Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
A. Islamophobia
Wacana Islamophobia, ketakutan terhadap umat islam di kalangan negara barat, kini menjadi borok budaya yang menggerogoti sukujur tubuhnya. Dan kemalasan barat (terutama Amerika) untuk menyembuhkan, borok itu kian meradang dengan nanah baru yang merikuhkan gerak tubuh dari cabikan benda apapun yang dapat menggores sensitifitas lepukan luka. Jika terus berlanjut, keberadaan barat akan disingkirkan dunia yang lambat laun risih atas kehadiran, karena menyengatkan aroma anyir memuakkan lingkungan, yang artinya barat sendiri merancang bunuh diri perlahan namun pasti.
Kambuh Islamophobia kembali ter-urik ulah Pendeta Terry Jones dari Dove Word Outreach Center(sebuah komunitas kecil dengan jema’at cuma 50 orang) yang hendak membakar Al-qur’an saat mengenang hancurnya menara kembar WTC pada tanggal 11 September 2010. Terry Jones dari Gainesville Florida bermaksud mengecam ulah teroris yang membajak 2 pesawat: American Airlines, masing masing bernomor penerbangan 11 yang menabrak menara utara pukul (08:46), dan nomor penerbangan 175 menghantam menara selatan WTC pukul (09;03) pada 11 September 2001 yang menewaskan 3000 warga.
Ibarat sekeping dua sisi, Terry Jones juga berniat menggugat rencana Faisal Abdul Rauf (pimpinan masjid Al-Farah di Amerika) yang akan mendirikan gedung Cordoba Huose(nama Islamic Center) dan masjid Ground Zero di dua blok dekat puing menara kembar atau yang dikenal area Park51. Serayanya pembangunan memang disetujui Barack Obama.
Seperti dilangsir Jawa Pos tanggal 12 September 2010 halaman 4, aksi Terry Jones tersebut mengundang berbagai aksi konfrontatif. Dari beberapa poster terlihat Matt Skye dari New York yang menggugat dibangunnya masjid Ground Zero sedang berdebat dengan Herbert Silver dari Florida yang pendukung dibangnnya masjid Ground Zero. Matt Skye membentangkan spanduk bertuliskan’ no mass murder mosque at Ground Zero’, sedangkan Herbert Silver menenteng spanduk bertuliskan’support freedom relegion’. Tampak seorang wanita pemilik blog stopislamophobia,org, mengacungkan boxletter bertuliskan ‘muslim are welcome here’.
Kambuhnya islamophobia Terry Jones hanyalah pengulangan radang yang terjadi berkali-kali. Awal Februari 2006 penyakit sejenis dihembuskan oleh pemuda Denmark yang melukis wajah Nabi Muhammad sedang menyunggi bom. Protes kalangan muslim pun menghangat atas kejadian itu, dan pengulangan yang masih hangat adalah peluluh lantahan Gaza oleh pasukan Israel.
Niatan Faisal Abdul Rauf mendirikan Cordoba House dan masjid Ground Zero untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya muslim sangat ramah ketika bargaul dengan manusia beragama apa pun. Kalau dihitung dendam, justru ulah Amerika di Timur Tengah yang memberlakukan sangsi Iraq, membacking serangan Israel ke Gaza malah menumpahkan darah puluhan ribu warga muslim.
Menyikapi perpolitikan internasional global yang menyudutkan muslim sebagai biang alibi islamophobia barat, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menyampaikan pandangan sikap sufisnya. Pandangan tersebut disampaikan Cak Nun dalam pengajian Padhang mBulan tanggal 23 September 2010. Menurut Cak Nun, umat islam tidak perlu merisaukan hal itu. Islam yang kita fahami bukanlah islam yang orang-orang barat mengerti. Islam, bagi muslim adalah tranformasi nilai ke kebaikan, kebenaran dan kemulyaan berperilaku. Al qur’an yang mereka bakar hanyalah kertas cetakan. Sebab al qur’an yang sesungguhnya tertancap dalam pribadi seorang muslim. Alqur’an itu murni milik Alloh dan Alloh pula yang menjaganya. Tidak kuasa siapa pun hendak memusnahkannya.
Untuk mencapai taraf pemahaman tersebut di atas, Cak Nun memakai dasar nilai sufi. Dimana muslim yang memahami bahwa segala yang terjadi adalah kilatan hikmah dari Alloh, maka muslim tidak akan pernah terpenjara, terhimpit, tersepelehkan hanya karena ulah remeh Terry Jones. Muslim tetap merdeka terbebas dari rasa kehilangan. Bagaimana pun juga, rumus kehidupan pada ahirnya harus kehilangan apa yang kita miliki. Cak Nun justru menyarankan umat islam sendiri agar inspropeksi. Sebab ulah barat terhadap muslim selama ini memang berkaitan dengan kesalahan muslim dalam menerapkan, memahami hakikat nilai islam sebagai frekwensi potensi rohani. Kalau pun barat mengusik simbol-simbol islam, yang barat lakukan sekedar peruntuhan harga diri muslim. Dan bukan peruntuhan islam. Sedang bagi muslim sejati yang melampaui batas haqikat, tidak diperlukan lagi harga diri, melainkan harga Alloh yang pasti menyimpan rahasia hikmah di balik tiap permasalahan.
B. Dendam Barat, Dendam Hulu.
Dendam negara barat terhadap islam sesungguhnya dendam hulu, yakni dendam yang tertancap sejak masa Nabi Muhammad. Masjid Aqsho di Jerusalem diperlakukan sebagai anak sandera oleh kaum Yahudi. Ia tidak disakiti. Namun dibatasi kebebasannya. Apalagi ahir abad 19 negara-negara islam jatuh menjadi jajahan orang kulit putih. Kecuali Iran dan Turqi. Yang meskipun merdeka, tapi tetap mendapat tekanan imperialsme.
Ketidak pecusan sikap politik Amerika terhadap islam juga menghulu. Jangankan terhadap islam, American yang notabenenya perantau dari Eropa, juga membabat habis suku asli Indian setempat. Bahkan dalam senat Amerika ‘mencanangkan’ agenda khusus dalam rangka memerangi islam. Karakter politik Amerika ini ditimbulkan atas jiwa perantauannya yang sangat sengsara membabah wilayah jauh. Sehingga ketakutan terhadap kehancuran menjadi momok yang membayangi masa depan sejarahnya.
Politik double standart yang diterapkan Amerika memang entri power tersendiri bagi kekuatan Amerika. Namun di sisi lain, Amerika juga gagal menangani problem dalam negerinya. Badai Katerina di Amerika Latin terbukti pemerintah setempat tidak tuntas mengatasinya. Biaya perang di Timur Tengah juga didemo warganya. Ketidak adilan Amerika yang mencolok adalah memberlakukan hak veto dalam PBB. Hak veto, dinilai Agil Siroj sebagai kedholiman politik Amerika. Hal ini disampaikan Agil Siroj (PB NU) saat ceramah di Tambakberas tanggal 26 Juni 2010. Namun ‘American is not Amerika government’.
Terpilihnya Barack Obama yang disinyalir berbau islam dan peduli dengan negara-negara berkembang, menunjukkan perubahan sikap mayoritas warga Amerika. Demi masa depan Amerika yang aman, tidak mungkin dilakukan dengan cara mengintimidasi islam terus menerus. Sebab pertentangan yang didasarkan agama, pasti menimbulkan gejala meryt kompleks, jihat yang tak berkesudahan. Jalan terbaik adalah toleransi agama yang tinggi.
Krisis finansial global tahun 2009 lalu, Amerika seolah menampar wajahnya sendiri. Kegagalan sistem segala bidang yang diterapkan, pada ahirnya melumpuhkan super power yang dirajut hampir 150 kali pergantian presiden. Kesigapan membaca intensitas ruang sosial negaranya, American menguji coba Barack Obama sebagai spekulasi alternatife, sekaligus menuju kefitrahan manusia yang pada ahirnya memilih jalan perdamaian, hidup selaras dan serasi apa pun agamanya.
Fakta ini berbalik dengan karakter asli sang adi kuasa yang dijuluki negara super power, yaitu sikap ego merasa teratas. Situasi demikian dimainkan oposisi sayap kiri dengan mengintai tergelincirnya Obama. Oposisi sayap kanan bersikukuh andai pun Amerika membaik, tak bersangkutan dengan dunia islam. Sebagai contoh kongkrit pembatalan Obama saat berkunjung ke Indonesia pertengahan 2010 yang secara kalkulatif bilateral merugikan dua belah pihak, terutama muslim di Indonesia yang kebebasan beragamanya mulai dihantui tudingan jaringan teroris.
Demi efektifitas bilateral Indonesia-Amerika, Obama terpaksa ‘membatalkan’ kunjungan ke Indonesia, setelah disinyalir intelegent kepresidenan bahwa Obama diintai penembak jitu dari kelompok Yahudi di Bali. Jika peristiwa itu terjadi, Indonesia akan berulang kali terkena getah alibi. Sedang dugaan lain, pembatalan itu disebabkan ketidaksiapan pemerintah Indonesia yang kian carut dan malu jika kebobrokan pemerintahan tertangkap basah pihak Amerika.
Bagaimana pun juga, American lebih reflekstif atas campur tangan pemerintahannya terhadap negara negara islam. Kasus bom Bali I yang meledakkan atom c4=c four, dengan kapasitas hulu ledak dahsyat, mustahil jika dirancang Amrozi dkk. Sebab, setelah angkatan darat TNI menguji coba ledakan yang sama di Sumatera untuk menakar ledakan setara dengan ledakan bom Bali, disimpulkan bahwa ledakan sedahsyat bom Bali hanya dimiliki Pentagon pusat pangkalan militer Amerika. Maka bom Bali sesungguhnya bukanlah aksi teroris muslim, tetapi muslim yang dijadikan subyek biang alibi.
Mengamati peta kepolisian( dalam hal ini densus 88) yang khusus menangani proyek penangkapan teroris, dapat kita analisa asumsi di atas. Jaringan satu proyek pengeboman dengan mudah diudal densus 88 secara detail rentetannya. Publik hanya menyangka hal itu kecanggihan kerja polisi. Tetapi anggapan masyarakat berangsur geser memahami bahwa ada semacam konspirasi jual beli antara gangser pemilik jaringan teroris dengan aparat kepolisian. Artinya sebelum teroris melakukan pengeboman, polisi sudah menerima data terlebih dulu siapa pelakunya. Kemudahan polisi membekuknya, dengan tujuan menghasilkan imag bahwa polisi(satuan densus 88) mampu berkiprah secara profesional.
Dendam Amerika terhadap islam menyebabkan sikap protektif berlebihan terhadap Indonesia, mengingat Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia. Gejala sikap ini merupakan pelampiasan kekecewaan Amerika terhadap Indonesia yang gagal menaklukkan Sukarno untuk menjadi blog barat PBB. Kekecewaan Amerika terulang lagi saat pemerintahan Suharto tidak menyetujui inisiatif Amerika yang hendak membangun pangkalan militernya di kepulauan Manado waktu itu. Tak berselang lama kemudian Amerika mengguncang Indonesia dengan memanfaatkan kurs dolar. Krisis ekonomi tahun 2008, terbukti melengserkan Suharto sebagai gelombang dari sikap moneter Amerika. Selanjutnya, Amerika menerapkan politik ‘lempar batu sembunyi tangan’ para teroris.
C. Gengter Jaringan Terorisme dan Kepolisian.
Kelemahan sumber daya manusia Indonesia, serta sifat miskin yang menghantui sejak masa kolonial membuat warga Indonesia empuk, muprul diiming-imingi uang. Tak peduli nasib saudara setanah air, mereka dengan enjoi menjual aset negara, termasuk proyek terorisme yang terus terjadi. Jangka panjangnya supaya Amerika mudah melumpuhkan tokoh-tokoh muslim yang dianggap menghambat Amerika dalam targetnya menguasai dunia, termasuk Indonesia.
Ketidakadilan pejabat dan semua instansi dengan memarginalkan kaum muslim saat perekrutan jabatan, posisi pekerjaan, mengakibatkan jumlah pengangguran muslim bertambah. Inilah penyebab teroris tergiur pekerjaan nekat asal bergaji sederajat.
Di sisi lain, para teroris direkrut dari santri militan yang hanya faham ilmu keagamaan, tapi minim ilmu sosial kamasyarakatan. Dari rata-rata data teroris yang tertangkap, adalah orang yang menghilang dari kampung halamannya, bahkan dari Indonesia sejak lama. Di sini terjadi kerancuan. Bisa jadi mereka yang tergaet Geng jaringan teroris, seperti buah simalakama. Harus bersedia menjadi teroris, kalau menghindar, akan dibunuh dengan dalih terlanjur mengetahui rahasia.
Dalam negara berkembang seperti Indonesia, tingkat sentimentil gaya hidup sangat tinggi, di mana ada yang meraih kesuksesan berjerih payah menuntaskan pendidikan biaya mahal, sementara ada pula yang ingin meraih kesuksesan tanpa keahlian sekalipun. Kesenjangan sosial yang dilatarbelakangi kesenjangan pendidikan, menjurus pada keberhasilan finansial(kaya) sebagai mine point hidup. Seseorang mudah digaet orang lain dengan iming-iming pekerjaan ringan gaji melimpah. Misalkan tiba-tiba seseorang diangkat menjadi sekertaris pribadi yang kerjanya hanya survey sana-sini nenteng koper. Suatu saat dia disuruh juragan mengambil atau membawa koper ke suatu tempat. Tanpa si pembawa koper tau isinya, tiba-tiba meledak diremout control dari jauh. Nyarisnya, pelaku dituding polisi sebagai anggota teroris berKTP islam.
Hingga batas September 2010, kepolisian Indonesia kususnya densus 88 anti teror, kian tidak rasional kinerjanya. Setiap aksi kriminalitas bersenjatakan peluru, dengan mudah dituding jaringan teroris. Sementara pemahaman sebelumnya, teroris sederajat dengan orang muslim. Akibatnya setiap kegiatan muslim apapun yang dianggap tidak sesuai dengan kepolisian akan dianggap teroris yang sah dicekal.
Runyamnya posisi kepolisian sekarang, menambah carut marutnya pemahaman tentang terorisme di Indonesia. Seperti ditandaskan Cak Nun dalam pemikiran kritiknya. ”Polisi kita tidak jelas posisi kelaminnya, laki/perempuan? Kalau laki-laki kok gak di jajaran ABRI, kalau ikut sipil kok gak bernaung di bawah Mendagri.” Posisi kepolisian semacam ini dikawatirkan menjadi gengter bayaran yang mudah dibeli kepentingan partai berkuasa, orang berpengaruh, atau campur tangan asing sekalipun.
Sedikit banyak, kinerja kepolisian yang kerap menuding umat islam sebagai teroris(atau yang dituduh teroris meskipun tidak ada sangkut pautnya dengan teroris) akan melukai perasaan muslim Indonesia. Pada saatnya, dalam tingkat kewajaran tertentu, muslim yang digerakkan pondok pesantren secara serentak seperti pemberontakan 10 November 1945, akan menjadi kekuatan tak tertandingi. Sebelum itu terjadi, selayaknya kepolisian mulai mengambil langkah kebijakan sejak dini. Demi kepentingan bersama dalam bernegara, kepolisian yang digaji rakyat harus menyelamatkan jangka panjang bangsa Indonesia, dan tidak malah menjual kedamaian rakyat demi tander proyek asing yang ujungnya menciptakan pertikaian sebangsa.
D. Introspeksi Muslim.
Muslim sendiri hendaknya instropeksi. Tidak semua perilaku muslim sesuai dengan esensi ajarannya. Apalagi di kalangan muslim moderat, yang meletakkan kebenaran hanya bagi dirinya. Standart kebenaran yang dipahami golongan muslim ini hanyalah sebatas hukum formal saja. Itupun direduksi berdasarkan kepentingan semata. Sedang untuk menjadi muslim yang kaffah perlu memahami hukum moral dan kecintaan (hubb).
Golongan muslim ini adalah golongan yang ‘masuk anginan, alergi terhadap pendapat orang lain, merasa penafsirannya paling benar, baginya Alloh hanya membenarkan tarikatnya. Sedang golongan lain, jika ingin menempuh Alloh dan surganya, harus nganut tarikatnya. Memang! Alloh dan surga adalah milik mBahnya.
Sikap inklusif semacam ini akan ber-ulah menggantikan tuhan. Tuhan diatur menurut dirinya tanpa mempertimbangkan hikmah yang dirahasiakan. Manusia dicipta sebagai khalifah(wakil tuhan)di muka bumi. Namun kebebasan manusia dalam melakoni kekhalifahannya, disertakan pula hukum kausalitas atas jalan hudup yang dipilihnya. Jihat, dipandang sebagai jalan ke surga bagi dirinya, sedang orang lain kebagian surga atau tidak, mereka tak mau tau. Bahkan ribuan muslim saudaranya terkena imbas jihatnya pun, tidak dikaitkan dengan tujuan pribadinya. Hukum kausalitas Alloh prakti bagi hambanya. Silahkan menjadi pencuri, berabdal, teroris, dan boleh, asal menanggung resiko digebukin, dipenjara dan dihukum mati.
Saat tanpa kontrol ambisi menyerang Kaisar Jengiz Khan( 200-300 SM) pasukan muslim kalah telak. Keangkuhan dan tanpa kontrol nafsu muslim ketika berjihat, ternyata jauh sebelumnya disuguhi Alloh pasukan berkuda Jengiz Khan yang terlatih sejak kecil dan menghasilkan pasukan handal.
Dengan demikian, yang paling baik dan benar dalam menjalankan sistem apapun adalah kembali mengoreksi kekurangan, kelemahan dan kesalahan masing-masing sederajat artinya dengan mendamaikan dunia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar