Minggu, 27 Februari 2011

Penguasa, Buku dan Peradaban

Aguk Irawan M.N.*
http://www.jawapos.co.id/

IBNU AL-NADIM dalam kitabnya Al-Fihrist mengisahkan, suatu malam khalifah Al-Ma’mun (813-833) bermimpi melihat sosok berkulit putih kemerah-merahan, keningnya lebar, matanya biru, sikapnya gagah, sedang duduk di atas singgasana. Orang itu tidak lain adalah Aristoteles. Percakapan yang berlangsung di antara mereka –dalam mimpi itu– memberi inspirasi kepada Al-Ma’mun untuk menyosialisasikan literatur Yunani di lingkungan akademinya. Setelah mengadakan hubungan melalui surat-menyurat dengan penguasa Byzantium, Al-Ma’mun mengutus sebuah tim kerja ke Yunani, dan tak lama berselang utusan itu kembali dengan membawa sejumlah buku untuk diterjemahkan.

Inilah awal mula gerakan penerjemahan di dunia Arab abad pertengahan yang membuat Akademi Bait Al-Hikmah (dar al-ilm) –yang dirintis Al-Ma’mun– semakin tersohor. Dalam kerja penerjemahan literatur Yunani, Al-Ma’mun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadis dan mufassir dari setiap penjuru. Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Sir John Glubb dalam Moslem Heroes in The World –dikutip oleh M. Atiqul Haque (1995)– mencatat bahwa Hunain Ibn Ashaq, seorang kristiani, telah menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan Plato dari karya-karya Hippocrates dan Galen dalam bidang fisika –khususnya tujuh volume Anatomy Galen– yang beberapa tahun kemudian penyebarannya sampai ke Eropa Barat melalui Sisilia dan Spanyol.

Setelah menjamurnya karya-karya terjemahan itu, semakin lengkaplah koleksi buku di perpustakaan Akademi Bait Al-Hikmah. Sebagaimana dicatat juga oleh Al-Nadim, perpustakaan itu telah mempekerjakan sarjana-sarjana brilian seperti Al-Kindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles; Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka, penemu Al-Jabar juga bekerja di perpustakaan ini. Selama masa tugasnya itu, ia menulis karya monumental kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah.

Para penguasa di kurun itu dinilai sebagai pribadi-pribadi yang memiliki perhatian penuh terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan keterlibatan mereka secara langsung dalam membangun perpustakaan. Ini diakui oleh J. Pedersen dalam The Arabic Book (1984) bahwa, dunia ilmu pengetahuan telah menduduki posisi yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah jika para penguasa dan orang-orang yang mampu ikut ambil bagian dan mengusahakan kemajuannya. Pada 1065, perdana menteri pemerintahan Saljuk, Malik Shah –dalam sejarah dikenal dengan nama Nizam Al-Mulk– mendirikan perpustakaan Nizamiyah sebagai sentral penyimpanan buku-buku bagi kelangsungan aktivitas keilmuan di Madrasah Nizamiyah.

Jumlah koleksi buku di perpustakaan itu hampir sama dengan koleksi buku di perpustakaan Bait Al-Hikmah. Namun, menariknya, peningkatan jumlah koleksi di perpustakaan ini diselenggarakan dengan program wakaf besar-besaran. Ibn Al-Thir menyebutkan, Muhib al-Din An-Najjar al-Baghdadi mewakafkan koleksi pribadinya dalam jumlah relatif banyak. Bahkan khalifah An-Nashir juga ikut ambil bagian dalam program pewakafan itu dengan menyumbangkan ribuan buku. Perpustakaan itu mempekerjakan pustakawan reguler sebagai karyawan yang digaji tinggi. Di antara pustakawan terkenal seperti Abu Zakariyyah al-Tibrizi dan Yaqub Ibn Sulaiman al-Askari bekerja di perpustakaan ini. Di sana pula Nizam al-Mulk al-Tusi (wafat 1092) menghabiskan sebagian besar waktunya dan menulis buku tentang hubungan internasional, Siyar Mulk yang terkenal itu. (Sardar, 2000).

Masih di kawasan Baghdad, pada 1227, khalifah Muntasir Billah mendirikan sebuah perpustakaan megah guna memfasilitasi berbagai diskursus keilmuan di Madrasah Musthansiriyah. Pengeliling dunia Ibn Batutah menceritakan tentang Musthansiriyah dan perpustakaannya dengan jelas, bahwa dengan 150 unta yang membawa buku-buku langka dari istana, perpustakaan ini memiliki koleksi 80.000 judul. Melihat kekayaan khazanah intelektual yang tersimpan di setiap perpustakaannya, wajarlah jika Kota Baghdad masa itu menjadi pusat berbagai aktivitas keilmuan dari berbagai disiplin ilmu yang didatangi oleh para pelajar dari berbagai penjuru dunia.

Pertumbuhan dan perkembangan perpustakaan yang dipelopori langsung oleh penguasa tidak saja terkonsentrasi di dalam satu wilayah seperti Baghdad saja, tetapi juga tumbuh pesat di belahan wilayah lain seperti di Kairo. Menurut catatan Sardar, di daerah ini terdapat Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan oleh salah seorang pejabat Fatimiyah, al-Aziz ibn al-Muizz. Perpustakaan itu terdiri dari 40 ruangan yang diisi lebih dari 1,6 juta buku, dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.

Sebagai implikasi dari tingginya sense of science para penguasa masa itu, sampai pada periode sejarah kerajaan-kerajaan kecil (malakut thawaif), kultur semacam ini masih tetap terpelihara. Kerajaan-kerajaan kecil juga sibuk membangun perpustakaan, seperti perpustakaan Nuh Ibn Mansur, salah seorang sultan Bukhara sebagaimana dilukiskan oleh Ibnu Sina: ”Setelah memohon dan mendapat izin dari Nuh bin Mansur untuk mengunjungi perpustakaan ini, saya menemukan banyak ruangan yang penuh dengan buku-buku. Sebuah ruangan berisi buku-buku filsafat dan puisi, sementara ruangan lainnya yurisprudensi. Saya membaca katalog dari pengarang kuno dan mendapatkan semua buku yang diperlukan. Di sana banyak sekali buku-buku yang tidak pernah saya temukan sebelumnya,” (Bibliophilism in Medieval Islam, 1938).

Model-model perpustakaan abad pertengahan yang telah menjadi salah satu tiang penyangga peradaban di era golden age, bukan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan literatur, tetapi juga berperan sebagai wahana bagi sejumlah aktivitas keilmuan, sehingga perpustakaan juga menjadi tempat penyelenggaraan riset secara intensif, ajang berpolemik para ilmuwan dari berbagai spesifikasi dan kegiatan-kegiatan umum lainnya. Begitu juga pengunjung perpustakaan, bukan hanya kalangan keluarga kerajaan, juga terbuka untuk seluruh pelajar dari berbagai tingkatan keilmuan.

Sebuah peradaban sukar dibayangkan bila tanpa buku. Dan, distribusi ilmu pengetahuan akan cepat bergulir bila para penguasa terlibat langsung dalam mendirikan perpustakaan, memfasilitasi kegiatan-kegiatan riset, menumbuh-kembangkan tradisi intelektual tanpa kekangan dalam bentuk apa pun. Sejak lama, hubungan penguasa dengan buku telah menjadi semacam ”syarat-rukun” dalam menegakkan tiang-tiang penyangga sebuah peradaban. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap dunia perbukuan itu adalah juga sebuah lelaku yang beradab, sehingga Sardar menyebutnya sebagai civilization of book (peradaban buku). Lalu, sudahkah para penguasa kita (juga calon penguasa hari ini yang sibuk berkempanye) menyadarinya? (*)

*) Aguk Irawan M.N., pendiri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah

Keranda

Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/

DI setiap usungan keranda, ia percaya ada manusia bahagia di dalamnya. Ada manusia-manusia yang lega terbebas dari petaka. Ada pula manusia-manusia yang terbebas dari lilitan utang yang sekian lama menjeratnya atau sebuah tanggung jawab besar yang jika ia masih hidup akan membuatnya kian tersiksa. Maka, dengan kematian seseorang telah terbebas dari banyak hal. Terputus dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Maka ia-seorang laki-laki tak dikenal itu, membuat kesimpulan sendiri menurut versinya: orang-orang yang berada di dalam usungan keranda dan terbungkus dalam kain putih bersih adalah manusia-manusia bahagia.

Dia melihat sendiri bagaimana saat-saat terakhir orang di dalam usungan keranda itu. Dia tahu persis kronologisnya. Bahkan dia masih dapat membayangkan bagaimana seseorang di dalam usungan keranda tersebut meregang nyawa. Wajahnya hanya tampak merasa sakit sesaat, beberapa jenak, kemudian hening dan kosong-tak ada lagi nyawa dalam tubuh tak berdaya itu.

Kematian lebih baik daripada seseorang di dalam usungan keranda itu harus merasakan sakit luar biasa karena tulang belulangnya remuk-redam terbentur kepala mobil pikap yang melaju kencang dari arah kiri saat ia menyeberang. Tubuh renta itu terpental dan terbentur lagi dengan tembok pagar rumah dan mobil pikap itu melaju tergesa-gesa, kabur sebelum tertangkap massa.

Kematian akan lebih baik daripada sanak-saudaranya harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk pengobatan. Dan mungkin saja lelaki tua di dalam usungan keranda itu telah lama digerogoti kanker atau diabetes beserta penyakit komplikasi yang menahun. Lelaki tua itu mungkin telah lama mendambakan kematian karena menganggap dirinya tak berguna lagi, tak mampu melakukan apa pun dan hanya merepotkan keluarga saja.

Dengan kematiannya tadi siang, maka tuntaslah dahaganya akan kematian. Dan lelaki tua di dalam usungan keranda menjadi manusia paling bahagia karena baru saja terbebas dari segala hal yang dapat menyiksa raga dan jiwanya. Begitulah sementara kesimpulan yang ada di kepala lelaki tak dikenal itu.

Dia mengikuti rombongan yang mengantar jenazah ke tanah permakaman. Dia melihat orang tua di dalam bungkusan kain kafan itu diturunkan ke liang kubur. Di situlah rumahnya yang terakhir, sepi, dan jauh dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Meski wajahnya tampak sayu dan tak bersemangat, dia tahu lelaki tua itu sedang menyembunyikan kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang tak terperikan.

Lelaki tak dikenal itu bertanya pada seseorang di sebelahnya-yang tampaknya tetangga si jenazah, tentang lelaki tua yang telah diturunkan ke liang lahatnya dan siap ditimbun tanah.

“Orang tua ini namanya Pak Soemanti. Dia sangat dihormati di lingkungan kami karena ia seorang mantan pejuang. Dia tinggal di kompleks sana akhir-akhir ini, di rumah anaknya. Namun tinggalnya tak pernah tetap.”

“Apa dia tak punya tempat tinggal. Bukankah mantan pejuang dijamin pemerintah sisa hidupnya?”

“Dulunya punya, tapi setelah digusur untuk pembangunan hotel berbintang, ia pontang-panting menumpang tempat tinggal pada anak dan cucunya. Ketika dia masih kuat, dia sering berjualan pisang berkeliling kompleks, bahkan sampai ke pasar. Tapi sekarang tidak lagi karena dia sudah semakin berumur dan tak kuat lagi berjalan.”

Suasana jadi hening dan takzim ketika seorang kiai memimpin pembacaan doa dan tahlil. Setelah acara penaburan bunga oleh anggota keluarga yang berduka, mereka meninggalkan tanah permakaman.

***

Laki-laki itu duduk merenungkan percakapannya tadi dengan seseorang. Dia tak mengira sebelumnya lelaki tua yang tertabrak mobil pikup siang tadi adalah seorang mantan pejuang. Seorang pahlawan yang telah menyelamatkan banyak orang. Betapa malang nasib seorang mantan pejuang, gerutunya dalam hati. Untung aku tidak hidup di zaman penjajah dan memilih menjadi seorang pejuang.

Kini keyakinannya bertambah bahwa orang tua tadi benar-benar bahagia atas kematiannya. Bahkan sangat bahagia karena baru saja terlepas dari kekangan kemalangan dan perlakuan tak adil. Mungkin saja anak cucunya telah rela dan merasa lega.

Dia membayangkan betapa hebat lelaki tua itu ketika mudanya. Kekita peluru-peluru berdesing meluncur ke arahnya, dia dengan sigap serta merta dapat menghindar dengan tepat, dan dengan satu tombakan bambu saja satu tentara musuh melayang. Saat tentara-tentara lawan menyerbu markas, mereka dapat mengatasinya dengan baik. Mereka dapat mengusir para penjajah dari tanah leluhur meski jumlah mereka lebih sedikit dibanding jumlah tentara lawan dan senjata yang tak memadai. Begitulah imajinasi lelaki tak dikenal itu mengenai peperangan zaman penjajah.

Dugaannya sangat kuat, orang tua tadi akan mendapat tempat terhormat di dalam kuburnya. Dengan kejadian tadi siang dia telah mendapat sebuah inspirasi buat melepas kesusahannya selama ini: kematian!

Bila lelaki tak dikenal itu mengingat-iangat kesusahannya selama ini, dia akan stres berat dan hampir menjadi orang gila baru. Maka ia tak ingin sedikitpun mengingat-ingatnya lagi, apalagi menceritakannya pada orang lain. Merepotkan dan membuat hati tak nyaman. Apalagi jika harus mengorbankan kewarasan hanya untuk mengingat hal-hal sulit yang tak penting lagi dipikirkan. Maka jangan harap mendengar cerita itu dari mulutnya.

Karena itu, biar kuceritakan sedikit tentang kesusahannya itu. Sedikit saja karena hanya itu yang kutahu. Jangan sampai ada yang menceritakannya lagi pada orang lain dan jangan sampai dia mengetahui hal ini. Sebenarnya ia tak mau aku mencerikan ini pada siapa pun, tapi apa boleh buat. Tentu kau akan merasa penasaran jika tak kuceritakan di sini. Demikian kira-kira sedikit pengetahuan tentang kesusahannya itu.

Dulu dia besar dan dibesarkan di lingkungan dan keluarga yang susah. Rumah kecil mereka berada di belakang musala. Setiap kali ia mendengar suara tutup keranda membuka kemudian menutup kembali, tak lama setelah itu dari corong mikrofon disiarkan kabar duka orang meninggal. Dia menyimpulkan itulah pertanda paling konkret mengenai keranda dan orang meninggal setelah beberapa puluh kali pengalaman itu terus berulang.

Kemudian setelah dewasa, nasib mengutusnya menjadi seorang yang penting dalam masyarakat. Dia menjadi pejabat yang baik. Pejabat yang sangat dihormati sekaligus terkenal sebagai pejabat yang bersih.

Namun, karena tuntutan kebutuhan dan anak istri, gaya hidup yang mewah dan iblis-iblis laknat di sekitarnya baik yang terlihat maupun tak terlihat sering merayunya, akhirnya ia menerima juga tawaran suap yang dulu selalu mengalir dan selalu ditolaknya.

Awalnya mereka hidup tenang dan nyaman, dengan kebahagiaan yang mengalir terus-menerus tanpa sedikit pun gangguan dan gesekan. Namun, setelah sekian lama gelagatnya tercium juga oleh aparat hukum. Kasusnya diusut tuntas dan diadili. Dan diputuskan ia bersalah telah menerima suap ditambah tuduhan menggelapkan dana proyek. Dia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyerah. Meski tuduhan menggelapkan dana proyek tak terbukti, kasus penyuapan yang menjeratnya. Dia sudah berupaya membayar pengacara hebat, juga berkompromi dengan aparat tersebut, tapi tak berhasil. Rupanya tak semua aparat hukum dapat diajak “kompromi”. Akhirnya dia menerima kekalahan dan menjalani hukuman sebagaimana mestinya.

Bertahun-tahun dia mendekam dalam kurungan, kedinginan tanpa fasilitas-fasilitas yang selama ini dinikmatinya. Hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dia frustrasi.

Setelah keluar dari penjara, ia tak lagi punya apa-apa. Kembalilah ia ke anak-istrinya. Namun tak pernah diduga sebelumnya, mereka sama sekali tak menerimanya. Bahkan istrinya, tanpa sepengetahuan dia, telah menikah dengan pengusaha kaya dan hidup enak bersama anak-anaknya. Anak-anaknya juga sama sekali tak menghendaki bapaknya kembali, karena ia sudah tak punya apa-apa lagi.

Masyarakat tempat tinggalnya pun yang awalnya bersimpati dengannya turut tak menerimanya. Bahkan ia dicemooh dan dilempari dengan batu dan sampah. Rangkaian kejadian yang tak diduganya inilah yang membuatnya sakit hati dan hampir gila.

Di dalam pikirannya sebuah usungan keranda adalah jalan terbaik buatnya, daripada harus mendekam di Rumah Sakit Jiwa bersama orang-orang sinting.

Malam itu ia tak bisa tidur memikirkan kematiannya, kematian yang bagaimana yang paling baik buatnya.

Saat mendengar gerbong kereta api melintas, dia sadar bahwa tempat duduknya saat ini sangat dengat dengan lintasan rel kereta api, hanya melewati dua buah rumah melalu sebuah gang sempit. Dia menimbang-nimbang keputusannya karena muncul pikiran untuk memasangkan salah satu anggota tubuhnya-lehernya, di atas besi lintasan kereta api dan menunggu roda-roda besi tajam melindasnya dengan cepat. Dia hanya perlu tidur telentang dan memasangkan lehernya. Dia yakin hanya akan terasa sakit sebentar, sedikit nyeri, setelah itu nyawanya melayang.

Namun setelah menimbang-nimbang kembali rencana ini, ia jadi ragu. Dia berpikir siapa yang akan bertanggung jawab dan menguburnya. Betapa repot dan menjijikkan jika otak dan tetelan dagingnya berserakan tak menentu. Dia ingin mencari cara yang lebih sederhana, namun efesien.

Di hadapannya segala macam kendaraan melintas dengan deras di atas jalan mulus. Dia bias memilih salah satu kendaraan, tentunya kendaraan pribadi agar pemiliknya mau bertanggun jawab dan menguburkannya dengan layak.

Dia mencari momen yang tepat. Saat sebuah Mercy hitam melintas, dia sengaja menyeberang dan menabrakkan tubuhnya. Dia terpental ke pinggir trotoar. Darah kental mengalir ke aspal, dan dia menggelepar. Mobil yang menabrak tadi berhenti.

Dua orang anak yang memaai seragam sekolah itu turun karena kaget. Salah satunya menjerit dan satunya tergagap-gagap.

“Itu Papa!” teriak anak yang tergagap tadi. Lelaki muda yang menyetir mobil dan siap ke kantor tadi juga kaget. Kemudian dengan bantuan orang-orang, tubuh lelaki yang tertabrak itu dibopong dan dimasukkan ke dalam mobil. Mereka mengantarnya ke rumah sakit.

Laki-laki tak dikenal itu mendengar anak-anaknya menangis, tapi ia tak sepenuhnya sadar.

***

Lelaki yang tertabrak siang tadi kaget mendapati tubuhnya yang ringan tanpa beban. Beginikah rasanya mati, ucapnya dalam hati. Kini ia telah menjadi manusia paling bahagia seperti yang ia dambakan selama ini karena cita-citanya telah tercapai.

Dia melihat tubuhnya yang kaku terbungkus kain kafan di dalam usungan keranda dibawa ke tanah permakaman. Dia bangga bukan main. Dan kaget bukan main saat melihat anak istrinya menangis tersedu-sedu. Melihat mereka menangis begitu dia merasa ingin kembali.

Setelah pembacaan doa dan tahlil, penaburan bunga oleh sanak keluarga, mereka pergi meninggalkan tanah perkuburan. Tinggal dia sendiri meringkuk di bawah tanah. Setelah itu, dua makhluk tak dikenal datang tergopoh gopoh membawa buku catatan seperti tukang kredit menagih tunggakan dalam pikiran lelaki itu. Dia heran karena merasa selama ini tak pernah mengambil barang kreditan.

Kotaagung, 2009

Sabtu, 26 Februari 2011

Suara Lokal dalam Sastra Indonesia

Asarpin*
http://www.lampungpost.com/

SEJARAH kesusastraan abad ke-20 sangat dipengaruhi interaksinya dengan kolonialisme. Pada dasawarsa pertama Orde Lama, sastra Indonesia diwarnai sikap yang mendua: Sikap antara keharusan mengembangkan nilai-nilai lokal dan kekhawatiran terhadap identitas di baliknya. Ini berbeda dengan kenyataan yang terjadi di India dan Afrika, di mana sastra lokal pada 1950–1960-an menjadi strategi perlawanan terhadap kanon sastra Eropa.

Jumat, 04 Februari 2011

MEMBACA KULIT LUAR “KITAB PARA MALAIKAT” NUREL JAVISSYARQI

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).

Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).

Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.

Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.

Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.

Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.

Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.

Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.

Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.

KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.

Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.

Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.

Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.

Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.

Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010

Representasi Simbol Cahaya

Peresensi: Arif Hidayat
http://www.stainpress.com/
Judul Buku: Mistisisme Cahaya
Penulis : Heru Kurniawan
Penerbit : Grafindo dan STAIN Purwokerto Press
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xiii + 228

Filosofi mengenai cahaya sangat menarik perhatian, terutama bagi para pemikir Neo-Platonik. Perspektif mengenai cahaya secara filosofis sebenarnya telah dikemukakan oleh Suhrawardî (dalam Hikayat al-Isyraq) dan al-Ghazali (dalam Miskyat Cahaya-cahaya) beberapa waktu yang lampau. Keyakinan Suhrawardî dan al-Ghazali didasarkan kepada al-Qur’an surat an-Nur dan hadis tentang “Tujuh Puluh Ribu Tabir Cahaya dan Kegelapan”. Uraian-uraian mengenai cahaya seolah tidak ada habis-habisnya, seperti benang yang sangat panjang, bahkan masih menyimpan tabir kehidupan yang kaum rasionalisme tak bisa menjangkaunya.

Cahaya yang dalam pandangan kita berarti penerang kehidupan memiliki sisi lain berdasarkan pemikiran Heru Kurniawan. Adapun pemikiran Heru Kurniawan dalam buku ini merupakan kajian terhadap buku puisi Rumah Cahaya karya Abdul Wachid B.S., yang diinterpretasikan berdasarkan hermeneutika Paul Riceour.

Cahaya dalam buku ini dipandang sebagai simbol yang merepresentasikan esensi religius. Simbol cahaya memiliki beberapa struktur uraian, di antaranya; penandaan yang di dalamnya memiliki sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama (hal. 27).

Sebab itu, pembuktian mengenai sajak “Rumah Cahaya” sebagai kesadaran “aku-lirik” akan kehadiran Tuhan harus diuraikan secara berlapis-lapis. Yaitu, cahaya sebagai penerang kehidupan, cahaya sebagai petunjuk tuhan, dan cahaya adalah Tuhan itu sendiri yang mewujud di dalam diri “aku-lirik”. Dasar uraian tersebut identik dengan konsepsi ta’wil yang selalu mencari kontekstualisasi dari teks, dan kontekstualisasi dalam kajian ini adalah surat an-Nur ayat 35. Dalam surat itu dijelaskan bahwa Allah adalah Cahaya langit dan bumi, yang dalam pandangan Heru Kurniawan memiliki nilai mistik karena persepsi ini dalam tradisi mistisisme Islam mempunyai kesamaan eksistensi.

Kehadiran cahaya sebagai simbol dalam buku ini dirujuk seperti halnya kerja dari cermin. Cahaya memancar dari matahari ke bintang dan bulan, kemudian dari bintang dan bulan memancar ke bumi sebagai penerang. Tarik-menarik cahaya seperti magnet oleh antarbenda inilah yang menjadikan kehidupan tetap terjaga hingga sekarang. Yang permasalahan dari pembahasan ini adalah menelusuri mula dari cahaya, yaitu dari Yang Ahwal. Pendapat ini dikemukakan oleh Suhrawardî dan al-Ghazali (hal.88).

Kehadiran cahaya seperti itu ketika di bumi mampu merepresentasikan Dzat Yang Agung, yakni melalui wakil-Nya. Dia dikenal oleh makhluk-Nya melalui manifestasi-Nya, sedangkan Dia sendiri tidak terlihat. Kejadian ini sebenarnya bersifat esoteric, namun rahasia secara imanen membutuhkan penyingkapan (kanz makhfîan) untuk dikenal.

Secara substansi, cahaya tidak terlihat seperti halnya kita melihat matahari dengan mata secara langsung, tanpa atmosfer, hanya saja cahaya dapat membuat yang lain terlihat. Dari benda-benda di bumi yang saling memantulkan cahaya itulah kita dapat melihat. Bumi adalah tanah, maka bumi tempat manusia penuh dengan kegelapan yang membutuhkan cahaya dari langit. Dalam kegelapan itulah benda-benda saling memantul cahaya seperti cermin. Terminologi ini dapat kita temukan dalam tradisi mistisisme Islam, yang disebut juga tasawuf atau sufisme.

Barangkali yang menarik perhatian dalam buku ini adalah hubungan antara prespektif cahaya di Timur Tengah dengan cahaya di tanah Jawa. Hubungan ini harus diteliti secara historis yang membutuhkan kronologi masuknya (baca: persebaran) Islam ke Jawa.

Cahaya di Nusantara

Dalam perkembangan tasawuf di Nusantara, Hamzah Fansuri kiranya sufi yang dapat menerima pernyataan Tuhan sebagai Cahaya. Ajaran Wachdatul al-Wujud itu menjadi buktinya, karena ajaran ini memandang Tuhan dan alam semesta menyatu. Cahaya secara eksistensinya bagian dari alam semesta. Karena itu, cahaya dalam kesehariannya memberi kehidupan kepada pohon, rumput, dan hal lain yang terbentang di alam semesta, termasuk manusia. Ajaran Hamzah Fansuri yang termuat di dalam puisi tersebut memberi warna pada alur puisi sufi di Indonesia.

Prespektif cahaya di Timur Tengah diuraikan secara filosofis oleh Suhrawardî dan al-Ghazali. Pemahaman ini terkait dengan cahaya yang menjangkau realitas lahir dan batin. Artinya, cahaya dijelaskan secara fisik dan secara filosofis melalui tamsil. Adapun istilah cahaya dalam perkembangan tasawuf di Nusantara mewujud dalam teks-teks puisi. Bahkan, dalam dekade 1980-an prespektif cahaya dalam puisi lebih merupakan wacana ideologis, mengingat pada waktu itu merupakan kebangkitan puisi sufi di Indonesia.

Pandangan cahaya dalam perkembangan tasawuf di Nusantara dan mengalir dalam perpuisian Indonesia dalam buku ini dimaksudkan sebagai konteks dari sajak “Rumah Cahaya”. Sementara itu, simbol cahaya dalam sajak itu diinterpretasikan sebagai hidayah dari Tuhan atas zaman yang serba virtual ini. ‘Kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit/ mendekap manusiaku’. Manusia yang secara esensinya tanah berarti kegelapan sehingga membutuhkan Tuhan untuk menemukan jati dirinya. Hanya Tuhanlah tempat kembali. Demikianlah uraian-uraian cahaya sebagai simbol memiliki nilai mistik.

Karena kajian ini bersifat tekstual, maka interpretasi didasarkan pada penelitian-penelitian tokoh terdahulu yang kemudian ditautkan dengan paradigma Islam yang lebih spesifik mengenai realitas cahaya sebagai gerak mistik. Lapis-lapis analisis yang diramu dengan sistematika ilmiah ini terkesan seperti “narasi historis” mengenai kedatangan cahaya. Kita dengan nalar dan jiwa yang bersih akan lekas paham mengenai esensi cahaya sebagai simbol, apalagi buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, jelas, dan dengan gaya esai. Buku yang mulanya tesis ini, tidak tampak seperti tulisan ilmiah pada umumnya.

Biodata Penulis:
ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Sedang menulis skripsi di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alamatnya Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com HP 081911308227.

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez