Kamis, 07 Juli 2011

Akhirnya

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Dua esai Tardji sebagai lampiran sudah cukup untuk mengidentifikasi anatominya di wilayah susastra yang mungusung “mantra” dari akar-akarnya, yaitu tradisi.

Dalam ilmu kemantraan di bencah tanah Jawa, ada istilah ajian panglimunan, berguna tidak untuk menyerang, pun membentengi dari sergapan. Tepatnya berdaya mengaburkan pandangan musuh demi meloloskan jejak atau memberi kefahaman keliru kepada yang dihadapinya. Olah ini mampu membuat bingung sehingga mudah menyerang balik. Biasanya ajian ini dipakai dalam keadaan terjepit. Jika ditampakkan di permukaan menjadi pengecoh. Bahasa sederhananya berpura-pura atau menipu.


Ajian panglimunan sejajar dengan ilmu menghilang dari penglihatan. Mereka tak mampu menembus keberadaan pelaku, maka mudahlah penggunanya memukul atau kabur dari arena pertarungan. Sisi lain, ajian ini untuk melambari dan menutupi ajian yang tengah dirapal, sehingga musuh menganggap enteng. Semisal menggunakan gerak ajian rendah, tapi yang dilebur tingkatan tinggi.

Bentuk keilmuan ini ada bersifat kaca tebal tembus pandang, ada sejenis kabut, pula ada mendiami letak kekosongan. Lawannya seolah berhadapan orang biasa, tidak berilmu kesaktian.

Siasat tersebut berasal dari akar mantra yang dipakai, juga kelihaian dalam menggunakannya. Ini berdekatan dengan kesabaran menapaskannya. Tumpukan pengalaman merapal mantra itu, di atas memahami pamornya.
Selain faedah di atas, ajian panglimunan berguna untuk menyatukan dinaya beberapa mantra dalam satu tarikan pengejawantahan. Selanjutnya ajian ini juga dapat mendampingi ajian lain yang dikeluarkan sehingga yang tertimpa sulit mengetahui jenis ilmu tersebut maupun pelakunya.

Mari kita simak unggahanku dari esai Menulis di Atas Mantra milik Tardji, pada paragraf II dan IV (sebab bagian III, penjabaran dari bagian II):

Saya adalah penyair yang menulis tidak dari suatu kekosongan. Saya menulis di atas kertas yang telah berisi tulisan. Saya menulis di atas tulisan. Tulisan itu adalah hasil budaya dari subkultur yang sangat saya akrabi, yaitu budaya Riau berupa mantra.“, (paragraf 2).

Maka menulis di atas tulisan atau di atas mantra bukanlah sekadar menerima mantra sebagai sesuatu nilai yang siap pakai, tetapi suatu pertemuan atau dialog kritis kreatif yang pada akhirnya memberikan upaya perpanjangan makna bagi mantra lewat kemampuan kreatif dari penyairnya.”, (paragraf 4).

Terpancang jelas, puisi-puisi Tardji adalah turunan kemantraan dari bongkahan batu-batu tradisi yang menghidupi alam ruhaniah Riau. Ia mencantelkan dan mencangkok aura mantra asli dalam kesusastraan Indonesia. Seperti mantra atau wirid dari ajaran Islam yang diterjemahkan, ditafsirkan, dan dilebur dalam bahasa Jawa, tapi tetap bersimpan mana, punya keampuan serupa, sebanding bonggol sebelumnya, meski bungkusnya berbeda-beda.

Lantas dari mana Tardji dapat mengakui puisi-puisinya dikeruk sedari akar mantra yang tumbuh di dataran Riau, padahal sebatas bentukan tubuh iramanya dan keganjilannya mengandalkan keserupaan tanpa digali seluruh atau membangun ulang roh aslinya? Apakah ini bukannya kenes, kemayu, atau bahkan keminter memantrakan aura lama lewat bahasa Indonesia dan gagal karena tak bertuah?

Seandainya ada kritikus yang sudah menunjukkan keampuan puisi mantra Tardji, tentu bukan dari sisi kekuatan gaib, melainkan diletakkan pada fungsi luarnya, misalkan penalaran dari capaian temuan akal kepenyairannya. Di sana aku timbul curiga sekadar akal-akalan mengudar keunikannya.

Bagi yang berakal, apa saja bisa dimainkan, disepadani, disejajarkan, dan dijelentrekkan atas timbangan nalar. Ini serupa belajar memakai otak di dalam menentukan kausalitas. Maka para penyuka jalan akal tak repot mengudar puisi para penyair, seperti juga puisi Tardji. Lebih turun, ia gagal membangun konsepnya. Ah, aku teringat ungkapan Mochtar Lubis; “…bim salabim, nah… keluar kelinci dari dalam topi“.

Sejauh ini, ia memang kreatif mengudar bunyi-bunyian disusupkan ke irama puisinya juga menggali energi vokal maupun konsonan demi puisinya laksana mantra. Tapi sampai tiga puluh tahun lebih, Tardji belum terbukti berhasil mentransfer dinaya mantra ke dalam puisi mantranya. Ia tampak tidak cukup sakti sebagai raja mantra dalam memasuki abjad berdaya yang bisa disebut mantra.

Jika ia menyorongkan abjad dan mantra sebagai konsepnya, semestinya Tardji mengudar huruf A sampai Z atas fungsi guna, misalkan kelemahan, kekuatan, dan hal-hal yang menggagalkan atau membatalkan jikalau dijadikan rajah. Di sini bisa ditengok, kegagalan awal gagasan kalau diteruskan berakibat fatal, antara membebaskan kata dari beban makna di balik mantra sebagai pijakannya.

Di dalam khasanah ilmu kemantraan, memang telah mewujud wajah puitis iramanya, konstruksi gutaran tulisannya manakala dijadikan rajah. Hal itu dipelajari para penyuka menyusuri alam gaib. Mereka tidak sekadar membaca, menyimak, merekam isyarat belajar, tapi juga mempraktekkan, menggali khasiat bagi napas terkait. Mereka menyinauni dari hal terkecil, misalkan gereget niat, ditampakkan bagi yang senantiasa mawas diri, keawasan serta kesabaran, dan syarat perasaan suci. Sebagaimana roh ilmu berangkat sedari akal melalui tangga kehidupan agar tidak dikira prasangka, keragu-raguan dekat kebodohan, dan taklid buta.

Kalau dibenturkan pada puisi mantra Tardji, tampak sekadar permainan kata, lebih rendah main-main bahasa, bahkan dekat dengan sikap meremehkan nilai-nilai tradisi yang diusungnya. Lebih parah mengaku-ngaku Sumpah Pemuda itu puisi, makin jelas mengusung gerbong kosong dengan argumentasi meyakinkan:

Sumpah Pemuda selama ini memang tidak dikenal sebagai puisi. Tetapi jika kita lihat apa yang dikandung dalam teksnya adalah imajinasi yang ditampilkan lewat kata-kata yang padat, ringkas, dan kuat makna. Karena itu, ia memiliki syarat sebagai sebuah puisi, sebagai karya imajinasi yang padat kata dan kuat makna.”


Kami putra-putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia’. Dalam kenyataannya, pada waktu itu tahun 1928 belum ada atau tidak ada putra-putri Indonesia, yang ada putra-putri Jawa, Sumatra, Sunda, Maluku, Sulawesi dan seterusnya. Juga tidak ada bangsa Indonesia atau tanah air Indonesia, yang nyata ada adalah Hindia Belanda. Tidak ada bahasa Indonesia yang ada bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua franca.


Jikalau “…imajinasi… ditampilkan lewat kata-kata yang padat, ringkas, dan kuat makna… itu… syarat… puisi…”, aku kira hampir semua tindakan esaiku lebih puisi daripada Sumpah Pemuda. Inilah kutukan untuk Tardji!

Kini kita tengok yang dikisahkan Asep Sambodja dalam bukunya “Asep Sambodja Menulis”, terbitan Ultimus 2011, bagian Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)” halaman 13:

“Semangat muda yang dipancarkan Sutan Takdir Alisjahbana itu sebenarnya mengikuti jejak pendahulunya yang menggelar Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dalam kongres itu Muhammad Yamin yang saat itu berusia 24 tahun, menjadi tokoh kunci kongres tersebut, dan dialah yang menyusun komposisi dari resolusi yang dihasilkan kongres, yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda (Foulcher, 2000: 8 ) Sumpah Pemuda yang disusun Muhammad Yamin berbunyi demikian:

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia mangakoe
berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng
bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”


Dan dalam bagian “Epilog: Kronik Sejarah Sastra Indonesia,” halaman 46, Asep Sambodja memberi keterangan, pada tahun 1928:

“Dalam Kongres Pemuda kedua di Jakarta, 28 Mei 1928, pemuda-pemuda Indonesia mengeluarkan resolusi berupa Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu ditetapkan menjadi bahasa Indonesia. Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis terbit. Naskah drama berbahasa Indonesia, Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin dipentaskan di Kongres Pemuda”.

Lalu aku teringat kata-kata Taufik Ikram Jamil yang di sini kupakai untuk mendedah Tardji dari kepenyairan sampai hasratnya memasukkan teks Sumpah Pemuda sebagai karya puisi, yang katanya: “Sebagaimana halnya puisi, kandungan teks Sumpah Pemuda adalah imajinasi. Suatu imajinasi yang diungkapkan dengan bahasa yang ringkas, padat, ketat, dan tangkas, suatu hal yang lazim disyaratkan pada puisi“.
Di bawah ini ungkapan Taufik Ikram Jamil:

Untunglah belati yang selalu terselip di kaus kakimu -yang selalu engkau bawa entah untuk apa- tidak sempat “beroperasi”. Di Paris van Java, yang sekarang lebih banyak terdengar cerita-cerita miang membara, orang semula mengenalmu sebagai calon politikus gagal -benar juga, kuliahmu di Fisipol tak selesai. Engkau adalah kata-kata itu sendiri, sehingga ah…”rasa yang dalam”.

Tardji gagal mentransfer dinaya mantra ke dalam bentuk puisinya yang katanya puisi mantra. Ia dangkal mengonstruksi ulang daya mantra, gugur mendempul melupa, menembel menghapusnya, seperti pada paragraf tiga, kegiatan penjabaran:

Dengan atau dari atau di atas mantra itulah saya menulis. Dalam aktivitas menulis, kadang bagian-bagian mantra itu saya pertebal dengan tulisan saya. Kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan saya yang berada di atasnya. Memang salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang”.

Setelah merasai puisi-puisi mantranya tak bertuah, tidak mengandung mana, cepat-cepatlah Tardji mencari pegangan sekelas nilai mantra, yakni nilai sumpah. Dalam hal ini, diambilnya Sumpah Pemuda yang alunannya bening berwibawa serta menyejarah tentunya, daripada karyanya.

Dengan ringtone bercanda sekaligus serius dapat dikatakan, Muhammad Yamin lebih penyair daripada Sutardji Calzoum Bachri. Dengan ini runtuhlah konsepnya yang selama ini dipegang kukuh. Kegusarannya kentara, jikalau menarik benang merah ucapan Taufik Ikram Jamil di atas.

Entah masih adakah para kritikus dan penyair bermental buntut mengikuti gayanya. Tentunya, jika ada, mereka juga makin rendah dan dapat dinyatakan tak bertuah pula, sebab tidak menggayuh ruhaniah tradisi dan hanya baju usang terpakai, meskipun terpampang keberhasilan dalam menghibur para sastrawan Indonesia.

Demikian “hujatanku” kepada Sutardji Calzoum Bahri, seorang yang mengatakan Tuhan bermimpi, berimajinasi. Padahal sebaliknya ia suka berimajinasi, senang bermimpi. Karena Tuhan Maha Pengasih, maka angan-angan Tardji pun tercapai menjadi Presiden Penyair dan Raja Mantra. Tentunya, dengan bobot tak faham Ibnu Arabi.

* Nurel Javissyarqi, pengelana dari bencah tanah Jawa, Lamongan.
http://sastra-indonesia.com/2011/06/akhirnya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez