Jumat, 23 Maret 2012

Mencatat Ibu

Akhiriyati Sundari
http://sastra-indonesia.com/

Membincang ibu sebagai seorang sosok, bak mengurai satu-satu sulur dunia. Nyaris tak ada titik henti, sekaligus karena sosok ibu ibarat titik asal mula kemunculan nama-nama. Sehingga, mencatat sesosok ibu dalam sebuah tulisan serasa hampir mustahil selesai karena ibu adalah puspa indah taman hati, sumber cinta sepanjang masa.

Kehendak untuk “mencatat ibu” dalam ingatan saya kemudian kerap menjebak saya untuk berkubang dengan perihal romantisme. Ya, karena bagi saya sosok ibu adalah romantisme itu sendiri. Seperti ingatan saya yang melayang ke sosok Ibu Kartini yang pernah merajuk kepada ibundanya dengan sangat romantis; “Ibu, kulo nyuwun sekar melati ingkang mekar ing panjering ati…” [Ibu, kupinta setangkai melati yang mekar di pusat hati…]

Bukan berarti romantisme yang saya maksud itu minor, melainkan jika kebablasan, bisa melenakan diri dengan memandang cukup berhenti di aras itu, tanpa sikap kritis membaca realitas sesungguhnya. Bagaimana entitas ibu, khususnya di negeri ini bergelut dengan realitas hidup sehari-hari yang konyol sekali. [atau jangan-jangan apa pun realitas yang mereka alami, justru telah dianggap menjadi bagian dari romantisme itu sendiri? Na’udzubillah…]

Mustahil membincang ibu tanpa melekatkannya pada sosok perempuan. Ya, sosok ibu di tulisan saya ini sengaja saya batasi pada sosok perempuan [meskipun saya memandang bahwa “ibu” pun bisa muncul pula pada sesosok laki-laki biseksual misalnya, atau laki-laki single parent yang mengasuh sendiri anak-anaknya]. Dan, membincang tentang perempuan di negeri yang gerusan patriarkinya masih hebat ini, menjadi pembuka untuk melihat realitas yang masih memprihatinkan hingga detik ketika saya menuliskan ini.

“Jika ingin melihat kemiskinan dan kebodohan, lihatlah pada wajah perempuan…”, begitu ujaran jurnalis harian Kompas, Maria Hartiningsih, yang masih menancap kuat di ingatan saya. Penisbatan itu tak berlebihan, mengingat kemiskinan dan kebodohan secara massif masih melekat di diri perempuan negeri ini. Berbagai unsur boleh dituduh sebagai biangnya; sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan wacana keagamaan yang bias gender, mendaulat perempuan menjadi kaum mustadh’afin [yang lemah dan dilemahkan] dalam makna sesungguhnya. Dalam prosentase yang banyak, perempuan juga masih menempati posisi subordinat, bahkan subaltern.

Realitas ini seakan berbanding terjungkir balik dengan romantisme seperti yang saya singgung di atas. Perempuan tanpa reserve seolah telah dinobatkan menjadi penanggung jawab utama sebagai juru rawat kehidupan; sendirian. Sebuah gelar yang lagi-lagi romantis, namun tak jarang menjerembabkan. Seperti juga salah satu hasil rekomendasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1938 di Bandung yang akhirnya menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu, bahwa “Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”. Wow, hebat sekali… “Ibu Bangsa” gitu loh?

Duh, Ibu Bangsa. Bagaimana itu bisa terwujud jika setiap waktu masih saja ada kekerasan demi kekerasan yang dialami perempuan? [kekerasan, apa pun bentuknya, adalah hal yang kontraproduktif dari upaya menjadi “Ibu Bangsa”]. Bahkan, anehnya, dari tahun ke tahun kian meningkat. Tengok saja media-media yang menyuguhkan laporan-laporan itu. Saya juga kerap niteni, nyaris di setiap waktu mendekati atau menyambut hari-hari yang berhubungan dengan perayaan perempuan [8 Maret; Hari Perempuan Internasional, 21 April; Hari Kartini, 22 Desember; Hari Ibu, Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Hari Lahir Fatayat, Hari Lahir Muslimat, dll.], media massa kerap menurunkan laporan mutakhir tentang tingkat kekerasan dus penderitaan perempuan yang meningkat. Sungguh, terasa membosankan berputar di arus lingkaran setan, dengan membaca suguhan berita macam itu. Saya tidak menafikan bahwa ada juga capaian menggembirakan seperti laporan media massa tentang daerah-daerah di Indonesia yang dalam geliat pembangunannya menjadi “juara” dalam hal PUG [Pengarusutamaan Gender]. Akan tetapi, realitas ternyata lebih canggih dan jujur dalam mewartakan hal sesungguhnya.

Perempuan, dalam keseluruhan hidupnya tak bisa mengelak dari tak terbilangnya persoalan yang maha luas, seluas hidup ini; sebagai konsekuensi logis menjadi manusia yang terlahir di dunia. Tetapi, hidup dalam kehidupan yang tidak ramah, bukanlah konsekuensi logis. Karena sesungguhnya kehidupan yang tak ramah itu adalah hasil create manusia, hasil rekayasa entah disengaja entah tidak. Di titik inilah yang membuat saya gusar. Jan-jane piye to?

Sejenak saya teringat dengan Hari Raya Idul Adha yang belum lama kita lewati ini. Nyaris di setiap khutbah sembahyang massal itu, sosok Nabi Ibrahim AS dan puteranya Ismail yang disebut-sebut sebagai contoh filosofi pengorbanan atau berkurban. Meskipun realitas sejarah yang “sangat laki-laki” itu tentunya saya imani sebagai bagian dari kemusliman saya, rasanya saya juga sangat menyayangkan mengapa khutbah itu sepi dari memaknai atau berfilosofi tentang perempuan Islam dalam sejarah yang nilainya sebanding dengan pengorbanan dua Nabi AS itu. Apakah karena pengkhutbah itu laki-laki hingga “alergi” berkisah tentang kehebatan perempuan dalam berkurban?

Sebut saja Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail, yang mbabat alas, mengais hidup sekaligus meniupkan kehidupan di Makkah nan gersang [senajan Makkah ora ono alas, Dab!], demi sang buah hati dengan mengesampingkan perasaan pribadinya sebagai “yang disingkirkan” bersebab ia istri yang dipoligami. Sebut juga perempuan Maryam yang sebagai manusia biasa ia pun bisa “shock” ketika memiliki pengalaman “supra” dari ranah teologisnya yang sangat pribadi itu, hingga caci maki nyaris membuatnya putus asa menuntun hidup. Catat pula Siti Masyitoh, Si Tukang Sisir keluarga Raja Fir’aun, yang karena keteguhannya mengantarkan mata, kepala, dan hatinya musti menyaksikan satu per satu belahan jiwanya dimasukkan ke dalam tungku yang mendidih, demi sebuah keimanan! Lihat pula perempuan Asiyah, bagaimana ia pun musti bergulat sebagai permaisuri Fir’aun, suaminya yang adalah “rival” Tuhannya. Belum lagi jika kita menyimak sosok Khadijah yang aduhai cintanya yang elok untuk Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Semuanya bermuara pada satu filosofi pengorbanan yang hebat.

Boleh lah jika ada yang mengatakan bahwa contoh sejarah itu “jauh sekali” dari Indonesia. Baiklah, kita memiliki jutaan ibu dan perempuan Aceh, Maluku, Papua, Poso, Sambas, Kedungombo, Porong Sidoarjo, Alas Tlogo Pasuruan, dll. yang seluruh usia hidupnya nyaris adalah usia derita dan pengorbanan. Kita memiliki Marsinah, Suciwati, Marsiyem, ibu-ibu korban ’65, juga ribuan perempuan pekerja migran yang tewas sia-sia. Kita juga memiliki Prita juga Nenek Minah yang tersaruk-saruk menghadapi pengadilan yang asing dari keadilan yang didambanya. Ah, kelewat banyak untuk dikisahkan. Kelewat hebat pula untuk segera menjadi amnesia sosial.

Lalu? Yang tersisa adalah perempuan-perempuan dalam perangkap hiburan dan budaya instan. Sebagai pemilik mata yang melotot jika sedang marah dan menjadi pelaku tindak kekerasan itu sendiri di sinetron-sinetron murahan. Sebagai yang kurang kerjaan karena hanya termehek-mehek sibuk mengintai [dengan bantuan kamera televisi lagi], lalu adu jotos urusan pacar dan pasangan yang direbut orang, tanpa malu sama sekali di lihat orang se-Indonesia. Mungkin perempuan-perempuan itu acapkali lupa, bahwa di dalam tubuhnya terdapat anugerah tak ternilai, yakni rahim! Rahim itu tanpa disadari ia bawa ke mana-mana sepanjang napas dikandung badan. Namun rasanya sepi dari makna, sepi dari penghayatan. Betapa rahim adalah filosofi dari rumah kasih sayang maha sempurna yang hanya dimiliki perempuan. Ruah kasih yang mustinya dimiliki dan senantiasa ditebarkan ke alam semesta. Menjadikan perempuan wajah teduh bagi kehidupan. Ah, embuh lah, taring jahat itu ada di mana-mana dan meringkus mereka…

Ya. Itulah realitas kita. Realitas Indonesia di tanggal 22 Desember yang dirayakan ini. Saya kemudian tak bisa berkata-kata untuk merayakan Hari Ibu yang jatuh hari ini, apalagi tahu musti berbuat apa. Kecuali mungkin saya diam-diam berharap, akan ada pembacaan segar lagi, bahwa Tuhan itu menciptakan makhluk bukan bernama laki-laki dan perempuan, tetapi menciptakan makhluk bernama MANUSIA.

Hmm, lalu saya hanya bisa mencoba kembali ke hal sederhana yang membuat saya bahagia sebagai perempuan [juga sebagai calon ibu, kelak]. Membaca kembali buku-buku yang ada di kamar saya atau menulis-nulis apa pun dengan segelas kopi panas menyanding, sembari menikmati lagu “IBU” dari Iwan Fals. Atau mendengarkan ibu saya mendaras Al-Qur’an usai sembahyang dengan kepala saya rebahkan di pangkuannya. Atau seperti kemarin, sepulang perjalanan jauh yang membuat saya terpisah beberapa hari dari rumah, saya berkisah kepada ibu saya tentang apa yang saya temui dan terjadi di perjalanan itu. Tanpa saya duga, mendengar cerita saya itu, ibu saya spontan tertawa terkekeh-kekeh, selanjutnya beliau malah berkisah tentang romantisme masa mudanya dulu ketika bertemu dengan bapak saya. Ceileeeeee..ceilatun..ceilaani..ceiluuunaa..!

[Duh, saya bahagia sekali…]

SELAMAT BERHARI IBU….. Salam hangat buat semua perempuan!

Ngestiharjo, 22 Desember ’09, 04:01’
[terima kasih buat Mbak Entis, yang telah menginspirasi saya untuk menulis ini. Meski sekadar kata-kata yang terlepas-lepas]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez