Puji Santosa
http://www.facebook.com/
Kalatidha adalah salah satu judul karya sastra yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita seputar tahun 1861. Karya ini merupakan kritik sosial profetis yang menggambarkan akan datangnya masa sulit, suram, rusak, dan tidak menentu yang disebut sebagai zaman edan. Pada zaman itu negara demikian kacau-balau, undang-undangnya tidak dihargai, derajat negara menjadi suram, dan rakyat semakin rakus dan loba. Hal ini mengingat pada tahun 1858 raja Surakarta, Sinuhun Paku Buwana VII meninggal dan digantikan oleh adik tirinya Kusen dengan gelar Paku Buwana VIII. Raja Surakarta ini memerintah tidak lama, hanya tiga tahun, dan meninggal 1861. Sepeninggal Paku Buwana VIII kemudian Kasunanan Surakarta digantikan oleh Paku Buwana IX yang merupakan anak dari Paku Buwana VI yang ditangkap oleh Belanda, dibuang ke Ambon, dan kemudian mati dalam pengasingan.
Di bawah pemerintahan raja baru, Paku Buwana IX, kehidupan Ranggawarsita, terutama karier politiknya, mengalami berbagai hambatan. Banyak catatan yang mengatakan bahwa hubungan Ranggawarsita dengan raja yang bertahta kurang serasi. Hal ini terjadi karena beredarnya kabar bahwa penangkapan dan pembuangan raja Paku Buwana VI ke Ambon adalah karena rahasia yang dibocorkan oleh ayahanda Ranggawarsita sewaktu diinterograsi Belanda di Batavia. Atas peristiwa seperti itu Raja Paku Buwana IX tidak pernah menaikkan pangkat Ranggawarsita dari Kliwon Carik ke Tumenggung, apalagi menjadi Bupati. Bentuk kekecewaan Ranggawarsita seperti itulah yang diungkapkan dalam karyanya Kalatidha tersebut.
Selain hal itu, Kalatidha juga disebut-sebut sebagai “Jangka Ranggawarsitan” yang memuat ramalan tentang zaman edan. Menurut catatan Bratakesawa (1959:34), selain Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait dalam bentuk tembang macapat sinom, ditemukan pula Serat Kaltidha Piningit yang hanya terdiri atas 11 bait dari meja redaksi majalah Sedya Tama, Yogyakarta, tahun 1930. Dalam penulisan edisi Kakilangit ini yang digunakan sebagai acuan penulisan adalah Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait, tanpa ada kata piningit. Kata kalatidha itu sendiri termuat dalam bait pertama baris ketujuh. Kata kala artinya zaman atau masa, dan kata tidha berarti samar-samar, kabur, khawatir, ragu-ragu (Nardiati et al. 1993). Jadi, kalatidha artinya suatu zaman atau masa yang serba tidak jelas, rusak, penuh dengan rasa kekhawatiran dan ragu-ragu untuk bertindak. Istilah lainnya adalah kalabendu atau jaman retu.
Kata kalabendu disebut dalam Serat Kalatidha bait kedua baris keenam. Kata kala artinya waktu, zaman, atau masa, dan bendu artinya kutuk atau laknat (Nardiati et al, 1993). Jadi, kalabendu artinya zaman yang penuh laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena manusia banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan di Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensi W.S. Rendra menyebut hal itu dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita (Lihat Ardus M. Sawega, Kompas, 30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga, Kalabendu, atau Tafsir Baru…”).
Sementara itu, perkataan jaman retu disebut-sebut dalam buku Sasangka Jati, “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat, 1986:66). Kata retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan kerusuhan (Nardiati et al, 1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985: 269). Jadi, arti perkataan “jaman retu” adalah suatu masa atau zaman yang penuh kerusakan, kerusuhuan massal, karut-marut, banyak kekacauan, dan penuh huru-hara.
Bait ketujuh Serat Kalatidha yang ditulis dalam bentuk tembang macapat, bermatra sinom, amat terkenal karena secara ekplisit memuat perkataan amenangi jaman edan “menghadapi zaman gila”. Isi keseluruhan teks Kalatidha karya Ranggawarsita itu memuat tanda-tanda kekuasaan zaman edan atau zaman rusak yang serba kabur dan tidak jelas yang mengakibatkan suramnya derajat negara. Tanda-tanda zaman yang termuat dalam Kalatidha karya Ranggawarsita itu antara lain sebagai berikut.
1) Derajat suatu negara terlihat suram, kosong dan sepi atau suwung, yakni suatu negara tidak lagi memiliki wibawa, tidak mimiliki pengaruh sama sekali pada rakyatnya atau negara lain. Meskipun penguasanya adalah raja utama, perdana menterinya orang yang memiliki kelebihan, para menteri dan aparat pegawainya baik-baik, tetap tidak dapat menolak hadirnya zaman kutukan karena sudah sebagai karma/dosa bangsa.
2) Rusaknya pelaksanaan undang-undang, yaitu masyarakat banyak yang melanggar tata aturan, baik penguasanya sendiri maupun rakyatnya tidak lagi patuh pada aturan negara yang ada, mereka berbuat sekehendaknya atau menyimpang dari aturan hukum yang ada.
3) Tidak ada suri teladan, contoh, dari pemimpin negara, para aparatnya, dan penguasa pemerintahan, terhadap rakyatnya. Mereka sama saja perbuatannya, telah bejat moralnya, seperti melakukan korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri, penindasan kepada rakyat, dan berbuat asusila, berderajat tercela, rendah, dan hina dina.
4) Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, dan kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup hina dina dan amat suram, serta hidup sengsara, tanda-tanda kehidupan di masa depan suram, gelap, dan tidak menentu.
5) Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang bertubi-tubi, silih berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan oleh murkanya alam maupun oleh kelalaian manusia yang rakus dan angkara.
6) Berbeda-beda, berjenis-jenis, dan banyak ragamnya perbuatan angkara murka orang seluruh negara.
7) Banyak berita bohong, kabar angin, sulit dipercaya kebenarannya karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan pribadi.
8 ) Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran, dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf sehingga menjadi perkara hukum dan sebagainya.
9) Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat (wong ambeg jatmika kontit). Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru tersisihkan dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang penuh angkara murka atas silau pesona maya dunia.
10) Terjadi banyak peristiwa keanehan, ajaib, tidak masuk akal, banyak orang yang stres dan putus asa, atau tidak bernalar sehingga serba sulit untuk bertindak. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang menjadi gila, edan, atau tidak ada yang waras. Rumah-rumah sakit jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita gangguan jiwanya.
Sebagai pembaca yang budiman tentunya kita bertanya-tanya: Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan? Banyak hal yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan ketika keadaan negara dan bangsa begitu rusaknya. Kita tidak perlu putus asa atau putus harapan, kita tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, dan kita tidak hanya tinggal diam. Setiap perbuatan yang menuju ke arah kebajikan tentu dapat kita lakukan. Berdasarkan makna yang tersurat dan yang tersirat dalam Serat Kalatidha karya Ranggawarsita di atas tentu dapat kita deskripsikan tentang hal-hal yang dapat kita perbuat dalam menghadapi zaman edan sebagai berikut.
1) Mematuhi peraturan negara dengan undang-undangnya secara baik. Sebagai warga negara yang baik hendaknya kita patuh melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ada agar tertib, hidup teratur, dan berdisiplin. Undang-undang dan peraturan negara dibuat agar negara menjadi tertib, teratur, dan disiplin sehingga negara segera dapat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.
2) Tidak mudah percaya pada kabar angin, kabar burung, atau pepesan kosong. Kabar-kabar burung itu banyak berisi fitnahan, hanya mengenak-enakan saja, bahkan ada juga kabar duka bagi orang lain. Oleh karena itu, kita dituntut untuk memiliki watak kehati-hatian (weweka). Artinya, kita dapat menyaring dengan benar berita itu, lalu menganalisisnya, dan kemudian baru bertindak sesuai dengan hati nurani agar kita tidak terjerumus ke jurang kehancuran.
3) Menjadi teladan perbuatan keutamaan. Di mana pun kita berada, dalam posisi apa pun, kita harus dapat menjadi teladan perbuatan keutamaan, baik di rumah, di kantor atau perusahaan tempat bekerja, maupun di tengah masyarakat. Dengan teladan baik itulah kita akan menjadi kusuma bangsa dan bukan sampah masyarakat.
4) Tekun dan rajin beikhtiar. Bekerja dalam bidang apa pun kita dituntut untuk dapat tekun dan rajin berusaha mencapai prestasi. Kita tidak boleh berputus asa menghadapi situasi apa pun, baik itu yang berupa cobaan, bencana, malapetaka, maupun rintangan lainnya. Oleh karena itu, kita dituntut untuk tetap memiliki semangat berikhtiar mencapai cita-cita menuju keberhasilan dan kebahagiaan hidup.
5) Memperhatikan petuah orang tua. Artinya, kita selalu mengindahkan nasihat, ajaran, atau wejangan orang tua dahulu yang berusaha mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dicontohkan oleh Ranggawarsita dengan cara menuliskan cerita-cerita kuno, mempelajari serat Panitisastra, dan melakukan kegiatan kreatif yang bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat lainnya.
6) Selalu tawakal dan bersyukur dengan menyadari ketentuan takdir Tuhan. Apa pun yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Tuhan, tidak ada sesuatu peristiwa yang kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Kita harus dapat tabah dan kuat menghadapi segala cobaan hidup, ikhlas menerima apa pun yang terjadi dengan selalu memanjatkan rasa syukur. Apa pun yang sudah ada di tangan kita, dikerjakan dengan senang hati, tidak tamak, tidak rakus, tidak loba, dan tidak serakah. Kita tidak menginginkan milik orang lain, dan juga tidak iri akan keberuntungan orang lain.
7) Sabar sentosa. Sabar artinya berhati lapang, dan sentosa artinya kuat, kukuh, dan teguh. Kita harus kuat menerima pelbagai cobaan, tetapi bukan orang yang mudah putus asa, melainkan orang yang berhati teguh sentosa, berpengetahuan luas, dan tidak berbudi sempit. Orang yang sabar sentosa dapat disebut sebagai lautan pengetahuan. Ibarat lautan yang dapat memuat apa saja, tidak meluap walau mendapat tambahan air dari sungai-sungai mana pun. Caranya ialah tidak mudah emosional, tidak marah, serta menyingkiri watak picik dan berangasan.
8 ) Sadar dan Waspada (eling lan waspada). Kita dituntut untuk dapat selalu eling lan waspada. Eling berarti kita senantiasa sadar untuk berbakti kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah selalu berzikir kepada Tuhan di mana pun kita berada, baik itu sedang duduk menganggur, sedang dalam perjalanan, sedang berdiri, sedang tiduran, maupun sedang bekerja. Waktu kapan pun, baik siang maupun malam, kita dapat senantiasa sadar kepada Tuhan. Cara yang lain adalah tidak melupakan dan tidak meninggalkan sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kita senantiasa diberi weweka “kehati-hatian” dapat membedakan mana emas dan mana tanah liat, mana berlian dan mana batu pasir.
9) Menetapi darma masing-masing. Kita hendaknya dapat menetapi darma atau kewajiban masing-masing dengan benar, baik kita sebagai bangsa brahmana, bangsa ksatria, bangsa waisya, maupun menjadi bangsa sudra sekalipun. Kita harus sungguh-sungguh menekuni bidang pekerjaan dan kewajiban masing-masing agar dapat melaksanakan bagiannya secara cermat dan teliti sehingga dicapai hasil yang sesempurna mungkin.
10) Mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Banyak cara manusia untuk dapat mendekatkan diri kepada tuhan Yang Maha Esa. Dalam Serat Kalatidha di atas dicontohkan dengan cara menjauhkan diri dari dunia keramaian, selalu eling lan waspada, menyadari akan takdir Tuhan, selalu berzikir, dan melaksanakan panembah atau sembayang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sembahyang merupakan tali kesadaran dan kepercayaan kepada Tuhan. Wujud mendekatkan diri kepada Tuhan adalah kita selalu berusaha meningkatkan kesadaran rasa iman dan takwa, selalu berzikir dan bersembahnya, serta berbuat keutanmaan atau berbudi pekerti luhur dan mulia.
Kesepuluh hal di atas penting sekali kita laksanakan agar kita tidak ikut edan, tidak tergilas oleh arus zaman, serta tidak hanyut dalam situasi yang tidak menentu. Hanya dengan cara seperti itulah kita tidak tinggal diam menjadi penonton, tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, serta tidak hanya menangis dalam kesedihan dan kedukaan. Dengan demikian kesepuluh hal di atas dapat kita jadikan pegangan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan. Seberapa kemampuan kita melaksanakan kesepuluh hal seperti yang disarankan dalam tembang di atas, sebaiknya kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Esa agar terhindar dari kekuasaan zaman edan yang begitu dahsyat mencekam. Kita tetap mengasuransikan keselamatan jiwa raga kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam keadaan apa pun.***
[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional di lingkungan Pusat Bahasa. Naskah ini dimuat dalam Kakilangit 161/Mei 2010, halaman 1—13; Sisipan Majalah Sastra Horison Tahun XLIV, Nomor 5/2010. Mei 2010).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar