Minggu, 20 Mei 2012

Kearifan Syafii Maarif

Maria Hartiningsih, Ninuk Mardiana Pambudy
Kompas, 5 Oktober 2008

Ini pernyataan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif: bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan karena politik menjadi ajang kompetisi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, bukan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat, seperti dicita-citakan para pendiri negeri ini.

Tokoh intelektual, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005) dan pendiri Maarif Institute itu ditemui suatu pagi, di Jakarta.

Syafii Maarif (73) adalah tokoh Indonesia kedua yang dianugerahi penghargaan Magsaysay untuk kategori Perdamaian dan Pemahaman Internasional setelah tokoh intelektual Soedjatmoko pada tahun 1978.

Tokoh Indonesia yang pernah mendapat penghargaan yang sama adalah Mochtar Lubis (1958), Pramoedya Ananta Toer (1995), dan Atmakusumah Astraatmadja (2000) untuk kategori Jurnalisme, Kesusastraan, dan Seni Komunikasi Kreatif, Abdurrahman Wahid (1993) untuk kategori Kepemimpinan Masyarakat, serta Dita Indah Sari (2001) untuk kategori Kepemimpinan Muda.

Presiden Raymond Magsaysay Award Foundation, Carmencita T Abella, dalam surat elektroniknya kepada Maarif Institute tanggal 31 Juli 2008 menyatakan, Syafii Maarif dipilih karena komitmen dan kesungguhannya membimbing umat Islam untuk meyakini dan menerima toleransi dan pluralisme sebagai basis keadilan dan harmoni di Indonesia, bahkan di dunia.

Mengutip siaran pers Maarif Institute, dalam sambutan singkat di depan sekitar 2.000 undangan pada resepsi tanggal 31 Agustus 2008 di Manila, Filipina, Syafii Maarif mengatakan, penghargaan itu tak bisa dilepaskan dari Persyarikatan Muhammadiyah yang membesarkannya.

Ia mengakui, kerja sama dengan para tokoh lintas agama sebagai kekuatan sosio-kultural sangat penting dalam menentukan masa depan Indonesia yang plural di bawah Pancasila. Usahanya bersama para tokoh lintas agama untuk mempromosikan pluralisme, toleransi, dan inklusivisme itu mendapat apresiasi dan dukungan dari arus besar masyarakat Indonesia.

Komitmen kuat

Penganugerahan itu disambut gembira oleh masyarakat lintas iman dan pendukung pluralisme Indonesia, tetapi dicibir oleh kelompok yang menolaknya. Pagi itu, ia membacakan kalimat bernada keras yang dikirim melalui layanan pesan singkat.

Mengapa ada yang tak mau menerima fakta keberbagaian?

Saya kira karena wawasan yang sempit, atau mungkin kecewa. Solusinya di daerah, ya perda-perda diskrimatif itu. Anehnya, itu didukung partai-partai sekuler. Ini persoalan. Tidak tulus. Tingkat peradaban politik kita masih rendah dan kumuh.

Maksudnya?

Kotor. Ya politik uang, ya moral. Setelah reformasi, relatif demokrasi kita ada, dipuji, meski berada di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab, yang wawasannya picik. Kualitas demokrasi kita di bawah standar. Dapat dibilang, politik telah menjadi mata pencaharian karena seluruh kegiatan politik bukan untuk menyejahterakan rakyat.

Mungkin biaya masuk ke politik besar sekali, sehingga kalau sudah masuk banyak yang mencoba mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan…

Kenapa Pemilu 1955 tidak begitu? Itu pemilu terbagus sepanjang sejarah. Meskipun pertentangan ideologi begitu tajam dan galak, tak setetes pun darah yang tumpah. Sekarang banyak politisi instan. Kelakuannya dari pusat sampai daerah sama.

Apa masalah pokoknya?

Saya kira soal kepemimpinan. Kita punya orang-orang hebat, tetapi banyak tetapinya.

Pengaruh kapitalisme global?

Harusnya pengaruh itu bisa diminimalisasi, kalau tak ada proses pembusukan dari dalam. Ada kerapuhan dari dalam. Kultur kita rapuh.

Kalau rapuh, bagaimana bisa bertahan sekian lama?

Itu pertanyaan menarik. Sejarawan besar Australia, MC Ricklefs (penulis buku A History of Modern Indonesia) mengatakan, Indonesia ini terlalu besar untuk jadi satu negara. Diperkirakan pecah, tetapi tidak juga. Ada misteri di situ.

Apakah dasarnya survival?

Bertahan dalam penderitaan dan ketidakadilan. Coba Anda pergi ke pulau-pulau kecil di Indonesia timur. Mereka sangat cinta Indonesia, tetapi selalu dizalimi. Lihat Riau yang terbengkalai, padahal sumbangannya besar, selain sumber daya alamnya, juga bahasa. Lihat juga Aceh yang di zaman revolusi memberi banyak untuk republik ini.

Tujuan kita ini sebagai bangsa apa? Sila kelima Pancasila itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekarang lihat angka kemiskinan. Kalau pakai standar pendapatan dua dollar AS sehari, disebut ekonom Faisal Basri angkanya mencapai 106 juta dari sekitar 225 juta orang. Lihat, orang berburu zakat sampai meninggal, entah berapa yang luka-luka, belum lagi daging busuk yang dikonsumsi rakyat. Ini sudah luar biasa….

Rapuh karena tak bisa keluar dari belenggu struktural?

Ya. Salah satu indikator kerapuhan itu adalah kepekaan kita lemah dan semakin lemah, terutama karena kepemimpinan kita tak punya kepekaan dan tidak bertanggung jawab.

Bangsa baru

Bagaimana keterkaitan semua itu dengan sejarah? Syafii Maarif mengatakan, bangsa ini memanggul beban berat sebagai ”bangsa yang terjajah selama 350 tahun”, sehingga kultur bangsa terjajah tetap membayangi.

Rendahnya posisi tawar dalam kontrak-kontrak karya pertambangan, minyak dan gas, adalah salah satu contoh yang ia sebutkan.

”Kapitalisme masuk dengan memanfaatkan parlemen kita dalam pembuatan undang-undang, juga pemerintah. Saya rasa kita tidak begitu yakin dengan diri kita sebagai bangsa yang merdeka,” ia melanjutkan.

”Kita menjual semua yang kita punya, sumber daya alam dan semuanya sumber daya ekonomi yang kita punya. Sebagian UU yang dihasilkan memperlihatkan kepandiran bangsa ini. Ibarat tukang, siang hari ia menenun, malamnya dilepaskan lagi.”

Ketidakmampuan menangkis pengaruh ideologi juga terlihat dari alasan para teroris yang menggunakan kekerasan untuk mewujudkan apa yang dibayangkan sebagai situasi ”ideal”. Di sisi lain, orang tak bisa menahan rayuan konsumtivisme yang disebarkan kapitalisme global karena filternya lemah.

Karena itu, ”Kita harus menyiapkan manusia Indonesia yang tangguh. Bisa dilakukan melalui pendidikan dalam arti luas, dimulai dari keluarga. Kemerdekaan harus diartikan sebagai warga yang terbebaskan, berdaulat, dan punya kebanggaan.”

Ia mengingatkan, Bung Karno selalu mengatakan pembangunan karakter bangsa harus terus dilakukan. ”Tetapi, ada satu hal di pikiran saya. Pertama, saya menolak 100 tahun Kebangkitan Nasional,” ia menegaskan.

Berdasarkan fakta sejarah, Indonesia sebagai bangsa baru muncul tahun 1920-an. Syafii Maarif memaparkan, ”Saya tidak tahu apakah kita ambil peralihan dari Indische Vereeniging, Perhimpunan Hindia, tahun 1908 menjadi Indonesische Vereeniging, Perhimpunan Indonesia, tahun 1922, atau kita ambil Sumpah Pemuda tahun 1928. Sebelum itu yang ada etnisitas. Ali Sastroamidjojo, orang Jawa. Hatta orang Sumatera. Kita perlu bicara lebih mendalam dan serius tentang kapan sebetulnya kita menjadi Indonesia.”

Dengan demikian, beban psikologisnya menjadi lebih ringan karena tidak lagi merasa sebagai bangsa yang dijajah 350 tahun. ”Memang karena penjajahan, kita menjadi Indonesia, menjadi satu atas kemauan sendiri. Jadi, kita harus menghargai keberbagaian di rumah Indonesia ini. Proses menjadi bangsa ini masih terus berlangsung.”

Yang kedua?

Saya tak tertarik dengan jargon NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena ”kesatuan” membentuk uniformitas yang tak menghargai Bhinneka Tunggal Ika. Saya tertarik dengan Negara Persatuan Republik Indonesia. Persatuan berarti menghargai kultur-kultur yang hebat ini. Dengan ”persatuan” tak bisa lagi melihat Indonesia dari kacamata Jakarta.

Bukankah ada otonomi daerah?

Tak sama benar. Banyak pemekaran yang sifatnya sangat politis. Itu ambisi raja-raja kecil. Kita harus kembali ke filosofi laut. Pensiunan Kepala Angkatan Laut India, Admiral L Ramdas, yang saya temui di Manila, mengingatkan, ”Oceans unite, lands divide”.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/10/persona-kearifan-syafii-maarif.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez