Rabu, 04 Januari 2012

Menjewer Kuping Taufiq Ismail

Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian X kupasan ketiga dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Sebelum masuk bagian ini, izinkan menulis perihal keheranan saya pada penyair atau yang mengakuinya, namun ungkapannya telah melampaui batas sejarah kodrat iradat insani. Oleh sangking keterlaluan menggumuli kata, seakan ‘kata’ menjelma sekutu terbaik, seolah gerak hasratnya mampu memerintah kalimat, bahasa sedari kekuasaan hidup dengan pandangan sebelah mata, tidak menengok profesi lain juga memakainya. Atau hilaf tak merasai gerakan terlembut kehidupan dari Sang Maha Hidup yang senantiasa mengatur segenap indra, mengurus planet-planet beserta peredaranya, tak terkecuali menghadiahi nafas bagi tukang-tukang syair.

Sepengetahuan saya, ungkapan bombastis apakah tentang tuhan telah mati, senjakala sejarah, -hal keterlaluan, biasanya diusung bersegenap gegugusan wacana argumentatif, sehingga kehadirannya tidak sepintas slogan yang kelak menjadi dagelan. Sekiranya ucapan orang ditokohkan tampak kebiasaannya membuat gosip, atau pendapat asal-asalan dekat keangkuhan, merasa ampuh sampai lepas dinaya ingat awalnya belajar menuntut ilmu. Kian gagal diikuti generasi bermental penurut, ‘nerimo eng pandum’ cepat-cepat puas, tidak menyelidik kehendak dikunyah. Pembodohan ini berantai sejauh kekuasaan penguasa tersebut, entah dari kekuatan modal / jargon lain terlihat mentereng angker bertuan, tetapi tidak bertuah.
***

Semalam saya menemukan artikelnya seorang dosen Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Elisa Dwi Wardani berjudul "Sastra dan Identitas" diterbitkan koran Kedaulatan Rakyat 10/05/2008, yang mengundang daya ganggu. Sepertinya sesuai alur jika diilustrasikan pada bacaan menguak SCB dari IK, sejenis guyonan namun tak lepas minat keseriusan. Di bawah ini larikannya:

Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.” Selengkapnya di sini: http://sastra-indonesia.com/2011/08/sastra-dan-identitas/
‎***

Sungguh saya kagum orang-orang di bidang sastra, mereka mampu mengungkapkan, mengatur baik irama ‘kata’ sampai batas tertentu mengaburkan demi mendapati temuan yang kehendaknya diterima khalayak. Dengan mengurangi tumbuhnya bibit protes, oleh tekanan musik dipunyai berlipat makna tergantung indra penerimanya, lewat menentukan jatuh-bangunnya menggurati kalimat. Keberhasilannya menuangkan kata-kata mempengaruhi kejiwaan pembaca, membuka kalbu seluas-luasnya menuju hawa kemungkinan rahmat nan terbuka.

Mari mencermati apa yang membentuk pola paragraf di atas, tentu tak lepas riwayat ‘kata’ serta kisah orang yang berada di dalamnya, untuk pahami seluk-beluk kenapa hal itu hadir?

Sosok Taufiq Ismail (TI) berpribadi ta'at dari awal berkarya hingga kini, setidaknya kerap memakai songkok. Kesetiaanya di jalan tersebut bukan kemarin sore, pasti didukung bacaan, serta gerak peribadatan di rumah tuhan juga pengabdian ke masyarakat. Pada dunia sastra seminimalnya penjaga gawang majalah sastra Horison. Muslim baik hati tentu terpaut sungguh keyakinannya, memiliki benteng kala menyikapi godaan-rayu.

Ada makolah; "Perang terbesar memerangi hawa nafsu sendiri, yang tergantung profesi diembanya sebagai jalanan memakmurkan hayati." Dan pengalaman TI mengalir dibagi-bagikan bagi terima berlapang dada, tiada ketulungan pengurbananya di alam susastra Indonesia, menyumbangkan dinaya nalar-perasaan; puisi-puisinya mencapai berbantal-bantal tebalnya, ceramahnya menyegarkan kalbu sesama. Sampai saya mencurigai, jangan-jangan termasuk Islam garis keras yang mengharamkan rokok.

Pengabdian besar tidak lepas hilaf dan semoga yang diungkapkan Elisa Dwi Wardani hanyalah keterlepasan tak pakem masanya. Entah sehabis mendapati menghargaan, sesudah syuting baca puisi di sebuah stasiun televisi, atau teringat telah mengangkat banyak penyair hebat dari majalah sastra dipandeganinya, SCB misalnya. Lantas angin bertiup kencang mengaburkan paham meninggikan drajat kepenyairannya, sampai-sampai seolah penguasa kata-kata di jagad raya, atas nada:

"penyair adalah penguasa kata-kata" dengan menurunkan melodinya "mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.”"
***

Bagi saya yang awam mengenai soal agama, istilah ‘penguasa’ sedari perkembangan sejarah ajaran Islam memiliki dua tafsir; yakni Tuhan (juga berhubungan rasul-Nya, Muhammad SAW), kedua sultan / raja bersama pemerintahannya. Yang pertama maknanya tidak berubah, sedangkan kedua mengalami pergeseran, bisa jadi sosok intelektual sebagai penggerak laju keadaban? Namun saya tidak habis pikir ini: "penyair adalah penguasa kata-kata."

Kata ‘penguasa’ di hadapan saya sungguh agung, jikalau ditempatkan kepada sebutan tuhan, maka yang mengatur / penguasa terbitnya fajar hingga bertemunya senja, mentari, gemintang, di sisi kecantikan bulan dan lainnya, merupakan tanda-tanda kuasa-Nya. Dan kuasa pemerintah, raja, sultan adalah bersegenap tanah air sebatas garis kerajaannya, ini diwarnai pergolakan intrik jegal tidak sedap dipandang mata.

Penyair di suatu negara, tentu memegang tanda kewarganegaraan, sekecilnya punya rasa cinta kepada tanah airnya. Meski kalimatnya mampu menembus belahan bebangsa, juga abad-abad di depannya, tetaplah manusia mengabdi pada kata, seperti pedagang mempunyai ‘kata sepakat’ di dalam pertukaran barang dagangannya. Profesi lain demikian adanya, menggunakan kata-kata untuk lajuan sejarah insan sebagai rangkaian menjelma panji-panji peradaban di masanya. Jadi bukan penyair saja, jika kata ‘penguasa’ ialah turunan dari kekuasaan lebih besar darinya. Sungguh sembrono sebola ditendang melambung tinggi, mengingat pendapat TI di atas.

Saya kira lebih tepat, penyair menggunakan kata-kata dalam kerja kepenyairannya. Mereka mengaduknya tak hanya indah, namun juga menyembulkan makna di kedalaman syair-syairnya, dan bukan sosok penguasa kata-kata. Ketika saya raba seungkapan TI muncul, mungkin sebab kejiwaan senioritasnya, merasa berkuasa menjadikan orang lain penyair atau sebaliknya. Maaf jika salah menduga wujud keblingernya.

Mari susuri turunan melodinya yang saya bagi tiga belahan: "mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2), dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).”"
***

Ungkapan "penyair adalah penguasa kata-kata." Lantas mengalami turunan nilai saat dapati awalan ‘mungkin’ di belakangnya ialah sudah terkena pembatalan. Sebab kata ‘penguasa’ (kuasa) merupakan hal tak tertolak dengan apa pun. Karena kata ‘kuasa’ berdekatan kata ‘mutlak,’ (maha) berkehendak (perintahnya). Jika nada ini saya rendahkan sedikit menerima kata ‘penguasa’ sekadar pemanis, menjadi tak penting abang-abang lambe, gincunya perayu bagi yang tidak jeli selidiki drajat ‘kata’ sebagai pribadi nan mandiri maknanya.

TI sepertinya mengajak bercanda, kalau tak mau menerima disebut angkuh oleh berpaham penyair ialah penguasa kata-kata. "mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” Saya kira tidak sekadar tukang syair saja memiliki kemampuan demikian lihai berujar, jika kata ‘kuasa’ sebagai turunan dari perihal kedua saya sebut di atas (tuhan dan sultan). Lalu semakin menggelikan membaca cermat kalimat di dalam tanda petik itu serupa dinaya tarik mengelak sedari kesombongan awal daripada profesi lain. Gerakan suatu ‘kata’ yang meluncur dari orang-orang berkemampuan piawai pun tak "secara otoriter, memangkas ataupun mencukur (kata-kata)." Para sejarahwan, filsuf, psikolog sampai akuntan, kerja kata-katanya tak lebih mendialogkan yang jadi permasalahan diunggahnya. Malah kadang jadi titik temu kepahaman yang mengutarakan dengan para penerimaannya, sebagai bentuk ukuran tertentu yang memang tiada mutlak sama keadaannya.

"namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2)." Sungguh geli ungkapannya yang saya kira lebih dekat seorang guru / pendidik yang memiliki kuasa kata-kata, jikalau dimaksud penguasa ‘kata’ sekadar ke tataran insani. Betapa sang pengajar di suatu kelas misalkan, "membiarkan kata-kata mengukur emosinya" dan sedapat mungkin para murid menerima dengan kadar keinsfaan atas keilmuan tengah direguknya. Kalau TI mengelak, berpaham penyair sama persis profesi lain, kenapa mengangkat penyair saja? Apakah dekat profesinya? Ini serupa pribadi menutup diri di belahan bidang kehidupan lain di luar keahliannya, sampai mewujud undukan pasir aneh. Atau kacamata kuda tak tengak-tengok luasnya cakrawala, yang dianggapnya kerja bersyair lebih agung daripada pedagang klontong contohnya.

“dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).” Saya terbayang ibunda atau bapak menggendong anaknya, untuk ditidurkan di ayunan tangannya. Mereka bernikmat-nikmat dengan kata-kata demi mendapatkan pencerah, yakni ruang penjumlahan aktivitas sehari-hari, dipantulkan berkasih sayang yang menghibur diri jua demi sang anak ialah penyejuk berkekuatan di atas kerja selanjutnya. Dan ‘kumandang lagu tidur’ bisa terjadi spontanitas oleh rindu menggebu, sehabis seharian berpeluh keringat mencarikan nafkah. Atau sosok pelajar ingusan mangalami jatuh cinta, bernikmat kata-kata untuk mendapati pencerah lewat surat-surat digubah demi kekasihnya. Begitukah penyair? Lalu kasir toko menikmati ‘angka-angka’, meski uang yang dihitung milik majikan dan seterusnya.

Demikian nikmat diberikan Sang Penguasa tak terkira nan teraba di belahan lain, rasanya enak berdialog saling menyepadankan paham sama menghargai. Menunjuk betapa indah kehidupan dengan tidak membentuk jalur kekuasaan ‘menindas’ profesi lain, meski berirama santun; nada dan dakwa istilah Roma Irama. Atas musik ini, alunan kehidupan harmonis seperti usaha majalah membutuhkan kerjanya distributor, agar tak kembang-kempis kerap mendekati nasib kolap.

Sebagai penutup, kala pelaku sebelumnya sudah merasa sebagai ‘penguasa kata-kata,’ maka turunannya mengalami kemalangan menjelma penyair ‘suka beralibi.’ Dan sepengetahuan saya, para intelektual muslim / sastrawannya yang diakui ketokohannya oleh dunia, dari generasi awal sampai akhir, belum saya temukan paham mereka senekat ungkapan tuan Taufiq Ismail tersebut. Wallahualam bi shawab.
***
 
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_31.html
Catatan sebelumnya:
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/bagian-i-prolog-membaca-kedangkalan.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_25.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_4733.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_26.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_8478.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/normal-0-false-false-false.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_28.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_3892.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez