Aguk Irawan M.N.*
http://www.jawapos.co.id/
IBNU AL-NADIM dalam kitabnya Al-Fihrist mengisahkan, suatu malam khalifah Al-Ma’mun (813-833) bermimpi melihat sosok berkulit putih kemerah-merahan, keningnya lebar, matanya biru, sikapnya gagah, sedang duduk di atas singgasana. Orang itu tidak lain adalah Aristoteles. Percakapan yang berlangsung di antara mereka –dalam mimpi itu– memberi inspirasi kepada Al-Ma’mun untuk menyosialisasikan literatur Yunani di lingkungan akademinya. Setelah mengadakan hubungan melalui surat-menyurat dengan penguasa Byzantium, Al-Ma’mun mengutus sebuah tim kerja ke Yunani, dan tak lama berselang utusan itu kembali dengan membawa sejumlah buku untuk diterjemahkan.
Inilah awal mula gerakan penerjemahan di dunia Arab abad pertengahan yang membuat Akademi Bait Al-Hikmah (dar al-ilm) –yang dirintis Al-Ma’mun– semakin tersohor. Dalam kerja penerjemahan literatur Yunani, Al-Ma’mun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadis dan mufassir dari setiap penjuru. Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan.
Sir John Glubb dalam Moslem Heroes in The World –dikutip oleh M. Atiqul Haque (1995)– mencatat bahwa Hunain Ibn Ashaq, seorang kristiani, telah menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan Plato dari karya-karya Hippocrates dan Galen dalam bidang fisika –khususnya tujuh volume Anatomy Galen– yang beberapa tahun kemudian penyebarannya sampai ke Eropa Barat melalui Sisilia dan Spanyol.
Setelah menjamurnya karya-karya terjemahan itu, semakin lengkaplah koleksi buku di perpustakaan Akademi Bait Al-Hikmah. Sebagaimana dicatat juga oleh Al-Nadim, perpustakaan itu telah mempekerjakan sarjana-sarjana brilian seperti Al-Kindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles; Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka, penemu Al-Jabar juga bekerja di perpustakaan ini. Selama masa tugasnya itu, ia menulis karya monumental kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah.
Para penguasa di kurun itu dinilai sebagai pribadi-pribadi yang memiliki perhatian penuh terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan keterlibatan mereka secara langsung dalam membangun perpustakaan. Ini diakui oleh J. Pedersen dalam The Arabic Book (1984) bahwa, dunia ilmu pengetahuan telah menduduki posisi yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah jika para penguasa dan orang-orang yang mampu ikut ambil bagian dan mengusahakan kemajuannya. Pada 1065, perdana menteri pemerintahan Saljuk, Malik Shah –dalam sejarah dikenal dengan nama Nizam Al-Mulk– mendirikan perpustakaan Nizamiyah sebagai sentral penyimpanan buku-buku bagi kelangsungan aktivitas keilmuan di Madrasah Nizamiyah.
Jumlah koleksi buku di perpustakaan itu hampir sama dengan koleksi buku di perpustakaan Bait Al-Hikmah. Namun, menariknya, peningkatan jumlah koleksi di perpustakaan ini diselenggarakan dengan program wakaf besar-besaran. Ibn Al-Thir menyebutkan, Muhib al-Din An-Najjar al-Baghdadi mewakafkan koleksi pribadinya dalam jumlah relatif banyak. Bahkan khalifah An-Nashir juga ikut ambil bagian dalam program pewakafan itu dengan menyumbangkan ribuan buku. Perpustakaan itu mempekerjakan pustakawan reguler sebagai karyawan yang digaji tinggi. Di antara pustakawan terkenal seperti Abu Zakariyyah al-Tibrizi dan Yaqub Ibn Sulaiman al-Askari bekerja di perpustakaan ini. Di sana pula Nizam al-Mulk al-Tusi (wafat 1092) menghabiskan sebagian besar waktunya dan menulis buku tentang hubungan internasional, Siyar Mulk yang terkenal itu. (Sardar, 2000).
Masih di kawasan Baghdad, pada 1227, khalifah Muntasir Billah mendirikan sebuah perpustakaan megah guna memfasilitasi berbagai diskursus keilmuan di Madrasah Musthansiriyah. Pengeliling dunia Ibn Batutah menceritakan tentang Musthansiriyah dan perpustakaannya dengan jelas, bahwa dengan 150 unta yang membawa buku-buku langka dari istana, perpustakaan ini memiliki koleksi 80.000 judul. Melihat kekayaan khazanah intelektual yang tersimpan di setiap perpustakaannya, wajarlah jika Kota Baghdad masa itu menjadi pusat berbagai aktivitas keilmuan dari berbagai disiplin ilmu yang didatangi oleh para pelajar dari berbagai penjuru dunia.
Pertumbuhan dan perkembangan perpustakaan yang dipelopori langsung oleh penguasa tidak saja terkonsentrasi di dalam satu wilayah seperti Baghdad saja, tetapi juga tumbuh pesat di belahan wilayah lain seperti di Kairo. Menurut catatan Sardar, di daerah ini terdapat Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan oleh salah seorang pejabat Fatimiyah, al-Aziz ibn al-Muizz. Perpustakaan itu terdiri dari 40 ruangan yang diisi lebih dari 1,6 juta buku, dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.
Sebagai implikasi dari tingginya sense of science para penguasa masa itu, sampai pada periode sejarah kerajaan-kerajaan kecil (malakut thawaif), kultur semacam ini masih tetap terpelihara. Kerajaan-kerajaan kecil juga sibuk membangun perpustakaan, seperti perpustakaan Nuh Ibn Mansur, salah seorang sultan Bukhara sebagaimana dilukiskan oleh Ibnu Sina: ”Setelah memohon dan mendapat izin dari Nuh bin Mansur untuk mengunjungi perpustakaan ini, saya menemukan banyak ruangan yang penuh dengan buku-buku. Sebuah ruangan berisi buku-buku filsafat dan puisi, sementara ruangan lainnya yurisprudensi. Saya membaca katalog dari pengarang kuno dan mendapatkan semua buku yang diperlukan. Di sana banyak sekali buku-buku yang tidak pernah saya temukan sebelumnya,” (Bibliophilism in Medieval Islam, 1938).
Model-model perpustakaan abad pertengahan yang telah menjadi salah satu tiang penyangga peradaban di era golden age, bukan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan literatur, tetapi juga berperan sebagai wahana bagi sejumlah aktivitas keilmuan, sehingga perpustakaan juga menjadi tempat penyelenggaraan riset secara intensif, ajang berpolemik para ilmuwan dari berbagai spesifikasi dan kegiatan-kegiatan umum lainnya. Begitu juga pengunjung perpustakaan, bukan hanya kalangan keluarga kerajaan, juga terbuka untuk seluruh pelajar dari berbagai tingkatan keilmuan.
Sebuah peradaban sukar dibayangkan bila tanpa buku. Dan, distribusi ilmu pengetahuan akan cepat bergulir bila para penguasa terlibat langsung dalam mendirikan perpustakaan, memfasilitasi kegiatan-kegiatan riset, menumbuh-kembangkan tradisi intelektual tanpa kekangan dalam bentuk apa pun. Sejak lama, hubungan penguasa dengan buku telah menjadi semacam ”syarat-rukun” dalam menegakkan tiang-tiang penyangga sebuah peradaban. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap dunia perbukuan itu adalah juga sebuah lelaku yang beradab, sehingga Sardar menyebutnya sebagai civilization of book (peradaban buku). Lalu, sudahkah para penguasa kita (juga calon penguasa hari ini yang sibuk berkempanye) menyadarinya? (*)
*) Aguk Irawan M.N., pendiri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 27 Februari 2011
Keranda
Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/
DI setiap usungan keranda, ia percaya ada manusia bahagia di dalamnya. Ada manusia-manusia yang lega terbebas dari petaka. Ada pula manusia-manusia yang terbebas dari lilitan utang yang sekian lama menjeratnya atau sebuah tanggung jawab besar yang jika ia masih hidup akan membuatnya kian tersiksa. Maka, dengan kematian seseorang telah terbebas dari banyak hal. Terputus dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Maka ia-seorang laki-laki tak dikenal itu, membuat kesimpulan sendiri menurut versinya: orang-orang yang berada di dalam usungan keranda dan terbungkus dalam kain putih bersih adalah manusia-manusia bahagia.
Dia melihat sendiri bagaimana saat-saat terakhir orang di dalam usungan keranda itu. Dia tahu persis kronologisnya. Bahkan dia masih dapat membayangkan bagaimana seseorang di dalam usungan keranda tersebut meregang nyawa. Wajahnya hanya tampak merasa sakit sesaat, beberapa jenak, kemudian hening dan kosong-tak ada lagi nyawa dalam tubuh tak berdaya itu.
Kematian lebih baik daripada seseorang di dalam usungan keranda itu harus merasakan sakit luar biasa karena tulang belulangnya remuk-redam terbentur kepala mobil pikap yang melaju kencang dari arah kiri saat ia menyeberang. Tubuh renta itu terpental dan terbentur lagi dengan tembok pagar rumah dan mobil pikap itu melaju tergesa-gesa, kabur sebelum tertangkap massa.
Kematian akan lebih baik daripada sanak-saudaranya harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk pengobatan. Dan mungkin saja lelaki tua di dalam usungan keranda itu telah lama digerogoti kanker atau diabetes beserta penyakit komplikasi yang menahun. Lelaki tua itu mungkin telah lama mendambakan kematian karena menganggap dirinya tak berguna lagi, tak mampu melakukan apa pun dan hanya merepotkan keluarga saja.
Dengan kematiannya tadi siang, maka tuntaslah dahaganya akan kematian. Dan lelaki tua di dalam usungan keranda menjadi manusia paling bahagia karena baru saja terbebas dari segala hal yang dapat menyiksa raga dan jiwanya. Begitulah sementara kesimpulan yang ada di kepala lelaki tak dikenal itu.
Dia mengikuti rombongan yang mengantar jenazah ke tanah permakaman. Dia melihat orang tua di dalam bungkusan kain kafan itu diturunkan ke liang kubur. Di situlah rumahnya yang terakhir, sepi, dan jauh dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Meski wajahnya tampak sayu dan tak bersemangat, dia tahu lelaki tua itu sedang menyembunyikan kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang tak terperikan.
Lelaki tak dikenal itu bertanya pada seseorang di sebelahnya-yang tampaknya tetangga si jenazah, tentang lelaki tua yang telah diturunkan ke liang lahatnya dan siap ditimbun tanah.
“Orang tua ini namanya Pak Soemanti. Dia sangat dihormati di lingkungan kami karena ia seorang mantan pejuang. Dia tinggal di kompleks sana akhir-akhir ini, di rumah anaknya. Namun tinggalnya tak pernah tetap.”
“Apa dia tak punya tempat tinggal. Bukankah mantan pejuang dijamin pemerintah sisa hidupnya?”
“Dulunya punya, tapi setelah digusur untuk pembangunan hotel berbintang, ia pontang-panting menumpang tempat tinggal pada anak dan cucunya. Ketika dia masih kuat, dia sering berjualan pisang berkeliling kompleks, bahkan sampai ke pasar. Tapi sekarang tidak lagi karena dia sudah semakin berumur dan tak kuat lagi berjalan.”
Suasana jadi hening dan takzim ketika seorang kiai memimpin pembacaan doa dan tahlil. Setelah acara penaburan bunga oleh anggota keluarga yang berduka, mereka meninggalkan tanah permakaman.
***
Laki-laki itu duduk merenungkan percakapannya tadi dengan seseorang. Dia tak mengira sebelumnya lelaki tua yang tertabrak mobil pikup siang tadi adalah seorang mantan pejuang. Seorang pahlawan yang telah menyelamatkan banyak orang. Betapa malang nasib seorang mantan pejuang, gerutunya dalam hati. Untung aku tidak hidup di zaman penjajah dan memilih menjadi seorang pejuang.
Kini keyakinannya bertambah bahwa orang tua tadi benar-benar bahagia atas kematiannya. Bahkan sangat bahagia karena baru saja terlepas dari kekangan kemalangan dan perlakuan tak adil. Mungkin saja anak cucunya telah rela dan merasa lega.
Dia membayangkan betapa hebat lelaki tua itu ketika mudanya. Kekita peluru-peluru berdesing meluncur ke arahnya, dia dengan sigap serta merta dapat menghindar dengan tepat, dan dengan satu tombakan bambu saja satu tentara musuh melayang. Saat tentara-tentara lawan menyerbu markas, mereka dapat mengatasinya dengan baik. Mereka dapat mengusir para penjajah dari tanah leluhur meski jumlah mereka lebih sedikit dibanding jumlah tentara lawan dan senjata yang tak memadai. Begitulah imajinasi lelaki tak dikenal itu mengenai peperangan zaman penjajah.
Dugaannya sangat kuat, orang tua tadi akan mendapat tempat terhormat di dalam kuburnya. Dengan kejadian tadi siang dia telah mendapat sebuah inspirasi buat melepas kesusahannya selama ini: kematian!
Bila lelaki tak dikenal itu mengingat-iangat kesusahannya selama ini, dia akan stres berat dan hampir menjadi orang gila baru. Maka ia tak ingin sedikitpun mengingat-ingatnya lagi, apalagi menceritakannya pada orang lain. Merepotkan dan membuat hati tak nyaman. Apalagi jika harus mengorbankan kewarasan hanya untuk mengingat hal-hal sulit yang tak penting lagi dipikirkan. Maka jangan harap mendengar cerita itu dari mulutnya.
Karena itu, biar kuceritakan sedikit tentang kesusahannya itu. Sedikit saja karena hanya itu yang kutahu. Jangan sampai ada yang menceritakannya lagi pada orang lain dan jangan sampai dia mengetahui hal ini. Sebenarnya ia tak mau aku mencerikan ini pada siapa pun, tapi apa boleh buat. Tentu kau akan merasa penasaran jika tak kuceritakan di sini. Demikian kira-kira sedikit pengetahuan tentang kesusahannya itu.
Dulu dia besar dan dibesarkan di lingkungan dan keluarga yang susah. Rumah kecil mereka berada di belakang musala. Setiap kali ia mendengar suara tutup keranda membuka kemudian menutup kembali, tak lama setelah itu dari corong mikrofon disiarkan kabar duka orang meninggal. Dia menyimpulkan itulah pertanda paling konkret mengenai keranda dan orang meninggal setelah beberapa puluh kali pengalaman itu terus berulang.
Kemudian setelah dewasa, nasib mengutusnya menjadi seorang yang penting dalam masyarakat. Dia menjadi pejabat yang baik. Pejabat yang sangat dihormati sekaligus terkenal sebagai pejabat yang bersih.
Namun, karena tuntutan kebutuhan dan anak istri, gaya hidup yang mewah dan iblis-iblis laknat di sekitarnya baik yang terlihat maupun tak terlihat sering merayunya, akhirnya ia menerima juga tawaran suap yang dulu selalu mengalir dan selalu ditolaknya.
Awalnya mereka hidup tenang dan nyaman, dengan kebahagiaan yang mengalir terus-menerus tanpa sedikit pun gangguan dan gesekan. Namun, setelah sekian lama gelagatnya tercium juga oleh aparat hukum. Kasusnya diusut tuntas dan diadili. Dan diputuskan ia bersalah telah menerima suap ditambah tuduhan menggelapkan dana proyek. Dia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyerah. Meski tuduhan menggelapkan dana proyek tak terbukti, kasus penyuapan yang menjeratnya. Dia sudah berupaya membayar pengacara hebat, juga berkompromi dengan aparat tersebut, tapi tak berhasil. Rupanya tak semua aparat hukum dapat diajak “kompromi”. Akhirnya dia menerima kekalahan dan menjalani hukuman sebagaimana mestinya.
Bertahun-tahun dia mendekam dalam kurungan, kedinginan tanpa fasilitas-fasilitas yang selama ini dinikmatinya. Hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dia frustrasi.
Setelah keluar dari penjara, ia tak lagi punya apa-apa. Kembalilah ia ke anak-istrinya. Namun tak pernah diduga sebelumnya, mereka sama sekali tak menerimanya. Bahkan istrinya, tanpa sepengetahuan dia, telah menikah dengan pengusaha kaya dan hidup enak bersama anak-anaknya. Anak-anaknya juga sama sekali tak menghendaki bapaknya kembali, karena ia sudah tak punya apa-apa lagi.
Masyarakat tempat tinggalnya pun yang awalnya bersimpati dengannya turut tak menerimanya. Bahkan ia dicemooh dan dilempari dengan batu dan sampah. Rangkaian kejadian yang tak diduganya inilah yang membuatnya sakit hati dan hampir gila.
Di dalam pikirannya sebuah usungan keranda adalah jalan terbaik buatnya, daripada harus mendekam di Rumah Sakit Jiwa bersama orang-orang sinting.
Malam itu ia tak bisa tidur memikirkan kematiannya, kematian yang bagaimana yang paling baik buatnya.
Saat mendengar gerbong kereta api melintas, dia sadar bahwa tempat duduknya saat ini sangat dengat dengan lintasan rel kereta api, hanya melewati dua buah rumah melalu sebuah gang sempit. Dia menimbang-nimbang keputusannya karena muncul pikiran untuk memasangkan salah satu anggota tubuhnya-lehernya, di atas besi lintasan kereta api dan menunggu roda-roda besi tajam melindasnya dengan cepat. Dia hanya perlu tidur telentang dan memasangkan lehernya. Dia yakin hanya akan terasa sakit sebentar, sedikit nyeri, setelah itu nyawanya melayang.
Namun setelah menimbang-nimbang kembali rencana ini, ia jadi ragu. Dia berpikir siapa yang akan bertanggung jawab dan menguburnya. Betapa repot dan menjijikkan jika otak dan tetelan dagingnya berserakan tak menentu. Dia ingin mencari cara yang lebih sederhana, namun efesien.
Di hadapannya segala macam kendaraan melintas dengan deras di atas jalan mulus. Dia bias memilih salah satu kendaraan, tentunya kendaraan pribadi agar pemiliknya mau bertanggun jawab dan menguburkannya dengan layak.
Dia mencari momen yang tepat. Saat sebuah Mercy hitam melintas, dia sengaja menyeberang dan menabrakkan tubuhnya. Dia terpental ke pinggir trotoar. Darah kental mengalir ke aspal, dan dia menggelepar. Mobil yang menabrak tadi berhenti.
Dua orang anak yang memaai seragam sekolah itu turun karena kaget. Salah satunya menjerit dan satunya tergagap-gagap.
“Itu Papa!” teriak anak yang tergagap tadi. Lelaki muda yang menyetir mobil dan siap ke kantor tadi juga kaget. Kemudian dengan bantuan orang-orang, tubuh lelaki yang tertabrak itu dibopong dan dimasukkan ke dalam mobil. Mereka mengantarnya ke rumah sakit.
Laki-laki tak dikenal itu mendengar anak-anaknya menangis, tapi ia tak sepenuhnya sadar.
***
Lelaki yang tertabrak siang tadi kaget mendapati tubuhnya yang ringan tanpa beban. Beginikah rasanya mati, ucapnya dalam hati. Kini ia telah menjadi manusia paling bahagia seperti yang ia dambakan selama ini karena cita-citanya telah tercapai.
Dia melihat tubuhnya yang kaku terbungkus kain kafan di dalam usungan keranda dibawa ke tanah permakaman. Dia bangga bukan main. Dan kaget bukan main saat melihat anak istrinya menangis tersedu-sedu. Melihat mereka menangis begitu dia merasa ingin kembali.
Setelah pembacaan doa dan tahlil, penaburan bunga oleh sanak keluarga, mereka pergi meninggalkan tanah perkuburan. Tinggal dia sendiri meringkuk di bawah tanah. Setelah itu, dua makhluk tak dikenal datang tergopoh gopoh membawa buku catatan seperti tukang kredit menagih tunggakan dalam pikiran lelaki itu. Dia heran karena merasa selama ini tak pernah mengambil barang kreditan.
Kotaagung, 2009
http://www.lampungpost.com/
DI setiap usungan keranda, ia percaya ada manusia bahagia di dalamnya. Ada manusia-manusia yang lega terbebas dari petaka. Ada pula manusia-manusia yang terbebas dari lilitan utang yang sekian lama menjeratnya atau sebuah tanggung jawab besar yang jika ia masih hidup akan membuatnya kian tersiksa. Maka, dengan kematian seseorang telah terbebas dari banyak hal. Terputus dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Maka ia-seorang laki-laki tak dikenal itu, membuat kesimpulan sendiri menurut versinya: orang-orang yang berada di dalam usungan keranda dan terbungkus dalam kain putih bersih adalah manusia-manusia bahagia.
Dia melihat sendiri bagaimana saat-saat terakhir orang di dalam usungan keranda itu. Dia tahu persis kronologisnya. Bahkan dia masih dapat membayangkan bagaimana seseorang di dalam usungan keranda tersebut meregang nyawa. Wajahnya hanya tampak merasa sakit sesaat, beberapa jenak, kemudian hening dan kosong-tak ada lagi nyawa dalam tubuh tak berdaya itu.
Kematian lebih baik daripada seseorang di dalam usungan keranda itu harus merasakan sakit luar biasa karena tulang belulangnya remuk-redam terbentur kepala mobil pikap yang melaju kencang dari arah kiri saat ia menyeberang. Tubuh renta itu terpental dan terbentur lagi dengan tembok pagar rumah dan mobil pikap itu melaju tergesa-gesa, kabur sebelum tertangkap massa.
Kematian akan lebih baik daripada sanak-saudaranya harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk pengobatan. Dan mungkin saja lelaki tua di dalam usungan keranda itu telah lama digerogoti kanker atau diabetes beserta penyakit komplikasi yang menahun. Lelaki tua itu mungkin telah lama mendambakan kematian karena menganggap dirinya tak berguna lagi, tak mampu melakukan apa pun dan hanya merepotkan keluarga saja.
Dengan kematiannya tadi siang, maka tuntaslah dahaganya akan kematian. Dan lelaki tua di dalam usungan keranda menjadi manusia paling bahagia karena baru saja terbebas dari segala hal yang dapat menyiksa raga dan jiwanya. Begitulah sementara kesimpulan yang ada di kepala lelaki tak dikenal itu.
Dia mengikuti rombongan yang mengantar jenazah ke tanah permakaman. Dia melihat orang tua di dalam bungkusan kain kafan itu diturunkan ke liang kubur. Di situlah rumahnya yang terakhir, sepi, dan jauh dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Meski wajahnya tampak sayu dan tak bersemangat, dia tahu lelaki tua itu sedang menyembunyikan kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang tak terperikan.
Lelaki tak dikenal itu bertanya pada seseorang di sebelahnya-yang tampaknya tetangga si jenazah, tentang lelaki tua yang telah diturunkan ke liang lahatnya dan siap ditimbun tanah.
“Orang tua ini namanya Pak Soemanti. Dia sangat dihormati di lingkungan kami karena ia seorang mantan pejuang. Dia tinggal di kompleks sana akhir-akhir ini, di rumah anaknya. Namun tinggalnya tak pernah tetap.”
“Apa dia tak punya tempat tinggal. Bukankah mantan pejuang dijamin pemerintah sisa hidupnya?”
“Dulunya punya, tapi setelah digusur untuk pembangunan hotel berbintang, ia pontang-panting menumpang tempat tinggal pada anak dan cucunya. Ketika dia masih kuat, dia sering berjualan pisang berkeliling kompleks, bahkan sampai ke pasar. Tapi sekarang tidak lagi karena dia sudah semakin berumur dan tak kuat lagi berjalan.”
Suasana jadi hening dan takzim ketika seorang kiai memimpin pembacaan doa dan tahlil. Setelah acara penaburan bunga oleh anggota keluarga yang berduka, mereka meninggalkan tanah permakaman.
***
Laki-laki itu duduk merenungkan percakapannya tadi dengan seseorang. Dia tak mengira sebelumnya lelaki tua yang tertabrak mobil pikup siang tadi adalah seorang mantan pejuang. Seorang pahlawan yang telah menyelamatkan banyak orang. Betapa malang nasib seorang mantan pejuang, gerutunya dalam hati. Untung aku tidak hidup di zaman penjajah dan memilih menjadi seorang pejuang.
Kini keyakinannya bertambah bahwa orang tua tadi benar-benar bahagia atas kematiannya. Bahkan sangat bahagia karena baru saja terlepas dari kekangan kemalangan dan perlakuan tak adil. Mungkin saja anak cucunya telah rela dan merasa lega.
Dia membayangkan betapa hebat lelaki tua itu ketika mudanya. Kekita peluru-peluru berdesing meluncur ke arahnya, dia dengan sigap serta merta dapat menghindar dengan tepat, dan dengan satu tombakan bambu saja satu tentara musuh melayang. Saat tentara-tentara lawan menyerbu markas, mereka dapat mengatasinya dengan baik. Mereka dapat mengusir para penjajah dari tanah leluhur meski jumlah mereka lebih sedikit dibanding jumlah tentara lawan dan senjata yang tak memadai. Begitulah imajinasi lelaki tak dikenal itu mengenai peperangan zaman penjajah.
Dugaannya sangat kuat, orang tua tadi akan mendapat tempat terhormat di dalam kuburnya. Dengan kejadian tadi siang dia telah mendapat sebuah inspirasi buat melepas kesusahannya selama ini: kematian!
Bila lelaki tak dikenal itu mengingat-iangat kesusahannya selama ini, dia akan stres berat dan hampir menjadi orang gila baru. Maka ia tak ingin sedikitpun mengingat-ingatnya lagi, apalagi menceritakannya pada orang lain. Merepotkan dan membuat hati tak nyaman. Apalagi jika harus mengorbankan kewarasan hanya untuk mengingat hal-hal sulit yang tak penting lagi dipikirkan. Maka jangan harap mendengar cerita itu dari mulutnya.
Karena itu, biar kuceritakan sedikit tentang kesusahannya itu. Sedikit saja karena hanya itu yang kutahu. Jangan sampai ada yang menceritakannya lagi pada orang lain dan jangan sampai dia mengetahui hal ini. Sebenarnya ia tak mau aku mencerikan ini pada siapa pun, tapi apa boleh buat. Tentu kau akan merasa penasaran jika tak kuceritakan di sini. Demikian kira-kira sedikit pengetahuan tentang kesusahannya itu.
Dulu dia besar dan dibesarkan di lingkungan dan keluarga yang susah. Rumah kecil mereka berada di belakang musala. Setiap kali ia mendengar suara tutup keranda membuka kemudian menutup kembali, tak lama setelah itu dari corong mikrofon disiarkan kabar duka orang meninggal. Dia menyimpulkan itulah pertanda paling konkret mengenai keranda dan orang meninggal setelah beberapa puluh kali pengalaman itu terus berulang.
Kemudian setelah dewasa, nasib mengutusnya menjadi seorang yang penting dalam masyarakat. Dia menjadi pejabat yang baik. Pejabat yang sangat dihormati sekaligus terkenal sebagai pejabat yang bersih.
Namun, karena tuntutan kebutuhan dan anak istri, gaya hidup yang mewah dan iblis-iblis laknat di sekitarnya baik yang terlihat maupun tak terlihat sering merayunya, akhirnya ia menerima juga tawaran suap yang dulu selalu mengalir dan selalu ditolaknya.
Awalnya mereka hidup tenang dan nyaman, dengan kebahagiaan yang mengalir terus-menerus tanpa sedikit pun gangguan dan gesekan. Namun, setelah sekian lama gelagatnya tercium juga oleh aparat hukum. Kasusnya diusut tuntas dan diadili. Dan diputuskan ia bersalah telah menerima suap ditambah tuduhan menggelapkan dana proyek. Dia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyerah. Meski tuduhan menggelapkan dana proyek tak terbukti, kasus penyuapan yang menjeratnya. Dia sudah berupaya membayar pengacara hebat, juga berkompromi dengan aparat tersebut, tapi tak berhasil. Rupanya tak semua aparat hukum dapat diajak “kompromi”. Akhirnya dia menerima kekalahan dan menjalani hukuman sebagaimana mestinya.
Bertahun-tahun dia mendekam dalam kurungan, kedinginan tanpa fasilitas-fasilitas yang selama ini dinikmatinya. Hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dia frustrasi.
Setelah keluar dari penjara, ia tak lagi punya apa-apa. Kembalilah ia ke anak-istrinya. Namun tak pernah diduga sebelumnya, mereka sama sekali tak menerimanya. Bahkan istrinya, tanpa sepengetahuan dia, telah menikah dengan pengusaha kaya dan hidup enak bersama anak-anaknya. Anak-anaknya juga sama sekali tak menghendaki bapaknya kembali, karena ia sudah tak punya apa-apa lagi.
Masyarakat tempat tinggalnya pun yang awalnya bersimpati dengannya turut tak menerimanya. Bahkan ia dicemooh dan dilempari dengan batu dan sampah. Rangkaian kejadian yang tak diduganya inilah yang membuatnya sakit hati dan hampir gila.
Di dalam pikirannya sebuah usungan keranda adalah jalan terbaik buatnya, daripada harus mendekam di Rumah Sakit Jiwa bersama orang-orang sinting.
Malam itu ia tak bisa tidur memikirkan kematiannya, kematian yang bagaimana yang paling baik buatnya.
Saat mendengar gerbong kereta api melintas, dia sadar bahwa tempat duduknya saat ini sangat dengat dengan lintasan rel kereta api, hanya melewati dua buah rumah melalu sebuah gang sempit. Dia menimbang-nimbang keputusannya karena muncul pikiran untuk memasangkan salah satu anggota tubuhnya-lehernya, di atas besi lintasan kereta api dan menunggu roda-roda besi tajam melindasnya dengan cepat. Dia hanya perlu tidur telentang dan memasangkan lehernya. Dia yakin hanya akan terasa sakit sebentar, sedikit nyeri, setelah itu nyawanya melayang.
Namun setelah menimbang-nimbang kembali rencana ini, ia jadi ragu. Dia berpikir siapa yang akan bertanggung jawab dan menguburnya. Betapa repot dan menjijikkan jika otak dan tetelan dagingnya berserakan tak menentu. Dia ingin mencari cara yang lebih sederhana, namun efesien.
Di hadapannya segala macam kendaraan melintas dengan deras di atas jalan mulus. Dia bias memilih salah satu kendaraan, tentunya kendaraan pribadi agar pemiliknya mau bertanggun jawab dan menguburkannya dengan layak.
Dia mencari momen yang tepat. Saat sebuah Mercy hitam melintas, dia sengaja menyeberang dan menabrakkan tubuhnya. Dia terpental ke pinggir trotoar. Darah kental mengalir ke aspal, dan dia menggelepar. Mobil yang menabrak tadi berhenti.
Dua orang anak yang memaai seragam sekolah itu turun karena kaget. Salah satunya menjerit dan satunya tergagap-gagap.
“Itu Papa!” teriak anak yang tergagap tadi. Lelaki muda yang menyetir mobil dan siap ke kantor tadi juga kaget. Kemudian dengan bantuan orang-orang, tubuh lelaki yang tertabrak itu dibopong dan dimasukkan ke dalam mobil. Mereka mengantarnya ke rumah sakit.
Laki-laki tak dikenal itu mendengar anak-anaknya menangis, tapi ia tak sepenuhnya sadar.
***
Lelaki yang tertabrak siang tadi kaget mendapati tubuhnya yang ringan tanpa beban. Beginikah rasanya mati, ucapnya dalam hati. Kini ia telah menjadi manusia paling bahagia seperti yang ia dambakan selama ini karena cita-citanya telah tercapai.
Dia melihat tubuhnya yang kaku terbungkus kain kafan di dalam usungan keranda dibawa ke tanah permakaman. Dia bangga bukan main. Dan kaget bukan main saat melihat anak istrinya menangis tersedu-sedu. Melihat mereka menangis begitu dia merasa ingin kembali.
Setelah pembacaan doa dan tahlil, penaburan bunga oleh sanak keluarga, mereka pergi meninggalkan tanah perkuburan. Tinggal dia sendiri meringkuk di bawah tanah. Setelah itu, dua makhluk tak dikenal datang tergopoh gopoh membawa buku catatan seperti tukang kredit menagih tunggakan dalam pikiran lelaki itu. Dia heran karena merasa selama ini tak pernah mengambil barang kreditan.
Kotaagung, 2009
Sabtu, 26 Februari 2011
Suara Lokal dalam Sastra Indonesia
Asarpin*
http://www.lampungpost.com/
SEJARAH kesusastraan abad ke-20 sangat dipengaruhi interaksinya dengan kolonialisme. Pada dasawarsa pertama Orde Lama, sastra Indonesia diwarnai sikap yang mendua: Sikap antara keharusan mengembangkan nilai-nilai lokal dan kekhawatiran terhadap identitas di baliknya. Ini berbeda dengan kenyataan yang terjadi di India dan Afrika, di mana sastra lokal pada 1950–1960-an menjadi strategi perlawanan terhadap kanon sastra Eropa.
http://www.lampungpost.com/
SEJARAH kesusastraan abad ke-20 sangat dipengaruhi interaksinya dengan kolonialisme. Pada dasawarsa pertama Orde Lama, sastra Indonesia diwarnai sikap yang mendua: Sikap antara keharusan mengembangkan nilai-nilai lokal dan kekhawatiran terhadap identitas di baliknya. Ini berbeda dengan kenyataan yang terjadi di India dan Afrika, di mana sastra lokal pada 1950–1960-an menjadi strategi perlawanan terhadap kanon sastra Eropa.
Jumat, 04 Februari 2011
MEMBACA KULIT LUAR “KITAB PARA MALAIKAT” NUREL JAVISSYARQI
M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).
Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).
Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.
Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.
Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.
Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.
Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.
Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.
Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.
KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.
Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.
Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.
Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.
Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.
Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010
http://sastra-indonesia.com/
Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).
Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).
Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.
Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.
Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.
Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.
Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.
Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.
Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.
KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.
Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.
Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.
Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.
Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.
Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010
Representasi Simbol Cahaya
Peresensi: Arif Hidayat
http://www.stainpress.com/
Judul Buku: Mistisisme Cahaya
Penulis : Heru Kurniawan
Penerbit : Grafindo dan STAIN Purwokerto Press
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xiii + 228
Filosofi mengenai cahaya sangat menarik perhatian, terutama bagi para pemikir Neo-Platonik. Perspektif mengenai cahaya secara filosofis sebenarnya telah dikemukakan oleh Suhrawardî (dalam Hikayat al-Isyraq) dan al-Ghazali (dalam Miskyat Cahaya-cahaya) beberapa waktu yang lampau. Keyakinan Suhrawardî dan al-Ghazali didasarkan kepada al-Qur’an surat an-Nur dan hadis tentang “Tujuh Puluh Ribu Tabir Cahaya dan Kegelapan”. Uraian-uraian mengenai cahaya seolah tidak ada habis-habisnya, seperti benang yang sangat panjang, bahkan masih menyimpan tabir kehidupan yang kaum rasionalisme tak bisa menjangkaunya.
Cahaya yang dalam pandangan kita berarti penerang kehidupan memiliki sisi lain berdasarkan pemikiran Heru Kurniawan. Adapun pemikiran Heru Kurniawan dalam buku ini merupakan kajian terhadap buku puisi Rumah Cahaya karya Abdul Wachid B.S., yang diinterpretasikan berdasarkan hermeneutika Paul Riceour.
Cahaya dalam buku ini dipandang sebagai simbol yang merepresentasikan esensi religius. Simbol cahaya memiliki beberapa struktur uraian, di antaranya; penandaan yang di dalamnya memiliki sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama (hal. 27).
Sebab itu, pembuktian mengenai sajak “Rumah Cahaya” sebagai kesadaran “aku-lirik” akan kehadiran Tuhan harus diuraikan secara berlapis-lapis. Yaitu, cahaya sebagai penerang kehidupan, cahaya sebagai petunjuk tuhan, dan cahaya adalah Tuhan itu sendiri yang mewujud di dalam diri “aku-lirik”. Dasar uraian tersebut identik dengan konsepsi ta’wil yang selalu mencari kontekstualisasi dari teks, dan kontekstualisasi dalam kajian ini adalah surat an-Nur ayat 35. Dalam surat itu dijelaskan bahwa Allah adalah Cahaya langit dan bumi, yang dalam pandangan Heru Kurniawan memiliki nilai mistik karena persepsi ini dalam tradisi mistisisme Islam mempunyai kesamaan eksistensi.
Kehadiran cahaya sebagai simbol dalam buku ini dirujuk seperti halnya kerja dari cermin. Cahaya memancar dari matahari ke bintang dan bulan, kemudian dari bintang dan bulan memancar ke bumi sebagai penerang. Tarik-menarik cahaya seperti magnet oleh antarbenda inilah yang menjadikan kehidupan tetap terjaga hingga sekarang. Yang permasalahan dari pembahasan ini adalah menelusuri mula dari cahaya, yaitu dari Yang Ahwal. Pendapat ini dikemukakan oleh Suhrawardî dan al-Ghazali (hal.88).
Kehadiran cahaya seperti itu ketika di bumi mampu merepresentasikan Dzat Yang Agung, yakni melalui wakil-Nya. Dia dikenal oleh makhluk-Nya melalui manifestasi-Nya, sedangkan Dia sendiri tidak terlihat. Kejadian ini sebenarnya bersifat esoteric, namun rahasia secara imanen membutuhkan penyingkapan (kanz makhfîan) untuk dikenal.
Secara substansi, cahaya tidak terlihat seperti halnya kita melihat matahari dengan mata secara langsung, tanpa atmosfer, hanya saja cahaya dapat membuat yang lain terlihat. Dari benda-benda di bumi yang saling memantulkan cahaya itulah kita dapat melihat. Bumi adalah tanah, maka bumi tempat manusia penuh dengan kegelapan yang membutuhkan cahaya dari langit. Dalam kegelapan itulah benda-benda saling memantul cahaya seperti cermin. Terminologi ini dapat kita temukan dalam tradisi mistisisme Islam, yang disebut juga tasawuf atau sufisme.
Barangkali yang menarik perhatian dalam buku ini adalah hubungan antara prespektif cahaya di Timur Tengah dengan cahaya di tanah Jawa. Hubungan ini harus diteliti secara historis yang membutuhkan kronologi masuknya (baca: persebaran) Islam ke Jawa.
Cahaya di Nusantara
Dalam perkembangan tasawuf di Nusantara, Hamzah Fansuri kiranya sufi yang dapat menerima pernyataan Tuhan sebagai Cahaya. Ajaran Wachdatul al-Wujud itu menjadi buktinya, karena ajaran ini memandang Tuhan dan alam semesta menyatu. Cahaya secara eksistensinya bagian dari alam semesta. Karena itu, cahaya dalam kesehariannya memberi kehidupan kepada pohon, rumput, dan hal lain yang terbentang di alam semesta, termasuk manusia. Ajaran Hamzah Fansuri yang termuat di dalam puisi tersebut memberi warna pada alur puisi sufi di Indonesia.
Prespektif cahaya di Timur Tengah diuraikan secara filosofis oleh Suhrawardî dan al-Ghazali. Pemahaman ini terkait dengan cahaya yang menjangkau realitas lahir dan batin. Artinya, cahaya dijelaskan secara fisik dan secara filosofis melalui tamsil. Adapun istilah cahaya dalam perkembangan tasawuf di Nusantara mewujud dalam teks-teks puisi. Bahkan, dalam dekade 1980-an prespektif cahaya dalam puisi lebih merupakan wacana ideologis, mengingat pada waktu itu merupakan kebangkitan puisi sufi di Indonesia.
Pandangan cahaya dalam perkembangan tasawuf di Nusantara dan mengalir dalam perpuisian Indonesia dalam buku ini dimaksudkan sebagai konteks dari sajak “Rumah Cahaya”. Sementara itu, simbol cahaya dalam sajak itu diinterpretasikan sebagai hidayah dari Tuhan atas zaman yang serba virtual ini. ‘Kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit/ mendekap manusiaku’. Manusia yang secara esensinya tanah berarti kegelapan sehingga membutuhkan Tuhan untuk menemukan jati dirinya. Hanya Tuhanlah tempat kembali. Demikianlah uraian-uraian cahaya sebagai simbol memiliki nilai mistik.
Karena kajian ini bersifat tekstual, maka interpretasi didasarkan pada penelitian-penelitian tokoh terdahulu yang kemudian ditautkan dengan paradigma Islam yang lebih spesifik mengenai realitas cahaya sebagai gerak mistik. Lapis-lapis analisis yang diramu dengan sistematika ilmiah ini terkesan seperti “narasi historis” mengenai kedatangan cahaya. Kita dengan nalar dan jiwa yang bersih akan lekas paham mengenai esensi cahaya sebagai simbol, apalagi buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, jelas, dan dengan gaya esai. Buku yang mulanya tesis ini, tidak tampak seperti tulisan ilmiah pada umumnya.
Biodata Penulis:
ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Sedang menulis skripsi di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alamatnya Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com HP 081911308227.
http://www.stainpress.com/
Judul Buku: Mistisisme Cahaya
Penulis : Heru Kurniawan
Penerbit : Grafindo dan STAIN Purwokerto Press
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xiii + 228
Filosofi mengenai cahaya sangat menarik perhatian, terutama bagi para pemikir Neo-Platonik. Perspektif mengenai cahaya secara filosofis sebenarnya telah dikemukakan oleh Suhrawardî (dalam Hikayat al-Isyraq) dan al-Ghazali (dalam Miskyat Cahaya-cahaya) beberapa waktu yang lampau. Keyakinan Suhrawardî dan al-Ghazali didasarkan kepada al-Qur’an surat an-Nur dan hadis tentang “Tujuh Puluh Ribu Tabir Cahaya dan Kegelapan”. Uraian-uraian mengenai cahaya seolah tidak ada habis-habisnya, seperti benang yang sangat panjang, bahkan masih menyimpan tabir kehidupan yang kaum rasionalisme tak bisa menjangkaunya.
Cahaya yang dalam pandangan kita berarti penerang kehidupan memiliki sisi lain berdasarkan pemikiran Heru Kurniawan. Adapun pemikiran Heru Kurniawan dalam buku ini merupakan kajian terhadap buku puisi Rumah Cahaya karya Abdul Wachid B.S., yang diinterpretasikan berdasarkan hermeneutika Paul Riceour.
Cahaya dalam buku ini dipandang sebagai simbol yang merepresentasikan esensi religius. Simbol cahaya memiliki beberapa struktur uraian, di antaranya; penandaan yang di dalamnya memiliki sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama (hal. 27).
Sebab itu, pembuktian mengenai sajak “Rumah Cahaya” sebagai kesadaran “aku-lirik” akan kehadiran Tuhan harus diuraikan secara berlapis-lapis. Yaitu, cahaya sebagai penerang kehidupan, cahaya sebagai petunjuk tuhan, dan cahaya adalah Tuhan itu sendiri yang mewujud di dalam diri “aku-lirik”. Dasar uraian tersebut identik dengan konsepsi ta’wil yang selalu mencari kontekstualisasi dari teks, dan kontekstualisasi dalam kajian ini adalah surat an-Nur ayat 35. Dalam surat itu dijelaskan bahwa Allah adalah Cahaya langit dan bumi, yang dalam pandangan Heru Kurniawan memiliki nilai mistik karena persepsi ini dalam tradisi mistisisme Islam mempunyai kesamaan eksistensi.
Kehadiran cahaya sebagai simbol dalam buku ini dirujuk seperti halnya kerja dari cermin. Cahaya memancar dari matahari ke bintang dan bulan, kemudian dari bintang dan bulan memancar ke bumi sebagai penerang. Tarik-menarik cahaya seperti magnet oleh antarbenda inilah yang menjadikan kehidupan tetap terjaga hingga sekarang. Yang permasalahan dari pembahasan ini adalah menelusuri mula dari cahaya, yaitu dari Yang Ahwal. Pendapat ini dikemukakan oleh Suhrawardî dan al-Ghazali (hal.88).
Kehadiran cahaya seperti itu ketika di bumi mampu merepresentasikan Dzat Yang Agung, yakni melalui wakil-Nya. Dia dikenal oleh makhluk-Nya melalui manifestasi-Nya, sedangkan Dia sendiri tidak terlihat. Kejadian ini sebenarnya bersifat esoteric, namun rahasia secara imanen membutuhkan penyingkapan (kanz makhfîan) untuk dikenal.
Secara substansi, cahaya tidak terlihat seperti halnya kita melihat matahari dengan mata secara langsung, tanpa atmosfer, hanya saja cahaya dapat membuat yang lain terlihat. Dari benda-benda di bumi yang saling memantulkan cahaya itulah kita dapat melihat. Bumi adalah tanah, maka bumi tempat manusia penuh dengan kegelapan yang membutuhkan cahaya dari langit. Dalam kegelapan itulah benda-benda saling memantul cahaya seperti cermin. Terminologi ini dapat kita temukan dalam tradisi mistisisme Islam, yang disebut juga tasawuf atau sufisme.
Barangkali yang menarik perhatian dalam buku ini adalah hubungan antara prespektif cahaya di Timur Tengah dengan cahaya di tanah Jawa. Hubungan ini harus diteliti secara historis yang membutuhkan kronologi masuknya (baca: persebaran) Islam ke Jawa.
Cahaya di Nusantara
Dalam perkembangan tasawuf di Nusantara, Hamzah Fansuri kiranya sufi yang dapat menerima pernyataan Tuhan sebagai Cahaya. Ajaran Wachdatul al-Wujud itu menjadi buktinya, karena ajaran ini memandang Tuhan dan alam semesta menyatu. Cahaya secara eksistensinya bagian dari alam semesta. Karena itu, cahaya dalam kesehariannya memberi kehidupan kepada pohon, rumput, dan hal lain yang terbentang di alam semesta, termasuk manusia. Ajaran Hamzah Fansuri yang termuat di dalam puisi tersebut memberi warna pada alur puisi sufi di Indonesia.
Prespektif cahaya di Timur Tengah diuraikan secara filosofis oleh Suhrawardî dan al-Ghazali. Pemahaman ini terkait dengan cahaya yang menjangkau realitas lahir dan batin. Artinya, cahaya dijelaskan secara fisik dan secara filosofis melalui tamsil. Adapun istilah cahaya dalam perkembangan tasawuf di Nusantara mewujud dalam teks-teks puisi. Bahkan, dalam dekade 1980-an prespektif cahaya dalam puisi lebih merupakan wacana ideologis, mengingat pada waktu itu merupakan kebangkitan puisi sufi di Indonesia.
Pandangan cahaya dalam perkembangan tasawuf di Nusantara dan mengalir dalam perpuisian Indonesia dalam buku ini dimaksudkan sebagai konteks dari sajak “Rumah Cahaya”. Sementara itu, simbol cahaya dalam sajak itu diinterpretasikan sebagai hidayah dari Tuhan atas zaman yang serba virtual ini. ‘Kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit/ mendekap manusiaku’. Manusia yang secara esensinya tanah berarti kegelapan sehingga membutuhkan Tuhan untuk menemukan jati dirinya. Hanya Tuhanlah tempat kembali. Demikianlah uraian-uraian cahaya sebagai simbol memiliki nilai mistik.
Karena kajian ini bersifat tekstual, maka interpretasi didasarkan pada penelitian-penelitian tokoh terdahulu yang kemudian ditautkan dengan paradigma Islam yang lebih spesifik mengenai realitas cahaya sebagai gerak mistik. Lapis-lapis analisis yang diramu dengan sistematika ilmiah ini terkesan seperti “narasi historis” mengenai kedatangan cahaya. Kita dengan nalar dan jiwa yang bersih akan lekas paham mengenai esensi cahaya sebagai simbol, apalagi buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, jelas, dan dengan gaya esai. Buku yang mulanya tesis ini, tidak tampak seperti tulisan ilmiah pada umumnya.
Biodata Penulis:
ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Sedang menulis skripsi di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alamatnya Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: dayat_pr@yahoo.com HP 081911308227.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez