Minggu, 20 Mei 2012

“Bacalah!” dan Kita Lupa

Ahmad Tohari
Pikiran Rakyat, 24 Jan 2009.

LEBIH setengah abad yang lalu ada buku ajar untuk pelajaran bahasa Indonesia berjudul Gemar Membaca. Sesuai dengan judulnya, isi buku itu tentu diajarkan untuk meletakkan dasar sifat gemar membaca di kalangan anak-anak. Buku tersebut juga memberi tuntunan dasar-dasar ketrampilan menulis karangan.

Sekarang buku Gemar Membaca sudah tidak terbit lagi. Namun, bukan hal itu yang akan dibicarakan melainkan hasilnya yang jejaknya hanya samar. Setelah lebih setengah abad diajak membangun watak gemar membaca dan menulis masyarakat kita seakan belum juga tergugah. Menurut data yang terbaca, beberapa tahun lalu penduduk Indonesia yang suka membaca tidak sampai 10 persen. Angka ini akan lebih mengecil lagi bila dimaksudkan untuk menyatakan jumlah penduduk Indonesia yang biasa menulis.

Mengapa sampai terjadi kondisi seburuk ini – anehnya – kita bisa dengan fasih menjawabnya. Kita juga tahu dan menyadari akibat buruk kondisi ini, keterbelakangan di segala bidang baik yang bersifat lahir maupun batin. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang utamanya terjadi melalui kegiatan baca-tulis telah sekian lama terabaikan. Inilah penyebab utama keterbelakangan kita di semua bidang kehidupan.

Mengapa kita jadi bangsa yang malas membaca (apalagi menulis) jawabnya pun sudah kita hafal. Mulailah dari faktor sejarah, sejak zaman kerajaan dan kemudian disambung dengan masa penjajahan kegiatan baca tulis seperti hanya menjadi hak lapisan atas. Mayoritas penduduk yang mereka sebut wong cilik (sebutan yang sebenarnya amat menghina) hanya punya peluang sangat kecil untuk memasuki dunia keaksaraan. Tatanan feodal ini demikian mapan sehingga untuk waktu yang lama masyarakat wong cilik merasa tidak sepantasnya memasuki dunia baca tulis.

Mungkin situasi demikian akan berumur lebih panjang apabila tidak terjadi perubahan kebijakan dengan hadirnya politik balas budi di negeri Belanda. Sejak saat itu, meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas, anak-anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan di sekolah dan mulai mengenal baca tulis.

***

KITA juga sudah tahu tradisi tutur yang sudah berlangsung berabad-abad kini masih membelenggu masyarakat kita. Tradisi itu juga menjadi salah satu sebab mengapa kita belum juga gemar membaca dan menulis. Dalam tradisi ini peran tulisan dianggap kurang penting. Maka transfer pengetahuan, dongeng, atau ajaran dilakukan melalui tuturan yang berlangsung turun-temurun. Tentu, dalam tradisi tutur ini pengembangan wacana dan pengetahuan jadi sangat terbatas atau malah stagnan karena aspek-aspek eksploratif minim adanya.

Sesungguhnya tradisi tutur bukan hal yang buruk. Banyak nilai-nilai kearifan bisa diturunkan dan dilestarikan melalui tradisi ini. Namun, harus diakui pula adanya ekses tertekannya usaha pengembangan kebiasaan baca-tulis di masyarakat kita. Hal ini tentu sangat merugikan dan akan menimbulkan berbagai kesulitan yang berkepanjangan. Suatu contoh kecil, betapa sering kita mendengar orang sulit menentukan hari jadi sebuah provinsi, kabupaten, atau kota karena tak ada catatan resmi mengenai hal itu. Bahkan pernah terdengar ketidakjelasan keberadaan teks prokramasi dan supersemar; ini pun membuktikan kita memang bukan masyarakat yang menghargai baca-tulis dengan segala hal yang menyertainya.

Sebenarnya kondisi yang tidak menguntungkan ini sudah lama disadari pemerintah. Tindakan-tindakan nyata untuk mendongkrak minat baca tulis pun sudah dilakukan dengan pelaksanaan pendidikan di bidang tersebut dari dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Di luar itu masih ada projek-projek inpres untuk pengadaan buku dan perpustakaan serta program pemberantasan buta huruf yang berskala nasional. Tapi mengapa perubahan yang diharapkan amat lambat datang? Jawabnya, karena semua itu dilakukan dengan setengah hati, tanpa dedikasi, bernuansa projek yang sarat korupsi.

Sementara itu, dampak negatif “penyakit” kurang baca tulis kian hari kian menampakkan keburukannya. Selain menjadi sebab kualitas SDM Indonesia rata-rata rendah, ada hal khusus yang patut diperhatikan. Hal tersebut adalah kurang terserapnya nilai-nilai keadaban yang lazimnya terkandung dalam berbagai jenis buku bacaan. Jadi penyakit kurang baca tulis tidak hanya menyebabkan orang kurang cerdas secara intelektual tapi juga secara spiritual, karena tidak ada internalisasi nilai-nilai ke dalam diri rata-rata manusia Indonesia.

Nilai-nilai keadaban itulah yang seharusnya membangun pribadi dan menjadi moral setiap warga masyarakat, lebih lagi mereka yang menjadi pemimpin di semua bidang dan tingkatan. Para pendiri negeri ini rata-rata memiliki moral pejuang yang saleh, jujur dan penuh tanggung jawab. Dan semuanya – sedikit di antaranya Bung Karno, Bung Hatta, K.H. Wahid Hasyim, Wilopo, Ki Hajar Dewantara – adalah orang-orang yang kenyang membaca dan menulis. Dari kegemaran itulah mereka menjaring dan mengumpulkan nilai-nilai keadaban untuk membangun kepribadian sehingga mereka jadi pemimin negarawan dengan dedikasi tinggi.

***

KETIDAKSALEHAN yang telah mewarnai banyak sisi kehidupan dan telah membuat kita sekian lama tertinggal dan terpuruk tentu tidak akan dibiarkan bila kita masih ingin menjadi bagian dunia beradab. Penyakit kurang baca tulis harus disembuhkan dengan tindakan nyata dan ikhlas.

Rumah Puisi yang dibangun oleh penyair Taufiq Ismail mestilah berangkat dari kesadaran itu. Di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, di antara Gunung Merapi dan Singgalang, di sanalah Rumah Puisi berdiri. Di dalamnya ada perpustakaan umum dengan modal awal 6.000 judul buku. Akan difasilitasi kegiatan pelatihan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia, pelatihan menulis karangan, kegiatan apresiasi sastra, interaksi antarsastrawan, dan sebagainya.

Untuk ukuran Indonesia yang begitu besar dalam hal wilayah dan jumlah penduduk, Rumah Puisi amat kecil dari segi fisik bangunan dan kegiatan. Namun, dari segi makna dan cita-cita dia sungguh besar. Diharapkan Rumah Puisi menjadi antivirus yang akan menyebar ke seluruh Indonesia untuk mengobati penyakit kurang baca tulis. Karena hanya dengan hilangnya penyakit itu bangsa ini bisa bangkit dan mengejar ketertinggalan.

Sesungguhnya, Taufiq Ismail bukan pribadi yang teramat istimewa. Dia hanya seorang penyair dan pemikir. Tapi dia peduli atas akibat penyakit kurang baca tulis yang melanda bangsanya. Kemudian dia bertindak dengan sesuatu yang nyata. Oleh karena itu, bila banyak lagi orang yang peduli, apalagi bila kepedulian itu berkembang menjadi kesadaran umum, rumah-rumah puisi akan bermunculan di seluruh tanah air. Penyakit kurang baca tulis dengan segala akibat buruknya akan terkikis habis.

Atau bila penduduk Indonesia yang mayoritas Islam ini mau bangun dari kealpaan, mereka tentu sadar bahwa membaca adalah perintah Allah yang pertama kepada manusia. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Ini adalah ayat perintah membaca yang amat gamblang. Ayat ini tersambung dengan: Allah mengajarkan (ilmu) kepada manusia dengan pena. Pena siapa? Tentu bukan pena surgawi yang menjulur dari langit. Itu adalah pena profan, pena para manusia yang mendapat anugerah ilmu dari Allah SWT. Melalui pena para alim itulah Allah mengajari manusia. Maka lengkap sudah, perintah membaca berada dalam satu paket wahyu dengan perintah menulis. Ternyata, kebanyakan kita alpa mengamalkannya.

Di pintu utama Rumah Puisi ayat ini terpampang jelas. Memang, bila direnungkan apakah ada perbedaan derajat urgensi antara perintah membaca dan menulis dengan dirikanlah salat dan bayarkan zakat di awal surat Al Baqarah? Rasanya tidak ada. Malah kenyataan bahwa perintah membaca dan menulis datang lebih dulu daripada perintah salat, amat patut menjadi bahan permenungan. Apalagi fakta sudah jelas terpampang; negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini sudah lama tertinggal di segala bidang.

Kita tidak usah ragu menjawab, utamanya karena kita alpa menjalankan perintah membaca dan menulis. Padahal itu perintah pertama yang termuat dalam Alquran.***

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=201180786577461

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez