Studi “Serampangan” atas Buku Puisi Takdir Terlalu Dini karya Nurel Javissyarqi *
Mh Zaelani Tammaka
http://sastra-indonesia.com/
KETIKA saya diminta untuk mengupas karya-karya puisi Nurel Javissyarqi, seperti yang terlumpul dalam Takdir Terlalu Dini ini, saya nyaris buta terhadap pengarang ini. Hal itu di antaranya karena faktor dekade kepengarangan dari yang bersangkutan, yang muncul pada paruh akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, di mana pada periode itu lebih aktif sebagai seorang jurnalis daripada sebagai aktivis sastra. Tentu saja akan berlainan dengan kawan-kawan penyair yang aktif menulis pada tahun-tahun paruh akhir 1980-an hingga paruh pertama 1990-an, saya lebih banyak mengenalnya secara pribadi, setidak-tidaknya lebih intens membaca karya-karyanya, karena pada waktu itu memang sebagai besar waktu saya banyak tercurahkan pada dunia sastra.
Tentu saja pengetahuan saya yang minimal ini terhadap diri si penyair, dan juga karya-karyanya, mau tidak mau sedikit merepotkan saya, setidak-tidaknya menyulitkan saya harus memulai dari mana ketika harus berhadapan dengan puisi-puisi tersebut. Namun demikian, ketidakkenalan saya ini bisa saja menjadi lebih menguntungkan, karena barangkali penilaian saya akan lebih obyektif, meskipun tidak menutup kemungkinan justru melahirkan ketersesatan. Bukankah studi strukturalisme dalam sastra justru mengharuskan adanya pengabaian terhadap latar belakang pengarang, karena bisa saja kehadirannya justru menjadi “kecap penyedap rasa” sehingga menenggelamkan nilai obyektif dari karya sastra itu sendiri.
Karena keminusan pengetahuan saya pada diri pengarang bisa melahirkan dua kemungkinan yang saling bertolakan – antara berpikir obyektif dan peluang ketersesatan – ditambah tiadanya kesempatan untuk melakukan studi yang mendalam, maka tidaklah terlalu salah kalau saya menamakan pembahasan ini sebagai sebuah “studi serampangan”. Semoga saja, sebagai “studi serampangan” atas pembacaan yang penuh ketergesa-gesaan ini, tidaklah melahirkan terlalu jauh “ketersesatan”, namun justru menghasilkan suatu pembacaan yang “otentik” karena kecilnya pengaruh-pengaruh di luar teks puisi – seperti biografi pengarang – yang kehadirannya justru bisa saja mencemari proses penyimpulan.
Fokus pembahasan ini memang saya hindarkan dari upaya penilaian atau penghakiman, karena tulisan ini memang bukanlah dimaksudkan sebagai kritik sastra, tetapi lebih upaya penyelaman terhadap lokus budaya si pengarang yang mau tidak mau sering kali akan mempengaruhi corak kepengarangan yang bersangkutan. Dari sini diharapkan akan lebih membimbing pada pemahaman dan penghayatan terhadap puisi- puisi yang ada, bukan sekadar memperoleh pengetahuan kognitif-struktural tapi lebih pada pengetahuan afektif-emosional-transendental.
SEORANG penulis (pasti) memiliki “rumah”. Demikian kata Chintia Ozick, pengarang Yahudi Amerika ketika diwawancarai The New York Time pada awal 1990-an, sebagaimana pernah dikutip R. William Liddle ketika memberi pengantar buku Catatan Pinggir 3 Goenawan Mohammad (1991: VII). Ketika itu, dengan mengutip Shakespeare bahwa kehidupan moral memiliki “a habitation and a name” – bertempat tinggal dan bernama – , Ozick menegaskan bahwa seorang penulis mau tidak mau mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan.
Bahkan, dengan nada sedikit provokatif, Ozick memberi kredo, yang barangkali bisa dijadikan panduan bagi seorang sastrawan: “If you want to live the live that can best bring into a sense of being a civilized person, then you heve to suize it through your own culture.” Kalau anda ingin menghayati kehidupan yang akan menyebabkan Anda merasa menjadi orang beradab, Anda harus merebutnya melalui budaya Anda sendiri.
Memang, meski setiap orang memiliki “rumah”, yang tidak lain adalah kebudayaan sendiri, namun tidak semua orang berhasil menemukan “rumah”-nya tersebut. Butuh perjuangan panjang, dialektika yang tiada henti, agar seseorang menemukan “rumah”-nya, yang tidak lain adalah jati dirinya sendiri. Namun demikian, yang tidak dapat dielakkan, pastilah setiap orang pertama-tama dan pada akhirnya mestilah mereguk peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan.
Lantas di mana “rumah budaya” Nurel Javissyarqi? Dari sedikit pengetahuan yang saya milki, khususnya setelah saya menemukan nama kunci Nur Laili Rohmat yang sedikit banyak telah saya kenal, saya mendapatkan kesan kuat bahwa Nurel pastilah “orang Jawa” yang berasal dan dibesarkan dari kultur santri. Memang, dari puisi-puisinya yang ada, termasuk banyaknya nama samaran yang dia pakai, tampaknya dia masih dalam periode “pengembaraan” dan belum sepenuhnya menemukan “rumah jati diri”-nya, namun dari potret perjalanan yang ada, alur “pesantren” tampak lenih dominan.
Kuntowijoyo pernah menyebutkan ada tiga loci kebudayaan Jawa, yaitu keraton, pedesaan dan pesantren dengan unsur wong agung, wong cilik dan santri. Tentu, kalau dilihat dari pendekatan tiga loci model Kuntowijoyo ini, kebudayaan yang dominan yang membentuk pribadi Nurel adalah loci pesantren, meski pada perkembangannya juga bersentuhan kedua loci budaya Jawa yang lain (wong cilik dan wong agung) dan budaya kosmopolitan (Barat dan Timur) khas kelas menengah (terdidik) di negara berkembang, seperti Indonesia ini.
Corak “kesastrapesantrenan” Nurel tampak dari kecenderungan gaya bertutur yang kuat dalam puisi-puisinya. Ini seakan mendekatkan pada puisi-puisi lisan pesantren, seperti syair puji-pujian, cara pembacaan kitab-kitab yang dilagukan, serta suluk yang berisi ajaran-ajaran tarekat (sufisme) dan sebagainya. Gaya ini juga ditunjukkan pada kecenderungan pada pola epik daripada lirik. Gaya epik kian terasa ketika membaca, misalnya “Balada Jala Suta” atau tiga sajak tentang Van Gogh. Dengan demikian, sajak-sajak Nurel lebih mengesankan sastra lisan yang ditulis.
Sebagai sastra epik, khususnya epik-tutur, puisi-puisi tampak mengedepankan “pikiran” daripada “perasaan”, khususnya ketika ia harus dihadapkan pada kesimpulan-kesimpulan filosofis-ideologis. Puisi-puisinya tidak lagi cenderung bernyanyi seperti sajak-sajak imajis yang banyak berkembang di Tanah Air, tetapi lebih mengajak berpikir dan berfilsafat. Gaya seperti ini barangkali ada pararelismenya – kalau tidak dikatakan terpengaruh – dengan sajak-sajak Iqbal yang juga berkecenderungan filosofis-ideologis.
Sekadar contoh pararelisme antara Iqbal dan Nurel tampak pada perbandingan berikut ini. “Kemarajaan Roma yang megah ada obat penawar/Sekali lagi telah kita turunkan mimpi Yulius Caesar/Kepada Musolini, anak cucunya, yang bertangan besi/Bangsa ini amat perkasa menjaga laut Itali/Dalam sejarahnya pernah megah kemudian jatuh tersungkur tanah” (kutipan “Parlemen Setan” Muhammad Iqbal). Sementara dalam bait XXIX puisi “Nistsche, Aku Tetap Diet”, Nurel menulis: “Kau cemooh Socrates, dengan dialektikanya/kau tak sadar dengan dialektikanya sendiri/seperti serangga dalam kuluman bunga teratai/di atas kertas ia berdiam diri, sedang telaga-samudra Tuhan.”
NANUN demikian, kecenderungan epik dan kelisanan Nurel bukannya tidak ada bahayanya. Yang paling nyata barangkali puisi-puisinya menjadi sangat “memprosa” dan sangat boros dengan kata-kata. Kata-kata tidak lagi diperas hingga diperoleh kata-kata yang metaforis, tetapi cenderung lugas dan apa adanya. Sesuatu yang barangkali bertolakan dengan prinsip-prinsip puisi modern, apalagi seperti yang dirumuskan oleh “wali” penyair Indonesia Chairil Anwar yang berkata, “ …tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernwood, ke kernbeeld.” (Chairil Anwar, Kartu Pos, 8 Januari 1944).
Bahkan, dalam tataran ekstrem, puisi-puisi Nurel menjadi terasa “anti-puitik”. Sebab, kalau hendak konsisten dengan teori-teori puisi modern, setidak-tidaknya syarat-syarat bahasa puisi yang bersumber dari tradisi sastra Barat-Modern, jelas sebagian puisi-puisi itu tidak memenuhi syarat sebagai puisi, setidaknya dianggap puisi yang gagal. Ini tampak, misalnya, pada sajak “Nyala Api Kehidupan”. Bait-bait dalam sajak ini lebih kumpulan jargon-jargon kata-kata mutiara, yang dalam hal tetentu sering kehilangan kepaduan. Bahkan, ada baik-bait yang berisi sumber-sumber inspirasi penyair, yang ditulis begitu saja dan terkesan kurang pendalaman.
Kelemahan lain yang tampak adalah penyebutan nama-nama tokoh atau sumber yang tidak akurat dalam puisi. Ini penting, sebab bila memilih bentuk ucap puisi epik-filosofis-ideologis seperti Iqbal, akurasi baik nama maupun sumber menjadi penting. Sebab, kalau tidak, bisa menimbulkan keraguan bagi pembaca bahwa itu sebagai perwujudan sikap kenes, sok filsafat, namun sebenarnya belum menyentuh inti filsafat itu sendiri.
Namun demikian, saya tetap merasakan hangatnya nyala semangat kepenyairan Nurel. Di lihat usianya yang relatif muda (kelahiran Kendal, Kemlagi, Lamongan, 8 Maret 1967), masih terbentang harapan perkembangan ke depan. Dan tampaknya kekuatan bentuk pengucapan epik tuturan, yang ini merupakan salah kekhasan sastra pesantrenan, sangat berpeluang untuk terus digali dan kelak pasti bisa ikut memperkaya khazanah sastra Indonesia yang terlanjur Eropa-sentris. Semoga!***
Solo, Wisma Ceremai V-14E, 10 Juni 2001
*) Sekadar bahan diskusi untuk Bedah Buku “Takdir Terlalu Dini” Karya Nurel Javissyarqi di Taman Budaya Surakarta (TBS), 11 Juni 2001.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar