Sabtu, 26 Februari 2011

Suara Lokal dalam Sastra Indonesia

Asarpin*
http://www.lampungpost.com/

SEJARAH kesusastraan abad ke-20 sangat dipengaruhi interaksinya dengan kolonialisme. Pada dasawarsa pertama Orde Lama, sastra Indonesia diwarnai sikap yang mendua: Sikap antara keharusan mengembangkan nilai-nilai lokal dan kekhawatiran terhadap identitas di baliknya. Ini berbeda dengan kenyataan yang terjadi di India dan Afrika, di mana sastra lokal pada 1950–1960-an menjadi strategi perlawanan terhadap kanon sastra Eropa.

Dasawarsa pertama Orde Baru, karya-karya sastra yang terbit mulai banyak menyuarakan sastra daerah meskipun tema pokok yang dibahas belum menunjukkan pergeseran. Novel-novel yang terbit pada paro pertama hingga pertengahan 1970-an, menampilkan serentetan gejala lokal melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas. Hal ini bisa ditelusuri dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, Khotbah di Atas Bukit (1976), cerpen “Suluk Awang-Uwung” (1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, sekadar menyebut beberapa contoh. Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern dan belum mampu melahirkan sastra lokal sebagai strategi kultural dalam mengimbangi sastra pusat. Kecuali novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar (1981), dan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, untuk menyebut beberapa contoh, masih berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.

Novel Bumi Manusia (1980) secara simpatik Pram menampilkan watak Minke yang lebih menyukai bahasa Melayu ketimbang bahasa Jawa dan Belanda meskipun ia menguasai kedua bahasa itu. Pramoedya menekankan pentingnya penggunaan bahasa Melayu sebagai salah satu faktor penyatuan bangsanya dalam tetralogi ini. Dia mengutarakan pandangan ini melalui watak-watak yang muncul dalam karya ini, khususnya watak Minke. Pada awal ceritanya, Minke dilukiskan menulis makalah untuk sebuah surat kabar dalam bahasa Belanda daripada bahasa Jawa dan bahasa Melayu karena dia menerima pendidikan di HBS (Hogere Burger School).

Namun, watak Minke menunjukkan dengan keras ia ingin menulis dengan bahasa Melayu, bukan Jawa apalagi Belanda. Bahasa dalam Bumi Manusia menjelma sebagai sebuah perlawanan atau siasat kolonialisme dan kekuasaan kaum feodal. Ini terlihat dengan jelas lewat dialog tokohnya, “Sekali Tuan mulai menulis Melayu, Tuan akan cepat dapat menemukan kunci. Bahwa Tuan mahir berbahasa Belanda memang mengagumkan. Tetapi bahwa Tuan menulis Melayu, bahasa negeri Tuan sendiri, itulah tanda kecintaan Tuan pada negeri dan bangsa sendiri…. Siapa yang mengajak bangsa-bangsa pribumi bicara kalau bukan pengarang-pengarangnya sendiri seperti Tuan?” (hlm. 104).

Watak utama Minke digambarkan Pram sebagai seorang pelopor yang amat menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan dalam surat kabar dan organisasi-organisasi baru. Bahasa Melayu sudah lama berfungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, baik yang mengenal aksara maupun masih niraksara. Dengan demikian, bahasa Melayu dapat mengambil peranan penting di kepulauan Nusantara. Apabila Minke bertemu Ketua Cawangan Palembang Syarikat Dagang Islamiah dalam perjalanan yang diadakan untuk melihat perkembangan organisasi itu dari dekat, ia menjelaskan perlunya menggunakan bahasa Melayu seperti terungkap dalam novel Jejak Langkah (1985).

Munculnya perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan 1980-an tak bisa dilepaskan dengan novel tetralogi. Sejak munculnya karya tetralogi dan disambut perdebatan sastra kontekstual, terjadi perubahan cukup radikal dalam menyuarakan identitas lokal dalam sastra Indonesia. Pendukung sastra kontekstual mempersoalkan universalisme dalam sastra Indonesia lantaran terlalu memusatkan perhatian pada kehidupan kota. Munculnya sastra kontekstual sekaligus berusaha menjawab konsep politik negara integralistik Orde Baru. Pendukung sastra kontekstual mengusulkan sastra seharusnya lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan atau anasir-anasir lain di luar wacana pusat.

Namun, komitmen sosial yang ditawarkan sastrawan pendukung sastra kontekstual, tidaklah seekstrem yang terjadi di Afrika. Mereka tidak melarang penggunaan istilah universal dalam diskusi-diskusi tentang sastra, seperti fenomena yang pernah dikemukakan Chinua Achebe dalam Colonialist Critism di Afrika. Penggagas sastra kontekstual di Indonesia hanya menawarkan estetika alternatif sebagai pengimbang estetika mainstream sastra universal. Mereka menjawab universalisme tidak dengan esensialisme yang radikal, apalagi mencoba membatasi gagasan universalisme dengan cara sempit yang membahayakan.

Beberapa tahun kemudian, terutama pada awal 1990-an, suara lokal dalam sastra Indonesia tampil kembali seiring munculnya perdebatan posmo yang mempersoalkan apakah sejarah sastra nasional Indonesia sebatas satu narasi besar atau apakah sebenarnya ada banyak narasi kecil dengan keragaman yang juga harus dicatat dan diapresiasi kalangan sastrawan. Namun, alih-alih menawarkan estetika alternatif bagi sastra lokal atau sastra daerah, posmo justru mengundang bahaya yang mengancam.

Bahaya yang mengancam untuk, seperti pernah ditegaskan teoritikus poskolonial, Bill Ashcerift, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin dalam buku Menelanjangi Kuasa Bahasa (2003), mengajak kita menyerap kembali kebudayaan lokal ke dalam internasionalis dan universalis yang baru. Karena itu, ketiga teoretikus pascakolonial itu membedakan apa yang disebut postmodernisme dengan poskolonialisme, baik dari segi misinya, sumber inspirasinya, maupun watak keduanya.

Dorongan mengumpulkan kembali warisan-warisan sastra daerah dalam karya-karya sastra Indonesia pada 1990-an terus berlanjut lewat dekolonisasi kebudayaan dan kehendak kembali pada bahasa-bahasa dan mode-mode lokal prakolonial. Ini ditunjukkan beberapa karya yang muncul di era reformasi. Pergeseran warna lokal dalam bentuk bahasa, suara, konsep, ujaran, menjadi hal yang sangat penting yang menandakan era ini. Suara lokal tampil lebih radikal, berani, dan terang-terangan menggugat wacana pusat (dalam arti politik maupun budaya).

Dalam periode ini bermunculan komunitas-komunitas sastra daerah atau sastra kepulauan dengan semangat yang terlalu jauh dan nyaris berlebihan menolak universalisme melalui esensialisme ekstrem. Dalam cerita pendek yang muncul pada periode ini, suara lokal dapat ditelusuri dalam cerpen “Gerundelan Wong Tegal” (1999) karya Nurhidayat Poso, “Tambo” (2000) karya Gus tf. Belum lagi strategi yang digunakan lewat esai-esai yang secara sengaja mengampanyekan pentingnya kembali ke nilai-nilai lokal.

Beberapa novel juga tak ketinggalan mengusung semangat kelokalan, seperti Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini, yang menggugat habis-habisan tradisi Bali seraya menampik pandangan “asing” yang mengeksploitasi tradisi lokal. Novel Gelombang Sunyi (2001) karya Taufik Ikram Jamil tak ketinggalan menyemarakkan suara lokal, ekspresi identitas Melayu, dan menggugat sastra nasional yang memusat. Karya Taufik Ikram Jamil ini mengingatkan saya pada maklumat sastra poskolonial yang pernah dikemukakan penyair dan novelis Ghana, Kofi Awoonor, “Sastrawan harus kembali ke sumber-sumber lokal mereka untuk mendapatkan inspirasi.”

Dalam Tarian Bumi, Oka Rusmini menampilkan warna lokal lewat tokoh bernama Luh Kambren yang merasa muak terhadap tingkah-polah orang-orang asing sebagai ancaman terhadap perempuan Bali. Kambren merasa orang asing telah mengobjektivikasikan tubuhnya sebagai lambang keindahan Bali (hlm. 86). Sikap Kambren terhadap pusat sarat dengan kekecewaan. Kalaupun ada sikap cinta Tanah Air yang ditampilkan lewat karakter tokoh-tokohnya, itu lebih mengacu pada tanah Bali, sebagaimana dalam salah satu pernyataan Kambren yang dengan seni tarinya mengharapkan apa yang diperbuatnya bagi tanah air Bali-nya dihargai.

Novel Gelombang Sunyi menyuarakan sikap kecewa terhadap pusat dan dengan tegas mengemukakan penilaian yang positif terhadap sastra lokal (Melayu). Tak bisa dibantah suara kemarahan dan rasa frustrasi dengan pemerintah pusat dan perusahaan swasta nasional, yang telah menghancurkan kohesi dan tatanan sosial masyarakat Melayu (Riau) dan kekerasan aparat sangat nyata dalam novel ini. Dalam Tarian Bumi dan Gelombang Sunyi, suara lokal menjadi semacam strategi kultural, untuk tidak menyebut sebagai tandingan, terhadap sastra nasional. Kedua novel ini sudah keluar dari kecenderungan novel 1970-an yang hanya menampilkan gejala lokal berupa keluarga, kepercayaan, upacara, dan kebiasaan rohani sebuah komunitas. Suara lokal diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang merupakan ciptaan bebas manusia menurut kurun waktu dan tempat yang juga berubah-ubah.

Tujuan penggunaan bahasa lokal, suara, konsep, istilah, diksi, dan bentuk-bentuk lokal lainnya, untuk mengembangkan kembali motif-motif dan bentuk-bentuk yang sudah ada ke dalam suatu keseluruhan yang artistik dan estetik, sehingga si pengarang pada akhirnya dikembalikan kepada perasaan komunitas, kepada resolusi; usaha pengembalian ketenangan dan keheningan.

Perincian tentang suara lokal atau warna lokal dalam karya-karya di atas mampu mengelak dari pemaparan secara entografis. Masalah identitas “aku” (nyak), “kami” (sikam), dan identitas “mereka” (tiyan) justru mampu memberikan cara pandang yang arif menyikapi masalah keragaman. Karya-karya itu tidak mengajak pembaca memuja semangat primordialisme–seperti sering dikhawatirkan selama ini–melainkan menawarkan sisi kreatif yang lentur mengolah khazanah sastra yang bertebaran di belahan bumi Nusantara.

Sampai di sini, novel Bumi Manusia, Jejak Langkah, Tarian Bumi, dan Gelombang Sunyi yang dikemukakan di atas sama sekali bukan suara etnosentrisme atau sektarianisme, melainkan ke-Melayu-an dan ke-Bali-an lewat bahasa, suara, budaya, konsep, ujaran, dan sejarah. Ini menunjukkan semacam konsep identitas yang lebih lincah, fleksibel, lentur, lebih gampang disesuaikan dengan keadaan zaman yang berubah. ***

*) Peminat kajian budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez