Yudi Latif
Kompas, 16 Juli 2008
ADA saatnya kepentingan dan ideologi sektoral berhenti ketika kepentingan nasional yang lebih besar harus dimulai.
Dalam mosi integralnya di depan parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir berkata, ”Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang.
Dengan begitu mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme, dan proporsionalisme.”
Dalam ”Mosi Integral Natsir” ini, jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI ditempuh dengan mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir menyerukan agar tak memaksa negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik.
Kepentingan bangsa
Dalam menggagas mosi ini, Natsir sebagai pemimpin partai terbesar, Masjumi, terlebih dulu melakukan penjajakan. Di Negara Pasundan, ia menemui Sekarmadji Kartosuwirjo agar tidak memproklamasikan Darul Islam. Di parlemen ia berunding dengan IJ Kasimo dari Partai Katolik, AM Tambunan dari Partai Kristen, dan Mr Hardi dari PNI.
Hal ini membuktikan manusia selalu lebih kaya daripada suatu kategori. Ketika suatu kategori dipaksakan untuk merepresentasikan seseorang, selalu ada luberan yang tak tertampung oleh kategori itu. Terlebih jika seseorang itu manusia besar, yang selalu lebih besar dari diri sendiri. Seorang Natsir, yang dikategorikan sebagai figur ”Islamis”, yang secara stereotip dihadapkan dengan ”nasionalis”, dalam momen-momen kritis yang mengancam kelangsungan bangsa, lebih mengedepankan kepentingan nasional ketimbang kepentingan dan ideologi partainya.
Pengalaman traumatik pencoretan Piagam Jakarta segera dilupakan ketika panggilan revolusi harus diutamakan. Natsir berkata, ”Di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan, saya adalah salah satu di antara menteri yang memiliki hubungan paling dekat dengan Soekarno…. Polemik-polemik yang tajam di antara kami pada tahun 1930-an mengenai dasar negara Indonesia merdeka telah terlupakan.”
Ditunjuk menjadi perdana menteri pada September 1950, sebagai bentuk penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tak sungkan membentuk kabinet koalisi, melibatkan unsur-unsur non-Muslim dan nasionalis—Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, PSI, dan PIR.
Selama lima tahun (1950-1955) dominasi Muslim dalam kepemimpinan politik nasional, partai-partai Islam menjunjung tinggi prinsip demokrasi sambil menidurkan obsesinya terhadap politik identitas.
Sebagai perdana menteri, Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia percaya konsep negara Islam merupakan suatu yang ideal, yang tidak bisa diraih melalui kekerasan. Saat yang sama, dia menegaskan, kaum Muslim harus memperjuangkan tata politik yang demokratis. ”Sejauh terkait (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis.”
Ketika Masjumi berkuasa, Natsir tak ragu mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam pidato di Pakistan Institute of World Affairs, 1952, ia membela Pancasila yang dinilai selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama, lima sila itu dipandang menjadi dasar etika, moral, dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid.
Hal serupa ia utarakan pada peringatan Nuzulul Quran, 1954: ”Rumusan Pancasila merupakan hasil pertimbangan yang mendalam di kalangan pemimpin nasional selama puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Saya percaya dalam momen yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasional yang sebagian besar beragama Islam tidak akan menyetujui setiap rumusan yang dalam pandangan mereka bertentangan dengan prinsip dan doktrin Islam.”
Klaim-klaim keislaman atas politik Indonesia dihidupkan kembali oleh partai Islam selama dan setelah kampanye Pemilu 1955. Dalam menghadapi persaingan politik yang sengit, terutama dengan kebangkitan kembali komunisme, politik identitas diaktifkan kembali dalam rangka memobilisasi dukungan.
Meski persidangan Konstituante berhasil menyepakati semua pasal yang bersifat substantif, ia gagal mencapai kompromi menyangkut dasar negara. Terhadap semua pasal yang telah disepakati itu, ”Kubu Islam” ingin menutupnya dengan mencantumkan Islam sebagai dasar negara. Sedangkan ”Kubu Pancasila” ingin menutupnya dengan dasar Pancasila.
Prawoto Mangkusasmito menyebut kedua kubu itu sebagai ”kubu Pancasila” versus ”kubu non/anti-Pancasila” sebenarnya tidak tepat. Menurut dia, kubu Islam pun sebenarnya setuju dengan seluruh sila Pancasila. Masalahnya cuma ingin mempertahankan ”tujuh kata” Piagam Jakarta setelah frase ”Ketuhanan yang Maha Esa”. Bagi kubu Islam, hal ini penting untuk memberi tanda bahwa Islam yang sepanjang masa kolonial terus dimarjinalkan mendapat tempat yang layak dalam Indonesia merdeka. Hal ini menjadi lebih penting dihadapkan ancaman PKI yang bermaksud mengubah sila pertama menjadi sila kebebasan beragama/tidak beragama.
Alhasil, tuntutan terhadap negara Islam, termasuk Piagam Jakarta, bukan sesuatu yang esensial yang tak bisa dipengaruhi perubahan ”cuaca”, tetapi ditentukan oleh struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang ada. Terbukti, antara tahun 1950 hingga awal 1955—saat politik Islam berkuasa—tuntutan ke arah itu mereda. Sebaliknya, ketika politik Islam goyah selepas Pemilu 1955, isu negara Islam dan Piagam Jakarta kembali hidup.
Kini, saat struktur kesempatan politik memberi keluasan bagi pengembangan Islam, bahkan partai-partai nasionalis pun mengakomodasi aktivis dan sayap Islam, obsesi terhadap politik identitas sebenarnya bersifat anakronistik. Ketika kehidupan nasional dilanda krisis berkepanjangan, saatnya aktivis Islam meniru keteladanan Natsir: mencurahkan perhatian pada hal-hal substantif demi kepentingan nasional yang lebih luas ketimbang kepentingan golongan dan perseorangan.
Dalam peringatan 100 tahun Natsir, semoga kebesaran jiwanya menyirami jiwa para pemimpin yang kerdil.
* Yudi Latif, Dewan Ahli Nurcholish Madjid Society; Direktur Eksekutif Reform I
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/opini-sisi-nasionalis-natsir.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar