Selasa, 23 Agustus 2011

In Memoriam: Si “Superhilang…” Kini Telah Tiada

Isbedy Stiawan Z.S.
http://www.lampungpost.com/

Dunia sastra Indonesia kembali kehilangan salah seorang sastrawan terbaiknya. Hamid Jabbar meninggal saat mengisi Pentas Orasi Seni dan Budaya di Universitas Islam Negeri (UIN–dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu malam (29-5), bersama Jamal D. Rahman, Putu Wijaya, Frans Magnis Suseno, dan Frangky Sahilatua. Acara itu sendiri merupakan rangkaian Dies Natalis ke-2 UIN.

HJ sebenarnya sudah berorasi, setelah Frans dan Putu. Ia membacakan orasi berjudul “Assalamu’alaikum”. Entah mengapa, boleh jadi permintaan terakhirnya, HJ meminta waktu pada panitia untuk membacakan puisinya setelah orasi penyair Jamal D. Rahman. Bahkan, ia meminta pemain musik mengiringi pembacaannya. Ketika ia tampil untuk kedua kalinya di panggung UIN, menurut Jamal D. Rahman, waktu sudah hampir tengah malam.

Hamid memang selalu ingin berkesan di setiap penampilannya di atas panggung. Oleh sebab itu, segala sesuatu ia persiapkan sebelum membacakan puisi. Misalnya, ia pernah membawa gendang besar khas Minang ke panggung yang dimainkan sendiri demi mendapatkan suasana estetika. Tetapi, pembacaan puisi dengan diiringi musik di UIN Jakarta, merupakan yang terakhir baginya.

Redaktur senior majalah sastra Horison ini lebih dikenal sebagai penyair–tapi mungkin tidak banyak orang tahu, kecuali para pembaca sastra yang serius–dia juga menulis cerpen. Sebelum bergabung Horison, HJ pernah menjadi wartawan Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka. Ia pernah menetap beberapa tahun di Bandung dan dari kota yang juga banyak melahirkan sastrawan, HJ makin dalam menancapkan langkahnya di ranah sastra Indonesia.

Sebelum memosisikan kepenyairannya bergaya parodi seperti dikatakan kritikus (alm.) Mursal Esten terutama dalam kumpulan Super Hilang, Segerobak Sajak (1998), HJ mulanya konsentrasi pencarian estetik dalam proses kreatif kepenyairannya pada bunyi dan kata-kata. Contoh pada puisi “Homo Homini Lupus” (1973) yang ditulisnya pada usia 24 tahun. Selain berkonsentrasi pada bunyi dan kata-kata, pada puisi itu juga menggambarkan tentang “kekalahan” manusia.

Sejumlah puisinya yang lain masuk kumpulan Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975), dan Wajah Kita (1981) merupakan puisi-puisi awal kepenyairan HJ yang berkonsentrasi pada bunyi dan kata-kata. Pada puisi-puisi awalnya, perhatian HJ sangat besar pada nilai-nilai religiusitas Islam dan kontemplatif. Setelah itu, ia “mengubah perhatian” pada puisi-puisi parodi. Misalnya, puisi yang populer “Proklamasi 2″ yang ditulisnya pada 28 Maret 1992. Puisi ini pernah dicekal saat dia membacakannya di Solo.

HJ yang saya kenal adalah penyair yang periang dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan terbuka kepada siapa pun. Ia juga bukan tipe orang yang temperamental, betapa pun yang mencandainya orang yang usianya jauh di bawahnya. Dengan perawakan tubuh yang kecil, terlihat ia amat lincah, cekatan, dan liat.

Saya katakan lincah dan cekatan, ada buktinya. Ketika rombongan sastrawan Indonesia yang didanai Horison meninggalkan Johorbahru menuju Singapura dengan bus, tiba-tiba kami teringat salah seorang penyair Jakarta masih tertinggal di hotel di Johor. Belum lagi kami panik, HJ sudah menghentikan bus dan lompat. Ia segera menyetop taksi untuk membawanya ke Johorbahru. Tak lama kami menunggu di Singapura, HJ dan salah penyair Jakarta yang tertinggal sudah kembali bergabung.

“Cepat sekali, Abang?” ucap seorang sastrawan.

“Kalau di negeri orang kita lambat, bisa dimakan orang. Jakarta mengajarkan aku bertindak cepat dan selalu sigap!” ujar HJ mantap. Itu sebabnya, HJ seperti menjadi “tangan kedua” dari Ibu Ati Taufiq Ismail.

Dalam perjalanan laut dari Tanjungpriok ke Batam bersama HJ pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX di Johorbahru, Malaysia, jika malam datang di bawah langit bertabur bintang dan kegelapan lautan, penyair ini termasuk paling kuat menahan kantuk. Dengan sukacita ia “meladeni” penyair di bawah usia dan angkatan dengannya, mengobrol dari masalah sastra hingga persoalan politik dan sosial. Masalah ini tampaknya berkelindan dalam banyak puisi-puisinya. Bahkan pada usia 25 tahun, HJ melahirkan puisi amat panjang yang membicarakan masalah sosial politik di Indonesia dalam puisi “Indonesiaku”. Selain itu, ia tak sungkan diajak joget teman-teman sastrawan muda di sebuah warung di atas kapal ataupun di Batam. Selalu saja ia berpasangan dengan cerpenis Joni Ariadinata saat berjoget diiringi musik dangdut.

Saya memaklumi HJ. Konon, menurut teman-teman di Horison, ia pekerja yang akan berhenti setelah selesai pekerjaannya. Ia juga supersibuk jika berada di Jakarta. Ketika menyelesaikan buku Horison Sastra Indonesia yang empat jilid itu, saya ikut membantunya memilih puisi-puisi penyair yang akan dimasukkan Kitab Puisi. HJ seperti tak mau dikatakan kalah adu cepat dengan saya dalam hal pekerjaan. Padahal, ia baru saja kembali keliling kota dan provinsi untuk program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).

Sungguh, sekiranya saya pada posisi seperti HJ, sudah ambruk berkali-kali. Tetapi, HJ tetap kelihatan segar. Meskipun, sesungguhnya penyakit gula telah menggerogoti tubuhnya. Boleh jadi ia menampakkan diri selalu sehat, supaya yang melihat tidak bersedih. Seperti juga yang dilakukan almarhum Motinggo Busye semasa hidupnya, juga mengidap penyakit yang sama. Terakhir saya berjumpa HJ pada Kongres Bahasa, Oktober 2003, di Jakarta. Waktu itu ia masih kelihatan gagah, sigap, dan lincah. Kami sempat mengobrol di halaman kiri Hotel Indonesia saat rehat. Tawanya yang renyah dengan wajah dan postur serupa B.J. Habibie, betapa senang bercakap-cakap dengan paman sastrawan Fakhrunnas M.A. Jabbar ini.

Semangat inilah–semangat pada profesinya–menggodanya untuk meminta waktu lagi pada panitia Orasi Seni dan Budaya UIN Jakarta, demi membacakan puisinya sebelum kegiatan itu ditutup penampilan Frangky Sahilatua. Padahal, dengan penyakit gula yang dia idap cukup lama ditambah mungkin keletihan karena kesibukannya mengikuti program SBSB yang kini berlangsung di Indonesia Bagian Timur, pada pembacaan puisi keduanya ia ambruk di panggung.

Menyaksikan semangat HJ ini, mengingatkan saya pada sebuah esainya di homepage-nya. Ia mengatakan, berada di tengah-tengah tikungan yang menyesatkan dan bahaya yang menganga, rasanya diperlukan semacam kegesitan meloncat dan berkelit, meraba segala yang akan tiba. Bisakah? Untuk itu diperlukan suatu daya yang membersit dan mengalir dari sesuatu yang hakiki dari keberadaanku. Apakah itu?

“Iman! Iman yang menancap mantap di dalam dan mencahaya ke luar kedirianku dalam ‘laku’. Setimbang! Kesetimbangan tak akan tercapai jika tidak melalui pendalaman dan penyerahan atau pasrah. Pasrah yang aktif, bukan pasrah yang tanpa upaya,” kata HJ. Pada titik puncak pasrah, aku rasakan masalah “ada” dan “tiada” bukan menjadi masalah lagi. Yang menjadi masalah adalah “bermakna” atau “tak bermakna”. Puncak dari kesetimbangan: makna tumbuh, bangkit. Suatu kebangkitan. Pada titik ini semuanya mengental dan bergolak menggejolak. Mendorong bergerak, suatu daya yang memunyai semacam kemampuan merangkum masa silam dan kekinian menjadi masa datang. Dan menuliskannya, kurasa bukan hanya semacam kesaksian, tetapi suatu kebangkitan atau pembebasan.

HJ memang tumbuh dan (terus) bangkit di jalan berliku-liku/tanah-airku/penuh rambu-rambu/Indonesiaku sebagai seorang manusia, suami, ayah, masyakarat kebangsaan. Dengan (hanya) menjadi sastrawan, sebuah profesi yang boleh jadi tidak seksi sehingga tidak diminati. Dengan segala risiko, boleh jadi ditikam, disembelih, dipuji, disingkirikan, dicekal ataupun dicibir teman dan meraka yang tidak suka. Mungkin juga oleh keluarga sendiri. Mungkin juga….

Tetapi, lepas dari itu semua, sesungguhnya HJ memperoleh banyak simpatik. Terbukti HJ diterima semua “angkatan” (kalau itu ada) sastra Indonesia. Seperti ia kerap menerima, misalnya, candaan (kadang berlebih batas) dari sastrawan jauh usianya di bawahnya; Achmad Syubbanudin Alwy yang juga ikut dalam rombongan “sastrawan Horison” ke PSN IX ke Johorbahru, Malaysia, dinikmatinya dengan riang: tidak terpancing berang.

Keriangan itulah modal HJ melahirkan puisi-puisi parodi–antara main-main dan serius saling berkelindan–dalam kumpulan puisinya Super Hilang, Segerobak Sajak yang menuai dua penghargaan dari Yayasan Buku Utama (1998) dan penghargaan seni dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1998).

Selain, seakan ia juga menyadari nama besar tidaklah mesti merasa diri superman, toh yang “super” (perkasa, gagah, hebat, dst.) pada masanya akan “hilang”: ketika kita tak berdaya di hadapan Yang Mahasuper! Sebagaimana digambarkan dalam puisi “Alang Kepalang tak Terduga” (hadiah HUT buat Bang Im): bel berbunyi dan lampu berkedipan, merah dan hijau. Alangkah/gawatnya perjalanan ini, hari menuju malam, waktu menuju/kelam; dan kita menuju juga: barangkali ke sana! Alangkah/beratnya tanggungan ini, bahagia terasa pedih, sengsara/telah mengupih; dan bahu bertanya juga: sampai ke mana?/Alangkah asingnya segala, setelah sedikit bahagia mengada,/setelah sedikit putus asa sirna; dan segala masih saja/kembali seperti semula: alang kepalang tak terduga!

Alangkah gawatnya perjalanan ini, kata HJ dalam puisi di atas, hari menuju malam, waktu menuju kelam; dan kita menuju juga: berangkat ke sana! Ya, HJ telah berangkat ke sana kini. Meninggalkan kita untuk selamanya. Selamat jalan Hamid Jabbar….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez