K. Muhamad Hakiki *
http://www.lampungpost.com/
DALAM sebuah seminar internasional di Jerman yang diselenggarakan Friedrich Naumann Foundation (FNF) tentang agama dan pendidikan pertengahan Maret 2010, beberapa utusan dari negara-negara bekas Uni Soviet mengusulkan sebaiknya agama masuk kurikulum pendidikan.
Di antara para ilmuwan yang hadir berasal dari Rusia, Belarusia, Slovenia, Kyrgistan, dan Ukraina. Alasan utama mereka hendak memasukkan unsur agama dalam kurikulum pendidikan dengan dasar pemikiran bahwa agama merupakan bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia. Kita tidak mungkin membicarakan manusia tanpa agama. Yang menarik dari keputusan kegiatan tersebut adalah dikemukakan oleh para aktivis dan pemikir dari negara-negara yang memiliki latar belakang ateistik.
Pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabannya saat ini adalah apakah pendidikan agama yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan itu dapat membawa para peserta didik menjadi lebih baik dan bermoral, ataukah sebaliknya?
Radikal
Hal ini penting untuk dicermati, dalam hasil Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menunjukkan lebih dari 80% kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan agama berpotensi mengarahkan anak didik menjadi radikal dan konservatif. Karena faktanya agama yang diajarkan pada lembaga pendidikan seperti sekolah adalah agama yang mengabaikan eksistensi agama lain. Pendidikan semacam ini jika dibiarkan sangatlah berbahaya bagi masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi seperti Indonesia.
Tujuan pendidikan agama yang awalnya membuat manusia lebih bermoral, saling menghormati dan menghargai, pendidikan agama justru menjadi dakwah kebencian terhadap kelompok dan agama lain.
Albertus Patty membenarkan adanya ajaran pembenaran diri sendiri yang akhirnya mengarahkan kepada kebencian terhadap yang lain dalam pendidikan agama.
Patty mengurai dua persoalan besar dalam pendidikan agama, yakni persoalan teologi dan politik. Pada ranah teologi, menurut Patty, sudah sejak awal agama-agama besar di Indonesia sekarang datang dengan tujuan menyebarkan misi keagamaan. Misi keagamaan itu dilakukan berdasar kepada keyakinan bahwa hanya ajaran agama yang mereka bawalah yang paling benar, dan semua yang lain harus ikut.
Pada ranah politik, persoalan harmoni antarmasyarakat dirusak oleh politik segregasi. Selama tiga puluh tahun, stigma mengenai Partai Komunis Indonesia, menurut Patty, menyebabkan masyarakat saling mencurigai dan memusuhi. Politik pengharaman terhadap isu SARA juga menjadikan masyarakat Indonesia terkotak-kotak tanpa bisa saling memberi tempat.
Bahkan, belakangan muncul sejumlah peraturan perundang-undangan yang melembagakan segregasi dan pengotak-ngotakan masyarakat berdasarkan agama. UU PNPS, UU Sisdiknas, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Larangan Perkawinan Beda Agama, dan sejumlah peraturan daerah menjadikan masyarakat Indonesia terkotak-kotak dan terus-menerus berada dalam ketegangan rasial.
Jika mengamati fenomena akhir-akhir ini, tampak peningkatan melek agama di kalangan masyarakat. Melek agama tentu saja baik. Persoalannya adalah melek agama diikuti dengan hilangnya nalar dalam beragama. Hilangnya nalar beragama itu terlihat dari kebiasaan masyarakat muslim yang selalu ingin mencari pendasaran doktrin agama atas segala sesuatu. Mereka menganggap bahwa secara verbal agama bisa memberi solusi terhadap segala sesuatu. Ada fenomena scripture minded dalam beragama.
Standar Ilmiah
Pendidikan agama di Indonesia mengambil pendekatan scripture minded. Lihat saja yang dominan anak didik justru dipaksa menghafal. Menghafal memang baik, tetapi juga jangan sampai melupakan peningkatan daya kritis siswa dan memahami ajaran agama itu sendiri.
Hal ini penting karena ayat dan hadis tidak bisa langsung menyelesaikan persoalan konkret, karena ia memiliki keterkaitan dengan kompleksitas sejarah dan penafsiran yang melingkupinya. Tentu saja tidak semua orang harus mengetahui sejarah kitab suci. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk menalar. Kemampuan untuk menalar ini yang sering terlupakan bahkan dilupakan dalam pendidikan agama di Indonesia. Faktanya anak-anak didik tidak diajak untuk bertanya, acap malah pertanyaan dicurigai sebagai pembangkangan.
Menarik mengutip perkataaan filsuf pragmatisme Amerika Serikat, John Dewey. Ia menyatakan seharusnya basis pendidikan adalah pengalaman. Pendidikan hendaknya bukan hanya untuk menanamkan doktrin, melainkan juga menyiapkan orang untuk bisa menghadapi kenyataan yang terus berubah. Dengan begitu, anak didik akan terbiasa menginterpretasikan diktum-diktum agama dengan pengalaman yang terus berubah, sehingga peran agama sebagai solusi betul-betul terbukti.
Dengan demikian, pengajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan sudah saatnya harus memenuhi standar-standar ilmiah. Bukan agama pada dirinya yang menjadi fokus pengajaran, melainkan kajian-kajian ilmiah mengenai agama. Dengan begitu, para siswa akan memiliki pengetahuan agama secara objektif dan tidak berdasar kepada pengetahuan dan iman subjektif belaka.
*) Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Lampung /09 December 2011
http://www.lampungpost.com/
DALAM sebuah seminar internasional di Jerman yang diselenggarakan Friedrich Naumann Foundation (FNF) tentang agama dan pendidikan pertengahan Maret 2010, beberapa utusan dari negara-negara bekas Uni Soviet mengusulkan sebaiknya agama masuk kurikulum pendidikan.
Di antara para ilmuwan yang hadir berasal dari Rusia, Belarusia, Slovenia, Kyrgistan, dan Ukraina. Alasan utama mereka hendak memasukkan unsur agama dalam kurikulum pendidikan dengan dasar pemikiran bahwa agama merupakan bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia. Kita tidak mungkin membicarakan manusia tanpa agama. Yang menarik dari keputusan kegiatan tersebut adalah dikemukakan oleh para aktivis dan pemikir dari negara-negara yang memiliki latar belakang ateistik.
Pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabannya saat ini adalah apakah pendidikan agama yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan itu dapat membawa para peserta didik menjadi lebih baik dan bermoral, ataukah sebaliknya?
Radikal
Hal ini penting untuk dicermati, dalam hasil Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menunjukkan lebih dari 80% kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan agama berpotensi mengarahkan anak didik menjadi radikal dan konservatif. Karena faktanya agama yang diajarkan pada lembaga pendidikan seperti sekolah adalah agama yang mengabaikan eksistensi agama lain. Pendidikan semacam ini jika dibiarkan sangatlah berbahaya bagi masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi seperti Indonesia.
Tujuan pendidikan agama yang awalnya membuat manusia lebih bermoral, saling menghormati dan menghargai, pendidikan agama justru menjadi dakwah kebencian terhadap kelompok dan agama lain.
Albertus Patty membenarkan adanya ajaran pembenaran diri sendiri yang akhirnya mengarahkan kepada kebencian terhadap yang lain dalam pendidikan agama.
Patty mengurai dua persoalan besar dalam pendidikan agama, yakni persoalan teologi dan politik. Pada ranah teologi, menurut Patty, sudah sejak awal agama-agama besar di Indonesia sekarang datang dengan tujuan menyebarkan misi keagamaan. Misi keagamaan itu dilakukan berdasar kepada keyakinan bahwa hanya ajaran agama yang mereka bawalah yang paling benar, dan semua yang lain harus ikut.
Pada ranah politik, persoalan harmoni antarmasyarakat dirusak oleh politik segregasi. Selama tiga puluh tahun, stigma mengenai Partai Komunis Indonesia, menurut Patty, menyebabkan masyarakat saling mencurigai dan memusuhi. Politik pengharaman terhadap isu SARA juga menjadikan masyarakat Indonesia terkotak-kotak tanpa bisa saling memberi tempat.
Bahkan, belakangan muncul sejumlah peraturan perundang-undangan yang melembagakan segregasi dan pengotak-ngotakan masyarakat berdasarkan agama. UU PNPS, UU Sisdiknas, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Larangan Perkawinan Beda Agama, dan sejumlah peraturan daerah menjadikan masyarakat Indonesia terkotak-kotak dan terus-menerus berada dalam ketegangan rasial.
Jika mengamati fenomena akhir-akhir ini, tampak peningkatan melek agama di kalangan masyarakat. Melek agama tentu saja baik. Persoalannya adalah melek agama diikuti dengan hilangnya nalar dalam beragama. Hilangnya nalar beragama itu terlihat dari kebiasaan masyarakat muslim yang selalu ingin mencari pendasaran doktrin agama atas segala sesuatu. Mereka menganggap bahwa secara verbal agama bisa memberi solusi terhadap segala sesuatu. Ada fenomena scripture minded dalam beragama.
Standar Ilmiah
Pendidikan agama di Indonesia mengambil pendekatan scripture minded. Lihat saja yang dominan anak didik justru dipaksa menghafal. Menghafal memang baik, tetapi juga jangan sampai melupakan peningkatan daya kritis siswa dan memahami ajaran agama itu sendiri.
Hal ini penting karena ayat dan hadis tidak bisa langsung menyelesaikan persoalan konkret, karena ia memiliki keterkaitan dengan kompleksitas sejarah dan penafsiran yang melingkupinya. Tentu saja tidak semua orang harus mengetahui sejarah kitab suci. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk menalar. Kemampuan untuk menalar ini yang sering terlupakan bahkan dilupakan dalam pendidikan agama di Indonesia. Faktanya anak-anak didik tidak diajak untuk bertanya, acap malah pertanyaan dicurigai sebagai pembangkangan.
Menarik mengutip perkataaan filsuf pragmatisme Amerika Serikat, John Dewey. Ia menyatakan seharusnya basis pendidikan adalah pengalaman. Pendidikan hendaknya bukan hanya untuk menanamkan doktrin, melainkan juga menyiapkan orang untuk bisa menghadapi kenyataan yang terus berubah. Dengan begitu, anak didik akan terbiasa menginterpretasikan diktum-diktum agama dengan pengalaman yang terus berubah, sehingga peran agama sebagai solusi betul-betul terbukti.
Dengan demikian, pengajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan sudah saatnya harus memenuhi standar-standar ilmiah. Bukan agama pada dirinya yang menjadi fokus pengajaran, melainkan kajian-kajian ilmiah mengenai agama. Dengan begitu, para siswa akan memiliki pengetahuan agama secara objektif dan tidak berdasar kepada pengetahuan dan iman subjektif belaka.
*) Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Lampung /09 December 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar