Senin, 13 Desember 2010

Pesantren, yang unik yang benar

Abdurahman Wahid
http://majalah.tempointeraktif.com/

TRADISI PESANTREN
Penulis: Zamakhsyari Dhofier,
Diterbitkan: LP3ES, Jakarta, 1982,
192 halaman, indeks, tabel-tabel dan ilustrasi.

Selasa, 07 Desember 2010

Sisi Religiusitas Joni Ariadinata dalam Sastra

Azwar Nazir*
http://sosbud.kompasiana.com/

Dalam sebuah acara pertemuan sastra di Jogjakarta pada tahun 2005, seorang laki-laki kurus agak tinggi hadir dengan pakaian sederhana, kaos oblong dan celana jeans dengan topi hitam yang agak lusuh bertengger di atas kepalanya. Perhatian saya tertuju pada laki-laki sederhana itu, kumis yang seperti tidak terurus tidak mengesankan dia sebagai laki-laki garang tapi seorang yang merakyat yang luar biasa. Diam-diam saya mendengar bisik-bisik beberapa kawan sesama penulis, “Mas Joni dah datang tuh!”, mendengar namanya saya teringat sebuah tulisan di Majalah Annida edisi ekslusif tentang proses kreatif lelaki pengarang itu.

Awalnya dia tidak kuliah diinstitusi sastra, tapi hanya seorang pemuda tamatan SMA yang mencoba mengadu nasib ke kota. Bekerja serabutan dari kuli bangunan sampai menjadi pengamen ke tempat-tempat kos mahasiswa. Perkenalan lelaki itu dengan dunia kepenulisan karena dia berteman dengan seorang penulis yang mendorongnya untuk menjadi penulis. Belajar otodidak dengan ketabahan yang kuat, akhirnya tahun 1993 cerpen pertamanya dimuat di Surabaya Post, setelah empat ratusan lebih karyanya dikirimkan ke beberapa media. Setelah di Surabaya Post, cerpennya juga keluar di Kompas dan terpilih menjadi cerpen terbaik Kompas, setelah itu terbukalah jalan lempang kepenulisannya.

Semenjak memulai karier sebagai penulis orang-orang mengenalnya dengan nama Joni Ariadinata. Dia dilahirkan di Majapahit, Majalengka pada tahun 1966. Penulis ini telah menerbitkan kumpulan cerpen diantaranya Kali Mati (1999), Kastil Angin Menderu (2000), Air Kaldera (2000), dan Malaikat Tak Datang Malam Hari (2004). Pada tahun 1994 ia meraih Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas atas karyanya yang berjudul “Lampor”. Pada tahun 1997 Joni Aridinata meraih Penghargaan Cerpen Terbaik Nasional BSMI atas karyanya “Keluarga Mudrika”. Pada tahun 2000 dia mendirikan Jurnal Cerpen Indonesia dan Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia. Pada tahun 2004 ia menjadi redaktur di majalah sastra Horison. Joni menerima Anugerah Pena 2005 dari Forum Lingkar Pena (FLP) atas kumpulan cerpennya Malaikat Tak Datang Malam Hari.

Joni Ariadinata (JA) dalam proses kepengarangannya memang dikenal sebagai penulis yang bereksperimental mencari bentuk kepenulisannya sendiri. Sebagai orang yang belajar menulis secara otodidak, JA banyak menemukan corak baru dalam karya-karyanya. S Prasetyo Utomo dalam tulisannya yang berjudul “Generasi Cerpenenis Pasca-Seno Gumira Ajidarma” yang dimuat oleh Koran Republika Ahad, 13 Januari 2002, menyebut nama JA sebagai salah satu penulis yang memiliki corak kepengarangan khas. JA melakukan pembaruan dalam dunia cerpen. Dia melakukan dengan mereduksi bahasa, hingga menampakkan citra puisi dalam narasi-narasinya. Terkesan pada cerpen-cerpen Joni Ariadinata terpilih diksinya, pekat, padat, dan bernas. Ia bisa menghadirkan borok, nanah kehidupan – realitas yang sangat runyam – ke dalam teks sastra yang penuh simbol, tanda, dan pemaknaan. Dengan mereduksi bahasa, ia memang berhasil menghilangkan beban sosiologis pada cerpen-cerpennya, menghindar untuk menjadi nyinyir dan bertendens. Tapi hal yang perlu dijaga padanya adalah agar tak terjerat kredo bahasanya sendiri seperti Sutardji Calzoum Bachri yang berpulang kembali ke pengucapan konvensional.

Salah satu cerpennya yang akrab dengan kemiskinan adalah “Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri”. Sebenarnya cerita ini dibuka dengan hal-hal kecil yang menurut sebagian orang biasa-biasa saja. Tapi JA menggarabnya dengan logika cerita yang sesuai dengan keseharian yang dijumpainya: miskin, lugu, dan memiliki nuansa religiusitas yang kental. Penyakit Asma menjadi pembuka jalan cerita dalam cerpen yang dimuat di Koran Lampung Pos tahun 2002 ini. Seorang tokoh utama Rantawi menderita penyakit asma sudah berpuluh tahun. Rantawi yang sebelumnya hidup cukup mapan memiliki dua hektare sawah, setengah bahu perkebunan kopi, dan satu pabrik penggilingan padi. Tetapi semua kekayaannya itu telah lepas satu persatu dari tangannya untuk biaya pengobatan. Namun semua itu sia-sia saja, tanpa hasil yang memuaskan untuk kesehatan Rantawi.

Walau sudah jatuh bangkrut, Rantawi sebenarnya masih bisa tabah karena dia memiliki keimanan yang cukup kuat. Dia menganggab mungkin penyakit itu sebuah ujian untuknya. Tapi suatu ketika keimanannya itu runtuh sehingga Rantawi ingin bunuh diri yang merupakan perbuatan yang dilarang agama. Peristiwa itu berhubungan dengan cinta dan perasaan. Sebagai seorang ayah, Rantawi sangat mencintai dan menyayangi anak gadisnya Ratri. Sebagai gadis dewasa Ratri sudah waktunya menikah. Dia sudah punya calon suami Basuki, anak Mayor Sulaiman.

Namun rencana pernikahan itu kandas dengan alasan yang tidak bisa diterima oleh Ratri dan Rantawi. Mayor Sulaiman menolak Ratri karena bapaknya berpenyakit asma, yang menurut keluarga Mayor Sulaiman adalah penyakit keturunan. Keluarga Mayor itu tidak mau masa depan Basuki hancur karena penyakit keturunan itu. Kandasnya rencana perkawinan itu membuat Ratri frustasi. Anak gadis Rantawi sudah beberapa hari mengurung diri di dalam kamar, dia beranggapan bahwa tidak akan ada lagi laki-laki yang mau menikah dengannya. Hal itu membuat Rantawi terpukul dan menyalahkan Tuhan, lalu dia minta izin untuk bunuh diri dengan meminum racun babi.

Detik-detik sebelum Rantawi bunuh diri, asmanya kumat. Perasaannya dia telah meminum secangkir kopi yang bercampur racun babi. Dia merasa sudah mati, padahal dia pinsan selama dua jam lalu dibawa istrinya ke rumah sakit. Setelah sadar, Rantawi merasa dadanya lapang, dokter mengatakan bahwa penyakitnya akan sembuh. Rantawi menyadari bahwa kehendak Tuhan itu bisa menciptakan apa saja, termasuk menyembuhkan penyakitnya saat dia sudah putus asa. Cerita seharusnya berakhir bahagia karena keluarga Mayor Sulaiman mau menerima anak Rantawi dan melanjutkan untuk menikahkan anak mereka.

Tapi cerita lain mengalir seiring keluguan orang-orang kampung seperti Rantawi. Rantawi menceritakan pengalamannya minum racun babi itu pada Wardoyo. Laki-laki itu menceritakan bahwa mertuanya sakit asma dan tidak sembuh-sembuh. Mengetahui Rantawi bisa sembuh dari penyakit asma, Wardoyo bertanya apa obat yang diminum Rantawi. Rantawi dengan kepolosan menceritakan bahwa racun babi telah menyembuhkan penyakitnya. Karena itu Wardoyo pun memberi mertuanya racun babi, tapi mertuanya itu mati setelah meminum racun babi.

Wardoyo ditangkap polisi. Setelah melalui pemeriksaan Wardoyo menyeret nama Rantawi ke kantor polisi. Walau berkata tegas bahwa dia tidak pernah berkomplot untuk membunuh Abah (mertua Wardoyo), tapi tetap saja Rantawi mendekam dipenjara. Sesalpun datang menghampiri Rantawi, lebih baik mati dari pada dipenjara dengan harga diri porak poranda.

Akhir cerita itu sangat religius. Walau tanpa tendensi apa-apa, tapi JA mengemukakan bahwa betapa Tuhan kini tengah memperhitungkan dosa-dosa Rantawi yang memilih untuk mati bunuh diri. Tuhan menjawab tantangan Rantawi ketika keimanannya yang kokoh rubuh dengan memilih mati bunuh diri. Benarkah tak ada dosa yang tak diperhitungkan? Pertanyaan terakhir yang mengakhiri cerpen “Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri” itu memuat pesan agama yang mendalam bagi sebuah karya. Bisa jadi pertanyaan terakhir itu tidak hanya untuk Rantawi tapi juga untuk banyak orang yang pernah berdosa.

Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri?

Joni Ariadinata
http://joniariadinata.wordpress.com/

Segelas racun babi mengepul di atas meja. Asap kretek melenggok dari mulut menuju petromaks, membentuk gulungan hening. Abah Marta merapatkan handuk dari sergapan dingin di leher dengan gigi gemerotak. Di balik jaket berkaos tebal tersembunyi dada kering kerempeng mengatur desahan napas. Tersengal-sengal karena penyakit asma. Terengah-engah menimbulkan bunyi mirip pompa air mekanik. Mencengik. Mata keriputnya memicing, menatap Wardoyo menantunya yang tengah mempermainkan asap. Ragu-ragu. Berganti-ganti dengan fokus gelas racun menantang di meja. Suara dengkuran menembus gorden pintu di belakangnya; kamar Ambu Marsinah tidur. Ada kemerosak angin. Ada kemerosak bambu-bambu bergesekan di luar.

“Mulailah.” Wardoyo berkata pendek. Menghisap asap kretek ke dadanya dalam-dalam. Ada ketegangan merayap. Ada kegamangan mengalir. Abah Marta sekali lagi menatap wajah menantunya. Kepala Wardoyo mengangguk. Setengah dipaksa setengah putus asa, tangan Abah Marta maju meraih gelas. Racun hangat, manis bercampur kopi, mengepul hangat dalam genggaman. Gemetar. Bibir tuanya gagal tersenyum. Tak tega mata Wardoyo melambungkan ke langit-langit, melihat dua ekor cecak berkejaran. Menunggu.

“Pahit!” Abah Marta menghentakkan cangkir. Mengusap bibirnya cepat. Kemudian meludah, getir. Setengah menit belralu, ia terhenyak. Wajahnya pucat. Panas merajam-rajam perutnya tanpa ampun. Menyeruak ke atas, membetot-betot usus. Lehernya tercekik: “Wardoyyy…” ia berteriak parau. Tubuhnya lantas menggeblag jatuh. Sebelum kakinya menyepak meja dan kursi yang ia duduki terbalik. Suaranya gaduh. Abah Marta berkelojot-kelojot sekarat. Matanya membeliak. Kemudian sunyi. Mati.
***

BERPULUH tahun Rantawi didera penyakit menakutkan. Jika hawa malam berubah dingin, maka sesuatu menggodam dadanya telak. Gumpal kedua belah paru-parunya terasa terhimpit beban berton-ton dan mencekik saluran udara menuju arah kerongkongan. Di saat itulah dunia bagi Eantawi amat gelap dan sumpek. Satu-satu helaan napas ia keluarkan dengan susah payah, menimbulkan bunyi cengik yang menjijikkan; bahkan bagi telinganya sendiri. Barangkali jika bukan karena Ratri, anak perempuan satu-satunya yang mengeluh putus asa, ia tak akan setega ini: membunuh diri dengan segelas kopi bercampur racun babi. Memang Rantawi dengan kehidupannya telah hancur luluh: dua hektare sawah, setengah bahu perkebungan kopi, satu pabrik penggilingan padi telah lepas satu persatu dari tangannya untuk pengobatan tanpa hasil. Tapi melintas pikiran untuk bunuh diri, tak pernah sedikit pun terjangkau. Terlebih karena Rantawi selalu menyimpan ketahanan iman dengan tak pernah lekang berdoa. Berharap satu kemukjizatanakan datang pada suatu ketika.

Tapi malam ini, Tuhan telah berlaku sangat tidak adil. Rantawi gamang atas kemauan Tuhan pada dirinya. Keluarga Mayor Sulaiman mendadak memutuskan pertunangan sepihak bagi anaknya, Ratri. Tentu, adalah pukulan batin teramat hebat karena mereka justru menyalahkan penyakit yang Rantawi derita sebagai alasan pokok. Asma disamaratakan dengan sejenis lepra! Mereka menuntut dikembalikannya harta panjer yang diserahkan melalui upacara sukacita.”Mereka takut Ratri hanya akan menghancurkan karier dan masa depan Kang Basuki,” begitu kata Ratri.Dengan tangisan tersedak-sedak. “Seperti Bapak. Karena asma adalah penyakit keturunan.” “Begitu yakin, apa mereka sudah memeriksamu?” “Mereka menolak. Juga Kang Basuki,”Ratri putus asa. Tiga hari kemudian tak bisa ditanya. Ia hanya mengurung diri dalam kamar. Rantawi marah. Amat marah. Sungguh nasib telah memain-mainkannya seperti potongan gabus dalam amukan air deras. Tapi penegasan Keluarga Sulaiman memang beralasan. Satu-satunya yang patut dipersalahkan pasti hanyalah Tuhan. Begitulah ketika tangannya mantap menuangkan racun. “Kini, tak mungkin ada lagi pemuda yang mau mendekati Ratri, Ayah!” Rantawi memandang meja tertegun-tegun. Sejentik kegamangan menggelepar, tapi gumpal dendam menyumbatnya cepat. Irama jantung berlomba dengan kesunyian.Ya, ya, tidak akan ada pemuda yang mau menyunting ratri selama ia ada — begitu barangjali keinginan Ratri. Entah karena keturunan, entah karena beban bahwa kenyataan Rantawi tak akan bisa lagi hidup tanpa sebuah gantungan. Diseretnya langkah menuju kamar Ratri. Anak itu tertidur dengan badan melungkar, penuh beban. Manik-manik keringat bermunculan pada leher dan ujung kening; ia hampiri kemudian mengusapnya lembut. Seekor nyamuk yang hinggap di betis dijentiknya hati-hati. Dirapatkannya selimut, kemudian keluar. Kekosongan menyergap ketika air mata dari sudut matanya jatuh. Segelas racun babi yang terdiam di meja. Rantawi melangkah ke kamar Ijah, isterinya. Ijah dengan gurat ketuaan yang makin kentara. Tersenyum dalam ketenangan mata terpejam. Begitu tabah. Bertahun-tahun wanita di hadapannya harus bekerja sendiri menggarap sawah yang masih tersisa. Rantawi tak sanggup lagi berpikir dan merasa. Langkahnya mantap. Meraup gelas. Menenggaknya dalam satu tarikan napas… Putus asa. Gendang telinganya menangkap jerit tangis meneluwung tak bertepi. Badannya terguncang-guncang. Suara-suara teriakan, derit roda, suara-suara sepatu. Kemudian sepi. Senyap. Di manakah? Mungkinkah Tuhan…

Satu kejaiban terjadi: ia menangkap mata Ratri, mata isterinya, mata Basuki. Kemudian badannya melambung ingin meraup. Sebuah tangan kokoh menahannya.Rantawi harus beristirahat, lamat-lamat katanya. Aneh, ia merasa betapa dadanya teramat lapang. Napasnya longgar tak tersumbat bunyi cengik menjijikkan. Kepala dan tubuhnya ringan. “Dua hari engkau pingsan,” begitu kata pertama ia dengar. Suara isterinya. Betulkah ia masih hidup? Rantawi ingin berteriak, “Kenapa aku di sini? Betulkah kamu Ijah? Di manakah aku?””Asmamu kumat,” isterinya menjelaskan. “Aku membawamu ke rumah sakit. Sudahlah Kang, istirahat yang tenang. Kata dokter, asmamu kemungkinan besar sembuh. Entah kenapa.” Tuhan maha adil, begitulah ketika Rantawi tersungkur dalam sujud. Mohon ampun dan penyesalan atas sangka buruk. Tiga hari setelah berbaring di Rumah Sakit dan dinyatakan sembuh total. Empat ekor kambing disembelih sebagai rasa syukur, dan seluruh kampung turut menikmatinya. Juga tentu, Basuki. Keluarga Mayor Sulaiman telah datang turut mengucapkan gembira dan minta maaf. Tuhan maha besar.
***

SEHARI setelah syukuran, Wardoyo ditangkap. Berita menjalar cepat dari mulut ke mulut. Wardoyo membunuh Abah Marta dengan secangkir kopi dan racun babi! Pembunuhan amat keji, begitu komentar mereka. Mayat Abah Marta ditemukan membiru. Visum menyebutkan ususnya hancur membusuk. Orang-orang kampung mengutuk Wardoyo. Melemparinya dengan batu: “Kafir! Mertuamu sendiri tega kau bunuh, heh?” ramai berteriak. Riuh menggelandang Wardoyo, “Kau bunuh atas dasar apa, Wardoyo?” “Rantawi. Demi Allah, Mang Rantawi yang menyuruhku…” Rantawi terbadai. Rantawi hanya bisa mematung, tak mampu berbuat apa-apa. Teror datang menyerganya begitu tiba-tiba. Sungguh ia begitu menyesal, amat menyesal telah menceritakan seluruh rahasia kesembuhannya pada Wardoyo, adik iparnya. “Racun babi,” begitu ia menceritakan dengan mantap: “Entahlah. Segala obat telah diupayakan; tapi justru racun babi yang membikin aku sembuh. Heh, bukankah mertuamu menderita asma sepertiku?” “Bagaimana kalau ia mati?” “Tuhan telah menunjukkan sebuah keajaiban. Bahkan di dalam racun babi, bisa terdapat obat. Obat mujarab. Masih tidak percayakah kamu, Wardoyo?” Dan kini ia sangsi. Diam-diam Rantawi merasa, ia ikut bandil besar dalam pembunuhan Abah. Berhari-hari Rantawi tak sudi makan. Sampai ketika polisi datang menjemputnya untuk ditanyai: “Demi Allah, saya tidak berkomplot untuk membunuhnya!” katanya.Keras. Dan tubuh Rantawi digelandang hina. Riuh hantaman puluhan caci; orang-orang kampung bergimbung. Menuding berteriak. Kelebat bayangan Ratri ambruk. Lalu Ijah? Bergetar. Keringat dingin memercik. Gusti Allah… bayangan yang buruk. Ia seperti melihat betapa Tuhan kini tengah bergitung; menjawab tantangannya ketika ia memilih mati bunuh diri. Benarkah tak ada dosa yang tak diperhitungkan? Dan kini Rantawi dipaksa menggigil, tersentak berteriak: “Alangkah lebih terhormat mati ketimbang terhina di penjara…”

Bandung, 1993

Lampung post 04/03/2002

Lindu

Zainal Arifin Thoha
http://hidupbersamabencana.wordpress.com/

SUDAH hampir sebulan ini, burung gagak berkaok-kaok mengitari daerah kami, terutama di malam hari. Konon, kata para sesepuh, bila burung gagak berkaok-kaok di malam hari, seperti itu, adalah pertanda akan ada kematian. Tetapi, fenomena burung gagak itu tak hanya terjadi di daerah kami saja, melainkan di daerah lain, menurut kawan saya, juga acap terdengar.

Bagi kami, antara percaya dan tidak dengan pertanda alam itu, merupakan hal lumrah, lantaran antara kami dengan generasi masa lalu terpaut jauh dalam hal keyakinan ataupun ilmu titen.

Tapi nyatanya, Mbah Imam, sesepuh masjid yang juga abdi dalem keraton menangkap isyarat lain. Itu sebabnya, hampir saban hari ia membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani. Ketika saya tanyakan kepadanya, untuk apa membaca Manaqib seperti itu, Mbah Imam menjawab untuk keselamatan. Bagi siapa? Ya, bagi diri sendiri, keluarga, para tetangga, serta masyarakat pada umumnya.

Nah, ketika Lindu terjadi di hari Sabtu pagi itu, saya teringat dengan aktivitas yang dilakukan Mbah Imam. Bagaimana kabar beliau? Sebab yang saya lihat dari berita televisi, rumah-rumah di daerah Mbah Imam telah luluh lantak, bahkan beberapa orang menjadi korban dari bencana itu.

Saya sendiri, bersama keluarga, sehari sebelum lindu atau gempa itu terjadi, telah pergi ke Jawa Timur, selain untuk suatu acara juga kangen dengan orang tua. Maka demi mendengar Yogya digoyang gempa, kami segera balik. Sesampainya di Yogya, saya segera meluncur ke rumah Mbah Imam. Namun, yang saya dapati hanya rumah beliau yang utuh, sedangkan Mbah Imam sendiri menurut informasi yang saya dapatkan dari tetangganya, tengah pergi ke rumahnya yang berada di gunung daerah barat.

Sepanjang perjalanan menuju dan balik dari rumah Mbah Imam, saya menyaksikan rumah-rumah yang berobohan, hanya tinggal puing-puing. Begitu pula, saya dapati, keluarga-keluarga yang hidup di tenda-tenda darurat. Pada saat seperti itulah, teringat dengan apa yang disampaikan seorang kiai muda yang saya temui di Kediri saat bencana Yogya terjadi.

”Bencana itu memang tak bisa dihindarkan,” ucapnya.

”Mengapa?”

”Ya, karena memang sudah saatnya, dan semuanya itu ada hubungannya dengan ulah manusia sendiri.”

”Maksudnya?”

”Alam sudah tak lagi sabar menyaksikan tingkah polah manusia.”

”Mengapa yang banyak menjadi korban rakyat kecil?”

”Para korban itu, sebenarnya justru diselamatkan, utamanya dari bencana yang lebih besar.”

”Maksud bencana yang lebih besar?”

”Saya sendiri tidak begitu tahu. Menurut guru saya, kurang lebih sebulan sebelum bencana itu terjadi, beliau ditemui Nyai Roro Kidul yang mengabarkan akan datangnya lindu yang akan banyak menelan korban.”

”Lantas, mengapa…” saya belum sempat menyelesaikan kalimat.

”Iya, sebenarnya guru saya telah mencoba berunding dan juga berdoa kepada Tuhan, namun lindu itu memang sudah waktunya terjadi, tak bisa dielakkan. Bahkan, kata beliau, bencana akan terus terjadi hingga tahun 2010, di mana-mana di negeri ini.”

”Terus,” saya bertambah penasaran.

”Menurut saya sendiri, yang dimaksud bencana lebih besar itu, tidak lain adalah bencana akidah, bencana moral, bencana iman. Mereka, para korban itu, telah diselamatkan Allah dari bencana yang jauh lebih berbahaya. Sebab rusaknya iman, rusaknya moral, jauh lebih berbahaya dari bencana.”

Ya, apa yang disampaikan kiai muda yang saya temui di Kediri itu masih terus terngiang, terbayang-bayang, hingga saya sampai di rumah kembali. Kepada istri, saya sampaikan bahwa Mbah Imam tak berhasil saya temui.

Anehnya, sore tatkala saya masih tertidur kecapekan, Mbah Imam telah hadir di rumah kami.

”Bukankah Mbah Imam pergi ke gunung di barat?” tanya saya pada beliau.

”Benar, saya memang nyambangi keluarga dan saudara saya di sana.”

”Lantas, kok sekarang sudah di sini lagi?”

”Kata tetangga saya, Sampean da-tang ke rumah saya.”

Mbah Imam terlihat tenang-tenang saja. Tapi justru itulah yang makin membuat saya penasaran kepadanya. Sebab tidak hanya sekali ini perilaku dan tindakan Mbah Imam terasa nyeleneh di mata saya. Setahu saya, daerah gunung barat sangat jauh dari sini, diperlukan waktu kurang lebih seharian untuk perjalanan.

”Menurut Panjenengan, apa sebenarnya penyebab semuanya ini, Mbah?” saya memancing hikmah dari beliau.

”Ya, seperti yang pernah saya sampaikan sejak dulu itu, bahwa apa pun bencana yang terjadi menimpa manusia, itu disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.”

”Tapi, kan banyak yang tak berdoa terkena bencana itu?”

”Bencana itu, mengandung di dalamnya teguran dan peringatan. Dan menjadi hak Allah untuk mengambil orang ini dan orang itu, yang kita sebut sebagai korban. Tapi intinya, terhadap bencana, seperti lindu besar itu, kita musti pandai-pandai mengambil hikmah.”

”Terus, apa yang musti kami lakukan, Mbah?”

”Kalau kita masih dilindungi oleh Allah, itu berarti kita diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Jangan sampai kita berbangga, bahwa kita yang diselamatkan berarti kita tak memiliki banyak dosa. Tidak begitu. Sebaliknya, kita musti lebih banyak introspeksi, memperbaiki diri dan menambah rasa peduli terhadap sesama. Jangan sampai kita bertambah egois dan mementingkan diri sendiri. Sebab nyata-nyata hanya Allah yang paling berkuasa. Kita, manusia ini, bergelimang dosa dan tak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali kekuatan yang telah diberikan oleh Allah Swt.”

Tidak seperti biasanya, sore itu Mbah Imam sepertinya terburu-buru. Saya tak habis mengerti, orang setua beliau ternyata memiliki kepedulian yang tinggi. Sewaktu pamit dari rumah saya, beliau bilang hendak mengunjungi orang-orang yang tertimpa bencana di daerah selatan.

27 AGUSTUS 2005

Abdul Rosyid
http://sastra-indonesia.com/

Suasana kedamaian terasa kental melapisi tiap sudut keadaan Salafiyah yang berjalan pelan namun penuh kepastian. lantunan-lantunan kerinduan mengalun mesra memuji kebesaran Sang Pencipta. tapi ditengah-tengah kemesraan itu, terlilhat sebagian santri sibuk menyiapkan panggung dan terop untuk acara besok, sebab Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan dipilih sebagai tempat acara pertemuan ulama’ se-Jawa Timur, guna membahas UUD 1945.

Sore itu angin berhembus begitu wajar, mengelus bangunan Salafiyah yang berdiri kokoh dan ramai menemani para santri yang selalu diliputi oleh rahasia-rahasia sentuhan Ilahi yang sanggup memetakan bongkahan-bongkahan hati. ini baik ini tidak baik dan yang ini kurang baik lewat hati yang begiti lama berkarat tetesan-tetesan duka sedikit banyak mampu mengubah sebongkah batu hitam menjadi mudah untuk berair mata.
***

Usai rutinitas pembacaan aurad Rotibul Haddad nampak wajah-wajah yang mulai tersentuh oleh rasa kantuk dan lelah. setelah dari Ashar tadi duduk bersila melakukan aktifitas kewajiban pesantren. adzan Isya’pun terdengar mengalun sama seperti tempoe doeloe, saat Kiai Abdul Hamid masih memangku Salafiyah.

Samar-samar terdengar bahwa nanti setelah jamaah Isya’, para santri disuruh membaca Al Qur’an satu juz satu juz, lalu dalam pikiranku mengatakan kemungkinan ini untuk kelancaran acaa besok. aku masih belum menyadari apa sebenarnya yang terjadi, hanya saja aku merasa da kejanggalan, karena jamaah Isya’ tadi begitu cepat kurasakan tak seperti biasanya. lalu dalam benakku timbul pertanyaan “apa yang terjadi?”.

Pembacaan Al Qur’an terdengar riuh dan penuh khusyu’, tanpa pernah menyadari bahwa kejadian besar telah terjadi, kejadian yang akan mengubah suasana ini menjadi tetesan air mata menyedihkan. ya saat itu aku dibisiki oleh temanku

” Sid, ente wes krungu?”.

“aku tidak tahu, sebenarnya apa yang terjadi?”. aku balas bertanya.

“Kiai Nu’man wafat!”

langsung saja aku rasakan aliran darahku seperti tersentak oleh jawaban itu.

“Inna Lillahi wa inna ilaihi roji’un…..

perlahan-lahan suasana di musholla iyu goyah oleh pertanyaan rasa ingin tahu, benarkah berita yang terdengar dari bisik-bisik santri, namun ayat-ayat Al Qur’an terus terdengar ditelingaku. saat itu perasaanku berbaur oleh rasa kaget dan sedih yang masih ragu untuk menangis..

tiba-tiba terdengar seperti ada keributan di halaman musholla, spontan aku menoleh kebelakang, dan kulihat panggung yang tadi sore telah siap, dibongkar dengan paksa. melihat itui yakinlah diriku bahwa kabar dika itu memanng benar adanya.
***

Jenazah Kiai Nu’man belum juga datang, para santri menunggu penuh cemas, aku masuk kemara, membuka baju untuk sekedar istirahat sejenak. sekitar jam 10.30 malam, ada suara yang berteriak

“Jenazahnya datang…!”

dengan cepat aku segera keluar ke musholla, terlihatlah mobil warna merah memasuki halaman dan disusul dibelakangnya mobil RSI Surabaya yang dikawal oleh beberapa banser. saat iti halaman pondok Salafiyah sudah mulai penuh oleh para antri dan orang-orang kampung. lalu terdengat suara dimikrofon

“Bismillahirrohmanirrokhim Qul huwallahu ahad allahusshomad lamyalid wa lam yulad wa lam yakunlahu kufuan ahad….”

bacaan itu terus terdengar membuat suasana semakin tak bisa kunamai.

Aku hanya bisa berdiri diserambi musholla sambil menyasikan kerumunan manusia yang hanya ingin sekedar menyaksikan dan sedikit mendekat kepada sosok jenezah seorang ulama’ yang mereka cintai. dan yang mereka segani sebagai panutan tentang bagaimana menjalani hidup. pemandangan didepanku terasa kuat mengoyak-ngoyak ketenangan pikirku. dalam dadaku seperti ada semacam aliran listrik yang menjalar perih seperti ingin mnangis, tapi tak mampu, dadaku tersa sesak oleh perasaan duka yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. dalam diriku berkecamuk perasaan yang berbenturan dengan apa yang sedang kusaksikan. mobil yang beriis jenazah Kiai Nu’man dikerumuni oleh para pecintanya, hingga jenazah tak bisa dikeluarkan, sebab pintu mobil tak punya cukup ruang untuk dibuka.

dari pihak keluarga jenazah, Kiai Idris dan Kiai Taufiq dan para Kian yang lain sudah berdiri dikantoran, menyuruh agar jenazah segera diangkat keluar. dari jauh seperti terdengar

“minggir…minggir…minggir…!”

sambil tanganya memberi isyarat dengan cepat, agar orang-orang menjauh dari mobil. tapi kerumunan orang-orang itu seperti tak menghiraukan, mereka tak juga pecah dan buyar. sementara dari pengeras suara terus menggema, membuat malam itu bertambah mendebarkan.

“Qul huwallahu ahad…………………….”

Selang beberpa menit akau masih berdiri mematung tanpa mampu bergerak. akhirnya jenazah Kiai Nu’man bisa diangkat keluar. semua yang hadir ingin menyentuh jenazah Kiai Nu’man, tapi jenazah itu lanngsng diawa masuk kedalam kantoran. aku masih kakku dengan apa yang ada didepanku. lalu terdengar suara ”

“bagi semua santri harap segera mengambil air wudlu dan membaca yasin”

aku langsung beregas untuk mengambil air wudlu. aku masuk kamar sebentar guna menenangkan perasaan yang tak bisa kupahami.

Suara yaasin bergemuruh memenuhi keadaan malam itu. pembacaan yasin dipimpin oleh Kiai Umar. setelah tahlil doapun terdengar terasa menyentuh dijantungku.

“Ya Allah….
Ya Rohman…..
Ya Rokhim…..
Ya Maliku….
Ya Quddus….

doa terasa cepat mengalun, suara isak Kiai Umar membuatkuterhenyak sekali lagi.aku seperti ingin menangis tapi tertahan begitu sesak………………………
………………………………

PASURUAN, 28 Agustus 2008

Sepuluh Ribu Rupiah untuk Tuhan

Teguh Winarsho AS
http://www.suarakarya-online.com/

DUDUK menyendiri di pojok serambi masjid usai shalat tarawih, Darbi menahan lapar. Wajahnya pucat. Tubuhnya berkeringat. Perutnya terus melilit-lilit perih, seperti disengat kalajengking. Wajar, sewaktu buka puasa sore tadi perutnya hanya terganjal dua potong pisang goreng dan segelas air putih.

Darbi tak tega menyantap nasi dan lauk sekadarnya saat melihat dua anaknya yang baru kelas empat dan tiga SD menjalani puasa pertama mereka. Meski menahan lapar, tapi terselip rasa bangga di dada Darbi melihat dua anaknya yang masih kecil sanggup puasa sehari penuh. Anak-anak lain jarang yang sanggup melakukannya.

Riuh rendah suara orang ngobrol dan tertawa di serambi masjid sedikit pun tidak menerbitkan minat Darbi untuk bergabung. Darbi memilih duduk menyendiri di pojok. Perutnya semakin sering berkerucuk, melilit perih. Berkali-kali dilihatnya Haji Barkah di serambi masjid, mengenakan surban dan kopiah putih dikelilingi beberapa anak muda. Tapi Haji Barkah seperti tak melihat keberadaan Darbi. Haji Barkah terus ngobrol dan tertawa bersama anak-anak muda. Terlihat cerah wajah Haji Barkah. Terlihat bersemangat laki-laki tua itu saat menceritakan kejadian-kejadian lucu. Kadang terbesit keinginan di hati Darbi mendatangi Haji Barkah. Menyibak kerumunan anak-anak muda itu lalu membisikkan sesuatu di telinga Haji Barkah. Darbi tahu Haji Barkah pasti tak keberatan. Uang sepuluh ribu bagi Haji Barkah yang memiliki puluhan hektar sawah dan dua toko kelontong di pasar, tentu tidak seberapa. Semua orang kampung tahu Haji Barkah kaya raya. Tapi Darbi selalu ragu, gamang. Anak-anak muda itu pasti akan bertanya-tanya dan menatap heran. Ah, Darbi tak ingin dirinya tampak begitu hina di hadapan anak-anak muda itu. Darbi tak mau keinginannya pinjam uang pada Haji Barkah menimbulkan rasa belas kasihan dari anak-anak muda itu. Cukuplah dirinya yang menanggung semuanya.

Dalam diam Darbi merutuki nasibnya yang kurang mujur. Mestinya usai buka puasa sore tadi ia langsung mendatangi rumah Haji Barkah, pinjam uang. Tentu tak ada orang lain yang tahu kecuali keluarga Haji Barkah. Tentu Haji Barkah juga akan langsung meminjaminya uang. Uang sepuluh ribu rupiah bagi orang seperti Haji Barkah, tentu tak seberapa. Tapi, ya, ya, Darbi ingat, ia memang sengaja tak datang ke rumah Haji Barkah karena tahu istri Haji Barkah terkenal pelit. Tak habis pikir Darbi jika datang ke rumah Haji Barkah, tapi yang menemui istrinya.

Malam kian larut. Suara orang mengaji terdengar kian sayup dan redup. Darbi terus menunggu. Menunggu anak-anak muda itu pulang sehingga ia punya banyak kesempatan untuk bicara empat mata dengan Haji Barkah. Tapi anak-anak muda itu justru semakin betah mendengar cerita-cerita lucu Haji Barkah. Bahkan beberapa anak muda yang baru selesai tadarus, ikut bergabung di situ. Darbi merasa ada sesuatu yang mulai menusuk-nusuk perutnya, tajam.

Tiba-tiba Darbi ingat dua anaknya di rumah. Lima jam lagi mereka harus makan sahur. Tapi sudah tak ada beras tersisa di dapur. Satu-satunya harapan hanya pada Haji Barkah. Sepuluh ribu rupiah.

* * *

TAMPAK dua anak muda keluar dari dalam masjid membawa kotak infak. Pada bulan ramadan perolehan infak jauh lebih besar dibanding bulan-bulan lainnya. Diedarkan pada jamaah shalat subuh dan tarawih. Dua anak muda itu membawa kotak infak ke tengah kerumunan di serambi masjid, di hadapan Haji Barkah. Seperti biasa kotak infak itu akan dibuka dan dihitung bersama-sama lalu dicatat di papan tulis digabung dengan saldo hari kemarin.

Hati-hati dua anak muda itu membuka kotak infak dan menuang isinya. Tampak pecahan uang logam dan kertas berhamburan di lantai, beberapa berdenting menggelinding. Takjub mata Darbi menatap lembaran-lembaran uang itu. Kantuknya berangsur lenyap. Darbi tahu di mana uang itu nanti akan disimpan.

“Jumlah semuanya enam puluh dua ribu tiga ratus rupiah! Semoga barokah!” Berkata Haji Barkah penuh semangat sambil menggenggam uang infak ditunjukkan pada anak-anak muda di sekelilingnya yang tanpa dikomando segera mengangguk-angguk takzim, mengamini.

“Tapi biar kas masjid kita ini jumlahnya cepat banyak, akan kutambah lagi.” Berkata demikian Haji Barkah mengeluarkan satu lembar uang dua puluh ribu dari saku baju. Kembali Haji Barkah mempertontonkan uang itu pada anak-anak muda yang kembali mengangguk-angguk takzim.

Untuk kedua kalinya malam ini Darbi merasa ada sesuatu yang menusuk-nusuk perutnya, tajam.

* * *

MALAM dingin. Satu-persatu anak-anak muda itu pulang. Lalu Haji Barkah yang terakhir. Tak ingin kesempatannya hilang, Darbi cepat-cepat bangkit dari pojok serambi masjid menghampiri Haji Barkah. Pulang bersama melewati jalan kampung remang. Kabut mulai turun menyelimuti lampu-lampu di pinggir jalan. Tapi entah kenapa Darbi masih dicekam ragu, gamang, mengutarakan niatnya pinjam uang.

“Kudengar kedua anakmu sudah mulai puasa penuh,” ucap Haji Barkah di tengah jalan.

“Alhamdulillah, Pak Haji.” Darbi menjawab dengan bibir pucat gemetar menahan lapar.

“Bagus, bagus. Pendidikan agama memang harus ditanamkan sejak dini. Mudah-mudahan mereka tidak mengikuti jejak Ibunya.”

Semula Darbi tidak sadar dengan apa yang dikatakan Haji Barkah. Tapi ketika kemudian sadar, Darbi tersentak menunduk, merah padam mukanya. Teringat Darbi, mantan istrinya yang sudah pisah dua tahun lalu, kini memang suka dibawa pergi laki-laki. Semua orang kampung tahu. Sebenarnya sudah lama Darbi ingin membunuh ingatannya pada perempuan itu, tapi orang lain entah disengaja atau tidak justru sering mengingatkannya.

Darbi dan Haji Barkah terus berjalan beriringan. Rumah Haji Barkah semakin dekat. Membuat Darbi kian dicekam gelisah. Kesempatan untuk pinjam uang tinggal sebentar lagi. Darbi menghirup nafas panjang mencoba memberanikan diri. “Hmm, maaf, Pak Haji, saya mau merepotkan Pak Haji.” Terputus sejenak suara Darbi menahan sungkan. “Saya mau pinjam uang sepuluh ribu. Insya Allah lusa saya kembalikan.”

Haji Barkah menoleh menatap Darbi lalu buru-buru merogoh saku bajunya. Masih ada selembar sepuluh ribu kusam. “Aduh. Darbi, Darbi, kenapa kamu nggak bilang waktu di masjid tadi? Uangku tinggal sepuluh ribu. Kamu tahu sendiri, uang ini jatah untuk infak subuh besok. Aku harus memberi contoh pada orang-orang kampung bagaimana cara memakmurkan masjid. Besok pagi saja kalau istriku sudah berangkat ke pasar, kamu datang ke rumah” Haji Barkah menepuk-nepuk pundak Darbi.

“Tapi.” Belum selesai Darbi bersuara, Haji Barkah lebih cepat menukas.

“Sudahlah, besok pagi saja. Kamu tidak perlu pinjam, tapi kukasih. Cuma sepuluh ribu kan? Jangan kawatir.” Berkata demikian Haji Barkah belok menuju rumahnya. Langkahnya gegas, tergesa.

Darbi seperti masih ingin mengucapkan sesuatu, tapi lidahnya benar-benar kelu.

* * *

PEDIH dan teriris-iris hati Darbi melihat dua anaknya tidur beralas tikar. Tiga jam lagi ia harus membangunkan kedua bocah kecil itu untuk makan sahur. Tapi hingga saat ini Darbi tak pegang uang sepeser pun. Haji Barkah, satu-satunya harapannya baru menjanjikan besok pagi setelah istrinya berangkat ke pasar. Tiba-tiba berkelebat dalam benak Darbi lembaran-lembaran uang infak yang tadi ia lihat di masjid. Beberapa lembar uang itu tampak masih baru dan licin. Darbi tahu di mana tempat menyimpannya.

Niat Darbi sudah bulat. Darbi kembali keluar rumah berjalan mengendap-endap menghampiri masjid. Menyelinap masuk ke dalam masjid ketika situasi benar-benar sudah aman. Di dalam masjid Darbi melihat dua anak muda tidur pulas di dekat mimbar. Sejenak Darbi menghentikan langkah, tiba-tiba ragu dengan niatnya. Tapi bayangan kedua anaknya yang besok harus puasa terus berkelebat-kelebat dalam benaknya. Darbi segera menghampiri salah satu ruangan tempat menyimpan uang infak. Darbi bersyukur, pintu ruangan itu tidak dikunci. Hati-hati Darbi membuka kotak infak lalu mengambil uang sepuluh ribu rupiah dari situ. Pulang.

* * *

SESAK dan sengal nafas Darbi duduk di kursi menghadap meja makan. Wajahnya tampak letih, pucat, berkeringat. Perutnya semakin terasa perih, melilit-lilit. Matanya mulai berkunang-kunang. Sepanjang hidup baru kali ini ia mencuri. Ia tahu hukuman apa bagi seorang pencuri. Tapi sebentar lagi ia dan kedua anaknya perlu makan sahur untuk menjalankan puasa di hari kedua. Puasa hukumnya wajib. Dan satu lembar uang sepuluh ribu yang baru ia ambil dari kotak infak masjid masih erat dalam genggaman tangannya. Uang itu nanti akan ia belanjakan untuk beli makan sahur bersama kedua anaknya.

Darbi masih mengatur nafasnya yang sesak, sengal, ketika tiba-tiba Niken, anak sulungnya bangun berjalan menghampiri. “Tadi Ibu datang. Ngasih duit.” Suara Niken serak mengangsurkan satu lembar sepuluh ribu pada Darbi.

Gemetar tangan Darbi sewaktu menerima uang itu. Darbi tahu dari mana uang itu didapat mantan istrinya. Kini di tangan Darbi terdapat dua lembar uang. Keduanya cukup untuk makan sahur ala kadarnya bersama dua anaknya. Tapi mendadak Darbi disergap bingung, gelisah, uang mana yang akan ia gunakan?

Malam terus merambat kelam. Sebentar lagi waktu imsak datang.

* Depok, 2005

Teguh Winarsho AS, lahir di Kulonprogo (Yogyakarta), 27 Desember 1973. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit, Bidadari Bersayap Belati (2002), Perempuan Semua Orang (2004), Kabar dari Langit (2004), Tato Naga (2005) dan novel Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi Mekah (2005).

GELIAT SASTRA LOKAL

[Khususon Jombang, Wabil khusus Fahrudin Nasrulloh]
Nurel Javissyarqi*
http://sastra-indonesia.com/

Sebelum jauh menelusuri judul di atas, diriku teringat awalkali melangkahkan kaki ke tanah Jombang, tahun 1993. Dari rumah di Lamongan, aku persiapkan niat menimba keilmuan mengeruk ketololan demi semakin menginsyafi kebodohan. Terbayang di kepalaku sosok-sosok insan ampuh pada daerah kan kudiami, para pejuang serta penyebar ajaran Islam; KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, dan tokoh-tokoh masih hidup dikala itu; Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, serta tidak terkecuali budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sampai kini menyetiai lelakunya mengayomi rakyat jelata, masyarakat pedalaman.

Kamis, 02 Desember 2010

RUMI DAN SYU’AIB ANTARA HARAPAN DAN PERSEMBAHAN

Imamuddin SA *
http://sastra-indonesia.com/

Harapan identik dengan adanya keinginan. Orang yang menginginkan suatu hal pastilah ia memiliki harapan agar hal tersebut bisa segera terengkuhnya. Sebaliknya, untuk mendapatkan sesuatu tentunya seseorang harus ada pengorbanan, baik pengorbanan secara fisik maupun perasaan. Pengorbanan juga identik dengan persembahan.

Berbicara masalah harapan dan persembahan, kali ini akan diorientasikan pada harapan dan persembahan Syu’aib AS. Syu’aib AS merupakan salah satu dari sekian banyak nabi dan rasul yang diutus tuhan untuk menjadi perantara memberi pencerahan kepada umat manusia yang berjalan dalam lembah kesesatan. Ia diutus untuk kaum Madyan yang cenderung berbuat kemungkaran, kemaksiatan, dan tipu-menipu dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling jelas melekat pada kepribadian mereka adalah kecurangan dan penghianatan dalam hubungan dagang, seperti pemalsuan barang, pencurian dalam takaran dan timbangan.

……Berdo’alah, menangislah di waktu malam, sampai terdengar suara yang dahsyat dari langit memecah gendang telingamu…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Ungkapan pertama, yaitu “Berdo’alah, menangislah di waktu malam, sampai terdengar suara yang dahsyat dari langit memecah gendang telingamu”, ini merupakan himbauan dan anjuran dari seorang Rumi. Dalam sajaknya, ia menghimbau kepada siapa saja yang hendak menuju tuhan agar senantiasa bermunajat pada suasana yang hening dan juga penuh dengan ketenangan. Suasana itu tidak lain adalah saat malam telah tiba. Tepatnya pada sepertiga malam karena saat itulah segala bentuk aktifitas manusia yang berkaitan dengan urusan keduniawian telah berhenti sejenak. Jadi momen itulah yang cocok untuk bermunajat kepada tuhan.

Mengapa waktu tersebut merupakan waktu yang cocok untuk bermunajat? Hal tersebut berdasar pada hadits nabi yang berbunyi: sesungguhnya setiap malam, disepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia, Dia berkata: adakah yang bisa aku Bantu? Adakah yang bisa aku Bantu?

Perlu dijadikan catatan bahwa ungkapan Allah turun ke langit dunia, bukan merujuk pada eksistensi Dzat-tillah yang turun ke dunia. Dalam fenomena, Tuhan sebelumnya berada jauh dari tempat dan jangkauan manusia. Hal tersebut bertolak belakang dengan firman Allah yang artinya “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dari pada urat lehernya.” (QS. Qaf, ayat 16).

Berdasarkan ayat tersebut, keberadaan tuhan begitu dekat dengan diri pribadi seorang manusia. Ia bahkan lebih dekat dari urat leher manusia. Yang menjadi orientasi makna konotasi ungkapan Allah turun ke langit dunia, adalah rahmat dan hidayah Tuhan diberikan kepada seorang manusia, apabila ia berkenan bermunajat pada waktu itu, sebab Tuhan saat itu menawarkan rahmat dan hidayah-Nya kepada siapa saja yang sedang bermunajat atau memohon kepada-Nya.

Dalam karya ini, Rumi mengambil percontohan munajat yang dilakukan oleh Syu’aib AS. Kisah munajat Syu’aib ini tampaknya Rumi ambil dari karya Attar, yang berjudul Ilehinama. Hal itu mengisahkan bahwa Syu’aib ketika bermunajat mendapatkan bisikan gaib yang datang dari langit. Bisikan itu mempertanyakan perihal munajatnya. Saat itu Syu’aib AS bertaubat akan segala dosa yang pernah dilakukanya.

Katika suasan khusuk melingkupinya, terdengar seruan kepadanya bahwa segala dosanya akan diampuni. Selain itu, seruan itu juga menawarkan kepada Syu’aib AS perihal kenikmatan surga dan memerintahkan dia untuk segera mengakhiri munajatnya.

……“Jika kau orang yang bergelimang dosa, akan kumaafkan kau dan kuampuni dosa-dosamu. Surgakah yang kau ingin raih? Lihatlah, kuberi sekarang, diam dan akhiri permintaanmu itu!” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Saat mendengar bisikan semacam itu, Syu’aib AS tidak serta-merta memperoleh kepuasan diri serta kebahagiaan hati. Ia tidak menghentikan munajatnya. Ia justru semakin khusuk dan bahkan menolak tawaran surga yang dijanjikan kepadanya. Ia tetap berdiri kokoh dengan harapan dan juga keinginan utamanya yaitu bertemu dan bersanding dengan Tuhan, sebab hanya Dia-lah Dzat yang sepatutnya dijadikan tujuan peribadatan dan penghambaan, bukan surga, neraka maupun yang lainya. Sebagaimana Al Qahthani menjelaskan bahwa Allah (Tuhan) adalah Dzat yang diibadahi dan dijadikan tujuan penghambaan, yang memiliki hak penghambaan serta peribadatan makhluk-makhlu-Nya.

Tidak hanya itu, Syu’aib bahkan meneguhkan hati bahwa ia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan, walaupun seluruh samudra telah menjadi api. Jika di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan, ia akan rela menghanguskan diri ke dalamnya.

……Syu’aib menjawab, “ Tak kuminta ini ataupun itu. yang kuminta hanyalah menatap wajah tugan semata. Walaupun tujuh samudra seluruhnya menjadi kobaran api yang mematikan, akan kuhanguskan diriku jika disitu aku dapat menyatu dengan-Nya!”……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Bagi pecinta sejati, yaitu orang-orang yang benar-benar mengoroientasikan hidupnya hanya kepada tuhan semata, hal tersebut tidaklah aneh. Baginya, segala sesuatu yang bersifat kebendaan dan kemakhlukan berada dalam kekuasaan Tuhan. Sesungguhnya ia tidak memiliki suatu daya dan kekuatan kecuali atas kehendak dan kuasa Tuhan, sehingga ia tidak perlu ditakuti.

Api adalah benda dan makhluk sebab ia termasuk barang baru yang merupakan salah satu dari sekian banyak ciptaan Tuhan. Jika Tuhan berada di dalam kobaran api, bagi pecinta sejati, semua itu tidaklah menjadi sebuah penghalang untuk segera bertemu dan bersanding dengan-Nya. Ia tidak akan ragu dan takut akan sengatan panasnya, sebab ketika Tuhan telah bersamanya, panas api tidak akan ada artinya. Semua akan tunduk bersama kuasa-Nya. Sebagaimana kisah Ibrahim AS yang dilemparkan Namrut ke dalam tungku api yang begitu besar. Saat itu panas api bukan membakar tapi berubah menjadi kenikmatan dan juga rahmat. Firman tuhan yang berbunyi: Hai api menjadi dinginlah dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim (QS. Al-Ambiyaa’:69).

Berbeda dengan orang-orang yang hanya berorientasi pada aspek keduniawian, ini sungguh aneh dan mustahil untuk dilakukanya. Jangankan ia berani menghanguskan diri ke dalam lautan api, ia baru melihat nyala api dari sebuah rumah yang terbakar, sudah lari terbirit-birit.

Bukan sekedar itu, dalam munajatnya, Syu’aib AS kembali mengujarkan harapanya secara lebih khusuk. Ia berkata bahwa munajat yang dilakukanya tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan pengabulan harapanya. Ia akan terus memohon dengan linangan air mata agar bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan. Ia tidak mendambakan apapun selain tuhan. Ia bahkan rela berada di dalam neraka asalkan di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan. Surga bukan jadi orientasinya lagi dan bukan tempat yang layak ia huni ketika di sana ia tidak menemukan tuhan.

Sungguh peneguhan hati yang luar biasa. Ia telah lepas dari keterikatan eksistensi surga dan neraka secara universal. Surga yang notabenenya menawarkan kenikmatan-kenikmatan, ia singkirkan begitu saja. Neraka yang notabenenya penuh dengan siksa dan derita, justru ia pilih asalakan di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan.

……Tapi jika aku tak diizinkan menatap-Nya, maka mataku akan terendam air mata menutup rapat hingga terhalang untuk melihat impian itu, lebih baik aku menetap di api neraka, surga bukanlah tempat tinggalku…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan, seorang manusia harus dalam kondisi suci lahir dan batin.Tindakan untuk melepasakan diri dari keterikatan rasa terhadap segala sesuatu selain tuhan merupakan tahap terakhir dari hakekat bersuci dan mensucikan diri. Sebagaimana Al-Ghazali menegaskan bahwa bersuci itu ada empat tahapan, yaitu; 1) membersihkan lahir (anggota badan) dari hadas dan kotoran-kotoran, 2) membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan dosa, 3) membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan hina, 4) membersihkan pribadi dari selain tuhan.

Surga dan neraka merupakan salah satu dari ciptaan Tuhan. Setiap ciptaan berarti masuk dalam kriteria makhluk, oleh karena itu, surga dan neraka bukanlah tujuan utama bagi seorang pecinta sejati seperti Syu’aib AS. Eksistensinya harus dilenyapkan dari pribadi seseorang yang benar-benar hendak menuju tuhan. Hal tersebut disebabkan surga dan neraka sanggup menjadi tabir penghalang bagi pribadi seseorang untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan. Sejalan dengan itu, Al-Farabi juga menyatakan bahwa pada dirimu dan dari dirimu ada hijab, apalagi dari pakaianmu yang berupa badan, karena itu berusahalah untuk menghilangkan hijab dan telanjang, dan dalam keadan demikian engkau dapat mencapai-Nya.

Esensi dan eksistensi tuhan menjadi orientasi utama dalam munajat ini. Syu’aib AS selalu memberi penegasan-penegasan yang begitu mendalam akan hasrat dan keinginannya untuk bertemu dan bersanding besama tuhan. Baginya, surga terasa seperti neraka Jahannam apabila tidak diliputi dengan cinta kasih Tuhan.

……Tanpa belas kasih-Nya, surga bagiku hanya seperti neraka Jahannam. Aku akan dilulur oleh warna dan aroma bau sang maut; dimanakah cahaya keabadian yang diperdebatkan itu? …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Ungkapan belas kasih-Nya jika ditinjau lebih jauh akan merujuk pada nama Tuhan dalam asmaulhusnah yaitu Ar-rahma dan Ar-rahim. Nama ini berada dalam urutan paling awal. Hal tersebut menunjukan bahwa nama ini merupakan nama yang utama bagi tuhan. Perlu diingat bahwa di dalam sebuah nama pastilah mencerminkan sifatnya. Jadi dalam nama Ar-rahman dan Ar-rahim mengandung sifat Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Sebagai mana Ibnu Qoyyim berkata bahwa di dalam nama-nama-Nya terdapat sifat-Nya.

Ar-rahman dan Ar-rahim merupakan pondasi awal dalam mencipta segala sesuatu yang berada dalam kesemestaan alam ini. Segala sesuatu tidak mungkin tercipta tanpa diikuti dengan kasih sayang Tuhan. Begitu juga dengan keberadaan surga. Surga tidak mungkin ada jika ia tidak diliputi kasih sayang Tuhan. Tuhan mengadakan suatu hal merupakan bukti kasih saying-Nya sehingga hal tersebut ada secara esensi dan eksistensinya. Oleh karena itu, nabi mengisarahkan agar dalam setiap hendak melakukan sesuatu harus diawali dengan membaca basmalah. Hal tersebut menandai bahwa setiap gerak manusia adalah berkat kasih sayang Tuhan.

Untuk kata surga, ini bisa ditafsirkan pada pemberian Tuhan yang berupa kenikmatan. Jika pemberian Tuhan yeng berupa kenikmatan ini dalam munajatnya diterima oleh Syu’aib, ia takut menjadi penghalang untuk bisa bertemu dan bersanding bersama-Nya. Ia menjadi lalai dengan tujuan utamanya, yaitu Tuhan. Ia bisa terbuai dengan kenikmatan-kenikamatan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

Jika ia telah terbuai oleh hal tersebut, secara otomatis ia akan lupa terhadap pemberi-Nya (Tuhan). Ketika ia lupa, kenikmatan itu bisa berubah menjadi bencana dan siksa bagi dirinya. Selain itu ia bisa gagal bertemu dan bersanding bersama tuhan. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan bahwa orang yang hanya bergembira dengan Allah, tidak terpengaruh oleh kelezatan lahirnya nikmat, dan tidak karena kurnia-Nya, sebab ia sibuk memperhatikan-Nya, sehingga terhibur oleh-Nya semata, maka tidak ada yang terlihat padanya kecuali Allah. Selain itu, siapa yang tidak melihat pemberi nikmat di dalam nikmat itu, maka nikmat itu hanya berupa istidraj (dilulu) dan berubah menjadi bala’. Kiranya hal itulah yang menyebabkan Syu’aib AS menolak pemberian surga dan berdalih bahwa surga bisa berubah menjadi Jahannam baginya jika di sana ia tidak mendapat cinta kasih Tuhan dengan membiarkanya bisa bertmu dan bersanding bersama-Nya.

Mengapa Syu’aib bertanya tentang keberadaan cahaya keabadian? Hal itu sebenarnya sebagian i’tibar dari penyebutan diri Tuhan. Tidak ada sesuatu yang abadi kecuali diri Tuhan semata. Adapun idiom Tuhan digantinya dengan kata cahaya. Ini sesuai firman-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 35 yang artinya: Allah adalah cahaya langit dan bumi, perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohin yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah maha mengetahui sesuatu (QS. An-Nur:35).

Syu’aib merindukan cahaya keabadian itu sehingga ia menanyakan terus perihal keberadaanya. Cahaya itu adalah cahaya Illahiah, cahaya di atas cahaya. Dialah pembimbing manusia untuk menuju hakekat hidup yang sejati dan tidak ada yang sanggup memberi bimbingan menuju kesejatian kecuali Dzat Tuhan semata. Itulah esensi dasar Syu’aib AS mengi’tibarkan tuhan dengan memakai idiom cahaya.

……Kata mereka, “Akhiri ratap tangismu, agar penglihatanmu tidak hitam, sebab matamu akan buta jika menangis berlebih-lebihan” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Kata mereka merujuk kepada orang-orang yang berada disekeliling Syu’aib AS yang tidak lain adalah kaum Madyan. Hal tersebut bukanlah merujuk pada sesuatu yang lain, baik mengarah pada bisikan gaib dari langit atau yang lainya. Ini adalah kaumnya sendiri. Rujukan ini berdasar pada terjemahan karya Rumi yang diberi judul Kasidah Cinta dan diterjemahkan Hartoyo Andangjaya. Dalam terjemahan itu kata mereka di ungkapkan dengan artian orang-orang berkata.

Secara lebih rinci, ungkapan tersebut merupakan himbauan dari kaum Syu’aib AS. Mereka menghimbau agar Syu’aib AS mengakhiri munajat dan tangisanya sebab ia bisa mengalami kebutaan mata. Tampaknya peristiwa ini diasumsikan berlangsung ketika hari sudah menjelang pagi. Saat itu orang-orang sudah mulai melansungkan aktifitas sehari-harinya. Ini diperkirakan saat orang-orang berlalulalang di sekitar rumah Syu’aib AS.

Saat mendapat himbauan semacam itu, Syu’aib AS justru memberi penegasan kepada mereka. Syu’aib berkata bahwa ia tidak akan bersedih karena buta. Baginya, buta mata tidaklah berarti sebab menurutnya bagian tubuh yang lain bisa berubah menjadi mata. Tentunya semua itu juga tidak terlepas dari kehendak, kuasa, dan keridlaan Tuhan.

……Syu’aib menjawab, “Bila kedua mataku akhirnya buta hanya karena menangis, maka setiap bagian dari diriku akan berubah menjadi mata; mengapa aku harus bersedih karena buta?” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Ungkapan ini jika dinisbatkan dapat merujuk pada Al-qur’an surat Yasin ayat 65 yang artinya; “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan dan kaki mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”. Hal ini menunjukan adanya Kebasaran dan Maha Kuasanya Tuhan yang sanggup menjadikan segala sesuatu bisa berbicara, melihat, dan juga mendengar. Tuhan tidak merasa kesulitan untuk melakukan hal itu.

Salah satu pertanda Maha Kuasa Tuhan yang ditunjukkan-Nya di dunia ini adalah menjadikan kepekaan indra yang sangat tinggi bagi orang yang buta. Orang buta tidak bisa melihat sesuatu dengan matanya, tetapi Tuhan memberikan rahmat-Nya yang lain yang berupa kepekaan terhadap indra-indra yang lain pula, oleh karena itu, orang buta bisa mendeteksi segala hal yang ada disekelilingnya dengan cermat. Ia bisa mengetahui sesuatu dengan pasti lewat perantaraan indra peraba, pencium, pencecap, dan pendengarnya. Tidak hanya itu, Tuhan bahkan juga memberinya mata batin yang kerap dikenal dengan istilah indra keenam. Hal itulah yang kiranya menjadi maksud dan tujuan perkataan Syu’aib AS bahwa setiap bagian dari tubuhnya akan berubah menjadi mata.

……Namun jika akhirnya Ia merampas mataku untuk selamanya, akan kubiarlah mata benar-benar menjadi buta karena ia tidak layak menatap junjungan kasih!” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Dalam penegasanya lebih lanjut, Syu’aib AS mengungkapkan bahwa ia akan mengikhlaskan kedua matanya menjadi buta. Hal tersebut dilakukanya sebagai suatu bentuk persembahanya kepada tuhan. Syu’aib AS benar-benar tulus dan ikhlas memberikanya, ketika penglihatan itu harus diminta kembali oleh Tuhan.

Tampaknya hal ini sesuai dengan makna dasar ungkapan inna lillahi wainna ilaihi raajiuun. Arti ungkapan tersebut yaitu segala sesuatu adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya ia akan kembali kepada-Nya. Syu’aib AS menyadari benar akan hal itu. Ia paham betul bahwa dirinya dan seluruh isi alam semesta ini adalah kepunyaan Tuhan dan suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya juga.

Segala yang dimiliki oleh manusia pada hakekatnya hanyalah titipan Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Yang dikatakan titipan, suatu saat pasti akan diambil oleh pemiliknya. Saat itulah seseorang harus rela dan ikhlas menyerahkan kepada pemiliknya yang mutlak. Begitu juga dengan eksistensi indra penglihatan, ia merupakan titipan Tuhan yang dibebankan kepada manusia sebagai alat utuk melihat segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Untuk semuanya itu, tidak ada batasan waktu dalam pengambilanya. Kapanpun dan dimanapun, Tuhan sewaktu-waktu bisa mengambilnya. Entah diambil pada akhir hayat manusia ataupun di masa tua, muda, maupun balita, semuanya masih berada dalam misteri ilahiah.

Selain itu Syu’aib AS juga sadar bahwa penglihatan mata lahir manusia tidak sanggup menangkap keberadaan Dzat Tuhan yang sejati. Hal tersebut dikarenakan Dzat Tuhan yang sejati bersifat kasat mata yang tidak dapat maujud di dalam alam materi. Ia bahkan tidak dapat digapai dengan logika. Ia hanya dapat digapai dengan keyakinan dan pengetahuan intuitif bahkan Ia merupakan wujud yang sempurna.

Kesadaran semacam inilah yang ditunjukan oleh Syu’aib AS. Dengan merelakan penglihatan lahirnya kepada Tuhan. Ia menumbuhkan harapan baru dalam hatinya. Ia berharap dengan kebutaanya, Tuhan berkenan memberikan penglihatanya yang baru yang berupa penglihatan batin melalui peneguhan keyakinan dan juga pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang berdasarkan pada wahyu ilahiah. Sungguh harapan dan persembahan yang begitu agung dari seorang Syu’aib AS.

Perlu diingat, dalam sejarah para nabi, Syu’aib pada akhirnya tidak mengalami kebutaan mata secara fisik. Karakter fisiknya pada umumnya sama dengan kebanyakan orang. Ia utuh dan tidak mengalami cacat pada kostruksi fisiknya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Harapan Syu’aib dalam munajatnya hanyalah ingin bertemu dan bersanding bersama Tuhan (Allah) di kehidupan mendatang, yaitu akhirat. Harapan itu ia iringi dengan sebuah persembahan yaitu peniadaan surga dan neraka dalam dirinya. Ia melepas keterikatan diri terhadap esensi dan eksistens surga yang notabenenya menjadi tujuan hidup manusia pada umumnya.. Tidak hanya itu, ia bahkan rela menyerahkan penglihatan lahirnya sebagai sebuah persembahan asalkan ia kelak dapat bertemu dan bersanding bersama Tuhan (Allah). Tentunya, persembahan tersebut diliputi dengan perasaan tulus dan ikhlas yang terpancar dari pribadinya.

=========
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

Tasawuf, telaga dalam dan jernih

Abdul Hadi W.M.
http://majalah.tempointeraktif.com/

TASAWUF DALAM QURAN Oleh: Dr. Mir Valiudin Terjemahan: Tim Pustaka Firdaus Penerbit: Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, 151 halaman

BUKU-buku tasawuf-uraian, teks ajaran para pemukanya, puisi dan prosa sastrawan sufi yang begitu melimpah — belum banyak diterbitkan di Indonesia. Padahal, peminat tasawuf cukup banyak, di samping sudah berakar lama. Tasawuf mennyediakan telaga yang dalam lagi jernih bagi mereka yang ingin memperdalam pemahaman keagamaan.

Maka, kehadiran buku ini memiliki arti penting. Bukan saja menambah perbendaharaan pustaka mengenai tasawuf, melainkan juga memperkuat pernyataan bahwa tasawuf yang sejati merupakan bagian yang utuh dari barisan ilmu-ilmu Islam, dan patut diselami oleh manusia modern yang merindukan untuk “pulang” kembali ke rumah spiritualnya.

Tanpa mengingkari penyimpangan yang pernah terjadi dalam perkembangan tasawuf — terutama akibat pengaruh filsafat Peripatetik dan Neoplatonisme dari kebudayaan Helenistik — dengan meyakinkan Valiudin menunjukkan dasar keislaman tasawuf. Seperti dikatakan Junaid al-Baghdadi, “Sistem ajaran agama kita terikat erat kepada ajaran Islam, Quran dan Hadis.”

Valiudin pun menjawab, tasawuf bukan suatu pelarian dari kenyataan hidup dunia, melainkan koreksi dan jawaban religius terhadap penyimpangan hidup. Tujuan tasawuf tak lain adalah bagaimana memperluas tauhid yang demikian sentral dalam Islam seperti tecermin dari kalimat syahadat: “Tiada tuhan selain Allah.”

Dalam bab pertama Valiudin menerangkan sejumlah pengertian tentang tasawuf dan asal-usul kata “sufi”. Ada yang mengaitkan dengan kata safa (kesucian). Tapi pengertian yang bisa diterima, kata sufi berasal dari suf (bulu domba). Para sufi awal memang kerap menggunakan pakaian bulu domba, sebagai lambang kesederhanaan kepolosan hati, ketulusan dan pengorbanan atas nama cinta Ilahi.

Yang terakhir ini agaknya bisa dirujuk pada pengorbanan Nabi Ibrahim kepada Allah, ketika mendapat perintah lewat mimpi agar mengorbankan anaknya, Ismail. Setelah korban dilaksanakan, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba. Kelak peristiwa nubuat yang historis ini melahirkan upacara Idul Adha.

Dalam bab kedua, Valiudin menerangkan masalah ibadat dan hubungannya dengan praktek para sufi, yang berupaya memperoleh tuntunan Allah. Antara lain dengan tawakal dan sabar, yang dalam tasawuf memiliki makna yang dinamis, luas, dan dalam. Mereka menganggap tawakal sebagai “proses mental, sepenuhnya percaya bahwa yang memiliki kekuatan dan karunia hanya Allah semata, dan yang selain Allah tidak sama sekali.”

Adapun sabar, dihubungkan dengan pandangan mereka yang realistis bahwa hidup penuh dengan kesukaran dan penderitaan harus dilalui dengan sikap batin yang teguh dengan berpegang pada tali Allah.

Bab tiga buku ini membicarakan masalah transendensi dan imanensi, yang terutama sekali banyak diuraikan oleh Ibn ‘Arabi. Valiudin menunjukkan bahwa ajaran Nahdatul wujud dalam tasawuf tidak bisa disamakan dengan panteisme. Dan bahwa dalam ajaran “pengenalan diri” — serta bermanfaat tidaknya ilmu pengetahuan merupakan suatu masalah yang sentral.

Di samping Ibn ‘Arabi yang dijadikan rujukan utama, ucapan dan puisi para sufi yang lain juga dijadikan bahan rujukan. Misalnya Rumi, Maghribi, dan Jami. Sesuai dengan ajaran Allah dalam Quran, para sufi memandang bahwa Allah berada di mana saja, selalu menyertai alam semesta dan isinya, termasuk manusia. Keberadaan benda-benda fana ditiadakan, sebab tidak hakiki, dan keberadaannya bergantung pada keberadaan Allah yang mutlak. Peniadaan dan penafian ini berarti penegasan (isbat) terhadap keberadaan Allah.

Bab empat mengemukakan masalah sentral lain dalam filsafat kaum sufi tentang penciptaan, yaitu masalah Tanazzulat, turunnya Yang Mutlak. Bab lima paling menarik, karena mempertemukan pandangan Ibn ‘Arabi dan Mohamad Iqbal.

Para pengaji sejarah pemikiran dalam tasawuf sudah tahu bahwa dalam beberapa hal Iqbal menentang ajaran Ibn ‘Arabi. Tapi ajaran Iqbal tentang insan kamil yang secara keliru ditafsirkan sebagai sambungan Nietzsche tentang mensch, sesungguhnya bisa dilacak sumbernya pada ajaran Ibn ‘Arabi dan muridnya, Karim al-Jili, yang dikenal dengan kitabnya Insan Kamil yang sempat dibaca Sunan Bonang dan Yasadipura di Jawa.

Bab lima berjudul Menentukan Nasib Sendiri. Dan memang, yang dikemukakan adalah pandangan para sufi tentang kaitan takdir dan kemauan bebas. Masalah ini dala mfilsafat Barat dikenal scbagai determinism and free qill yang pelik serta menimbulkan pertentangan, khususnya di kalangan para pemikir Islam. Para sufi seperti Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi dan yang lain, tidak memasukkan dirinya dalam golongan kaum Jabariyah, kaum yang menyerah kepada takdir. Mereka sepenuhnya menekankan pentingnya ikhtiar dan kemauan bebas, tanpa mcnolak takdir. Dalam kumpulan puisi mistiknya, Jaq,aid Namah, Iqbal mempersembahkan larik ini:

Penghuni bumi telah memperdagangkan diri mereka sendiri Mereka belum mengetahui rahasia Takdir Rahasia Takdir terletak pada suatu kata tersembunyi Takdir berubah sejalan dengan segala perubahanmu Jika kau berubah menjadi debu , angin akan menerbangkanmu jauh-jauh Jika menjadi batu, kau bisa melempar dirimu sendiri ke kaca Jika menjadi embun, kau akan jatuh ke bumi, Jika menjadi lautan, kau akan hidup abadi (halaman 20). Iqbal selanjutnya mengatakan bahwa “Nasib menjelma sayap bagi orang-orang yang sadar akan Allah”.

Bab enam juga menarik karena membicarakan masalah kebaikan dan kejahatan dari sudut pandang kaum sufi. Dan bab terakhir, “Kehadiran Tuhan: Pengalaman Lahir dan Batin”. Para sufi memandang bahwa penampilan makhluk dan fenomena yang macam-macam tidak menghalanginya untuk melihat Keesaan Allah.

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez