Ahmad Tohari
Pikiran Rakyat, 24 Jan 2009.
LEBIH setengah abad yang lalu ada buku ajar untuk pelajaran bahasa Indonesia berjudul Gemar Membaca. Sesuai dengan judulnya, isi buku itu tentu diajarkan untuk meletakkan dasar sifat gemar membaca di kalangan anak-anak. Buku tersebut juga memberi tuntunan dasar-dasar ketrampilan menulis karangan.
Sekarang buku Gemar Membaca sudah tidak terbit lagi. Namun, bukan hal itu yang akan dibicarakan melainkan hasilnya yang jejaknya hanya samar. Setelah lebih setengah abad diajak membangun watak gemar membaca dan menulis masyarakat kita seakan belum juga tergugah. Menurut data yang terbaca, beberapa tahun lalu penduduk Indonesia yang suka membaca tidak sampai 10 persen. Angka ini akan lebih mengecil lagi bila dimaksudkan untuk menyatakan jumlah penduduk Indonesia yang biasa menulis.
Mengapa sampai terjadi kondisi seburuk ini – anehnya – kita bisa dengan fasih menjawabnya. Kita juga tahu dan menyadari akibat buruk kondisi ini, keterbelakangan di segala bidang baik yang bersifat lahir maupun batin. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang utamanya terjadi melalui kegiatan baca-tulis telah sekian lama terabaikan. Inilah penyebab utama keterbelakangan kita di semua bidang kehidupan.
Mengapa kita jadi bangsa yang malas membaca (apalagi menulis) jawabnya pun sudah kita hafal. Mulailah dari faktor sejarah, sejak zaman kerajaan dan kemudian disambung dengan masa penjajahan kegiatan baca tulis seperti hanya menjadi hak lapisan atas. Mayoritas penduduk yang mereka sebut wong cilik (sebutan yang sebenarnya amat menghina) hanya punya peluang sangat kecil untuk memasuki dunia keaksaraan. Tatanan feodal ini demikian mapan sehingga untuk waktu yang lama masyarakat wong cilik merasa tidak sepantasnya memasuki dunia baca tulis.
Mungkin situasi demikian akan berumur lebih panjang apabila tidak terjadi perubahan kebijakan dengan hadirnya politik balas budi di negeri Belanda. Sejak saat itu, meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas, anak-anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan di sekolah dan mulai mengenal baca tulis.
***
KITA juga sudah tahu tradisi tutur yang sudah berlangsung berabad-abad kini masih membelenggu masyarakat kita. Tradisi itu juga menjadi salah satu sebab mengapa kita belum juga gemar membaca dan menulis. Dalam tradisi ini peran tulisan dianggap kurang penting. Maka transfer pengetahuan, dongeng, atau ajaran dilakukan melalui tuturan yang berlangsung turun-temurun. Tentu, dalam tradisi tutur ini pengembangan wacana dan pengetahuan jadi sangat terbatas atau malah stagnan karena aspek-aspek eksploratif minim adanya.
Sesungguhnya tradisi tutur bukan hal yang buruk. Banyak nilai-nilai kearifan bisa diturunkan dan dilestarikan melalui tradisi ini. Namun, harus diakui pula adanya ekses tertekannya usaha pengembangan kebiasaan baca-tulis di masyarakat kita. Hal ini tentu sangat merugikan dan akan menimbulkan berbagai kesulitan yang berkepanjangan. Suatu contoh kecil, betapa sering kita mendengar orang sulit menentukan hari jadi sebuah provinsi, kabupaten, atau kota karena tak ada catatan resmi mengenai hal itu. Bahkan pernah terdengar ketidakjelasan keberadaan teks prokramasi dan supersemar; ini pun membuktikan kita memang bukan masyarakat yang menghargai baca-tulis dengan segala hal yang menyertainya.
Sebenarnya kondisi yang tidak menguntungkan ini sudah lama disadari pemerintah. Tindakan-tindakan nyata untuk mendongkrak minat baca tulis pun sudah dilakukan dengan pelaksanaan pendidikan di bidang tersebut dari dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Di luar itu masih ada projek-projek inpres untuk pengadaan buku dan perpustakaan serta program pemberantasan buta huruf yang berskala nasional. Tapi mengapa perubahan yang diharapkan amat lambat datang? Jawabnya, karena semua itu dilakukan dengan setengah hati, tanpa dedikasi, bernuansa projek yang sarat korupsi.
Sementara itu, dampak negatif “penyakit” kurang baca tulis kian hari kian menampakkan keburukannya. Selain menjadi sebab kualitas SDM Indonesia rata-rata rendah, ada hal khusus yang patut diperhatikan. Hal tersebut adalah kurang terserapnya nilai-nilai keadaban yang lazimnya terkandung dalam berbagai jenis buku bacaan. Jadi penyakit kurang baca tulis tidak hanya menyebabkan orang kurang cerdas secara intelektual tapi juga secara spiritual, karena tidak ada internalisasi nilai-nilai ke dalam diri rata-rata manusia Indonesia.
Nilai-nilai keadaban itulah yang seharusnya membangun pribadi dan menjadi moral setiap warga masyarakat, lebih lagi mereka yang menjadi pemimpin di semua bidang dan tingkatan. Para pendiri negeri ini rata-rata memiliki moral pejuang yang saleh, jujur dan penuh tanggung jawab. Dan semuanya – sedikit di antaranya Bung Karno, Bung Hatta, K.H. Wahid Hasyim, Wilopo, Ki Hajar Dewantara – adalah orang-orang yang kenyang membaca dan menulis. Dari kegemaran itulah mereka menjaring dan mengumpulkan nilai-nilai keadaban untuk membangun kepribadian sehingga mereka jadi pemimin negarawan dengan dedikasi tinggi.
***
KETIDAKSALEHAN yang telah mewarnai banyak sisi kehidupan dan telah membuat kita sekian lama tertinggal dan terpuruk tentu tidak akan dibiarkan bila kita masih ingin menjadi bagian dunia beradab. Penyakit kurang baca tulis harus disembuhkan dengan tindakan nyata dan ikhlas.
Rumah Puisi yang dibangun oleh penyair Taufiq Ismail mestilah berangkat dari kesadaran itu. Di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, di antara Gunung Merapi dan Singgalang, di sanalah Rumah Puisi berdiri. Di dalamnya ada perpustakaan umum dengan modal awal 6.000 judul buku. Akan difasilitasi kegiatan pelatihan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia, pelatihan menulis karangan, kegiatan apresiasi sastra, interaksi antarsastrawan, dan sebagainya.
Untuk ukuran Indonesia yang begitu besar dalam hal wilayah dan jumlah penduduk, Rumah Puisi amat kecil dari segi fisik bangunan dan kegiatan. Namun, dari segi makna dan cita-cita dia sungguh besar. Diharapkan Rumah Puisi menjadi antivirus yang akan menyebar ke seluruh Indonesia untuk mengobati penyakit kurang baca tulis. Karena hanya dengan hilangnya penyakit itu bangsa ini bisa bangkit dan mengejar ketertinggalan.
Sesungguhnya, Taufiq Ismail bukan pribadi yang teramat istimewa. Dia hanya seorang penyair dan pemikir. Tapi dia peduli atas akibat penyakit kurang baca tulis yang melanda bangsanya. Kemudian dia bertindak dengan sesuatu yang nyata. Oleh karena itu, bila banyak lagi orang yang peduli, apalagi bila kepedulian itu berkembang menjadi kesadaran umum, rumah-rumah puisi akan bermunculan di seluruh tanah air. Penyakit kurang baca tulis dengan segala akibat buruknya akan terkikis habis.
Atau bila penduduk Indonesia yang mayoritas Islam ini mau bangun dari kealpaan, mereka tentu sadar bahwa membaca adalah perintah Allah yang pertama kepada manusia. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Ini adalah ayat perintah membaca yang amat gamblang. Ayat ini tersambung dengan: Allah mengajarkan (ilmu) kepada manusia dengan pena. Pena siapa? Tentu bukan pena surgawi yang menjulur dari langit. Itu adalah pena profan, pena para manusia yang mendapat anugerah ilmu dari Allah SWT. Melalui pena para alim itulah Allah mengajari manusia. Maka lengkap sudah, perintah membaca berada dalam satu paket wahyu dengan perintah menulis. Ternyata, kebanyakan kita alpa mengamalkannya.
Di pintu utama Rumah Puisi ayat ini terpampang jelas. Memang, bila direnungkan apakah ada perbedaan derajat urgensi antara perintah membaca dan menulis dengan dirikanlah salat dan bayarkan zakat di awal surat Al Baqarah? Rasanya tidak ada. Malah kenyataan bahwa perintah membaca dan menulis datang lebih dulu daripada perintah salat, amat patut menjadi bahan permenungan. Apalagi fakta sudah jelas terpampang; negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini sudah lama tertinggal di segala bidang.
Kita tidak usah ragu menjawab, utamanya karena kita alpa menjalankan perintah membaca dan menulis. Padahal itu perintah pertama yang termuat dalam Alquran.***
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=201180786577461
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar