Selasa, 06 September 2011

JIHAD ADALAH BERJUANG BUKAN PERANG

KH. Husein Muhammad
http://buntetpesantren.org/

Sejak gedung World Trade Center Amerika Serikat, 11 September 2001, hancur berkeping-keping, Jihad tiba-tiba mencuat kembali menjadi kosa kata paling populer di dunia abad ini. Pemerintah Amerika segera menerjemahkannya sebagai tindakan “terorisme”. Dengan langkah cepat mereka melakukan serangkaian pembalasan dengan melancarkan serangan dan pembunuhan atau ancaman pembunuhan ke wilayah-wilayah yang dianggap sebagai sarang teroris, antara lain Afghanistan dan beberapa negara di Timur Tengah.

Mereka sangat yakin bahwa langkah tersebut dilakukan dalam rangka membebaskan masyarakat dunia dari gerakan kaum ‘teroris’. “Ini perang melawan Terorisme”, kata George W. Bush, Presiden Amerika itu, ketika itu. Tetapi mereka yang disebut teroris itu, justeru membalik pernyataan itu. “amirikalah biang teroris itu. Maka kosakata terorisme berhamburan bagai meteor dan tak jelas ke mana arahnya, begitu sporadis.

Jihad, bahasa Arab dan Terorisme, bahasa Inggris, selanjutnya menjadi kata-kata yang paling sulit didefinisikan. Apa sesungguhnya yang ada di balik terminologi-terminologi semiotis tersebut; perang agama atau benturan peradaban ?. Terlepas dari perdebatan mengenai ini, belakangan, begitu kedua kata itu disebut orang, maka yang segera muncul dalam kesadaran pikiran publik adalah gambaran tenrang bentuk-bentuk ancaman kekerasan fisik, pembunuhan, perang dan bom. Dan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang sengaja menciptakan ketakutan-ketakutan dan acaman-ancaman kematian terhadap siapa saja yang dianggap lawan atau musuh. Sampai hari ini bom-bom itu masih terus meledak di banyak tempat di dunia terutama di Timur Tengah. Beberapa tahun lampau ia menggelegar di Bali dan beberapa tempat lainnya di Indonesia. Yang rmasih hangat adalah bom-bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Mariot. Bom-bom itu telah menelan ribuan korban manusia dan membunuh orang-orang yang bahkan sama sekali tidak mengerti apa-apa. Bangkai manusia yang remuk redam bergelimpangan di mana-mana. Darah merah, hitam, berceceran di jalan-jalan. Tindakan paling rumit dipahami adalah ketika bom-bom yang meledak tersebut dimaknai sebagai sebuah langkah kebenaran, kesucian dan dalam kerangka perjuangan demi menegakkan kemanusiaan. Di sini tampak ambiguitasnya kedua kata, jihad dan terorisme, tersebut, dan betapa manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sulit dimengerti ; “al Insan dzalika al Majhul”.

Kebingungan luar biasa lainnya adalah kesan yang merasuk dalam otak publik terhadap para pelaku Jihad. Penyebutan kata Jihad segera memunculkan bayangan orang-orang yang berpakaian jubah putih, bersorban, atau orang yang berjenggot atau wajah bertopeng dan pedang panjang yang terhunus dan siap ditebaskan. Semuanya seperti penampilan khas orang Arab badawi atau orang-orang Afghanistan. Fenomena modern memunculkan bentuk lain dari pedang, yaitu bom di tangan atau didalam mobil yang siap diledakkan, seperti di Palestina atau di Irak atau di tempat lain. Personifikasinya yang paling menonjol dewasa ini ditampilkan oleh Osama bin Laden. Ia adalah ikon para “mujahidin” (diterjemahkan sebagai para pelaku jihad) abad ini. Lebih dari semuanya, oleh karena kata jihad banyak dijumpai dalam teks-teks suci kaum muslimin, bahkan dengan pekik takbir, Allah Akbar, maka secara praktis ia juga memiliki legitimasi agama dengan seluruh makna sakralitasnya. Dengan begitu tidaklah mengherankan jika Jihad pada gilirannya memiliki makna yang sangat spesifik dan tunggal ; perang suci, holy war. Dari sinilah, maka jihad oleh para pelakunya diyakini sebagai tindakan yang sakral dan dalam rangka membela Tuhan. Para mujahidin sangat meyakini bahwa tindakan tersebut akan memastikan mereka masuk surga sebagaimana dijanjikan Tuhan Yang Maha Benar, sebagai pengantin. Para pelaku bom Bali ke II sebagaimana yang sempat disaksikan publik melalui tayangan video dengan jelas menyatakan kematiannya sebagai “syahid”, martyr, sambil mengutip pernyataan al Qur-an; “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang berperang di jalan Tuhan sebagai orang-orang yang mati. Tidak, bahkan mereka hidup dan memperoleh anugerah dari Tuhan mereka”.(Q.S. Ali Imran, 169).

Terlepas dari kerumitan dan kebingungan yang luar biasa membaca dan memaknai fenomena Jihad dan Terorisme di atas, pertanyaan penting untuk diajukan adalah bagaimana sesungguhnya tafsir jihad dalam teks-teks Islam ?.

Jihad dalam Islam

Pemaknaan Jihad sebagai semata-mata “holy war” (perang suci), bagaimanapun merupakan sebuah reduksi terhadap arti kata tersebut, bahkan bisa menyesatkan. Al Qur-an menyebut kata jihad dalam sejumlah ayat, kurang lebih 41 ayat yang tersebar dalam Mushaf al Qur-an dengan memperlihatkan makna yang tidak tunggal. Secara bahasa (etimologi) ia berasal dari kata “juhd” atau “jahd”. Arti literalnya adalah kesungguhan, kemampuan maksimal, kepayahan dan usaha yang sangat melelahkan. Dari kata ini juga terbentuk kosa-kata “Ijtihad”. Tetapi yang terakhir ini lebih mengarah pada upaya dan aktifitas intelektual yang serius dan melelahkan dan enguras energi otak Dalam terminologi sufisme juga dikenal istilah “mujahadah”, derivasi dari kata jahada atau juhd. Ia adalah sebuah usaha spritual yang intens, bahkan pada orang-orang tertentu bisa mencapai tingkat ekstase, “syathahat”. Orang-orang yang berjuang di jalan Allah dengan sungguh-sungguh disebut “Mujahidin” (pl. mujahid).

Dalam terminology Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan-tujuan kemanusiaan. Pada umumnya tujuan jihad adalah kebenaran, kebaikan, kemuliaan dan kedamaian. Menurut Fakhr al Din al Razi, jihad diarahkan untuk menolong agama Allah, tetapi bisa juga diartikan sebagai perjuangan memerangi musuh.(Tafsir al Kabir, V/39).

Pada sejumlah ayat, jihad mengandung makna yang sangat luas, meliputi perjuangan dalam seluruh aspek kehidupan. Jihad adalah pergulatan hidup itu sendiri. Bahkan terdapat sejumlah ayat jihad yang diarahkan terhadap orang-orang kafir, tetapi tidak bermakna memeranginya dengan senjata. Al Qur-an mengatakan : “Wa la Tuthi’ al Kafirin wa Jahidhum bihi Jihadan Kabira”(Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya (al Qur-an) dengan jihad yang besar). (QS. Al Furqan, 52). Ayat ini termasuk Makiyyah (diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah). Kataganti pada “bihi”(dengannya) dalam ayat ini, menurut Ibnu Abbas merujuk pada al Qur-an. Ini berarti :”berjihadlah dengan al Qur-an”. Dengan begitu perintah berjihad terhadap orang-orang kafir tidak dilakukan dengan menghunus pedang, melainkan mengajak mereka dengan sungguh-sungguh agar memahami pesan-pesan yang terungkap atau terkandung di dalam al Qur-an. Jamal al Din al Qasimi, ketika menafsirkan ayat ini, mengatakan : “Hadapi mereka dengan argumen-argumen rasional, bukti-bukti dan ajak mereka memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah serta kepada kebenaran dengan sungguh-sungguh”.(Mahasin al Ta’wil, XII/267). Dihubungkan dengan Q.S. al Nahl, 125, tentang dakwah (ajakan kepada Islam), maka, jihad diperintahkan dengan cara-cara ”hikmah (ilmu pengetahuan, pemikiran filosofis), tuturkata/nasehat/orasi yang baik dan santun serta melalui diskusi/debat. Sepanjang sejarah kehidupan Nabi di Makkah, beliau tidak pernah melakukan perang terhadap orang-orang kafir dan kaum musyrik, meski ayat ini secara eksplisit menyebutkannya. Terhadap tekanan-tekanan mereka terhadap nabi saw dan kaum muslimin, beliau justeru mengatakan : “Ishbiru fa inni lam u’mar bi al qital”(bersabarlah kalian, karena aku tidak diperintah untuk berperang).

Pada Q.S. Luqman, 15, terdapat juga kata jihad dengan arti bukan perang dengan kekuatan senjata ; “Wa in Jahadak ‘ala an Tusyrika bi ma laisa laka bihi ‘ilm fa la Tuthi’huma wa Shahib huma fi al Dunya Ma’rufa” (Dan jika keduanya ber ’jihad’ terhadapmu agar mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan ‘ma’ruf’ (kebaikan sesuai tradisi). (baca juga Q.S. al ‘Ankabut, 8).

Jihad pada ayat ini jelas tidaklah berarti perang fisik. Ia diturunkan berkaitan dengan peristiwa masuk Islamnya seorang anak. Ibunya tidak rela dan menginginkan dia kembali kepada agama sebelumnya. Si anak menolak. Ibu tetap saja tidakrela dan untuk itu ia protes keras dengan melakukan aksi mogok makan dan minum selama tiga hari. Si anak tetap saja tidak bergeser dari keyakinannya. Ia bahkan mengatakan : “Ibuku sayang, andaikata engkau mempunyai seratus orang yang memaksa aku untuk kembali (kepada agamamu) niscaya aku tidak akan melakukannya. Kalau ibu mau makan, silakan dan kalau tidak mau, juga silakan”. Mengomentari ayat ini Ibnu Katsir mengatakan : “Jika keduanya (ayah-ibu) sangat berkeinginan…”/in Harashaa ‘alaika Kulla al Hirsh. (Tafsir al Qur-an al ‘Azhim, III/445). Pada Q.S. al ‘Ankabut ayat ; ‘jaahadaaka’ ditafsirkan oleh Ibnu Katsir di tempat yang lain dengan “Haradhaa ‘alaika”(keduanya mendesak kamu).

Penafsir al Qur-an paling klasik, Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), memperkenalkan tiga makna jihad. Pertama “jihad bi al Qawl” (perjuangan dengan kata-kata, ucapan, pikiran). Ini diungkapkan dalam al Qur-an surah al Furqan, 52 ; (wa Jahidhum bihi Jihadan kabira/dan berkerjakeraslah kamu dengan (melalui) nya dengan sesungguh-sungguhnya.) dan dalam surah al Taubah, 73 ; (Ya Ayyuha al Ladzina Amanu Jahid al Kuffara wa al Munafiqin/hai orang-orang yang beriman bersungguh-sungguhlah kamu menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang munafik) dan surah al Tahrim 9. Kedua, al Qital bi al Silah (perang dengan senjata). Ini dikemukakan dalam al Nisa, 15. Ketiga jihad bi al ‘amal (bekerja dan berusaha). Ini dikemukakan dalam surah al Ankabut, 6 : “Wa Man Jahada fa Innama Yujahidu li Nafsih (dan siapa yang berkerja dengan sungguh-sungguh maka sesungguhnya itu untuk dirinya sendiri), dan ayat 69 : “Wa alladzina Jahadu fina lanahdiyannahum subulana (dan orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan rida Kami, niscaya Kami beri mereka jalan (menuju) Kami), serta surah al Hajj, 78: “Wa Jahidu fillah Haqqa Jihadih”(dan bekerjalah dengan sungguh-sungguhnya semata-mata karena mengharap kerelaan Allah). (Muqatil ; Al Asybah wa al Nazhair fi al Qur-an al Karim,).

Pernyataan-pernyataan al Qur-an tentang Jihad mendapatkan elaborasi lebih faktual dari Nabi Muhammad saw. Jihad menurutnya bisa berarti melakukan perjuangan untuk melawan egoisme yang ada dalam setiap diri manusia (jihad al nafs). Ini juga berarti bahwa perjuangan untuk melawan kelemahan, kecongkakan, kesombongan, kerakusan dan selurun potensi yang dapat merusak diri sendiri dan atau merugikan orang lain, adalah juga jihad. Menurut Nabi jihad al nafs ini justeru merupakan jihad yang terbesar, sementara jihad dalam arti perang fisik adalah jihad kecil. Nabi saw usai perang fisik mengatakan kepada para sahabatnya ; “raja’na min al Jihad al ashghar ila al Jihad al Akbar”(kita kembali dari perjuangan kecil menuju perjuangan besar). Fakta-fakta sosial-politik-ekonomi dan budaya dalam segala zaman menunjukkan dengan jelas bahwa kesengsaraan, keterpurukan bangsa dan kezaliman yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sesungguhnya lebih disebabkan karena kerusakan mental manusia, moralitas yang rendah dan spiritualitas yang kosong. Dari sinilah, maka Jihad juga harus dilancarkan terhadap penguasa dan rezim yang tiranik, yang menindas rakyat. Caranya adalah melalui penegakan kebenaran dan keadilan. Nabi saw menyebut upaya-upaya ini sebagai jihad yang paling utama: “Afdhal al Jihad Kalimah Haq ‘ind Sulthan Jair”(Jihad paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim).

Jihad dalam pengertian bekerja dengan sungguh-sungguh pernah disampaikan oleh Nabi saw kepada para sahabatnya. Ketika mereka berangkat perang (ghazwah), mereka melihat seorang muda yang kekar sedang bekerja di sawah. Melihat kekekaran (keperkasaan) tubuhnya, para sahabat berandai-andai jika saja dia dapat ikut perang bersama mereka. Nabi terusik dengan pengandaian (harapan) itu. Spontan beliau mengatakan :”Orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya juga sama dengan Jihad fi sabilillah”. Jihad dengan arti yang sama juga berlaku bagi ibu-ibu yang bekerja untuk menghidupi, mengurus keluarganya dan bekerja sama saling menghargai antara dia dan suaminya. Nabi mengatakan : “Sampaikan kepada kaum perempuan yang kamu jumpai, bahwa ketaatannya kepada suami dan pengakuan atas hak-haknya adalah sama dengan jihad”.

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa jihad dalam al Qur-an mengandung makna perjuangan moral, spiritual, intelektual, dan kerja keras untuk sebuah tanggungjawab kehidupan publik maupun domestik. Pada masa klasik Islam pemaknaan jihad seperti ini pernah sangat populer. Kebesaran, kemajuan dan kemenangan luar biasa yang pernah dicapai Islam justeru lahir dari semangat jihad dengan makna-makna terakhir ini. Para pemikir muslim post tradisional juga memperkenalkan kembali makna jihad ini dalam tulisan-tulisan mereka.

Jihad adalah Berjuang, bukan Perang.

Meski terlampau popular, tetapi sulit bagi saya untuk memberi makna Jihad sebagai perang; sebuah tindakan melalui kekerasan fisik/militeristik dan dengan alat-alat yang dapat melukai tubuh atau bahkan membunuhnya. Al Qur’an sesungguhnya telah menyediakan kata lain untuk arti ini (perang). Yaitu “Qital”. Kata lain yang juga biasa digunakan bangsa Arab untuk arti perang fisik adalah harb, siyar dan ghazwah. Ada sejumlah ayat al Qur-an yang berbicara tentang perang terhadap orang-orang kafir, baik dengan kata jihad sendiri maupun dengan kata qital. Akan tetapi kata jihad yang digunakan dalam arti ini dikemukakan dalam rangka mengiringi peristiwa perang yang sudah dimulai atau sedang berlangsung. Dengan kata lain “jika perang terpaksa harus terjadi atau sudah dimulai maka berjihadlah kalian dengan seluruh kekuatan yang dimiliki jiwa raga dan finansial”. Artinya, maka lakukan perang itu dengan sungguh-sungguh dan seluruh kemampuan yang dimiliki. Jadi kata jihad dalam rangkaian seruan perang adalah sifat, atribut yang harus menyertainya.

Ayat al Qur-an yang menunjukkan makna yang dikesankan sebagai perang fisik antara lain : “Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui”.(QS. Al Taubah, 41, atau surah al Tahrim, 9 dan lain-lain). Ayat ini juga jelas sekali menunjukkan arti bersungguh-sungguh atau berjuang semaksimal mungkin dengan mempersiapkan segala sesuatunya, segala alat yang diperlukan guna memenangkan peperang, dana, strategi, taktik dan lain-lain. Andaikatapun kalimat “berjihadlah kamu”, misalnya, diartikan “berperanglah kamu”, maka sebenarnya hanyalah untuk mempersingkat bicara/kalimat saja, dengan menyebut sifatnya saja, dan itu, sekali lagi, dikatakan ketika perang sudah mulai atau sedang berlangsung. Tegasnya ia berarti “berjuang semaksimal mungkin dalam atau ketika kamu berperang”. Jadi jika jihad diartikan perang, maka ia bukan arti hakikatnya, yang artinya sama dengan “qital” (perang, saling membunuh),bukan seperti itu. Maka sekali lagi, Jihad adalah berjuang dan bukan berarti perang.

Tetapi catatan paling penting dari segalanya adalah bahwa Islam tidak pernah menginisiasi Perang. Islam tidak pernah berinisiatif untuk memulai perang. Perang dalam Islam hanyalah dalam rangka mempertahankan diri dari serangan yang sudah diawali, diinisiasi oleh musuh/lawan politik. Dan jika sudah terjadi, maka yang dilawan adalah hanya orang-orang yang terlibat dalam perang saja. “Orang kafir” yang tidak terlibat, orang-orang tua, anak-anak, tempat ibadah mereka, rumpt dan pepohonan, tidak boleh dibunuh atau dihancurkan.

Cirebon, 07-Oktober-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez