Kamis, 19 Januari 2012

PERSENTUHAN DENGAN TUHAN LEWAT SEMESTA*

Maman S. Mahayana *

Dalam sejarah peradaban umat manusia, hubungan manusia dengan Tuhan selalu diwujudkan lewat berbagai cara; melalui berbagai saluran. Lihatlah masyarakat Yunani kuno yang melakukan pemujaan kepada para dewa melalui pementasan-pementasan drama; perhatikan pula gita puja (hymn; hymne) mereka yang mengagungkan para dewa lewat nyanyian-nyanyian pemujaan; simak pula seruan rohani (invocation) para pujangga yang mengawali karyanya dengan puja-puji dan penghormatan pada kesucian ilahi. Inilah gambaran, betapa hubungan manusia dengan Tuhan atau dengan sesuatu yang Agung menjadi bagian penting dalam refleksi kreatifnya.

Dalam perjalanannya kemudian, pengagungan kepada kesucian ilahi, pemujaan kepada para dewa atau kepada apapun yang transenden, kerap kali diwujudkan melalui karya sastra (puisi). Ia dianggap paling mewakili refleksi transendensi. Maka, tidak perlu heran jika dari zaman ke zaman, sastra (puisi) acapkali merefleksikan situasi ritual macam itu. Bhagavad Gita (The Song of God) adalah contoh klasik pujian dan pengagungan kepada Tuhan diwujudkan dalam bentuk puisi.

Para penyair dunia, juga tidak ketinggalan menyampaikan refleksi religiusitasnya lewat cara-cara demikian. John Donne dan John Milton, dua penyair Inggris terkemuka, ditempatkan sebagai penyair metafisika lantaran karya-karyanya menyampaikan pesan-pesan ilahiah. Tentu kita masih dapat menderetkan penyair-penyair lain berikut karya-karyanya yang menggambarkan hal seperti itu.

Dalam dunia Islam, tradisi pengagungan ilahi lewat karya sastra (puisi) juga bukan hal yang baru. Ibn Arabi, Sadi Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Mohammad Iqbal, atau Fariduddin Attar –sekadar menyebut beberapa nama penting– niscaya bukan nama asing lagi dalam pembicaraan sastrawan Muslim (sastra sufi). Di Indonesia, Hamzah Fansuri –salah satu karya pentingnya, Syair Perahu– merupakan nama yang tak dapat dilewatkan dalam konteks pembicaraan ini.

Dalam sastra Indonesia modern, Amir Hamzah, juga merupakan tonggak penting yang karyanya dianggap bernafaskan sufistik. Belakangan, karya-karya seperti itu pernah begitu banyak bertebaran pertengahan tahun 1970-an. Apabila kini ada karya yang coba mengangkat persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, ia sama sekali bukan hal baru. Tema itu sudah merupakan tema universal. Persoalannya tinggal bagaimana cara penyair menyampaikan kegelisahan, kerinduan atau kecintaannya kepada Sang Khalik.

***

Syair-Syair Taman A’raaf karya Aspur Azhar (1999), secara tematis juga mencerminkan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan. Jika ia mengulang persoalan yang sama yang sudah menyejarah itu, masih perlukah karya ini diperbincangkan? Adakah sesuatu yang baru yang dikedepankan penyairnya, sehingga ia berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang bertema sejenis?

Karya apapun, tentu perlu diperbincangkan, sejauh ia membuka kemungkinan memberi kontribusi bagi pembacanya. Lebih jauh lagi, sejauh ia punya peluang untuk menjadi karya penting.

Syair-Syair Taman A’raaf, meski diakui, memang beda dengan sejumlah karya penyair seangkatannya. Ia juga secara bersahaja menggunakan judulnya dengan “syair” salah satu bentuk puisi lama yang justru kini sudah banyak ditinggalkan paa penyair modern. Bahkan, tidak sedikit pula di antara penyair kita dewasa ini, sama sekali tidak mengenal atau tidak mau mengenal syair. Dalam konteks ini, judul yang dipakai Aspur jelas hendak memberi tempat yang pantas bagi syair.

Mencermati isinya yang memuat 43 puisi, buku ini lebih dekat kepada bentuk puisi naratif. Bahwa kemudian Aspur menyebutnya syair, niscaya ia bukan hendak menafikan istilah puisi naratif, melainkan memberi penghormatan yang proporsional atas tradisi perpuisian kita. Satu sikap arif yang justru mendatangkan rasa hormat.

Jika dikatakan ia berbeda dengan penyair seangkatannya, justru dalam hal itulah, ia tampak menonjol.

Pertama, pilihan Aspur untuk mengangkat tema hubungan manusia dengan Tuhan memperlihatkan bahwa ia sama sekali tidak tergoda pada persoalan yang sedang melanda negeri ini. Tidak ada kritik sosial, masalah politik, atau refleksi evaluatif atas peristiwa-peristiwa kemanusiaan dewasa ini.

Kedua, pilihan Aspur pada tema itu, juga berbeda dengan tema sejenis yang pernah diangkat penyair seangkatannya. Periksa saja karya Tomon Haryowirosobo, Tuhan telah Hilang (1997) yang menggambarkan pencarian sosok manusia yang gelisah; dan kegelisahannya itu diwujudkan dalam bentuk kerinduannya untuk jumpa dengan Sang Khalik. Aspur justru bukan seorang pencari yang gelisah; ia juga tidak merindukan sebuah perjumpaan aku–Engkau yang paling banyak diejawantahkan karya-karya yang bernafas sufistik.

Ketiga, justru lantaran Aspur bukan sosok seorang pencari, pengagungannya kepada Sang Khalik, bukan lewat bahasa klise puja-puji, melainkan lewat fenomena alam.

Keempat, meski Aspur bukan seorang pencari, tidak berarti pula ia serta-merta menjadi seorang penemu. Akibatnya, nafas panteistik yang banyak dimunculkan para Penemu macam Al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Sitti Jenar atau Amir Hamzah, sama sekali tidak tampak menonjol pada karya-karya Aspur.

Kelima, meskipun ada perbedaan-perbedaan sebagaimana yang dipaparkan di atas, ada pola yang tampaknya tidak dapat dihindarkan Aspur, yaitu keterikatannya pada tradisi dan pengaruh-pengaruh yang melatarbelakanginya. Tradisi syair sebagaimana yang tersurat dinyatakan dalam judul bukunya, tampak secara sadar dijadikan sebagai alat, meski kaidah syair sama sekali tidak digunakannya. Pengaruh-pengaruh para pujangga Islam, juga menjadi bagian penting dalam dirinya. Akibatnya, kita akan menemukan gaya Iqbal, Attar, atau Fansuri –untuk menyebut tiga nama yang tampak sangat kuat mempengaruhi diri Aspur– dalam Syair-Syair Taman A’raaf ini.

Mari kita periksa!

***

Dari ke-43 puisi dalam Syair-Syair Taman A’raaf ini, satu ciri yang menonjol adalah pengagungan ilahi atas fenomena alam. Jelasnya, semesta menjadi alat bagi Aspur untuk menyapa dan bersilaturahmi dengan Tuhan. Cara inilah yang hampir tidak pernah kita jumpai dalam karya penyair-panyair seangkatannya. Dalam hal ini, seperti telah disebutkan, Aspur bukan pencari yang gelisah. Ia telah menemukan Tuhannya dalam semesta. Meskipun demikian, ia juga tidak dapat membatasi dirinya dalam ruang yang terbatas. Ia mengge-landang dalam semesta dari satu jazirah ke jazirah yang lain.

Puisi pertamanya berjudul “Di Puncak Menara Karang” penggelandangannya itu diisyaratkan lewat gambaran kemahakuasaan Tuhan: “Melalui kreasi kun fayakun/yang berangsur-angsur/Hidup bergerak menjalar/dari Rahim ke Rahim// Dari sana ia melihat hubungan subjek (aku liris) dengan objek (Tuhan) menjadi hubungan abdi-Tuan; hamba yang dhaif dan Al-Khalik yang mahakuasa. Demikian juga, ketika “Aku merasa seperti insan-insan terlempar/dari ketiadaan tak terpahamkan/ ia tetap menggelandang, bukan sebagai pencari, melainkan sebagai penemu yang belum pernah jumpa.

Posisinya yang menempati sosok penemu yang belum pernah jumpa inilah yang menjadikan aku liris terus menggelandang. Dalam konteks ini, Ana al-Haq, Al-Hallaj atau Hamba dan Tuhan tiada berbeda, Hamzah Fansuri, menjadi tidak relevan bagi Aspur. Jika Al-Hallaj atau Hamzah Fansuri menemukan Tuhannya tidak jauh dari dirinya sendiri, Aspur menemukan Tuhannya dalam kebesaran kesemestaan. Dengan cara ini penggelandangan imajinatif Aspur menjadi lebih leluasa bergentayangan ke sana ke mari; ke Timur–Barat atau ke alam di dunia entah berantah.

Ciri lain yang juga menonjol pada antologi Syair-Syair Taman A’raaf adalah pe-nerjemahan makna iqra (pengetahuan) secara luas. Pemanfaatan majas allegori (kiasan) atau personifikasi terasa cukup kaya. Meski kiasan semacam itu –dalam konteks pembicaraan hubungan manusia dengan Tuhan– banyak disampaikan Hamzah Fansuri (“Syair Perahu” yang mengkiaskan manusia dan Tuhan), Aspur justru memanfaatkannya untuk menerjemah-kan pentingnya ilmu pengetahuan (:ilmu Tuhan). Pernyataan simbolisasi pengetahuan sebagai lembing, merupakan salah sau contoh yang banyak diangkat dalam antologi ini. Dengan demikian, meski ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh itu, secara kreatif banyak simbol dan kiasan yang diangkat Aspur, terasa segar.

Posisi Aspur yang bukan pencari yang gelisah, dan bukan juga penemu penyatuan aku-Engkau –manunggaling kawula Gusti–, melainkan penemu lewat fenomena semesta memberi peluang yang begitu luas untuk menggelandangkan imajinasinya secara liar, namun dengan tetap menjaga jarak hubungan aku–Engkau. Fenomena semesta menjadi sekadar alat untuk menjumpai pemikiran lain, pengetahuan lain, dan tokoh-tokoh manapun tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Muhammad Iqbal dalam Javid Namah atau Fariduddin Attar dalam Musyawarah Burung, agaknya sangat mepengaruhi penjelajahan imajinasi Aspur. Maka dialog dengan Abduh, Iqbal, Attar, Gibran, atau dengan apapun, menjadi sarana yang memungkinkan penjelajahan imajinasi itu mempunyai cantelan. Lewat cara demikian, berba-gai hal dipersoalankan, diperdebatkan, dan dikontemplasikan sebagai bagian dari penemuan Tuhan lewat semesta.

Sesungguhnya banyak hal yang tidak dapat disederhanakan lewat apresiasi seperti ini. Pemahaman atas antologi Syair-Syair Taman A’raaf memerlukan banyak referensi: Quran, filsafat Islam dan para penyair sufi. Yang menjadikan antologi ini kaya, justru lantaran acuan-acuan itu bukan sekadar tempelan; bukan sekadar pernyataan verbal, melainkan sebagai bagian integral dari penjelajahan imajinasi penyairnya. Mengingat dewasa ini hampir tidak ada penyair seangkatannya yang mengangkat tema macam itu, maka hadirnya antologi Syair-Syair Taman A’raaf tidak hanya penting dalam pemerkayaan khazanah peta perpuisian Indonesia, tetapi juga –menurut hemat saya– menjulang sendiri di antara karya-karya penyair seangkatannya.

Di tengah hingar-bingar tema sosial-politik, pilihan Aspur pada tema hubungan manusia–semesta–Tuhan, jelas merupakan langkah yang serius. Dan ia telah melangkahkan kakinya dengan meyakinkan. Sungguh, Aspur tampil dengan memberi banyak pengharapan Jika saja ia terus menekuni pilihannya ini, kita tinggal menunggu sebuah monumen lahir dari tangannya. (msm/12/10/1999)

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).  http://sastra-indonesia.com/2010/08/persentuhan-dengan-tuhan-lewat-semesta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez