada Sanggar Minum Kopi (SMK). Menurut sebuah penelitian, ada lebih dari 50 komunitas di sekitar Jabotabek. Kecenderungan mengelompok seperti ini tak ditemukan pada kelompok penulis sastra yang lain.

Ada sejumlah asumsi mengenai kecenderungan itu. Pertama, untuk menciptakan komunikasi kreatif yang lebih intens melalui acara atau agenda pertemuan. Kedua, manifestasi ketakpercayaan atau ketakmampuan untuk ’sendirian’ mengolah potensi kreatif, sehingga membutuhkan kelompok atau komunitas untuk mengukuhkan eksistensi. Maka ada gejala seolah komunitas-komunitas itu menjelma sebagai ‘blok-blok’ kelompok sastrawan tertentu yang menunjukkan adanya upaya saling bersaing satu dengan yang lain dan memiliki ‘massa fanatik’ masing-masing.

Fenomena kepenyairan kita belum juga surut, setidaknya dari segi jumlah personal dan produksi teks puisi. Hampir setiap penyair kita pernah mempublikasikan/mengirimkan puisi ke media massa (yang memiliki rubrik puisi) dan memiliki antologi puisi tunggal maupun kolektif dalam bentuk manuskrip maupun buku. Juga sudah lama ada media yang mengkhususkan diri memuat puisi seperti Jurnal Puisi. Situs-situs sastra kita seperti Cybersastra.net dan Bumimanusia.or.id juga lebih banyak diserbu puisi. Penghargaan sastra Anugerah Sastra Chairil Anwar, Lontar Award, Khatulistiwa Literary Award, Rancage (dan masih banyak lagi) maupun penghargaan sastra dari mancanegara seperti SEA Write Awards (Thailand), Hadiah A Teeuw (Belanda), maupun Hadiah Yayasan Wertheim (Belanda) lebih banyak yang disabet penyair ketimbang kelompok penulis sastra yang lain. Gambaran-gambaran demikian barangkali yang telah ikut memberikan sebuah pembesaran citra kepenyairan kita tampak kuat, mapan dan legitimated dalam dunia penulisan sastra kita sampai detik ini.

Massa Penyair

NAMUN pembesaran citra itu tak selalu persis dengan kondisi obyektif kualitas mayoritas kepenyairan kita. Ada semacam pars prototo dalam dunia kepenyairan kita saat ini. Prestasi kepenyairan yang diraih oleh hanya minoritas penyair, seakan telah membuat mayoritas penyair juga terangkat citranya, tersanjung. Kemudian dari sikap gede rasa ini muncul nuansa semangat massa yang luar biasa besarnya, kadang dihiasi histeria dan terciptalah semacam “massa penyair” –istilah yang semoga saya pakai sementara saja. Massa ini berada di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Bali dan Lampung, Tangerang dan daerah-daerah lainnya dan sekarang masih aktif bekerja memproduksi teks puisi yang melimpah jumlahnya.

Rekor jumlah penyair kita mungkin sebuah ‘prestasi’ tersendiri secara sosiologis dan fenomena menarik di mata para pengkaji cultural studies. Tapi prestasi jumlah itu tampaknya sangat jelas tak seimbang dengan jumlah upaya eksplorasi yang lebih jauh. Sebagaimana karakter massa, puisi penyair kita saat ini cenderung seragam tema dan pengucapannya. Penyair kita seperti bekerja dalam sebuah rumah berdinding cermin, sehingga yang berada di dalamnya satu sama lain saling berpantulan bayangannya, melakukan pesta besar interteks.

Penyair kita saat ini lebih banyak mempertebal garis capaian-capaian lama yang sudah digaritkan para pendahulunya ketimbang melakukan eksplorasi inovatif dan hanya berputar-putar dalam labirin capaian-capaian lama itu dan tak kunjung mampu menembus batas garis atau menemukan lorong keluar dari dinding-dinding labirin usang yang mengurungnya itu. Barangkali tuduhan demikian ini sudah klise, berulang-ulang. Tapi justru itu menjadi sebuah petunjuk bahwa kepenyairan kita memang belum berubah dan tak beranjak dari titik-titik itu juga.

Dari kondisi demikian, sampai-sampai ada ungkapan pesimis-retoris dari lingkungan penyair muda seperti Jamal D Rahman, “Jika para penyair terdahulu telah hampir menghabiskan eksplorasi dalam pengucapan, apalagi yang bisa tersisa untuk kami?”. Pesimisme ini sebuah representasi wajar dari dalam lingkungan penyair kita yang sadar diri dan sekaligus gelisah dengan kemacetan mobilitas estetik dalam perpuisian kita saat ini. Pesimisme ini dengan sangat menggebu dan panjang lebar dinilai esais Nirwan Dewanto sebagai adanya perasaan dibebani oleh sejarah sastra nasional. Menurut esais ini, ada yang patut dipertimbangkan dari ungkapan ini, antara lain, bahwa dia (Jamal D Rahman-pen) sedang menyempitkan dunia dan menutup mata pada sumber dari segala zaman yang sebenarnya bisa dia pilih secara merdeka, tetapi ternyata tidak pada ‘para penyair terdahulu’ (…) sehingga dia tak pernah siap menjelajahi kemungkinan yang begitu kaya dalam khazanah puisi yang sesungguhnya (…) ibarat sebuah bidang lukisan sudah terisi barik dan jejak para pendahulu, sehingga baginya hanya tersisa sebuah pojok kosong yang kecil saja, di mana ia hanya bisa melanjutkan bentuk-bentuk yang sudah (terlanjur) ada.

Saya kira dalam konteks ini Jamal D Rahman dengan ungkapan pesimistik itu hanya ingin jujur memberikan sebuah representasi obyektif kondisi kepenyairan kita saat ini. Dan tanggapan kritis Nirwan Dewanto itu suatu upaya terobosan untuk memberikan solusi yang kemungkinan bisa menjawab dan memecahkan pesimisme penyair Jamal D Rahman itu. Representasi jujur-obyektif Jamal D Rahman tentang kepenyairan kita dan dialektika-kritis sebagaimana yang ditawarkan Nirwan Dewanto, adalah contoh persentuhan dua pendapat yang aktif dan produktif. Tanpa harus berpolemik panjang berbusa-busa sebagaimana tradisi polemik kita selama ini tentang dunia sastra kita yang cenderung tanpa hasil cuatan solusi atau dialektika yang signifikan dan hanya menjadi tumpukan wacana yang beku, tak fungsional, nihil. Dua pendapat itu merupakan wujud keprihatinan mendalam terhadap dinamika kepenyairan kita saat ini. Banyakkah makhluk sejenis ini yang masih mau meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menyumbangkan pemikirannya bagi perkembangan puisi kita?

Adanya sinisme, olok-olok intelektual ataupun sekadar anekdot yang nyata-nyata ditujukan pada hasil kerja kepenyairan kita saat ini, kerap muncul dengan nada vulgar dan menggugat (melalui forum diskusi maupun tulisan di media massa) itu saya kira sangat wajar, bahkan ‘menguntungkan’ dan di baliknya mungkin justru mengeram niat baik untuk bersikap kritis dan obyektif pada kondisi kepenyairan kita saat ini. Menurut saya, sikap sumbang itu bukan suatu nonsense belaka. Sikap itu mesti diterima dan dimaknai sebagai representasi yang memiliki akar-akar kausalitas obyektif yang bisa dirunut pijakan paradigma dan nilai kebenarannya. Dengan pemahaman lain, sikap sumbang itu menjadi semacam warning signifikan bagi kepenyairan kita saat ini. Semua itu representasi kerja kritik dalam versi lain.

Kenapa Jadi Massa

KESERAGAMAN dan kemacetan mobilitas estetik puisi penyair kita saat ini disinyalir, salah satunya, karena adanya bias berlebihan dari semaraknya puisi kita di media massa jurnalisme sastra. Terutama koran. Koran-koran penting (di Jakarta) yang memiliki rubrik puisi konon selalu kebanjiran serbuan kiriman naskah puisi para penyair yang berdomisili di Jakarta maupun daerah. Kondisi demikian seringkali merepotkan pihak redaksi untuk melakukan pemilihan terhadap unggunan naskah yang menumpuk di mejanya. Hal ini memaksa redaktur untuk harus memilih dengan kriteria-kriteria tertentu yang mungkin bersifat subyektif, sebab tidak adanya konvensi yang jelas dan pasti tentang puisi (yang baik). ‘Subyektif’ di sini lebih tepatnya sebagai sebuah pilihan yang sesuai dengan selera redaktur, yang kadang tak bisa dipaparkan secara rinci dan jelas. Akibatnya, muncul identifikasi terhadap sebuah corak atau warna puisi yang dimuat media jurnalisme sastra tertentu yang diidentikkan dengan pilihan selera redakturnya. Contoh, pada tahun 70 dan 80-an koran Berita Buana ketika masih memiliki rubrik puisi yang diredakturi Abdul Hadi WM yang identik dengan puisi sufistik, atau majalah Aktuil yang diredakturi Remy Silado dengan puisi mBeling. Kecenderungan identifikasi demikian ini berlangsung juga pada media jurnalisme sastra saat ini, meskipun agak tak mudah untuk merumuskan dan memetakannya secara tepat-menyeluruh.

Sementara itu penyair kita sudah kadung mempertaruhkan dan menggantungkan media ekspresi puisinya melalui media jurnalisme sastra (khususnya koran) dengan semacam ‘histeria publikatif’. Hal ini membuat penyair kita terpaksa (sadar atau di luar sadar) kompromi dalam kerja kreatifnya, menyesuaikan diri dengan corak puisi media jurnalisme sastra yang diharapkan bisa memuat puisinya. Kondisi demikian membuat puisi yang dimuat media dijadikan sebagai konvensi puisi. Salah kaprah ini pun seakan-akan menjadi kesadaran umum penyair kita tentang hakikat kerja kreatif, terutama puisi. Tapi justru pola kerja demikian membuat keseragaman penulisan puisi penyair kita ’selamat’ dan menemukan wilayah atau medium dan memberi ruang yang bisa menampung ekspresinya yang dipercayai dapat memberikan legitimasi kepenyairan, terutama media jurnalisme sastra yang dinilai memiliki citra istimewa. Akibat ketergantungan berlebihan ini, membuat penyair kita menjadi kehilangan kepribadian, mampat eksplorasi kreatifnya yang radikal-alternatif dan sekadar menjadi massa pengikut mainstream puisi tertentu, mungkin, dengan kadar fanatisme yang memalukan.

Gambaran di atas menunjukkan sebuah disorientasi eksistensial penyair kita yang lebih banyak melebarkan ruang legitimasi melalui media jurnalisme sastra dan menciutkan ruang untuk eksistensialisasi individu penyair lewat nilai sastra itu sendiri. Puisi dijadikan jalan pintas yang pragmatis dan efektif untuk mencari sumber pemasok ke dalam ruang eksistensi yang belum penuh dengan cara simbolik hadir menemui publik pembaca yang seluas-luasnya. Sehingga seorang penyair merasa sudah berhasil bila puisinya dimuat media jurnalisme sastra dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya.

Penyair kita tanpa sadar justru lebih banyak ‘belajar’ menulis puisi secara sekilas dari puisi yang dimuat media jurnalisme sastra itu dan sangat jarang membaca, belajar dan melakukan pembandingan khazanah puisi dari literatur (buku) penyair lain (terutama puisi dunia) yang sebenanrya layak untuk dijadikan bahan untuk belajar karena khazanahnya yang begitu beragam dan luas. Puisi koran kemudian menjadi mainstream yang luas dan kuat yang diam-diam ‘melemaskan’ gairah idealisme kerja kreatif yang difference atau alternatif. Kelemasan ini berlangsung massal dan hanya segelintir penyair yang berani dan mampu mengambil jalan lain dan bekerja keras melepaskan diri dari kelemasan massal itu, lalu belajar dan berpaling pada literatur lain yang lebih memungkinkannya mendapatkan keluasan wawasan puitika.

Jam Kerja Laborat

PENYAIR KITA sangat jarang yang memiliki disiplin dan metoda kerja kreatif, atau katakanlah ‘jam kerja’, yang diterapkan secara ketat. Misal, dalam sehari berapa jamkah penyair kita menggeluti puisi, bertarung dengan bahasa, bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan artistik di ‘laboratorium’ kerjanya? Tradisi menulis puisi penyair kita masih bersifat sambil lalu dan lebih mengandalkan keterampilan bakat alam belaka sebagaimana cara kerja seniman tradisional. Payahnya disiplin dan metoda kerja membuat penyair kita terperosok ke dalam kepicikan-kepicikan pada mainstream penulisan yang tidak berkembang dan konservatif, sehingga terpencil dari perkembangan puisi (yang sesungguhnya) jauh di luar sana.

Selain itu, dimensi intelektual penyair kita jarang diasah dengan bahan-bahan wacana sastra dan kebudayaan secara luas, sehingga kesadaran intelektualnya tidak dinamis, bahkan merosot ditandai dengan minimnya pemikiran sastra dari penyair kita. Efek dari kemerosotan dan ketidakdinamisan intelektual ini adalah kekurangmampuan (kemalasan?) untuk mengambil saripati kazanah sastra dan wacana yang ada untuk keperluan memperkaya agenda kerja kreatifnya. Sehingga kritik-kritik puisi yang ada saat ini pun menjadi tidak operasional, karena penyair kita tidak memiliki kepekaan intelektual.

Massa penyair ini kemudian menjadi sekadar para pecandu bahasa yang letih tapi terus saja keras kepala bekerja dengan cara memunguti bias-bias dan remah-remah puisi mainstream yang ada dan tak ada usaha untuk mencoba menembus khazanah puitika yang lebih luas yang masih mungkin dirambahinya. Sebab bagi penyair kita, produktivitas terlanjur jadi ukuran penting. Maka, sebagaimana yang pernah saya ungkapkan, biografi kerja (track record) kepenyairan kerap menjadi kebanggaan dan seringkali direkayasa dengan pembubuhan-pembubuhan biografi kepenyairan yang tak jujur (’Dusta Biografis’ Kepenyairan Indonesia, Republika Minggu, 2 Desember 2001).

Kemana massa penyair kita saat ini akan menempuh arah perkembangannya? Energi budaya yang fantastik itu masih menggeliat-geliat, asyik sendiri dan hiruk-pikuk di tempat di tengah gemuruh percepatan perkembangan ilmu, teknologi maupun cabang-cabang seni lain yang berada di sekitarnya. Betapa luar biasa perkembangan prosa kita dengan sejumlah capaian, masterpiece dan tokoh sastrawannya yang mumpuni dan diakui dunia internasional. Penyair kita sekarang harus menengok serta mempertimbangkan gemuruh di sekitarnya itu untuk menggenjot dan mereformasi hasil kerja kreatifnya seoptimal mungkin, atau hanya akan jadi kerak kebudayaan nasional yang tersisih di negeri sendiri (apalagi bagi standar seni kosmopolit). Percayalah, bila tidak ada perubahan fundamental terhadap pola kerja dan wawasan intelektual yang meluas melampaui batasan-batasan lokal dan nasional, penyair kita kian terpuruk dan menjadi sehimpun massa yang hanya ribut-ribut dengan persoalan-persoalan usang dan klise itu melulu.

* Binhad Nurrohmat, penyair dan kurator Indonesia Literature Watch.

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez