Senin, 19 Desember 2011

N Y E K A R

Akhiriyati Sundari

Ibu ingin nyekar. Keinginan itu disampaikannya berulang-ulang. Ibu ingin seperti umumnya warga di kampung kami. Bersiap jelang bulan suci Ramadhan dengan nyekar. Tradisi yang biasanya dirangkai dengan besik atau bersih-bersih makam itu diakhiri dengan berdoa, mendoakan arwah yang dikubur. Berikut moyang-moyang terdahulu. Ibu juga ingin kembali nyekar, lusa, usai sembahyang Ied di masjid kampung. Kebetulan, sarean atau pemakaman umum utama kampung kami terletak persis di samping masjid.

Biasanya, tepat sepekan sebelum Ramadhan, kampung kami mengadakan tradisi yang dilakukan secara massal, di samping nyekar. Dengan mengambil tempat di tanah lapang sekitar pemakaman, ritual Nyadran atau kenduri bersama, diadakan. Setiap warga diwajibkan membawa nasi berkat. Seusai ritual doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama, nasi berkat tersebut kemudian saling ditukar dengan warga lain dan dibawa pulang. Tradisi itu seluruhnya dilakukan oleh laki-laki. Keluarga kami tak pernah sekalipun mengikutinya. Ibu beserta kami, ketiga anaknya, semuanya perempuan, karenanya kami tidak terkena kewajiban sosial itu.

Tetapi, rasa-rasanya bukan itu alasan utama sehingga kami sebagai bagian warga kampung tak dilibatkan. Hanya warga yang memiliki sanak yang dikuburkan di pemakaman itu yang bisa mengikuti tradisi nyekar maupun Nyadran. Sedang almarhum ayah kami tidak dimakamkan di situ. Warga kampung menolak, tidak membolehkan ayah dikubur di pemakaman umum milik kampung. Bertahun-tahun kami hanya bisa menyimpan gundukan perasaan tajam sebagai warga yang dikucilkan. Setajam ingatan yang menancap di ubun-ubunku. Pada masa lalu.

Naluri masa kanak yang lekat oleh pendengaran tidak sengaja pada suatu hari, membawaku bergetar tiap kali ruang ingatanku membuka. Terlebih ketika tradisi mengunjungi makam sebelum Ramadhan dilakukan orang-orang penuh suka cita, namun tidak dengan keluarga kami.

***

Hari masih pagi ketika seorang tamu yang rupanya dikenal ibu datang membawa kabar. Bibir ibu bergetar. Aku yang masih kecil ketika itu, mengintip dan mencuri dengar percakapan. Dari korden pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang tamu, aku melihat ibu berbincang dengan tamu itu. Sesekali ibu tampak terhenyak. Menghela napas berat. Kakiku terasa diseret dan masuk ke dongeng gelap.

”Lokasinya sudah diketemukan. Seseorang yang mengaku sebagai pelaku itulah yang menceritakan dan menunjukkan. Tapi, kita jangan salah paham. Seperti Mbakyu ketahui, orang-orang itu tidak tahu-menahu. Mereka hanya disuruh. Mohon, kita coba ikhlas untuk memaafkan. Tak ada faedahnya kita memelihara dendam. Besok teman-teman akan ke sana. Silakan kalau Mbakyu mau ikut”.

Tamu itu bicara dengan suara lirih, pelan, dan penuh kehati-hatian. Seakan yang dihadapi adalah barang yang mudah pecah. Diujung percakapan aku melihat tangis ibu tumpah. Tamu itu merunduk. Sehari kemudian, ibu pergi bersama tamu itu dan menjadi awal hari yang hitam di hidupku. Di keluargaku.

***

Aku tengah menyiram pohon kenanga ketika ibu pulang membawa bungkusan. ”Siapkan bunga kenanga itu, Nis. Juga kembang setaman lain. Kita akan ke makam ayahmu”. Ibu berujar singkat. Aku tidak mengerti. Seumur-umur, ibu tidak pernah mengajak kami, anak-anaknya, ke makam ayah. Kisah yang sering diulang-ulang oleh ibu adalah ayah meninggal karena kecelakaan kapal saat tengah berlayar ke Makassar. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Aku masih dalam perut ibu saat itu. Lantas, makam siapa? Ayah yang mana?

Belakangan, baru aku tahu bahwa bungkusan yang dibawa ibu tak lain adalah tulang-belulang yang konon jasad ayah. Bersama orang-orang yang kata ibu juga menjadi korban, entah korban apa, ibu mengambilnya dari sebuah sumur di daerah pegunungan kidul. Orang-orang menyebutnya luweng. Sumur dengan kedalaman yang konon berujung di laut selatan. Seseorang yang datang dari masa lalu telah membongkar semuanya. Rupanya ayahku tidak meninggal karena kecelakaan kapal, tetapi dibunuh orang-orang tak dikenal.

Aku melihat ibu bergegas. Hari telah beranjak gelap. Pak Lik Martoyo datang menenteng cangkul dan peralatan menggali lainnya. Aku semakin tidak paham. Ketika kami semua telah siap hendak meninggalkan rumah, sekelompok orang mendadak mendatangi rumah kami. Wajah mereka tertutup warna senja. Gelap dan menakutkan.

”Tulang-tulang itu tidak boleh kau kubur di pemakaman kampung ini. Kampung ini bisa dikutuk karena pemakaman umum berpenghuni pengkhianat bangsa, pemberontak negara macam suamimu. Kalau kau bersikeras, kami seluruh warga tak segan-segan membongkar galianmu. Kau hanya boleh mengubur tulang-tulang itu di tanah sekitar rumahmu sendiri”. Seorang tetua kampung berteriak lantang di depan rumah kami. Disusul suara sahut-sahutan teriakan orang-orang di belakangnya dengan ancaman yang sama. Aku ketakutan. Naluri kanakku membuatku menangis keras. Mulutku dibekap dan ditenangkan oleh ibu. Ibu diam. Kami semua diam. Orang-orang itu kemudian berlalu setelah ibuku menyatakan sanggup memenuhi keinginan mereka. Setelah senja yang menyakitkan itu, hampir sepekan sekali, ibu dan kedua kakakku pasti mengunjungi gundukan tanah di belakang rumah. Makam ayah. Ya, ibu mengubur tulang-belulang ayah di sana. Tanpa upacara. Tanpa air mata.

***

Masa kanak-kanak merambat kutinggalkan, namun ingatan saat kanak itu tidak mau tanggal. Setiap hari aku menumpuknya menjadi gumpalan dendam. Setiap hari pula ibu dengan sabar meruntuhkan.

Menurut cerita ibu, ayah kami bukan pemberontak seperti yang dituduhkan orang-orang. Ayah hanyalah seorang guru sekolah dasar yang biasa dipanggil Kamerad Guru. Kebetulan ayah memiliki bakat lain selain menjadi seorang guru. Bermain Kethoprak (sandiwara Jawa). Saat ulang tahun sebuah partai politik yang dilangsungkan meriah di Alun-Alun Kota, ayah diundang untuk pentas. Sebuah pementasan yang berujung petaka karena partai politik itu kini terlarang keberadaannya.

Sejak terjadi ontran-ontran di ibukota negara, ayah tidak pernah pulang. Kata ibu, ayah dibawa paksa oleh orang-orang tak dikenal dengan truk. Entah ke mana. Hari-hari selanjutnya status ibu berubah menjadi janda. Anehnya, ibu meminta kami semua untuk berlapang dada. Melupakan air mata. Sekaligus memaafkan ibu yang tak pernah bercerita sebelumnya.

Ucapan-ucapan bijak ibu yang setiap hari mencoba meruntuhkan batu di dadaku, tak menuai hasil. Aku merasakan bara yang memenuhi rongga hatiku kian besar dan mampat. Siap meledak dan membakar apa saja. Sejarah keluarga yang tak pernah kutahu sebelumnya serta perlakuan terhadap jasad ayah yang tidak manusiawi, tak pernah bisa aku terima.

***

Kini, keinginan ibu untuk nyekar kembali terngiang. Membuat jantungku berdebar kencang. Bukan kenapa. Kali ini, setelah bertahun-tahun, setelah uban kian menegaskan ibu yang menua, ibu mengagetkan kami. Ibu ingin makam ayah dipindah ke pemakaman umum kampung. Dengan begitu, ibu bisa nyekar lazimnya warga lain. Nyekar secara bersama-sama penuh suka cita menyambut Ramadhan dan lebaran.

Ibu dan kami semua tahu, tahun-tahun telah berlalu seiring berlalunya rezim yang mengutuk keluarga kami. Tetua kampung yang dulu menyalak keras di depan rumah kami pun sudah lama meninggal. Simpati orang-orang terhadap ibu lambat laun datang. Bahkan kian menebal setelah ibu pergi beribadah haji. Sesuatu yang membuatku tak habis mengerti, pada tali mana aku bisa menariknya.

Ibu berhasil menuai simpati orang-orang yang dulu mengucilkan kami. Orang-orang mulai membuka tangan. Mempersilakan ibu melakukan puter kuburan. Sebuah ritual memindah makam ayah dengan upacara sekadarnya. Ibu tidak pernah meminta lebih. Bahkan, rehabilitasi nama ayah sekali pun. Ibu hanya meminta ayah dikubur secara layak di pemakaman umum.

Dan kini, aku semakin berdebar menantikan apa yang akan terjadi. Tapi toh, semua orang tahu. Bertahun-tahun gundukan di belakang rumah kami hanyalah seonggok tulang-belulang yang mungkin sekarang sudah menjadi tanah. Upacara penghormatan puter kuburan hanya semacam syarat yang dilakukan dengan mengambil beberapa genggam tanah gundukan makam ayah untuk di pindahkan. Tidak ada yang musti dirisaukan. Tapi sesuatu tengah aku risaukan.

Kuikuti rangkaian proses penggalian gundukan di belakang rumah dengan khidmat. Tepat dugaanku, tak satu pun tulang ditemukan. Tapi tak seorang pun menaruh curiga, sekaligus tak satu pun yang tahu jika aku mulai dirambati resah. Mereka berkesimpulan tulang itu telah menjadi tanah. Ibu mengangguk pasrah ketika Pak Kaum yang memimpin acara itu meminta persetujuan. Mengambil beberapa genggam tanah. Dibawa dan dikuburkan di pemakaman umum kampung kami.

Tak sampai memakan waktu lama, kami telah berada di pemakaman kampung. Pak Kaum meminta kami duduk menghadap gundukan tanah baru. Makam ayah. Detik selanjutnya Pak Kaum memimpin doa. Kulihat wajah khusuk ibu. Juga kedua kakakku. Tak ada gelisah. Tak ada air mata. Tapi jauh di dalam hatiku bergetar luar biasa. Hendak menjelma air mata.

Diam-diam rasa bersalah menyelinap hebat di dadaku. Menjalar serupa akar. Mencengkeram kuat di ulu hati. Aku merasa bersalah kepada ibu, juga keluargaku. Dihantam oleh rasa sakit hati yang tak bisa kuredam dan rasa putus asa yang menekan, aku telah bertindak sendiri. Beberapa bulan lalu, tanpa sepengetahuan siapa pun, aku telah mengambil tulang-tulang ayah dari gundukan belakang rumah. Dengan caraku sendiri aku memindahkannya. Mengubur tulang-belulang itu di titik paling sudut pemakaman ini. Di bawah rimbun pohon bambu dan kamboja tua. Sejenak aku melirik ke sana. Kemudian beralih ke Maejan yang menancap di kedua ujung gundukan baru, tepat di depan mataku. Kubaca nama ayah. Mataku terasa panas …

Kulonprogo, 14 September 2008

Nyekar : ritual ziarah kubur yang disimbolkan dengan tabur bunga
Nasi berkat : nasi kenduri
Ontran-ontran : kekacauan
Maejan : kayu pusara, biasanya bertuliskan nama jenasah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez