Kamis, 10 Maret 2011

Islam di Mata Dua Raja Jawa

Asep Sambodja
http://oase.kompas.com/

Bagaimana kita membaca Wedhatama dan Wulangreh dalam konteks kekinian? Mungkin kita akan dengan mudah mengatakan bahwa pengarang Wedhatama, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegoro IV terasa sinis saat membicarakan agama Islam. Sementara pengarang Wulangreh, yakni Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Pakubuwono IV terasa lebih bisa menerima ajaran agama Islam. Tapi, apakah sesederhana itu?

Kalau kita baca Wedhatama karya Mangkunegoro IV, yang diterjemahkan kembali oleh Fatchurrohman (Jakarta: WWS, 2003), terbaca bahwa Mangkunegoro IV memberi pelajaran kepada anak-anaknya bahwa sebaiknya yang dijadikan panutan itu Panembahan Senopati (Raja Mataram yang pertama) dan bukan Nabi Muhammad SAW.

Hal ini terbaca pada bagian berikut ini:
Nuladha laku utama, tumraping wong tanah Jawi, wong Agung ing Ngeksiganda, panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amemangun karyenak tyasing sasama (Teladanilah sikap terpuji tokoh besar dari Mataram, Panembahan Senapati. Ia telah berupaya sepenuh hati demi terkendalinya hawa nafsu. Rajin bertapa, baik siang maupun malam, guna menciptakan ketenteraman batin sesama makhluk).

Lamun sira paksa nulad, tuladhaning Kanjeng Nabi, o, ngger kadohan panjangkah, wateke tan betah kaki, rehne ta sira Jawi, sathithik bae wus cukup, aja guru aleman, nelad kas ngepleki pekih, lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat (Jika kau memaksakan diri untuk meniru sikap ketauladanan Nabi, o, terlampau jauh, anakku. Dari gelagatmu, kau takkan mampu karena kau lahir sebagai orang Jawa. Karenanya tak perlu berlebihan. Janganlah mencari pujian dengan meniru dan menyerupai ulama ahli. Asalkan engkau tekun meraih cita-cita tentu anugerah akan tiba).

Mangkunegoro IV sadar bahwa ia adalah keturunan raja, priyayi, karena itu, dalam Wedhatama, ia juga mengatakan, “Lambat laun aku berpikir, mengingat dilahirkan sebagai putra priyayi, layakkah berkeinginan menjadi santri, juru dakwah, atau ahli agama?” Dan, karena merasa tidak memiliki bakat keturunan itulah Mangkunegoro IV lebih berpegang teguh pada garis ketentuan hidup, yakni melakukan upaya pelestarian terhadap ajaran para pendahulu hingga saat sekarang. “Garis hidup yang harus kutempuh tak lain hanyalah mencari nafkah.”

Jika dihadapkan pada dua pilihan; lebih mengutamakan ibadah atau mencari nafkah, maka Mangkunegoro IV melalui Wedhatama akan menjawab: “Mencari nafkah kiranya lebih utama karena kita ditakdirkan sebagai orang lemah. Misalnya, mengabdi kepada raja, bertani, ataukah berdagang. Demikianlah menurutku, setidaknya sebagai orang yang bodoh, oleh karena bahasa Arab belum kukenal, Jawa pun belum tuntas kukuasai. Walaupun demikian, aku terpaksa memberanikan diri menggurui anak.”

Manusia ideal di mata Mangkunegoro IV adalah manusia yang dalam hidupnya memiliki tiga hal, yakni kekuasaan, harta, dan kepandaian. Kalau manusia tidak dapat meraih satu dari ketiga hal di atas, maka habislah martabatnya sebagai manusia. Jadi, kalau menggunakan kacamata Mangkunegoro IV, kemuliaan manusia tidak dilihat dari ketaqwaannya, melainkan dari ketiga hal yang sangat duniawi.

Hal lain yang cukup penting dalam Wedhatama adalah masalah syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat, yang di Jawa sebenarnya sudah dikenal pula dengan sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Tampaknya Mangkunegoro IV agak risih dengan pelaksanaan syariat yang dinilainya terlalu berlebihan. “Dahulu kala masyarakat belum pernah dikenalkan pada ajaran rahasia ini. Baru sekarang kaum saleh memperlihatkan karya, menampakkan kemahirannya, bahkan syariat aneh-aneh.”

Berbeda dengan Mangkunegoro IV, raja Jawa lainnya, Pakubuwono IV agak berbeda menyikapi Islam dalam Wulangreh. Dalam bagian awal tulisannya, Pakubuwono IV mengatakan, “Dalam Alquranlah tempat kebenaran sejati, namun hanya yang terpilih yang tahu, dan yang memperoleh petunjukNya. Demikianpun pemahamannya tidak dapat hanya berdasar perkiraan sehingga tidak menemukan kebenaran isyarat, bahkan mungkin berlebihan sehingga tersesat. Jika engkau ingin memahami kesempurnaan hidup, seyogyanya bergurulah.”

Sebagaimana Wedhatama, Wulangreh juga merupakan naskah kraton; yakni naskah yang ditulis oleh kalangan kraton atas perintah raja saat itu. Dan, ajaran-ajaran yang terdapat dalam naskah ini juga ditujukan kepada anak-anak raja. Saya menilai Wulangreh adalah naskah yang sangat luar biasa, karena di dalamnya berisi nasihat kepada anak-anak raja (penguasa) untuk tidak menyombongkan diri. Pakubuwono IV mengajarkan agar anak-anak raja tidak adigang adigung adiguna; yang artinya janganlah kau menyombongkan diri, janganlah suka mencela, serta jangan menyombongkan kepandaian (sok pintar).

“Ajaran yang benar itu sesungguhnya pantas ditiru. Sekalipun berasal dari orang berderajat rendah, namun jika ajarannya benar, pantas kau terapkan,” kata Pakubuwono IV. Pernyataan ini sama dengan sabda Nabi yang mengatakan “dengarlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”

Banyak sekali nasihat-nasihat yang diberikan Pakubuwono IV yang saya nilai justru antifeodalisme. Bahkan, ketika menasihati anaknya untuk berbakti, maka orang yang harus dihormati pertama kali adalah orangtua (ayah dan ibu), kemudian mertua (baik mertua laki-laki maupun perempuan), setelah itu harus menghormati kakak (baik laki-laki maupun perempuan), kemudian guru, dan yang terakhir adalah raja. Ini menurut saya sangat menarik. Meskipun ada nasihat untuk menghormati raja, tapi itu dilakukan setelah kita menghormati orangtua dan guru.

Naskah Wulangreh ini ditulis pada 1803 (awal abad ke-19), sementara Wedhatama ditulis sekitar 1853-1881 (pertengahan abad ke-19). Jika Wulangreh ditulis oleh Pakubuwono IV yang ketika dikukuhkan menjadi raja masih berumur 19 tahun, maka Wedhatama ditulis oleh Mangkunegoro IV yang di masa kolonial Belanda saat itu dikenal lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi.

Pakubuwono IV tidak menafikan syariat Islam sebagaimana Mangkunegoro IV yang merasa risih dengan syariat Islam. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa sebenarnya kultur atau budaya Jawa itu beragam. Dengan demikian, Islam yang diterima dan dipraktikkan oleh manusia Jawa pun beragam. Ada yang menerima agama Islam seutuhnya, yang berusaha “meniru-niru Kanjeng Nabi Muhammad dari Mekah”, ada pula yang menerima Islam namun tidak melupakan kepercayaan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa dalam kedua naskah ini, penggunaan istilah Hyang Widhi dan Allah silih berganti posisinya. Bahkan Nabi Muhammad pun disandingkan dengan Hyang Widhi. Ini memperlihatkan adanya sinkretisme ataupun proses transisi dari pengaruh Hindu ke Islam.

Niels Mulder mencatat bahwa Islam mulai menancapkan pengaruhnya di Jawa pada abad ke-16 sejak berdirinya kerajaan Demak di daerah pesisir Jawa. Begitu kerajaan Demak berakhir, terjadi negosiasi ulang antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai kejawaan (kejawen) di kerajaan-kerajaan di Jawa yang berada di pedalaman, termasuk raja-raja di Surakarta. Saya melihat naskah Wedhatama memperlihatkan dengan jelas adanya negosiasi ulang itu. Sementara Wulangreh memperlihatkan masih adanya sikap akomodatif terhadap Islam di tanah Jawa. ***

Bibliografi
Mangkunegoro IV, KGPAA. Wedhatama.
Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Pakubuwono IV, ISKS. 1803. Wulangreh.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Soekmono, R. 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogykarta: Kanisius.
Tammaka, Mh. Zaelani. 2003. “Suluk Saloka Jiwa: Strategi Budaya Mencari Titik Temu
Islam-Jawa,” dalam Bre Redana dkk. (ed.). Bentara. Jakarta: Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez