Jumat, 30 Desember 2011

Puisi Doa sebagai Tes bagi Otentisitas

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Puisi pada dasarnya mengandung doa. Bahkan ada puisi doa. Jika kita bersua dengan puisi sejenis doa, maka jangan pernah menganggapnya remeh. Tak hanya puisi mantra yang baik, tapi puisi doa pun bisa sangat baik. Tapi soalnya adalah: tak banyak sajak doa yang baik di Indonesia. Padahal sajak berisi doa bisa digunakan untuk dipakai berdoa kepada Tuhan ketimbang doa-doa syariat yang selama ini sudah akrab digunakan.

Sajak doa punya kelebihan sebagaimana sajak mantra: ia bisa menjadi ujian apakah seorang penyair mampu menghadirkan pengalaman yang otentik atau tidak. Bahkan ia bisa menjadi tantangan apakah seorang penyair bisa menulis puisi dengan baik atau buruk. Dalam bahasanya Ignas Kleden, sebuah sajak yang berisikan doa bisa menjadi tes yang kuat tentang otentisitas bahasa penyair, yaitu apakah hasrat yang diucapkan sang penyair cukup mencerminkan pergolakan yang berlangsung dalam perasaan dan dalam jiwa, dan entah terjemahan perasaan tersebut mencapai suatu tahapan sofistifikasi afektif yang sedemikian rupa, sehingga dapat menjadi representasi perasaan banyak orang lain yang tak sanggup mereka ucapkan sendiri secara memadai.

Dengan pengucapan lain, sajak doa adalah tantangan bagi si penyair dalam rangka menghadirkan dan mengolah sublimasi makna sebuah sajak. Kalau tidak maka sajak yang muncul bisa terasa banal atau terkesan dipaksakan untuk jadi doa. Sebagai contoh, mari kita bandingkan pengalaman sajak-sajak doa Tardji dengan sajak-sajak doa lain. Tardji pernah menulis dua buah sajak berjudul doa, yaitu sajak Doa (1977) dan sajak Doa (2005).

Sajak Doa (1977) cukup pendek dan sepertinya menyimpang dari imaji doa dan dekat dekat mantra. ”O Bapak Kapak/beri aku leherleher panjang/biar kutetak/biar mengalir darah resah/ke sanggup laut/Mampus! Sementara sajak Doa (2005) dimulai dengan bertanya: ”sanggupkah Nuh melaut/digejolak samudera perih ini/apa tongkat Musa mampu/menyibak lautan bencana ini/bukan domba bukan ternak/ini sungguh para ismail bayi ismail renta/ismail kanak ismail pemuda/dibantai/ya Tuhankuatkan selamatkan bangsakudari derita beberapa Nabi”.

Sangat jelas pergeseran sajak Sutardji. Puisi doa-diam dan doa-bahana di atas mengekspresikan suatu dunia dengan kedalaman kemaknaan yang disampaikan dengan bahasa yang terang. Jika dahulu Sutardji sangat buncah dan membahana lewat pengucapan mantera, kini lebih banyak menampilkan doa-bahana yang berisi sejumlah kesaksian. Menarik membandingkan kedua sajak doa Tardji itu dengan sejumlah sajak penyair lain untuk menguak otentisitasnya lebih jauh.

Perhatian otentisitas pengalaman Muhammad Iqbal lewat fragmen sajak Doa yang mirip elegi dari terjemahan Abdul Hadi WM ini:”Kau yang menyerupai roh semesta ini/Adalah jiwa kami, namun Kau senantiasa lari dari kami/Melalui seruling kehidupan Kau tiupkan lagu/Hidup ini akan iri pada mati jika mati demi Kau/Sekali lahi hibur hati kami yang sedih ini/Tinggallah dalam hati kami sekali lagi/ Dengar seruan-Mu melalui jiwa kami/Teguhkan cinta kami yang lemah ini/Terlalu sering kami ini menangisi Takdir/Kau Maha Mulia sedang kami begitu hina/Dari tangan hampa ini jangan sembunyikan wajah-Mu/Beri kami karunia Cinta Salman dan Bilal/Beri kami lagi kefitrian air yang cerlang/Jadikan kembali kami pemikul ayat-ayat-Mu/Agar musuh dapat kami kalahkan seperti dulu”.

Sajak di atas sebenarnya cukup panjang, bahkan sangat panjang. Namun dari fragmen itu, tampak bahwa Iqbal memiliki pertalian dengan ghazal-ghazal Persia. Bahkan dalam salah satu puisinya, Iqbal sendiri pernah berujar: ”Walau bahasa Hindia semanis madu/Bahasa Parsi lebih nikmat bagi lidahku/Jiwaku tertawan oleh keindahan lagunya/Penaku jadi ranting semak terbakar di dalamnya/Karena cita sajakku luhur tak terkira/Bahasa Parsi lebih cocok menyatakannya/Pembaca!/Jika pahit jangan salahkan cawannya/Namun periksalah rasa anggurnya” (sajak Masnawi).

Sementara sajak tentang doa yang ditulis Tardji tahun 1977 dengan sajak doa 2005 keduanya punya kedekatan dengan sajak Iqbal. Sajak 1977 membahana dan tak segan-segan menampilkan kata mampus dalam doa. Sementara sajak Doa (2005) melantunkan amanat-amanat yang membuai menghanyutkan, yang berbeda dengan sajak Doa 1977 yang pelit makna. Namun lantunan itu bukan dengan suara, malah dengan kebisuan.

Kedua sajak itu selalu menggoda saya untuk membandingkannya dengan sajak Doa Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Sajak doa-diam tersebut mengungkai pencarian ketuhanan dengan sunyi diri, yang bermula dengan pertanyaan yang mengandung keraguan. Namun makin dalam rasa hayatan luka eksistensial dihadirkan, pada akhirnya Tardji tampak menunjukkan keberingasan yang membahana dengan kata-kata yang hemat saya tak terlampau mengejutkan.

Munculnya kata ”Mampus!” dalam sajak di atas justru merusak kehening-beningan dalam sebuah pencarian. Namun dalam sajak doa sesudahnya, kata-kata yang digunakan justru menarik karena penuh takzim dengan kejutan yang tak lagi terasa beringas melainkan doa yang hening: ”ya Tuhan/kuatkan selamatkan bangsaku/dari derita beberapa Nabi”.

Sajak Tardji ini menarik disandingkan dengan sajak Doa Chairil Anwar. Kedua penyair ini memang sangat arogan namun sangat religius. Chairil berusaha menampilkan keintiman dengan hayatan yang dalam dengan tidak menjadikan sajaknya sebagai doa dalam arti sesunggungnya. Kedua sajak doa dari dua penyair memiliki kedekatan rasa hayatan yang perih melalui penggalian kedalaman doa hingga tak lagi tampak sebagai doa syariat. Sanusi Pane dan Chairil Anwar mendulang kerinduan mistik yang begitu kuat, mesra dan intim dengan memanggil-manggil Kekasih hingga kata-katanya terasa bergaung dan mengalunkan gema eksistensialis yang bergelora.

Perhatikan untaian sajak doa Amir Hamzah ini: ”Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?/dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,/setelah menghalaukan panas terik,/angin malam mengembus lemah, menyejuk/ badan , melambung rasa,/menayang fikir, membawa angan ke bawah kursimu./Hatiku terang menerima katamu, bagai memasang lilinnya./Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak./Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,/Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!“.

Bandingkan dengan sajak Doa Sanusi Pane ini: O, Kekasihku,/turunkan cintamu memeluk daku/Sudah bertahun aku menanti,/sudah bertahun aku mencari/O, Kekasihku,/turunkan rahmatmu kedalam taman hatiku/Bunga kupelihara dalam musim berganti/bunga kupelihara dengan cinta berahi”. Lalu bandingkan juga dengan keintiman sajak Doa Chairil yang terkenal ini: ”Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namaMu/Biar susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh/cayaMu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling”.

Ketiga sajak doa itu begitu intim, karib, tapi Chairil teasa lebih otentik sampai-sampai ”aku tidak bisa berpaling”. Bahasa Indonesia di tangan ketiga penyair besar itu terasa liris, syahdu, dan bernyanyi. Jelas ada perbedaan antara sajak-sajak Sutardji dengan sajak Amir Hamzah, Sanusi Pane dan Chairil dalam hal kedalaman makna dan keotentikan pengalaman. Tapi semuanya termasuk sajak kuat yang otentik. Sajak yang jelas-jelas bakal lulus dalam hal tes otentisitas.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez