Binhad Nurrohmat
http://www.korantempo.com/
Dan bila Dia menutup semua jalan dan celah di hadapanmu – Dia akan menunjuk satu setapak rahasia yang tak seorang pun tahu! (Jalaluddin Rumi, Diwan-Syamsi-Tabriz, 765)
Juru bicara terpenting dan tersohor dari Barat mengenai mistikus-penyair Jalaluddin Rumi, Annemarie Schimmel, pernah menulis: “Tidakkah aneh, mistikus abad ke-13 dari Balkh, yang bekerja di Anatolia dan terpukau kekuatan cinta mistis yang nyaris tak mungkin dibayangkan, bisa relevan dengan manusia modern abad ke-20?” Bagi Schimmel, Rumi telah mencurahkan banyak petunjuk untuk kehidupan kita melalui pancaran filosofis puisinya.
Tulisan Rumi dihimpun dalam sejumlah bunga rampai, di antaranya himpunan puisi Diwan-Syamsyi-Tabriz, Matsnawi-ya-Ma’nawi, dan Rubaiyat. Sedangkan bunga rampai percakapan, surat, dan kotbahnya dihimpun dalam Fihi Ma Fihi, Makatib, dan Majalis-i-Sab’ah.
Gaya puisi bahasa Arab Rumi mengagumkan karena begitu indahnya mengubah ideal dan citraan puisi Persia ke dalam bahasa Arab yang berselang-seling antara larik bahasa Arab dan Turki (bilingual) dengan beragam pola maupun gabungan bahasa Arab, Turki, dan Persia (trilingual).
Puisi Rumi menampakkan teknik penulisan kelas tinggi, antara lain, berupa teknik penanjakan rima yang merupakan gambaran kekhusyukan atau kemabukan dalam proses penciptaannya: Dar jam-i may awikhitam/andisya ra khun rikhtam/ba yar ikhud amikhtam/zira darun-i parda’am (Aku bergelayut di cawan anggur dan dukaku dalam darahnya karam. Aku berpadu dengan kekasih di balik tirai) atau dawran kunun dawiran-iman/gardun kunun hayran-iman/dar la-makan sayran-i man/farman zi qan awurda’am (Kitaran tubuh kini kitaranku; langit berkilau menembusku. Perjalananku kini sampai Negeri Antah Berantah; sebuah perintah Tuhan kubawa sudah).
Keterampilan retorik ini amat canggih dan murni, namun spontan dan alamiah. Gaya bahasanya memainkan rima akustik makna dengan mendayagunakan simbol huruf dan bunyi (konkretisasi fonetik) yang menjelmakan nada mistis.
Puisi Rumi kerap memanfaatkan paradoks: “Orang hendaknya diam lantaran tanda Cinta hadir berkebalikan”, “Orang dipukul kepalanya oleh Cinta”, “daya pikir digantung seperti maling”, maupun “tak hanya haus yang mencari air, air pun mencari dahaga”.
Ungkapan-ungkapan non-logis ini serupa ulta bhansi dalam khazanah mistik India untuk mengungkap ihwal pengalaman mistik yang “terbalik” lantaran melampaui pagar atau batas nalar. Rumi menggubah banyak ungkapan yang nyaris tak bisa diterjemahkan lantaran ekstase meta-logis yang mungkin digubah untuk mengguncang atau menyihir sikap dan pandangan “normal” atau awam tentang kenyataan kasat mata. Bagi Rumi, akal itu belenggu, dan kekuatan yang menghidupkan segala wujud adalah Cinta, suatu perasaan kepayang yang tak masuk akal.
Dalam puisinya, Cinta kerap terdedah dalam kemabukan, kegilaan, dan ketaksadaran. Kemabukan dan anggur menjadi simbolisme sufi tentang jiwa terkekang yang melepaskan belenggu akal atau pikiran rasional. Kegilaan memungkinkan kekuatan puitis memain-(mainkan) kebijaksanaan yang mengekang kebebasan unta mabuk (syotor-e mast) atau unta birahi mencegahnya berkeliaran di gurun pasir atau rasa gandrung Majnun tersesat dalam belantara cinta dalam Diwan.
Paradoks puisi Rumi merupakan cerminan ajaran sufi tentang Kesatuan Wujud visioner yang menyiratkan “penglihatan hati” kaum sufi, “sang pemilik hati”. Kaum sufi menjauhkan diri dari ego dan kepribadian yang fana dan merenung melalui “penglihatan ilahi”. Kesatuan Wujud visioner berbeda dengan Kesatuan Wujud teoritis yang menyembul dari lubuk nalar rasional yang menghampakan kespiritualan atau keruhanian. Bagi kaum sufi, realitas tak dapat diketahui melalui jalan akal. Puisi Rumi menjadi menarik, antara lain, lantaran menampakkan persenyawaan memikat antara nalar dan kepayang, tarik-ulur akal dan khayalan.
Rumi juga mencemooh penyair dengan menyindir dirinya sendiri yang terlibat dalam suatu tradisi puisi yang ditampiknya: “Apalah arti puisi untukku sehingga aku harus mendustainya. Aku punya seni lain yang berbeda dari yang dimiliki penyair. Puisi itu awan gelap, aku di belakang selubung serupa rembulan. Jangan sebut aku awan hitam atau bulan yang bercahaya di angkasa.”
Puisi Rumi merupakan penerus perjalanan panjang tradisi puisi Persia. Puisi Persia terolah dan berkembang di kerajaan dan lingkungan pemerintahan sejak abad ke-9 di Iran bagian timur dan menyebar ke wilayah lain yang berbahasa Persia. Mulanya, tradisi kepenyairan muncul sebagai pertunjukan yang menghadirkan lirik karangan sendiri yang diiringi musik dalam perjamuan resmi kerajaan. Tradisi ini berakar dari masa Iran pra-Islam yang agaknya terpengaruh oleh kasidah Arab.
Prinsip estetika dan norma cita rasa penyair kerajaan berbahasa Persia pun ditetapkan dengan memakai model Arab: puisi merupakan wicara berirama dan bersyair untuk menggugah takjub penonton dengan menerapkan prinsip estetika dan norma cita rasa itu. Tapi, penyair Sana’i dari istana Ghazna melakukan transformasi yang mengubah arah puisi Persia menuju pandangan mistis. Sana’i-lah yang merintis jalan dan menggelorakan kedalaman samudera batin yang diarungi Rumi penuh keberanian artistik dan teologis.
Tak seperti Hafizh yang masih menempatkan sejumlah realitas di bawah standar estetis, Rumi menyentuh secara sepadan semua urusan yang dianggap atau dipercaya sebagai perkara yang agung hingga yang remeh-temeh. Rumi begitu asyik dan santai membincang Tuhan, birahi, bulan, takdir, bawang, makanan, kuda, serangga, hingga kencing, dan pantat keledai. Rumi memandang aspek simbolis setiap benda atau makhluk yang dianggap bernilai rendah atau tinggi, yang dianggap bejat atau bijak, sebab untuk meraih keutuhan dan kesubliman memerlukan kebalikannya. “Cacat adalah cermin dari kesempurnaan, sesuatu dibuktikan melalui kebalikannya,” kata Rumi.
Rumi percaya metafora merupakan jembatan menuju hakikat kenyataan dan ke mana pun dia menemukan beragam wujud atau laku Tuhan yang menuju kesatuan Abadi dan kebenaran tertinggi, seperti “kredo” yang akrab dinyanyikan oleh kaum sufi: Wa fi kulli syai’in lahu syahidun yadulla ‘ala annahu wahidun (Dalam segala sesuatu bersemayam tanda, jejak bukti, yang menegaskan Dia melulu Satu).
Menurut para ahli tentang Rumi, puisi Rumi serupa pohon dengan cabang, daun, bunga, dan buah yang tumbuh dari satu akar yang dalam menghunjam dan membentuk kesatuan utuh yang tak terbagi. Sumber dan struktur pemikiran mistisnya dan hakikat serta proses kreatif puisinya terkait dan tak terceraikan, di dalamnya bersemayam Kebenaran yang merupakan inti yang dicari manusia sepanjang masa.
Pada tingkatan teologis, Rumi suka menggunakan istilah kibriya’ (Kebesaran Ilahi) dalam puisinya, cahaya Tuhan yang bersinar serupa matahari. Muhammad Iqbal kerap menyebut istilah ini saat membincang Rumi. Pada tingkatan praktis, Rumi suka memakai kata bu (bau wangi) yang membangkitkan ingatan masa silam dalam puisi Rumi yang berwarna-warni: “Bulan purba wajahnya, syair dan gazal bau wanginya –bau wangi bagian jelmaan yang tak terikat dengan pandang sejatinya.”
Dalam tradisi Islam, kata bu mengandung konotasi kisah Yusuf (dalam Al-Quran) yang terpisah dari ayahnya yang buta, Yakub, dan sembuh oleh bau wangi pakaian Yusuf. Kibriya’ dan bu merupakan sebagian “kata kunci” puisi Rumi.
Tak ada puisi dari dunia Islam yang dikenal baik di Barat melebihi puisi Rumi. Bahkan, menurut Sayyid Hussein Nashr, Islam tak akan pernah menyebar seluas sekarang ini tanpa meruahnya kehadiran para manusia bijak dan pujangga Persia. Rumi begitu mahir menyisipkan ayat Al-Quran, kutipan hadis, maupun ujaran sufi ke dalam puisinya.
Pada abad ke-15 akhir ada yang menyebut Matsnawi merupakan Al-Quran dalam bahasa Persia. Sejumlah mistikus di sejumlah wilayah yang jauh dari pusat pembelajaran dan arus utama kehidupan sastra dikabarkan menyerahkan seluruh perpustakaannya, kecuali Al-Quran, Diwan Hafiz, dan Matsnawi Rumi.
Puisi Rumi merupakan gabungan kuat bentuk dan makna melalui keterampilan bahasa yang tampil alamiah serta menawarkan kedalaman makna yang memukau dan indah. Puisi Rumi dibangun oleh kesadaran artistik yang bagus sekaligus kedalaman pencarian realitas Ilahiah yang tak terbatas dan tak terlukiskan. Bagi Rumi, “kata-kata itu santapan malaikat”, “bahasa itu kapal”, dan “makna adalah lautan”.
Semua inilah kiranya yang bisa melantari puisi Rumi yang digubah delapan abad yang sudah lewat masih memikat dan relevan hingga kini, dan barangkali masih terus bergema sekian abad kelak guna memenuhi angan Diwan Rumi: “Gubahlah gazal yang bakal tetap dilagukan manusia dalam seratus abad!”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar