Sabtu, 09 April 2011

Alloh: Cahaya di Atas Cahaya

(Catatan pengajian Padhang mBulan tanggal 19 Pebruari 2011)
Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Alloh? Sepertinya kita sudah mengenal, entah berapa prosen perangkat informasi tentang Dia yang pernah kita terima. Atau, sesungguhnya kita adalah bagian dari susunan ‘tubuh’Nya dalam struktur berjenjang makro kosmos, namun karena kita tidak terima untuk mengakui bahwa kita bagian terkecil dariNya dan kita berhasrat menggebu menarik Dia ke dalam bagian kita, segala kesuksesan, segala apa yang kita miliki, membuat kita enggan mengakui bahwa sebetulnya kita sudah berada di dalamNya.

Dengan menafsirkanNya dimungkinkan ada alasan untuk kemudian ‘mengenal’, entah dengan cara ‘berenang’ atau ‘tenggelam’ dalam ke Maha Luas-tak terbatasnya Alloh. Keduanya sama-sama berada dalam keluasan, namun tenggelam dikendalikan oleh air dengan sempurna, tetapi berenang dikendalikan oleh diri sendiri. Pada batasan : siapa yang mengenali dirinya, maka ia akan tau Tuhannya, melahirkan pemahaman: orang yang tidak mengetahui jika Tuhan itu ada dan nyata, mereka tergolong orang kufur. Demikian juga jika seseorang kok berkata bahwa ia melihat Tuhan dengan nyata, maka ia juga orang munafik. Tuhan bukan jagat raya ini, semesta raya hanyalah bagian kecil dari cipratan kreatifitas penciptaanNya.
Ngrasani Alloh lebih jauh, sesungguhnya adalah hal yang tidak bertatakrama dalam laku kehidupan. Sebab, bagaimana pun juga kita hanyalah ‘hamba’ yang dicipta, diadakan, ditundukkan, disetir, dijuragani, ditenggelamkan dalam lakon teater besar alam semesta. Maka diperlukan batas kewajaran ketika kita hendak membincangkan GustiAlloh, bahwa yang kita ulas hanyalah sebatas pemahaman kita tentang Dia, dan bukan Dia yang sesungguhnya. Artinya, pendekatan apapun baik secara analogi-filologis dll hanya ibarat sebuah plangboard di perempatan jalan yang menunjuk arah sebuah kota. Meskipun tulisan dalam plangboard itu kita pegang, kita elus-elus, bahkan kita jilat sekali pun, tetap itu bukanlah kota yang dimaksud, sedang kota yang dimaksut masihlah sangat jauh. Plangboard hanyalah susunan informasi mengenai arah sebuah kota yang hendak kita tuju.

Alloh yang kita ucapkan tiap hari, kita tulis dengan jelas “ALLOH”, bukanlah Alloh yang sesungguhnya. Yang kita ucapkan dan yang kita tulis mengenai Alloh adalah informasi tentang Alloh jika kita hendak mendatangi wilayahnya lebih dekat.

Sekedar mempermudah cara bertatakrama, coba kita kaji ulang tulisan Emha Ainun Najib yang dimuat koran SINDO, Jum’at, 21/09/2007 berikut: Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan teve Ramadan. Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan bermacam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal “agama” lain, ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah tradisi.

Namun sebagai sebuah keseluruhan entiti, Islam hanya sama dengan Islam. Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan pandangan pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi’i, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanya Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Alloh.

Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangan nya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu.

Kalau ada teman melakukan perjuangan “islamisasi”, “dakwah Islam”, “syiar Islam”, bahkan perintisan pembentukan “Negara Islam Indonesia”-yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.

Supaya mendekati metodologi empiris dan terhindar dari ‘fikirkan ciptaanKu dan jangan membahas zat-Ku, kita bisa mengganti kata ‘Islam’ pada kalimat tercetak miring di atas dengan kata ‘Alloh’.

***

Sepanjang Pengajian Padhang mBulan, metode yang disampaikan Cak Nun adalah penyediaan bahan mentah dan bukan wacana ‘jadi’. Menyodorkan bahan jadi yang tinggal telan, terkesan membodohi atau mendikte ke-simpul-an pengetahuan secara detail. Dengan harapan, siapa pun berhak merumuskan batasan berdasarkan kadar atau perangkat cara pandang yang mereka pahami.

Pada pertemuan Padhang mBulan tanggal 19 pebruari 2011 lalu, Cak Nun melempar pertanyaan khusus untuk mendiskusikan beberapa hal semisal: Apakah Alloh itu cahaya? Sumber cahaya? Cahaya murni? Ataukah energi yang dihasilkan oleh cahaya setelah melalui proses susunan informasi sehingga terbentuklah wujud Alloh? Cak Nun mengurai beberapa tawaran rumus selanjutnya bahwa kapasitas cahaya murni berbeda dengan cahaya yang dihasilkan setelah melalui proses kimiawi (informasi). Yang artinya, segala sesuatu yang sudah terpengaruhi susunan informasi yang kemudian membentuk ‘wujud’, bukan lagi disebut cahaya murni.

Sementara Noe (vokalis Letto: Sabrang) yang ketepatan hadir dalam pertemuan itu mempunyai rumusan pemikiran bahwa: massa cahaya mengandung energi padatan (kapasitas kuantum) paling rendah, mendekati nol. Noe kemudian menarik analogi tentang ‘cahaya di atas cahaya’ dengan merefleksikan tafsir yang di sampaikan oleh Cak Fuad mengenai adanya nabi sesudah Nabi Muhammad. Menurut Noe, nabi yang kebenarannya pada posisi tertinggi ialah benda yang terbentuk dari energi murni. Sedangkan nabi (benda) yang terbentuk berdasarkan susunan energi (informasi) tidak murni (dipengaruhi sekian ambisi pribadi / golongan) adalah nabi palsu.

Cak Fuad kemudian mengkolaborasi penafsiran pemikiran Noe dengan menceritakan perihal Ibnu Sina yang dengan segala kapabilitas ketokohannya. Suatu hari di tanya muridnya, “Ibnu Sina, kenapa engkau tidak mengaku sebagai nabi? Aku yakin semua orang akan percaya dengan kapasitas keilmuanmu yang seperti ini.” Ibnu Sina tidak menjawab. Ketika dini hari menjelang subuh, si murid dibangunkan oleh Ibnu Sina untuk disuruh mengambilkan air minum. Karena si murit masih mengantuk berat, si murit beralasan “jangan minum air putih jam segini, tidak baik untuk kesehatan.” Ibnu Sina kemudian mengatakan “kenapa aku tidak menjawab ketika kau menyuruhku mengaku sabagai nabi, bangun dan dengar suara adzan subuh! Jam segini nama Muhammad sudah dikumandangkan, disebut-sebut orang tanpa henti, sementara aku menyuruhmu mengambilkan air minum saja kau tidak bersedia, jadi aku ini jauh dibanding kemurnian cahaya yang dimiliki Nabi Muhammad.

Cak Nun kemudian menyeret kursor dari dragbar ‘cahaya di atas cahaya’ ke beberapa aplikasi kontekstual semisal kemurnian awal mendirikan partai, masih lebih tinggi nilainya. Namun setelah disusun berbagai perangkat informasi (tidak murni) sebagai tim sukses kandidat presiden, tender berbagai proyek pengadaan dan pengakuan imag partainya sendiri dan apalagi menafikan kepentingan rakyat, cahaya partainya meredup, menurun dari tangga strata cahaya di atas cahaya.

Pengembangan atau penurunan kualitas cahaya di atas cahaya juga bergantung pada proses toriqot (sistem) yang dilaluinya, sebab kesalahan pada sebuah sistem, energi yang dihasilkan dari cahaya akan bernilai negatife (nar /api) yang disebut setan. Simpelnya, setan ialah ketika manusia (benda) tidak mampu mengontrol kemurnian sistem pada dirinya, maka akan menjadi bias reaksi (kimia) negatif yang disebut setan.

Cak Nun mencontohkan perihal kemurnian tanah. Karena kesalahan pada sistem pengolahan yang melibatkan ‘pupuk setan’, yakni pupuk yang tidak bersistem pada kebutuhan petani, melainkan proyek kapitalisme pertanian, berakibat pada ketidaksuburan tanah pada masa berikutnya. Ketidaksuburan tanah inilah yang disebut imbas dari reaksi negatif kimiawi cahaya.

***

Menerjemahkan pembahasan cahaya di atas cahaya dalam kaitannya dengan sejarah yang pernah dan sedang berlangsung, Sabrang Noe Letto menceritakan perihal tidak digunakannya sistem listrik AC yang ditawarkan oleh Tengsla. Sistem listrik AC adalah sistem penyalaan lampu tanpa memakai jaringan kabel. Model listrik AC kinerjanya mirip dengan perangkat tower signal HP.

Tengsla ditolak oleh sistem korporasi perdagangan dunia. Dengan alasan kapitalisme global, ilmuwan lebih memilih Thomas Alfa Edison dengan sistem DCnya. Listrik tanpa kabel sama artinya mengurangi produk yang mengeksploitasi tembaga. Sedangkan proyek manufaktur tembaga berjalinan erat dengan bahan-bahan sumber energi lain semisal minyak ataupun bahan baku karet yang pasti ditangani beberapa orang pemilik modal. Keadaan semacam ini hanya akan meguntungkan negara-negara kapitalis. Sementara negara-negara miskin hanya akan dikeruk dengan hasil yang tidak seimbang. Sedang di sisi lain, para pakar sudah menganalisa tentang terjadinya krisis energi sekitar 12 tahun lagi.

Di Indonesia, dengan praktek birokrasi yang korup, dimana seluruh pejabat teras hingga RT hanya berfungsi menjadi polesai perputaran keuangan dunia, sepakat ngutil berbagai tender berbarengan asal tidak nyolok ketahuan, dimana institusi dan kelembagaan bergeser fungsi menjadi praktek kapitalisasi, sama artinya menjalankan konsep cahaya di bawah cahaya. Apalagi ketika cahaya keilmuan hendak meletik, pemerintah segera mengkufurinya dengan menutup segala jaringan yang akan dirambah. Kasus penemuan mesin tenaga uap yang ditemukan warga Nganjuk, andai dikembangkan akan melahirkan mesin tanpa bahan bakar bensin, sudah pasti akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun keberkahan ilmu itu tidak disukuri oleh pemerintah dan pemilik modal di Indonesia dan malah sibuk berebut perihal copyraight yang notabene hanya persoalan segelintir orang.

Lain tentang penemuan mesin uap, Pak Haryo yang hadir sebagai tamu di pengajian Padhang mBulan pada Sabtu 19 Pebruari lalu, Pak Haryo juga membawa informasi dan bukti atas eksperimentasinya mengenai listrik bersistem AC. Namun dalam ‘sistem kegelapan’ negara Indonesia, orang seperti Pak Haryo akan dilenyapkan atau sekedar dituding sebagai ‘pencuri karyanya sendiri’ seperti yang pernah dialami oleh Pak Joko Nganjuk.

Segala fenomena yang terjadi di Indonesia yang menyangkut penemuan- penemuan baru, menandakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling siap untuk memimpin dunia di masa datang. Ketika negara-negara Barat terancam krisis energi, Indonesia sudah siap dengan teknologi tanpa jaringan energi yang begitu ribet seperti sekarang. Pak Joko dan Pak Haryo hanyalah tanda bahwa pletikan cahaya di atas cahaya akan selalu memuai dari sekedar kadar cahaya di Indonesia sekarang ini.

***

Untuk menyongsong cahaya yang lebih atas dapat diawali dengan mengandalkan (kemurnian) kwalitas diri sendiri dahulu sebelum melebar ke skala bernegara. Individu bisa menempuh cara dengan mengintenskan kesadaran bahwa setiap energi yang dilakukannya kapan pun, dimana pun, siapa pun, sekecil pun, adalah jaringan energi mega-global alam semesta, energi yang terhubung dengan rotasi-revolusi antar planet sampai ke satu detak jantung, satu hemoglobin peredaran darah dan seterusnya.

Individu harus memecahkan rumus utama perihal pencipta dan dicipta. Keduanya adalah perebutan dualisme, dimana individu mengatakan ‘Aku’ dan Dia berkata ‘Aku’. Karena tujuan yang ditempuh adalah Aku, maka dualitas ini harus dihancurkan, mengalah salah satu. Dan karena ‘Dia’ tidak bisa dihancurkan, maka individu harus melebur menjadi Dia Yang Maha Kekal.

*) Penulis: Sabrank Suparno. Lahir di Jombang 24 Maret 1975. Redaktur Bulletin Lincak Sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez