Selasa, 07 Desember 2010

Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri?

Joni Ariadinata
http://joniariadinata.wordpress.com/

Segelas racun babi mengepul di atas meja. Asap kretek melenggok dari mulut menuju petromaks, membentuk gulungan hening. Abah Marta merapatkan handuk dari sergapan dingin di leher dengan gigi gemerotak. Di balik jaket berkaos tebal tersembunyi dada kering kerempeng mengatur desahan napas. Tersengal-sengal karena penyakit asma. Terengah-engah menimbulkan bunyi mirip pompa air mekanik. Mencengik. Mata keriputnya memicing, menatap Wardoyo menantunya yang tengah mempermainkan asap. Ragu-ragu. Berganti-ganti dengan fokus gelas racun menantang di meja. Suara dengkuran menembus gorden pintu di belakangnya; kamar Ambu Marsinah tidur. Ada kemerosak angin. Ada kemerosak bambu-bambu bergesekan di luar.

“Mulailah.” Wardoyo berkata pendek. Menghisap asap kretek ke dadanya dalam-dalam. Ada ketegangan merayap. Ada kegamangan mengalir. Abah Marta sekali lagi menatap wajah menantunya. Kepala Wardoyo mengangguk. Setengah dipaksa setengah putus asa, tangan Abah Marta maju meraih gelas. Racun hangat, manis bercampur kopi, mengepul hangat dalam genggaman. Gemetar. Bibir tuanya gagal tersenyum. Tak tega mata Wardoyo melambungkan ke langit-langit, melihat dua ekor cecak berkejaran. Menunggu.

“Pahit!” Abah Marta menghentakkan cangkir. Mengusap bibirnya cepat. Kemudian meludah, getir. Setengah menit belralu, ia terhenyak. Wajahnya pucat. Panas merajam-rajam perutnya tanpa ampun. Menyeruak ke atas, membetot-betot usus. Lehernya tercekik: “Wardoyyy…” ia berteriak parau. Tubuhnya lantas menggeblag jatuh. Sebelum kakinya menyepak meja dan kursi yang ia duduki terbalik. Suaranya gaduh. Abah Marta berkelojot-kelojot sekarat. Matanya membeliak. Kemudian sunyi. Mati.
***

BERPULUH tahun Rantawi didera penyakit menakutkan. Jika hawa malam berubah dingin, maka sesuatu menggodam dadanya telak. Gumpal kedua belah paru-parunya terasa terhimpit beban berton-ton dan mencekik saluran udara menuju arah kerongkongan. Di saat itulah dunia bagi Eantawi amat gelap dan sumpek. Satu-satu helaan napas ia keluarkan dengan susah payah, menimbulkan bunyi cengik yang menjijikkan; bahkan bagi telinganya sendiri. Barangkali jika bukan karena Ratri, anak perempuan satu-satunya yang mengeluh putus asa, ia tak akan setega ini: membunuh diri dengan segelas kopi bercampur racun babi. Memang Rantawi dengan kehidupannya telah hancur luluh: dua hektare sawah, setengah bahu perkebungan kopi, satu pabrik penggilingan padi telah lepas satu persatu dari tangannya untuk pengobatan tanpa hasil. Tapi melintas pikiran untuk bunuh diri, tak pernah sedikit pun terjangkau. Terlebih karena Rantawi selalu menyimpan ketahanan iman dengan tak pernah lekang berdoa. Berharap satu kemukjizatanakan datang pada suatu ketika.

Tapi malam ini, Tuhan telah berlaku sangat tidak adil. Rantawi gamang atas kemauan Tuhan pada dirinya. Keluarga Mayor Sulaiman mendadak memutuskan pertunangan sepihak bagi anaknya, Ratri. Tentu, adalah pukulan batin teramat hebat karena mereka justru menyalahkan penyakit yang Rantawi derita sebagai alasan pokok. Asma disamaratakan dengan sejenis lepra! Mereka menuntut dikembalikannya harta panjer yang diserahkan melalui upacara sukacita.”Mereka takut Ratri hanya akan menghancurkan karier dan masa depan Kang Basuki,” begitu kata Ratri.Dengan tangisan tersedak-sedak. “Seperti Bapak. Karena asma adalah penyakit keturunan.” “Begitu yakin, apa mereka sudah memeriksamu?” “Mereka menolak. Juga Kang Basuki,”Ratri putus asa. Tiga hari kemudian tak bisa ditanya. Ia hanya mengurung diri dalam kamar. Rantawi marah. Amat marah. Sungguh nasib telah memain-mainkannya seperti potongan gabus dalam amukan air deras. Tapi penegasan Keluarga Sulaiman memang beralasan. Satu-satunya yang patut dipersalahkan pasti hanyalah Tuhan. Begitulah ketika tangannya mantap menuangkan racun. “Kini, tak mungkin ada lagi pemuda yang mau mendekati Ratri, Ayah!” Rantawi memandang meja tertegun-tegun. Sejentik kegamangan menggelepar, tapi gumpal dendam menyumbatnya cepat. Irama jantung berlomba dengan kesunyian.Ya, ya, tidak akan ada pemuda yang mau menyunting ratri selama ia ada — begitu barangjali keinginan Ratri. Entah karena keturunan, entah karena beban bahwa kenyataan Rantawi tak akan bisa lagi hidup tanpa sebuah gantungan. Diseretnya langkah menuju kamar Ratri. Anak itu tertidur dengan badan melungkar, penuh beban. Manik-manik keringat bermunculan pada leher dan ujung kening; ia hampiri kemudian mengusapnya lembut. Seekor nyamuk yang hinggap di betis dijentiknya hati-hati. Dirapatkannya selimut, kemudian keluar. Kekosongan menyergap ketika air mata dari sudut matanya jatuh. Segelas racun babi yang terdiam di meja. Rantawi melangkah ke kamar Ijah, isterinya. Ijah dengan gurat ketuaan yang makin kentara. Tersenyum dalam ketenangan mata terpejam. Begitu tabah. Bertahun-tahun wanita di hadapannya harus bekerja sendiri menggarap sawah yang masih tersisa. Rantawi tak sanggup lagi berpikir dan merasa. Langkahnya mantap. Meraup gelas. Menenggaknya dalam satu tarikan napas… Putus asa. Gendang telinganya menangkap jerit tangis meneluwung tak bertepi. Badannya terguncang-guncang. Suara-suara teriakan, derit roda, suara-suara sepatu. Kemudian sepi. Senyap. Di manakah? Mungkinkah Tuhan…

Satu kejaiban terjadi: ia menangkap mata Ratri, mata isterinya, mata Basuki. Kemudian badannya melambung ingin meraup. Sebuah tangan kokoh menahannya.Rantawi harus beristirahat, lamat-lamat katanya. Aneh, ia merasa betapa dadanya teramat lapang. Napasnya longgar tak tersumbat bunyi cengik menjijikkan. Kepala dan tubuhnya ringan. “Dua hari engkau pingsan,” begitu kata pertama ia dengar. Suara isterinya. Betulkah ia masih hidup? Rantawi ingin berteriak, “Kenapa aku di sini? Betulkah kamu Ijah? Di manakah aku?””Asmamu kumat,” isterinya menjelaskan. “Aku membawamu ke rumah sakit. Sudahlah Kang, istirahat yang tenang. Kata dokter, asmamu kemungkinan besar sembuh. Entah kenapa.” Tuhan maha adil, begitulah ketika Rantawi tersungkur dalam sujud. Mohon ampun dan penyesalan atas sangka buruk. Tiga hari setelah berbaring di Rumah Sakit dan dinyatakan sembuh total. Empat ekor kambing disembelih sebagai rasa syukur, dan seluruh kampung turut menikmatinya. Juga tentu, Basuki. Keluarga Mayor Sulaiman telah datang turut mengucapkan gembira dan minta maaf. Tuhan maha besar.
***

SEHARI setelah syukuran, Wardoyo ditangkap. Berita menjalar cepat dari mulut ke mulut. Wardoyo membunuh Abah Marta dengan secangkir kopi dan racun babi! Pembunuhan amat keji, begitu komentar mereka. Mayat Abah Marta ditemukan membiru. Visum menyebutkan ususnya hancur membusuk. Orang-orang kampung mengutuk Wardoyo. Melemparinya dengan batu: “Kafir! Mertuamu sendiri tega kau bunuh, heh?” ramai berteriak. Riuh menggelandang Wardoyo, “Kau bunuh atas dasar apa, Wardoyo?” “Rantawi. Demi Allah, Mang Rantawi yang menyuruhku…” Rantawi terbadai. Rantawi hanya bisa mematung, tak mampu berbuat apa-apa. Teror datang menyerganya begitu tiba-tiba. Sungguh ia begitu menyesal, amat menyesal telah menceritakan seluruh rahasia kesembuhannya pada Wardoyo, adik iparnya. “Racun babi,” begitu ia menceritakan dengan mantap: “Entahlah. Segala obat telah diupayakan; tapi justru racun babi yang membikin aku sembuh. Heh, bukankah mertuamu menderita asma sepertiku?” “Bagaimana kalau ia mati?” “Tuhan telah menunjukkan sebuah keajaiban. Bahkan di dalam racun babi, bisa terdapat obat. Obat mujarab. Masih tidak percayakah kamu, Wardoyo?” Dan kini ia sangsi. Diam-diam Rantawi merasa, ia ikut bandil besar dalam pembunuhan Abah. Berhari-hari Rantawi tak sudi makan. Sampai ketika polisi datang menjemputnya untuk ditanyai: “Demi Allah, saya tidak berkomplot untuk membunuhnya!” katanya.Keras. Dan tubuh Rantawi digelandang hina. Riuh hantaman puluhan caci; orang-orang kampung bergimbung. Menuding berteriak. Kelebat bayangan Ratri ambruk. Lalu Ijah? Bergetar. Keringat dingin memercik. Gusti Allah… bayangan yang buruk. Ia seperti melihat betapa Tuhan kini tengah bergitung; menjawab tantangannya ketika ia memilih mati bunuh diri. Benarkah tak ada dosa yang tak diperhitungkan? Dan kini Rantawi dipaksa menggigil, tersentak berteriak: “Alangkah lebih terhormat mati ketimbang terhina di penjara…”

Bandung, 1993

Lampung post 04/03/2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez