Sabtu, 30 April 2011

KATA-KATA DAN IRAMA: SURAT SASTRA BUAT PARA SANTRI

Faisal Kamandobat
http://www.senimana.com/

I

Tentu saja, sastra bukan hal baru bagi kalangan santri. Hampir semua materi pelajaran, mulai aqidah, fiqh hingga tata bahasa, disampaikan dalam bentuk sastra berupa nadzaman. Lebih lanjut dapat dikatakan, seorang santri dapat menaiki jenjang pengajian dari satu kitab ke kitab berikutnya, dari sebuah tingkat ke tingkat berikutnya, dengan melihat kemampuannya dalam menghafalkan nazdaman.

Rabu, 27 April 2011

Perpuisian Yogyakarta di Era Transisi

Abdul Wachid B.S.
http://www.mathorisliterature.blogspot.com/

1. Pengantar : Persada Studi Klub, Era Transisi, Perpuisian Yogya 1980-an

Pengertian “di era transisi” sangatlah sosiologis, yakni masa peralihan, pancaroba. Namun, peralihan dari apa ke apa, dan dalam konteks apa? Dalam konteks kebudayaan pengertian “transisi” sangatlah kompleks. Dalam konteks politik, boleh jadi, hal itu dikaitkan dengan pergantian rejim dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan berakhir dengan Pemilu yang di sepanjang sejarah Indonesia paling demokratis yaitu dengan terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke-4.

Sajak ”Melawan Arus Samiri” Mathori A Elwa*

Agus Fahri Husein
http://mathorisliterature.blogspot.com/

HAMPIR dalam setiap pertikaian elite politik di negeri ini, selalu muncul pernyataan-pernyataan ganjil, yaitu repetitif dari kalimat: ”Jangan sampai ada yang dipermalukan.” Maksudkan tentu saja, apapun kejadiannya jangan sampai ada di antara para elite itu yang dipermalukan. Tentu saja pernyataan ini aneh jika ditilik dari tujuan dibentuknya elite politik itu. Demi 220 juta rakyat, maka jika memang diperlukan, mempermalukan beberapa orang elite politik adalah harga yang sangat murah. Pemimpin dipilih untuk tujuan-tujuan pemilihnya, bukan sebaliknya.

Jejak Sang Imam

Gusriyono, Esha Tegar Putra
Padang Ekspres, 21 Des 2008

DI senja usianya, lelaki tua itu masih bersetia dengan kalam, dawat, dan kertas. Dengan penuh ketelitian ia celupkan kalam ke botol dawat, berhati-hati ia mengangkat tangannya kembali, agar dawat tak tumpah. Perlahan ia goreskan kalam yang berdawat itu ke atas kertas di depannya. Mulailah ia bersitekun menulis ajaran tasawuf yang telah melekat pada dirinya dengan aksara Arab, bukan karena buta huruf latin. Siang itu, selepas Zuhur, di sebuah Surau di tepi batang air yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Seni Tradisi yang Terpinggirkan

Retno HY
Pikiran Rakyat, 27 Des 2008

KEBUDAYAAN maupun seni tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, dalam konteks tertentu merupakan suatu ritus yang menghubungkan antara dirinya pribadi dan kelompok dengan sejarah masa lalu primordial masyarakatnya yang sakral. Sakralitas kebudayaan dan seni tradisi terletak pada apresiasi masyarakat terhadap sejarah masa lalunya, bukan pada objek yang diapresiasi. Sakralitas tumbuh dan berkembang tidak bisa diidentikkan dengan sakralitas keagamaan, yang bukan hanya pada apresiasi tapi juga pada objek apresiasinya.

Sabtu, 16 April 2011

100 Tahun Mohammad Yamin Pujangga Perumus Dasar Negara

Hendra Makmur
Media Indonesia Online 22 Agustus 2003

POPULARITAS sosok Mr Mohammad Yamin sering tenggelam dibanding Bung Karno, Bung Hatta, dan bapak-bapak bangsa Indonesia lainnya.

Catatan-catatan tentangnya hanya terselip di lipatan tebal buku sejarah yang jarang dibuka. Agaknya, hal ini menggambarkan sifat Yamin yang tak suka menonjolkan diri dan lebih suka berkiprah di balik layar pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Mendedah 'Warah' Sejarah

Judul buku: Syekh Bajirum dan Rajah Anjing
Penulis : Fahrudin Nasrullah
Penerbit : Pustaka Pujangga
Cetakan : 1, Februari 2011
Tebal : 142 halaman
Peresensi : S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/

Sabtu, 09 April 2011

Alloh: Cahaya di Atas Cahaya

(Catatan pengajian Padhang mBulan tanggal 19 Pebruari 2011)
Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Alloh? Sepertinya kita sudah mengenal, entah berapa prosen perangkat informasi tentang Dia yang pernah kita terima. Atau, sesungguhnya kita adalah bagian dari susunan ‘tubuh’Nya dalam struktur berjenjang makro kosmos, namun karena kita tidak terima untuk mengakui bahwa kita bagian terkecil dariNya dan kita berhasrat menggebu menarik Dia ke dalam bagian kita, segala kesuksesan, segala apa yang kita miliki, membuat kita enggan mengakui bahwa sebetulnya kita sudah berada di dalamNya.

Sketsa Dialog Astral *

Draft Pembicaraan Atas Kumpulan Cerpen Syekh Bejirum dan Rajah Anjing Fahrudin Nasrulloh
M.S. Nugroho**
http://sastra-indonesia.com/

Membaca cerpen-cerpen Fahrudin Nasrulloh dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing seperti mengikuti tradisi mawaca langsung dari kitab lama tanpa lagu. Artinya: tegang, sukar, ruwet, berbuih-buih, nglangit, nglangut, sekaligus penting, menantang, dan mengasyikkan.

Senin, 04 April 2011

Pengantar Cerpenis Syekh Bejirum dan Rajah Anjing

Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/

Menulis pengantar cerpen? Saya rasa ini lebih berat dibanding membikin cerpen atau tulisan lainnya. Seperti saya dipaksa menapaktilasi detik perdetik dalam ruang dan waktu di setiap cerpen. Menguruti jejak sungguh sesuatu yang rumit dan melelahkan. Tapi itu tampaknya perlu dibuat. Agar saya tidak menciderai pembaca. Meski sebelas cerpen dalam kumpulan ini masih terasa menggeret-geret saya ke entah. Ada rasa longsor. Tenggelam. Gelap dan melenyap pelan-pelan. Cerita-cerita itu seringkali terasa merangsek di malam-malam ketika saya dilimbur kosong. Tapi biarlah mereka terus mengerubungi saya dan sisanya saya serahkan pada waktu dan semacam iman yang saya teguhi dalam berkarya.

MEMBACA DUNIA NUREL *

Marhalim Zaini **
http://sastra-indonesia.com/

“Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya.”

Belajar Bahasa dari Nur Muhammad SAW

Hasil Diskusi bersama Emha Ainun Nadjib
Fathurrahman Karyadi *
http://sastra-indonesia.com/

Setiap pengajian Padhang Mbulan—pimpinan Emha Ainun Nadjib—digelar, pasti selalu membawa kesejukan bagi para pendengarnya. Edisi bulan Maulud kali ini diselenggarakan pada hari Sabtu malam Minggu, 19 Februari 2011 lalu di kediaman beliau, Menturo, Sumobito Jombang. Seperti biasa format pengajian diawali dengan pemaparan tafsir tekstual oleh Cak Fuad lalu disusul dengan tafsir kontekstual oleh Emha Ainun Nadjib, atau yang lebih akrab disapa Cak Nun. Bedanya dengan edisi-edisi sebelumnya, malam itu dibacakan pula puisi pujian (al-madâih wa al-qâshaid) dari kitab Maulid al-Dibai serta ditambah dua narasumber; Sabrang- Letto dan Pak Haryo.

Karena dalam suasana maulid nabi, ayat yang dibedah kala itu pun bertajuk keagungan Nabi Muhammad SAW. Meskipun kami sering mendengarnya, tapi anehnya tidak ada rasa bosan yang menimpa kami. Di samping karena sosok nabi yang memang betul-betul membawa berkah, juga dilengkapi dengan pemaparan nara sumber yang sangat menyenankan, ilmiyah populer plus guyonan ala pesantren.

Rasulullah dan Cahaya

Dalam Surat al-Mâidah ayat 15 Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.” Footnote dalam ayat ini menyebutkan bahwa yang dimaksud “cahaya “ adalah Nabi Muhammad SAW dan “kitab” maksudnya Al-Quran. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Razi, Al-Alusi, Abu Bakr al-Jazairi, al-Mawardi dan Sayyid Thanthawi.

Ayat ini tidak disiggung dalam forum. Mungkin kalah populer dengan ayat “Laqad kâna lakum…” (Al-Ahzâb: 21) atau “Laqad jâakum rasulun…” (Al-Taubah: 128). Maka dengan memberanikan diri, penulis mengungkapkan ayat tersebut saat sesion tanya jawab dibuka. Dalam kesempatan emas tersebut, saya—dengan keterbatasan ilmu tentunya—memiliki pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW diibaratkan sebagai cahaya. Namun kita masih gamang, cahaya yang bagaimanakah yang pas untuk diibaratkan atau dikinayahkan kepada beliau?

Syaikh Abdurrahman al-Dibai dan Imam Ja’far al-Barzanji mengungkapkan dalam sajaknya “Anta syamsun anta badrun, anta nûr fawqa nûr.” (Engkau, nabi Muhammad, adalah matahari, engkau adalah rembulan, engkau adalah cahaya di atas cahaya). Kemudian saya bertanya-tanya, apakah benar Nabi Muhammad diibaratkan seperti cahaya matahari? Padahal—lagi-lagi berdasarkan kedangkalan ilmu penulis—di samping sinar matahari memiliki banyak kelebihan dan manfaat besar, ia juga memiliki beberapa kelemahan.

Pertama, matahari tidak bisa dilihat secara total dengan mata telanjang. Bahkan konon katanya bisa mengakibatkan mata buta karena kedahsyatan sinarnya. Sedangkan Nabi Muhammad SAW jelas-jelas bisa dipandang. Banyak hadits yang menyebutkan bahwa rupa Nabi Muhammad sangat tampan, bersinar, segar bagi siapa saja yang melihatnya. Syeikh Abdurrahman al-Dibai sendiri menggambarkan wajah nabi dengan ungkapan “Alifiyyul anfi mîmiyyul fammi nûniyyul hâjib” (Hidung Nabi seperti huruf alif, lisannya seperti huruf mim, alisnya seperi huruf nun). Dengan begitu, wajah Nabi Muhammad SAW benar-benar bisa dilihat, tidak seperti matahari.

Kedua, kita tidak bisa menikmati cahaya matahari selama 24 jam ful. Warga negara Indonesia mungkian hanya 12 jam saja bisa bermesraan dengan matahari. Begitu pula di negara-negara lain. Bahkan ada negara yang hanya beberapa jam saja bisa menikmati sinar matahari.

Ketiga, cahaya matahari tidak bisa menembus masuk ke dalam ruangan. Ketika siang bolong misalnya, kita masih membutuhkan penerangan cahaya lampu saat berada di dalam sebuah ruangan seperti kamar mandi atau di dalam gua. Singkatnya, sorotan cahaya matahari pun terbatas, tidak bisa menembus ruang.

Keempat, terkadang cahaya matahari memberikan efek samping yang negatif. Kulit seseorang yang sering terkena terik matahari maka akan tampak gosong. Ada juga beberapa tanaman yang tidak boleh terkena sinar matahari lebih. Mulanya ia harus dilapisi dengan plastik agar tidak langsung menembus tanaman tersebut. Bumi ini pun akan bahaya bila tidak ada lapisan asmosfir.

Oleh karena itu, dengan keagungan-Nya yang luar biasa, Al-Quran mengibaratkan Nabi Muhammad dengan istilah “sirâjan munîran” (Al-Ahzab: 46) bukan syams, matahari. Dalam kamus Al-Munawwir (1997: 624), sirâjan munîra bermakna lampu/pelita yang abadi bersinar atau lebih mudahnya adalah tempat kecil berisi minyak yang diberi obor di atasnya sehingga terang dengan cahaya api (Jawa: lampu uplik). Di antara hikmahnya adalah, karena cahaya sirâj bisa menerangi kita di mana saja, meski di dalam gua sekalipun, praktis di bawa, bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam hal seperti memasak, dan sebagainya. Yang terpenting adalah, bahwa cahaya sirâj bisa ditularkan kepada siapa saja tanpa mengurangi sumber aslinya. Maka begitu pula Rasulullah SAW, memberikan kecahayaan kepada seluruh umat. Diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali RA adalah orang pertama yang mendapat cahaya tersebut, lalu kemudian merembet kepada para sahabat, tabi’in sampai kita saat ini. Sehingga jagad dunia menjadi terang dengan nur Muhammad SAW. Inilah yang dimaksud dengan nûrul Musthafâ malâ’al akwân (Cahaya Rasul yang dipilih memenuhi alam jagad).

Dengan begitu, istilah sirâj tampaknya lebih cocok dari pada syams. Seorang pujangga agung, Imam al-Bushiri memang menggunakan lafadz syams akan tetapi beliau menambahi kalimatnya menjadi syamsu fadhlin sehingga memiliki arti matahari keutamaan, bukan sekedar matahari. (Kaannahû syamsu fadlin hum kawâkibuhâ-yuzdhirna anwârahâ linnâsi fizzdulami. Engkau adalah matahari keutamaan sedangkan para sahabat bintang-bintang. Sinarnya menerangi manusia dalam kegelapan).

Perbedaan Bahasa

Menanggapi uneg-uneg saya di atas, Cak Nun sangat bijak. Beliau menanggapi bahwa pembahasan di atas terkait erat dengan bahasa. Istilah syams yang dikinayahkan kepada Rasulullah SAW itu adalah bahasa sastra bukan fisika. Jadi mataharin pun bukan dimaknai sebagai fisik matahari yang memang memiliki beberapa kekurangan. Lebih bijaksana lagi beliau mengomentari bahwa Maulid al-Dibai adalah karya manusia bukan karena Tuhan. Jadi maklum kalau dijumpai kekurangan.

Begitu pula dengan sang putra, Sabrang-Letto . Bahkan dengan kecerdasannya di bidang fisika dan cahaya dia bisa memantahkan pendapat saya. Wal hasil, jika Nur Muhammad diibaratkan dengan matahari terdapat kebenaran dan kekurangannya. Begitu pula kalau diibaratkan dengan sirâj, mengingat lampu uplik senantiasa membutuhkan minyak dan terkadang juga membahayakan kalau membakar suatu benda di dalam rumah.

* **

Jika kita kaji lebih dalam pernak-pernik kehidupan ini maka akan dapat kita simpulkan bahwa permasalahan yang sering kita hadapi hanya karena bahasa. Konflik rumah tangga berakar dari kesalahfahaman istri dengan sang suami. Keributan di panggung politik juga bermula karena ketidakfahaman para pakar antarbahasa politik dengan bahasa hukum, budaya, dst. Kita hanya mempelajari satu bahasa tanpa mengenal bahasa yang lain. Sehingga terjadilah kebutaan sosial dalam kehidupan. Yang semula penuh kebersamaan menjadi terpecah belah menjadi sekte-sekte aliran. Seandainya kita faham bahasa mereka dan bisa mengungkapkan bahasa kita kepada mereka niscaya kerukunan senantiasa terjalin.

Maka sangat benar apa yang dikatakan dalam lirik lagu Syair Tanpo Waton yang dinisbatkan kepada almarhum Gus Dur “Duh bolo konco prio wanito, ojo mung ngaji syariat bloko, gur pinter dongeng nulis lan moco, tembe mburine bakal sangsoro.” Dalam syair itu diungkapkan, seorang ahli agama jangan puas kalau hanya menguasai ilmu syariat saja, tanpa mengenal akhlaq tashawwuf, tarekat ma’rifat, juga cabang-cabang disiplin ilmu lainnya. Sehingga diharapkan, dalam kehidpuan yang universal ini kita bisa membuka mata lebar, tidak sempit dengan satu bahasa saja. WaLlahu A’lam.

Jakarta, 8 Maret 2011

*) Santri Ponpes Tebuireng Jombang

Islam dan Kebudayaan dalam Tunjuk Ajar Melayu

Junaidi
Riau Pos, 3 April 2011

HUBUNGAN agama dan kebudayaan sangat erat dan bisa saling mempengaruhi. Cara orang beribadah dalam agama tertentu dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimilikinya. Sebaliknya, kebudayaan suatu suku bangsa dapat pula dipengaruhi oleh agama yang dianutnya. Meskipun dasar ajaran agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan melalui nabi dan kebudayaan berasal dari potensi kreativitas yang diberikan Tuhan kepada manusia, agama dan kebudayaan dapat bergabung dalam penerapannya. Pada hekekatnya, agama dan kebudayaan memang sama-sama bertujuan untuk menuntun manusia hidup dunia agar hidup manusia menjadi lebih terarah dan memperoleh kemudahan.

Salah satu kebudayaan suku bangsa yang sangat kental dipengaruhi Islam adalah suku Melayu. Pengaruh Islam terhadap kebudayaan Melayu dapat ditemukan dalam tradisi dan kesusastraan Melayu. Namun demikian, sebelum Islam masuk ke tanah Melayu, corak kebudayaan Melayu bersifat Hindu-Budha yang dipengaruhi oleh Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi. Keagungan Sriwijaya itu kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Melaka sekitar abad ke-14 sampai abad 16 Masehi. Setelah Islam menyebar di tanah Melayu corak kebudayaan orang Melayu berubah menuju kebudayaan Islam. Penyebaran Islam tidak dilakukan secara paksaan melainkan dengan cara damai. Karena menggunakan cara-cara yang baik mayoritas orang Melayu kemudian memeluk Islam.

Masuknya Islam ke Nusantara dibawa oleh para pedang Muslim yang berasal dari Arab sekitar abad ke 7 Masehi. Strategisnya letak Nusantara terus mendorong pedagang dari Arab mengembangkan perdagangnya. Sambil berdagang dengan orang Melayu, pedagang Arab juga menyebarkan Islam kepada orang Melayu. Penyebaran Islam di tanah Melayu diperkuat lagi dengan perkawinan antara pedagang Arab dengan orang Melayu. Interaksi orang Muslim yang berasal dari Arab dengan orang Melayu semakin intens sehingga Islam kemudian dianggap sebagai agama yang syah bagi orang Melayu.

Kuatnya pengaruh Islam dalam masyarakat Melayu mendorongnya munculnya kerajaan Islam di tanah Melayu. Ambary menyatakan bahwa Raja-raja Melayu menempatkan dirinya sebagai keturunan Iskandar Agung. Ketika Islam semakin berkembang dalam lingkungan kerajaan, Islam semakin kuat pengaruhnya dalam masyarakat Melayu. Islam dianggap sebagai agama resmi kerajaan Melayu sehingga seluruh aspek kehidupan orang Melayu, termasuk kebudayaan didasarkan pada ajaran Islam.

Salah satu bukti kuatnya pengaruh Islam dalam kebudayaan Melayu adalah dipergunakannya aksara Arab-Melayu atau tulisan Jawi dalam masyarakat Melayu. Penggunaan aksara Arab-Melayu ini dapat ditemukan dalam naskah-naskah kuno yang ditulis pada masa lalu. Keberadaan aksara ini pun masih dipertahankan dalam masyarakat Melayu sebagai bentuk penghargaan terhadap kebudayaan masa lalu.

Orang Melayu terkenal dengan tradisi penulisan yang sangat baik. Ini dibuktikan dengan banyaknya ditemukan naskah-naskah yang ditulis orang Melayu. Salah satu pengarang Melayu yang sangat terkenal adalah Raja Ali Haji, dengan karya agungnya Gurindam Dua Belas. Dalam gurindam ini sangat jelas terlihat pengaruh Islam terhadap karya sastra Melayu. Keterampilan bermain dengan kata seperti dalam syair, pantun, sajak dan bentuk olah kata lainnya membuat orang Melayu terkenal dengan kehalusan budi bahasanya. Orang Melayu menggunakan bahasa secara tertata sehingga bahasa yang digunakan akan diukur dengan rasa. Dengan rasa ini orang Melayu menjaga bahasanya. Keterampilan memainkan bahasa itu digunakan pula untuk menyampaikan nasehat, petuah, dan pengajaran yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam. Penggunaan syair dan pantun terasa lebih berkesan untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang berlandaskan Islam.

Dalam kebudayaan Melayu Riau pesan moral yang bersumber dari nilai-nilai Islam dapat dilihat dalam tradisi tunjuk ajar Melayu. Tunjuk ajar Melayu adalah petuah, petunjuk, nasehat, amanah, pengajaran, dan contoh teladan yang disampaikan oleh orang Melayu Riau. Tunjuk ajar ini bertujuan untuk membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridhoi Allah. Dengan kata lain, tunjuk ajar bertujuan untuk menciptakan keseimbangan atau equlbilirium dalam kehidupan manusia sehingga manusia dapat hidup dengan selamat di dunia dan akhirat. Keberadaan tunjuk ajar diharapkan pula menjadi panduan bagi orang Melayu dalam menjalani kehidupan ini.

Kandungan tunjuk ajar Melayu merupakan gabungan dari nilai-nilai agama Islam, nilai-nilai budaya Melayu dan norma-norma sosial yang terdapat dalam masyarakat Melayu Riau. Nilai-nilai Islam sangat jelas terdapat dalam tunjuk ajar Melayu karena keberadaan budaya Melayu berkaitan erat dengan nilai-nilai Islam. Bahkan sebagian orang mengatakan bahawa Islam menjadi identitas utama orang Melayu. Tenas Effendy lebih tegas menyatakan bahwa dalam tunjuk ajar terkandung ajaran agama dan berbagai ilmu yang berguna.

Kedudukan tunjuk ajar Melayu sangat penting bagi orang Melayu karena kandungannya mencerminkan nilai-nilai luhur yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tunjuk ajar Melayu yang disampaikan oleh orang-orang tua Melayu digunakan untuk mengingatkan masyarakat terhadap nilai-nilai luhur agar kehidupan manusia ini lebih terarah kerana manusia mempunyai kecenderungan lupa. Effendy menerangkan bahwa “pentingnya kedudukan tunjuk ajar dalam kehidupan orang Melayu menyebabkan mereka berupaya sekuat tenaga untuk mempelajari memahami, selanjutnya mewariskan tunjuk ajar secara turun-temuran.”

Pesan moral yang terdapat dalam tunjuk ajar Melayu Riau meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti pesan amanah kepada guru, orang tua, anak-anak, lingkungan, dan pemimpin. Adanya pesan moral yang bersumber dari nilai-nilai Islam menunjukkan bahwa orang Melayu Riau mempunyai perhatian yang khusus Islam. Berkaitan dengan itu, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji nilai-nilai Islam yang terdapat dalam tunjuk ajar Melayu.

Posisi Adat dan Syarak

Sejak masuknya Islam ke tanah Melayu, Islam terus berkembang secara damai dalam masyarakat Melayu sehingga ini menyebabkan kebudayaan Melayu mengalami perubahan. Islam dijadikan azas utama kebudayaan Melayu. Salah satu warisan kebudayaan Melayu yang secara jelas menjelaskan perbaduan Islam dan kebudayaan Melayu adalah tunjuk ajar Melayu. Dalam tunjuk ajar Melayu diungkapkan bahwa adat orang Melayu harus sesuai dengan Islam seperti yang terdapat dalam ungkapan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Ini bermakna bahwa semua aspek kehidupan manusia didasarkan pada hukum Allah. Adat, kesenian, tradisi dan semua aspek kebudayaan yang dikreasikan oleh manusia harus benar-benar sesuai dengan Islam. Ungkapan ini menunjukkan bahwa Islam telah benar-benar menyatu dalam diri orang Melayu. Dalam tunjuk ajar Melayu dinyatakan: Adat ialah syarak semata//Adat semata Quran dan Sunnah//Adat sebenar adat ialah Kitabullah dan sunnah nabi//.

Adat berada dalam wilayah kreativitas manusia atau dengan sengaja dibuat manusia untuk menyimbangkan kehidupan manusia. Sedangkan syarak berada dalam wilayah kekuasaan hukum Tuhan. Ungkapan di atas menegaskan kedudukan adat sebagai buatan manusia harus tunduk dengan syarak sebagai ciptaan Allah. Dengan demikian, adat tidak boleh menyimpang dari hukum Tuhan yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah. Masyarakat Melayu berpandangan perlunya keserasian dalam menjalankan syarak dan adat. Syarak menjadi landasan utama yang mengatur main set manusia sehingga seluruh kemampuan akal dan pikiran manusia harus diselarakan dengan syarak. Selanjutnya adat lebih berada dalam wilayah aksi atau perbuatan manusia seperti yang dinyatakan dalam ungkapan berikut: Syarak mengata, adat memakai//Ya kata syarak, benar kata adat//Adat tumbuh dari syarak//syarak tumbuh dari kitabullah//Berdiri adat karena syarak//.Ungkapan ini menjelaskan bahwa kebenaran yang terdapat dalam adat harus sesuai dengan kebenaran yang terdapat hukum Tuhan. Syarak merupakan sumber kebenaran yang hakiki yang berasal dari Tuhan sehingga adat mesti merujuk kepada syarak sedangkan sumber utama dari hukum agama itu adalah kitab suci Alquran. Kemudian ditegaskan lagi bahwa adat bisa berdiri bila tunduk pada hukum Tuhan.

Islam sebagai Identitas Melayu

Orang Melayu memandang Islam tidak hanya sebagai sebuah agama pilihan yang diridhoi Tuhan, tetapi mereka juga memandang Islam sebagai identitas. Pandangan seperti ini terjermin dalam kehidupan orang Melayu sehingga timbul ungkapan bahwa orang Melayu mesti beragama Islam, bila ia tidak Islam berarti ia tidak Melayu. Ini bermakna bahwa Islam menjadi identitas utama bagi orang Melayu seperti dinyatakan dalam ungkapan berikut: Apa tanda Melayu jati//Bersama Islam hidup dan mati//Apa tanda Melayu jati//Islam melekat di dalam hati//Apa tanda Melayu jati//Dengan Islam ia bersebati//.

Islam digambarkan sebagai penanda utama bagi orang Melayu untuk membedakan orang Melayu dengan orang tidak Melayu. Kuatnya identitas Islam dalam diri orang Melayu menyebabkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari diri mereka sehingga sampai mati pun Islam menjadi agama orang Melayu. Islam digambarkan benar-benar telah menyatu dalam diri orang Melayu.

Dalam ungkapan yang lain dinyatakan pula bahwa tanda “tuah” atau keistemewaan orang Melayu adalah memeluk Islam secara benar: Apa tanda Melayu bertuah//Memeluk Islam tiada menyalah//Apa tanda Melayu bertuah//Sebarang laku menurut sunnah//Apa tanda Melayu bertuah//Hidup takwa kepada Allah//Apa tanda Melayu bertuah//Hidup mati bersama akidah//.

Kata “tuah” merupakan suatu ungkapan yang sering digunakan oleh orang Melayu untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai kaum yang mempunyai keistimewaan yang diberikan Tuhan seperti memeluk Islam, keagungan kerajaan Melayu, dan sumber daya alam yang melimbah. Perpaduan Islam dan pemikiran orang Melayu menjadikan Islam sebagai panduan utama bagi orang Melayu dalam menjalankan kehidupan. Ungkapan orang Melayu sebagai kaum pilihan juga tergambar dalam ungkapan berikut: Apa tanda Melayu pilihan//Hidup matinya dalam beriman//Apa tanda Melayu pilihan//Taat setia menyembah Tuhan//Apa tanda Melayu pilihan//Di dalam Islam tiada menyeman//. Identitas sebagai kaum pilihan dikaitkan dengan keteguhan keimanan mereka dalam memeluk Islam. Keimanan menjadi dasar utama bagi orang Melayu menyembah Tuhan agar manusia benar-benar mempercayai ajaran Islam sebagai pedoman dalam kehidupan.

Ungkapan Melayu mengajarkan bahwa sebagai makhluk yang mempunyai akal, manusia harus teguh memeluk agama Islam agar kehidupan Manusia benar-benar terarah seperti yang dinyatakan dalam ungkapan berikut ini: Apa tanda Melayu berakal//Memeluk Islam ianya kekal//Apa tanda Melayu berakal//Di dalam Islam ia beramal//Apa tanda Melayu berakal//Membela Islam tahan dipenggal//. Ungkapan ini menyatakan bahwa orang Melayu harus mempunyai komitmen yang kuat untuk memeluk Islam dan selalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. (bersambung)

Dr Junaidi, adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak, dan Komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/04/islam-dan-kebudayaan-dalam-tunjuk-ajar.html

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez