Maria Hartiningsih, Ninuk Mardiana Pambudy
Kompas, 5 Oktober 2008
Ini pernyataan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif: bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan karena politik menjadi ajang kompetisi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, bukan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat, seperti dicita-citakan para pendiri negeri ini.
Tokoh intelektual, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005) dan pendiri Maarif Institute itu ditemui suatu pagi, di Jakarta.
Syafii Maarif (73) adalah tokoh Indonesia kedua yang dianugerahi penghargaan Magsaysay untuk kategori Perdamaian dan Pemahaman Internasional setelah tokoh intelektual Soedjatmoko pada tahun 1978.
Tokoh Indonesia yang pernah mendapat penghargaan yang sama adalah Mochtar Lubis (1958), Pramoedya Ananta Toer (1995), dan Atmakusumah Astraatmadja (2000) untuk kategori Jurnalisme, Kesusastraan, dan Seni Komunikasi Kreatif, Abdurrahman Wahid (1993) untuk kategori Kepemimpinan Masyarakat, serta Dita Indah Sari (2001) untuk kategori Kepemimpinan Muda.
Presiden Raymond Magsaysay Award Foundation, Carmencita T Abella, dalam surat elektroniknya kepada Maarif Institute tanggal 31 Juli 2008 menyatakan, Syafii Maarif dipilih karena komitmen dan kesungguhannya membimbing umat Islam untuk meyakini dan menerima toleransi dan pluralisme sebagai basis keadilan dan harmoni di Indonesia, bahkan di dunia.
Mengutip siaran pers Maarif Institute, dalam sambutan singkat di depan sekitar 2.000 undangan pada resepsi tanggal 31 Agustus 2008 di Manila, Filipina, Syafii Maarif mengatakan, penghargaan itu tak bisa dilepaskan dari Persyarikatan Muhammadiyah yang membesarkannya.
Ia mengakui, kerja sama dengan para tokoh lintas agama sebagai kekuatan sosio-kultural sangat penting dalam menentukan masa depan Indonesia yang plural di bawah Pancasila. Usahanya bersama para tokoh lintas agama untuk mempromosikan pluralisme, toleransi, dan inklusivisme itu mendapat apresiasi dan dukungan dari arus besar masyarakat Indonesia.
Komitmen kuat
Penganugerahan itu disambut gembira oleh masyarakat lintas iman dan pendukung pluralisme Indonesia, tetapi dicibir oleh kelompok yang menolaknya. Pagi itu, ia membacakan kalimat bernada keras yang dikirim melalui layanan pesan singkat.
Mengapa ada yang tak mau menerima fakta keberbagaian?
Saya kira karena wawasan yang sempit, atau mungkin kecewa. Solusinya di daerah, ya perda-perda diskrimatif itu. Anehnya, itu didukung partai-partai sekuler. Ini persoalan. Tidak tulus. Tingkat peradaban politik kita masih rendah dan kumuh.
Maksudnya?
Kotor. Ya politik uang, ya moral. Setelah reformasi, relatif demokrasi kita ada, dipuji, meski berada di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab, yang wawasannya picik. Kualitas demokrasi kita di bawah standar. Dapat dibilang, politik telah menjadi mata pencaharian karena seluruh kegiatan politik bukan untuk menyejahterakan rakyat.
Mungkin biaya masuk ke politik besar sekali, sehingga kalau sudah masuk banyak yang mencoba mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan…
Kenapa Pemilu 1955 tidak begitu? Itu pemilu terbagus sepanjang sejarah. Meskipun pertentangan ideologi begitu tajam dan galak, tak setetes pun darah yang tumpah. Sekarang banyak politisi instan. Kelakuannya dari pusat sampai daerah sama.
Apa masalah pokoknya?
Saya kira soal kepemimpinan. Kita punya orang-orang hebat, tetapi banyak tetapinya.
Pengaruh kapitalisme global?
Harusnya pengaruh itu bisa diminimalisasi, kalau tak ada proses pembusukan dari dalam. Ada kerapuhan dari dalam. Kultur kita rapuh.
Kalau rapuh, bagaimana bisa bertahan sekian lama?
Itu pertanyaan menarik. Sejarawan besar Australia, MC Ricklefs (penulis buku A History of Modern Indonesia) mengatakan, Indonesia ini terlalu besar untuk jadi satu negara. Diperkirakan pecah, tetapi tidak juga. Ada misteri di situ.
Apakah dasarnya survival?
Bertahan dalam penderitaan dan ketidakadilan. Coba Anda pergi ke pulau-pulau kecil di Indonesia timur. Mereka sangat cinta Indonesia, tetapi selalu dizalimi. Lihat Riau yang terbengkalai, padahal sumbangannya besar, selain sumber daya alamnya, juga bahasa. Lihat juga Aceh yang di zaman revolusi memberi banyak untuk republik ini.
Tujuan kita ini sebagai bangsa apa? Sila kelima Pancasila itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekarang lihat angka kemiskinan. Kalau pakai standar pendapatan dua dollar AS sehari, disebut ekonom Faisal Basri angkanya mencapai 106 juta dari sekitar 225 juta orang. Lihat, orang berburu zakat sampai meninggal, entah berapa yang luka-luka, belum lagi daging busuk yang dikonsumsi rakyat. Ini sudah luar biasa….
Rapuh karena tak bisa keluar dari belenggu struktural?
Ya. Salah satu indikator kerapuhan itu adalah kepekaan kita lemah dan semakin lemah, terutama karena kepemimpinan kita tak punya kepekaan dan tidak bertanggung jawab.
Bangsa baru
Bagaimana keterkaitan semua itu dengan sejarah? Syafii Maarif mengatakan, bangsa ini memanggul beban berat sebagai ”bangsa yang terjajah selama 350 tahun”, sehingga kultur bangsa terjajah tetap membayangi.
Rendahnya posisi tawar dalam kontrak-kontrak karya pertambangan, minyak dan gas, adalah salah satu contoh yang ia sebutkan.
”Kapitalisme masuk dengan memanfaatkan parlemen kita dalam pembuatan undang-undang, juga pemerintah. Saya rasa kita tidak begitu yakin dengan diri kita sebagai bangsa yang merdeka,” ia melanjutkan.
”Kita menjual semua yang kita punya, sumber daya alam dan semuanya sumber daya ekonomi yang kita punya. Sebagian UU yang dihasilkan memperlihatkan kepandiran bangsa ini. Ibarat tukang, siang hari ia menenun, malamnya dilepaskan lagi.”
Ketidakmampuan menangkis pengaruh ideologi juga terlihat dari alasan para teroris yang menggunakan kekerasan untuk mewujudkan apa yang dibayangkan sebagai situasi ”ideal”. Di sisi lain, orang tak bisa menahan rayuan konsumtivisme yang disebarkan kapitalisme global karena filternya lemah.
Karena itu, ”Kita harus menyiapkan manusia Indonesia yang tangguh. Bisa dilakukan melalui pendidikan dalam arti luas, dimulai dari keluarga. Kemerdekaan harus diartikan sebagai warga yang terbebaskan, berdaulat, dan punya kebanggaan.”
Ia mengingatkan, Bung Karno selalu mengatakan pembangunan karakter bangsa harus terus dilakukan. ”Tetapi, ada satu hal di pikiran saya. Pertama, saya menolak 100 tahun Kebangkitan Nasional,” ia menegaskan.
Berdasarkan fakta sejarah, Indonesia sebagai bangsa baru muncul tahun 1920-an. Syafii Maarif memaparkan, ”Saya tidak tahu apakah kita ambil peralihan dari Indische Vereeniging, Perhimpunan Hindia, tahun 1908 menjadi Indonesische Vereeniging, Perhimpunan Indonesia, tahun 1922, atau kita ambil Sumpah Pemuda tahun 1928. Sebelum itu yang ada etnisitas. Ali Sastroamidjojo, orang Jawa. Hatta orang Sumatera. Kita perlu bicara lebih mendalam dan serius tentang kapan sebetulnya kita menjadi Indonesia.”
Dengan demikian, beban psikologisnya menjadi lebih ringan karena tidak lagi merasa sebagai bangsa yang dijajah 350 tahun. ”Memang karena penjajahan, kita menjadi Indonesia, menjadi satu atas kemauan sendiri. Jadi, kita harus menghargai keberbagaian di rumah Indonesia ini. Proses menjadi bangsa ini masih terus berlangsung.”
Yang kedua?
Saya tak tertarik dengan jargon NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena ”kesatuan” membentuk uniformitas yang tak menghargai Bhinneka Tunggal Ika. Saya tertarik dengan Negara Persatuan Republik Indonesia. Persatuan berarti menghargai kultur-kultur yang hebat ini. Dengan ”persatuan” tak bisa lagi melihat Indonesia dari kacamata Jakarta.
Bukankah ada otonomi daerah?
Tak sama benar. Banyak pemekaran yang sifatnya sangat politis. Itu ambisi raja-raja kecil. Kita harus kembali ke filosofi laut. Pensiunan Kepala Angkatan Laut India, Admiral L Ramdas, yang saya temui di Manila, mengingatkan, ”Oceans unite, lands divide”.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/10/persona-kearifan-syafii-maarif.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 20 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar