Imamuddin SA *
http://sastra-indonesia.com/
Harapan identik dengan adanya keinginan. Orang yang menginginkan suatu hal pastilah ia memiliki harapan agar hal tersebut bisa segera terengkuhnya. Sebaliknya, untuk mendapatkan sesuatu tentunya seseorang harus ada pengorbanan, baik pengorbanan secara fisik maupun perasaan. Pengorbanan juga identik dengan persembahan.
Berbicara masalah harapan dan persembahan, kali ini akan diorientasikan pada harapan dan persembahan Syu’aib AS. Syu’aib AS merupakan salah satu dari sekian banyak nabi dan rasul yang diutus tuhan untuk menjadi perantara memberi pencerahan kepada umat manusia yang berjalan dalam lembah kesesatan. Ia diutus untuk kaum Madyan yang cenderung berbuat kemungkaran, kemaksiatan, dan tipu-menipu dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling jelas melekat pada kepribadian mereka adalah kecurangan dan penghianatan dalam hubungan dagang, seperti pemalsuan barang, pencurian dalam takaran dan timbangan.
……Berdo’alah, menangislah di waktu malam, sampai terdengar suara yang dahsyat dari langit memecah gendang telingamu…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Ungkapan pertama, yaitu “Berdo’alah, menangislah di waktu malam, sampai terdengar suara yang dahsyat dari langit memecah gendang telingamu”, ini merupakan himbauan dan anjuran dari seorang Rumi. Dalam sajaknya, ia menghimbau kepada siapa saja yang hendak menuju tuhan agar senantiasa bermunajat pada suasana yang hening dan juga penuh dengan ketenangan. Suasana itu tidak lain adalah saat malam telah tiba. Tepatnya pada sepertiga malam karena saat itulah segala bentuk aktifitas manusia yang berkaitan dengan urusan keduniawian telah berhenti sejenak. Jadi momen itulah yang cocok untuk bermunajat kepada tuhan.
Mengapa waktu tersebut merupakan waktu yang cocok untuk bermunajat? Hal tersebut berdasar pada hadits nabi yang berbunyi: sesungguhnya setiap malam, disepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia, Dia berkata: adakah yang bisa aku Bantu? Adakah yang bisa aku Bantu?
Perlu dijadikan catatan bahwa ungkapan Allah turun ke langit dunia, bukan merujuk pada eksistensi Dzat-tillah yang turun ke dunia. Dalam fenomena, Tuhan sebelumnya berada jauh dari tempat dan jangkauan manusia. Hal tersebut bertolak belakang dengan firman Allah yang artinya “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dari pada urat lehernya.” (QS. Qaf, ayat 16).
Berdasarkan ayat tersebut, keberadaan tuhan begitu dekat dengan diri pribadi seorang manusia. Ia bahkan lebih dekat dari urat leher manusia. Yang menjadi orientasi makna konotasi ungkapan Allah turun ke langit dunia, adalah rahmat dan hidayah Tuhan diberikan kepada seorang manusia, apabila ia berkenan bermunajat pada waktu itu, sebab Tuhan saat itu menawarkan rahmat dan hidayah-Nya kepada siapa saja yang sedang bermunajat atau memohon kepada-Nya.
Dalam karya ini, Rumi mengambil percontohan munajat yang dilakukan oleh Syu’aib AS. Kisah munajat Syu’aib ini tampaknya Rumi ambil dari karya Attar, yang berjudul Ilehinama. Hal itu mengisahkan bahwa Syu’aib ketika bermunajat mendapatkan bisikan gaib yang datang dari langit. Bisikan itu mempertanyakan perihal munajatnya. Saat itu Syu’aib AS bertaubat akan segala dosa yang pernah dilakukanya.
Katika suasan khusuk melingkupinya, terdengar seruan kepadanya bahwa segala dosanya akan diampuni. Selain itu, seruan itu juga menawarkan kepada Syu’aib AS perihal kenikmatan surga dan memerintahkan dia untuk segera mengakhiri munajatnya.
……“Jika kau orang yang bergelimang dosa, akan kumaafkan kau dan kuampuni dosa-dosamu. Surgakah yang kau ingin raih? Lihatlah, kuberi sekarang, diam dan akhiri permintaanmu itu!” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Saat mendengar bisikan semacam itu, Syu’aib AS tidak serta-merta memperoleh kepuasan diri serta kebahagiaan hati. Ia tidak menghentikan munajatnya. Ia justru semakin khusuk dan bahkan menolak tawaran surga yang dijanjikan kepadanya. Ia tetap berdiri kokoh dengan harapan dan juga keinginan utamanya yaitu bertemu dan bersanding dengan Tuhan, sebab hanya Dia-lah Dzat yang sepatutnya dijadikan tujuan peribadatan dan penghambaan, bukan surga, neraka maupun yang lainya. Sebagaimana Al Qahthani menjelaskan bahwa Allah (Tuhan) adalah Dzat yang diibadahi dan dijadikan tujuan penghambaan, yang memiliki hak penghambaan serta peribadatan makhluk-makhlu-Nya.
Tidak hanya itu, Syu’aib bahkan meneguhkan hati bahwa ia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan, walaupun seluruh samudra telah menjadi api. Jika di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan, ia akan rela menghanguskan diri ke dalamnya.
……Syu’aib menjawab, “ Tak kuminta ini ataupun itu. yang kuminta hanyalah menatap wajah tugan semata. Walaupun tujuh samudra seluruhnya menjadi kobaran api yang mematikan, akan kuhanguskan diriku jika disitu aku dapat menyatu dengan-Nya!”……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Bagi pecinta sejati, yaitu orang-orang yang benar-benar mengoroientasikan hidupnya hanya kepada tuhan semata, hal tersebut tidaklah aneh. Baginya, segala sesuatu yang bersifat kebendaan dan kemakhlukan berada dalam kekuasaan Tuhan. Sesungguhnya ia tidak memiliki suatu daya dan kekuatan kecuali atas kehendak dan kuasa Tuhan, sehingga ia tidak perlu ditakuti.
Api adalah benda dan makhluk sebab ia termasuk barang baru yang merupakan salah satu dari sekian banyak ciptaan Tuhan. Jika Tuhan berada di dalam kobaran api, bagi pecinta sejati, semua itu tidaklah menjadi sebuah penghalang untuk segera bertemu dan bersanding dengan-Nya. Ia tidak akan ragu dan takut akan sengatan panasnya, sebab ketika Tuhan telah bersamanya, panas api tidak akan ada artinya. Semua akan tunduk bersama kuasa-Nya. Sebagaimana kisah Ibrahim AS yang dilemparkan Namrut ke dalam tungku api yang begitu besar. Saat itu panas api bukan membakar tapi berubah menjadi kenikmatan dan juga rahmat. Firman tuhan yang berbunyi: Hai api menjadi dinginlah dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim (QS. Al-Ambiyaa’:69).
Berbeda dengan orang-orang yang hanya berorientasi pada aspek keduniawian, ini sungguh aneh dan mustahil untuk dilakukanya. Jangankan ia berani menghanguskan diri ke dalam lautan api, ia baru melihat nyala api dari sebuah rumah yang terbakar, sudah lari terbirit-birit.
Bukan sekedar itu, dalam munajatnya, Syu’aib AS kembali mengujarkan harapanya secara lebih khusuk. Ia berkata bahwa munajat yang dilakukanya tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan pengabulan harapanya. Ia akan terus memohon dengan linangan air mata agar bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan. Ia tidak mendambakan apapun selain tuhan. Ia bahkan rela berada di dalam neraka asalkan di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan. Surga bukan jadi orientasinya lagi dan bukan tempat yang layak ia huni ketika di sana ia tidak menemukan tuhan.
Sungguh peneguhan hati yang luar biasa. Ia telah lepas dari keterikatan eksistensi surga dan neraka secara universal. Surga yang notabenenya menawarkan kenikmatan-kenikmatan, ia singkirkan begitu saja. Neraka yang notabenenya penuh dengan siksa dan derita, justru ia pilih asalakan di tempat itu ia bisa bertemu dan bersanding dengan tuhan.
……Tapi jika aku tak diizinkan menatap-Nya, maka mataku akan terendam air mata menutup rapat hingga terhalang untuk melihat impian itu, lebih baik aku menetap di api neraka, surga bukanlah tempat tinggalku…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan, seorang manusia harus dalam kondisi suci lahir dan batin.Tindakan untuk melepasakan diri dari keterikatan rasa terhadap segala sesuatu selain tuhan merupakan tahap terakhir dari hakekat bersuci dan mensucikan diri. Sebagaimana Al-Ghazali menegaskan bahwa bersuci itu ada empat tahapan, yaitu; 1) membersihkan lahir (anggota badan) dari hadas dan kotoran-kotoran, 2) membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan dosa, 3) membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan hina, 4) membersihkan pribadi dari selain tuhan.
Surga dan neraka merupakan salah satu dari ciptaan Tuhan. Setiap ciptaan berarti masuk dalam kriteria makhluk, oleh karena itu, surga dan neraka bukanlah tujuan utama bagi seorang pecinta sejati seperti Syu’aib AS. Eksistensinya harus dilenyapkan dari pribadi seseorang yang benar-benar hendak menuju tuhan. Hal tersebut disebabkan surga dan neraka sanggup menjadi tabir penghalang bagi pribadi seseorang untuk bisa bertemu dan bersanding bersama tuhan. Sejalan dengan itu, Al-Farabi juga menyatakan bahwa pada dirimu dan dari dirimu ada hijab, apalagi dari pakaianmu yang berupa badan, karena itu berusahalah untuk menghilangkan hijab dan telanjang, dan dalam keadan demikian engkau dapat mencapai-Nya.
Esensi dan eksistensi tuhan menjadi orientasi utama dalam munajat ini. Syu’aib AS selalu memberi penegasan-penegasan yang begitu mendalam akan hasrat dan keinginannya untuk bertemu dan bersanding besama tuhan. Baginya, surga terasa seperti neraka Jahannam apabila tidak diliputi dengan cinta kasih Tuhan.
……Tanpa belas kasih-Nya, surga bagiku hanya seperti neraka Jahannam. Aku akan dilulur oleh warna dan aroma bau sang maut; dimanakah cahaya keabadian yang diperdebatkan itu? …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Ungkapan belas kasih-Nya jika ditinjau lebih jauh akan merujuk pada nama Tuhan dalam asmaulhusnah yaitu Ar-rahma dan Ar-rahim. Nama ini berada dalam urutan paling awal. Hal tersebut menunjukan bahwa nama ini merupakan nama yang utama bagi tuhan. Perlu diingat bahwa di dalam sebuah nama pastilah mencerminkan sifatnya. Jadi dalam nama Ar-rahman dan Ar-rahim mengandung sifat Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Sebagai mana Ibnu Qoyyim berkata bahwa di dalam nama-nama-Nya terdapat sifat-Nya.
Ar-rahman dan Ar-rahim merupakan pondasi awal dalam mencipta segala sesuatu yang berada dalam kesemestaan alam ini. Segala sesuatu tidak mungkin tercipta tanpa diikuti dengan kasih sayang Tuhan. Begitu juga dengan keberadaan surga. Surga tidak mungkin ada jika ia tidak diliputi kasih sayang Tuhan. Tuhan mengadakan suatu hal merupakan bukti kasih saying-Nya sehingga hal tersebut ada secara esensi dan eksistensinya. Oleh karena itu, nabi mengisarahkan agar dalam setiap hendak melakukan sesuatu harus diawali dengan membaca basmalah. Hal tersebut menandai bahwa setiap gerak manusia adalah berkat kasih sayang Tuhan.
Untuk kata surga, ini bisa ditafsirkan pada pemberian Tuhan yang berupa kenikmatan. Jika pemberian Tuhan yeng berupa kenikmatan ini dalam munajatnya diterima oleh Syu’aib, ia takut menjadi penghalang untuk bisa bertemu dan bersanding bersama-Nya. Ia menjadi lalai dengan tujuan utamanya, yaitu Tuhan. Ia bisa terbuai dengan kenikmatan-kenikamatan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
Jika ia telah terbuai oleh hal tersebut, secara otomatis ia akan lupa terhadap pemberi-Nya (Tuhan). Ketika ia lupa, kenikmatan itu bisa berubah menjadi bencana dan siksa bagi dirinya. Selain itu ia bisa gagal bertemu dan bersanding bersama tuhan. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan bahwa orang yang hanya bergembira dengan Allah, tidak terpengaruh oleh kelezatan lahirnya nikmat, dan tidak karena kurnia-Nya, sebab ia sibuk memperhatikan-Nya, sehingga terhibur oleh-Nya semata, maka tidak ada yang terlihat padanya kecuali Allah. Selain itu, siapa yang tidak melihat pemberi nikmat di dalam nikmat itu, maka nikmat itu hanya berupa istidraj (dilulu) dan berubah menjadi bala’. Kiranya hal itulah yang menyebabkan Syu’aib AS menolak pemberian surga dan berdalih bahwa surga bisa berubah menjadi Jahannam baginya jika di sana ia tidak mendapat cinta kasih Tuhan dengan membiarkanya bisa bertmu dan bersanding bersama-Nya.
Mengapa Syu’aib bertanya tentang keberadaan cahaya keabadian? Hal itu sebenarnya sebagian i’tibar dari penyebutan diri Tuhan. Tidak ada sesuatu yang abadi kecuali diri Tuhan semata. Adapun idiom Tuhan digantinya dengan kata cahaya. Ini sesuai firman-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 35 yang artinya: Allah adalah cahaya langit dan bumi, perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohin yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah maha mengetahui sesuatu (QS. An-Nur:35).
Syu’aib merindukan cahaya keabadian itu sehingga ia menanyakan terus perihal keberadaanya. Cahaya itu adalah cahaya Illahiah, cahaya di atas cahaya. Dialah pembimbing manusia untuk menuju hakekat hidup yang sejati dan tidak ada yang sanggup memberi bimbingan menuju kesejatian kecuali Dzat Tuhan semata. Itulah esensi dasar Syu’aib AS mengi’tibarkan tuhan dengan memakai idiom cahaya.
……Kata mereka, “Akhiri ratap tangismu, agar penglihatanmu tidak hitam, sebab matamu akan buta jika menangis berlebih-lebihan” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Kata mereka merujuk kepada orang-orang yang berada disekeliling Syu’aib AS yang tidak lain adalah kaum Madyan. Hal tersebut bukanlah merujuk pada sesuatu yang lain, baik mengarah pada bisikan gaib dari langit atau yang lainya. Ini adalah kaumnya sendiri. Rujukan ini berdasar pada terjemahan karya Rumi yang diberi judul Kasidah Cinta dan diterjemahkan Hartoyo Andangjaya. Dalam terjemahan itu kata mereka di ungkapkan dengan artian orang-orang berkata.
Secara lebih rinci, ungkapan tersebut merupakan himbauan dari kaum Syu’aib AS. Mereka menghimbau agar Syu’aib AS mengakhiri munajat dan tangisanya sebab ia bisa mengalami kebutaan mata. Tampaknya peristiwa ini diasumsikan berlangsung ketika hari sudah menjelang pagi. Saat itu orang-orang sudah mulai melansungkan aktifitas sehari-harinya. Ini diperkirakan saat orang-orang berlalulalang di sekitar rumah Syu’aib AS.
Saat mendapat himbauan semacam itu, Syu’aib AS justru memberi penegasan kepada mereka. Syu’aib berkata bahwa ia tidak akan bersedih karena buta. Baginya, buta mata tidaklah berarti sebab menurutnya bagian tubuh yang lain bisa berubah menjadi mata. Tentunya semua itu juga tidak terlepas dari kehendak, kuasa, dan keridlaan Tuhan.
……Syu’aib menjawab, “Bila kedua mataku akhirnya buta hanya karena menangis, maka setiap bagian dari diriku akan berubah menjadi mata; mengapa aku harus bersedih karena buta?” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Ungkapan ini jika dinisbatkan dapat merujuk pada Al-qur’an surat Yasin ayat 65 yang artinya; “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan dan kaki mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”. Hal ini menunjukan adanya Kebasaran dan Maha Kuasanya Tuhan yang sanggup menjadikan segala sesuatu bisa berbicara, melihat, dan juga mendengar. Tuhan tidak merasa kesulitan untuk melakukan hal itu.
Salah satu pertanda Maha Kuasa Tuhan yang ditunjukkan-Nya di dunia ini adalah menjadikan kepekaan indra yang sangat tinggi bagi orang yang buta. Orang buta tidak bisa melihat sesuatu dengan matanya, tetapi Tuhan memberikan rahmat-Nya yang lain yang berupa kepekaan terhadap indra-indra yang lain pula, oleh karena itu, orang buta bisa mendeteksi segala hal yang ada disekelilingnya dengan cermat. Ia bisa mengetahui sesuatu dengan pasti lewat perantaraan indra peraba, pencium, pencecap, dan pendengarnya. Tidak hanya itu, Tuhan bahkan juga memberinya mata batin yang kerap dikenal dengan istilah indra keenam. Hal itulah yang kiranya menjadi maksud dan tujuan perkataan Syu’aib AS bahwa setiap bagian dari tubuhnya akan berubah menjadi mata.
……Namun jika akhirnya Ia merampas mataku untuk selamanya, akan kubiarlah mata benar-benar menjadi buta karena ia tidak layak menatap junjungan kasih!” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Dalam penegasanya lebih lanjut, Syu’aib AS mengungkapkan bahwa ia akan mengikhlaskan kedua matanya menjadi buta. Hal tersebut dilakukanya sebagai suatu bentuk persembahanya kepada tuhan. Syu’aib AS benar-benar tulus dan ikhlas memberikanya, ketika penglihatan itu harus diminta kembali oleh Tuhan.
Tampaknya hal ini sesuai dengan makna dasar ungkapan inna lillahi wainna ilaihi raajiuun. Arti ungkapan tersebut yaitu segala sesuatu adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya ia akan kembali kepada-Nya. Syu’aib AS menyadari benar akan hal itu. Ia paham betul bahwa dirinya dan seluruh isi alam semesta ini adalah kepunyaan Tuhan dan suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya juga.
Segala yang dimiliki oleh manusia pada hakekatnya hanyalah titipan Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Yang dikatakan titipan, suatu saat pasti akan diambil oleh pemiliknya. Saat itulah seseorang harus rela dan ikhlas menyerahkan kepada pemiliknya yang mutlak. Begitu juga dengan eksistensi indra penglihatan, ia merupakan titipan Tuhan yang dibebankan kepada manusia sebagai alat utuk melihat segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Untuk semuanya itu, tidak ada batasan waktu dalam pengambilanya. Kapanpun dan dimanapun, Tuhan sewaktu-waktu bisa mengambilnya. Entah diambil pada akhir hayat manusia ataupun di masa tua, muda, maupun balita, semuanya masih berada dalam misteri ilahiah.
Selain itu Syu’aib AS juga sadar bahwa penglihatan mata lahir manusia tidak sanggup menangkap keberadaan Dzat Tuhan yang sejati. Hal tersebut dikarenakan Dzat Tuhan yang sejati bersifat kasat mata yang tidak dapat maujud di dalam alam materi. Ia bahkan tidak dapat digapai dengan logika. Ia hanya dapat digapai dengan keyakinan dan pengetahuan intuitif bahkan Ia merupakan wujud yang sempurna.
Kesadaran semacam inilah yang ditunjukan oleh Syu’aib AS. Dengan merelakan penglihatan lahirnya kepada Tuhan. Ia menumbuhkan harapan baru dalam hatinya. Ia berharap dengan kebutaanya, Tuhan berkenan memberikan penglihatanya yang baru yang berupa penglihatan batin melalui peneguhan keyakinan dan juga pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang berdasarkan pada wahyu ilahiah. Sungguh harapan dan persembahan yang begitu agung dari seorang Syu’aib AS.
Perlu diingat, dalam sejarah para nabi, Syu’aib pada akhirnya tidak mengalami kebutaan mata secara fisik. Karakter fisiknya pada umumnya sama dengan kebanyakan orang. Ia utuh dan tidak mengalami cacat pada kostruksi fisiknya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Harapan Syu’aib dalam munajatnya hanyalah ingin bertemu dan bersanding bersama Tuhan (Allah) di kehidupan mendatang, yaitu akhirat. Harapan itu ia iringi dengan sebuah persembahan yaitu peniadaan surga dan neraka dalam dirinya. Ia melepas keterikatan diri terhadap esensi dan eksistens surga yang notabenenya menjadi tujuan hidup manusia pada umumnya.. Tidak hanya itu, ia bahkan rela menyerahkan penglihatan lahirnya sebagai sebuah persembahan asalkan ia kelak dapat bertemu dan bersanding bersama Tuhan (Allah). Tentunya, persembahan tersebut diliputi dengan perasaan tulus dan ikhlas yang terpancar dari pribadinya.
=========
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar