MENIMBANG NOVEL HATINYA TERTINGGAL DI GAZA
Muhammad Subhan
http://www.harianhaluan.com/
NOVEL Hatinya Tertinggal di Gaza (Grasindo, Jakarta, 2011) karya Sastri Bakry secara resmi diluncurkan Rabu, 29 Juni 2011 di aula Museum Adityawarman, Padang, dihadiri sekitar 50an peserta. Usai diluncurkan novel itu langsung didiskusikan dengan menghadirkan narasumber Basril Djabar (budayawan), Emma Yohanna (aktivis perempuan dan anggota DPD RI), serta Romi Zarman (kritikus). Diskusi dipandu Yusrizal KW serta dihadiri Sastri Bakry, pengarang novel Hatinya Tertinggal di Gaza.
Novel Hatinya Tertinggal di Gaza (selanjutnya disingkat HTDG) ini menarik didiskusikan. Temanya tentang kisah cinta segitiga di antara tokoh utamanya (Nadhifah, Ofik, dan Nindi). Di awal cerita pengarang berhasil memancing dan mengaduk-aduk emosi pembacanya. Orang akan mengira, novel ini bercerita tentang poligami, namun diakhir cerita poligami itu tidak pernah terjadi.
“Untung tidak terjadi poligami. Kalau sampai terjadi, saya orang pertama yang akan mengkritik Sastri Bakry,” komentar Emma Yohanna sembari mengarahkan pandangannya ke arah Sastri Bakry yang duduk di kursi hadirin dan tidak memberikan komentar apa-apa selama diskusi. Senada dengan Emma Yohanna, Romi Zarman juga menyebut kata “untung” tidak terjadi poligami di dalam HTDG. Alasannya, bila Ofik yang sudah bersatus suami bagi Nindi menikahi Nadhifah (bekas pacar lamanya), suatu saat kelak orang diluar Minang akan menilai negatif isi novel tersebut, atau juga terhadap diri si pengarang. Romi juga menyebut, bila Ofik menikahi Nadhifah sama halnya membawa nilai-nilai barat, tercela dalam masyarakat ketimuran.
Dua pernyataan itu–yang dilontarkan Emma Yohanna dan Romi Zarman—menarik untuk didiskusikan pula, menurut hemat saya. Yang saya cermati ada semacam “intervensi” kreatifitas kepada si pengarang dari kedua pembicara bila ending berakhir poligami. Seolah poligami itu sesuatu yang “dilarang” menurut hukum agama, lalu diberikan “warning” pula kepada si pengarang untuk tidak menulis itu—dan memang “untunglah” HTDG berakhir tanpa poligami.
Sebagai karya sastra yang bersifat fiktif HTDG bisa saja berakhir dengan poligami bila Sastri Bakry, sang pengarangnya, mau melakukan itu. Tapi agaknya Sastri Bakry cukup paham akan “masa depan” novelnya. Di pertengahan cerita, Nindi, istri sah Ofik sangat merestui hubungi suaminya dengan Nadhifah, malah Nindi yang menganjurkan Ofik untuk segera menikahi Nadhifah agar tidak sumbang dalam pandangan orang. Bila seorang istri sudah ikhlas suaminya menikah dengan perempuan lain, lalu aturan mana lagi yang melarang? Ah, untunglah poligami dalam HTDG itu memang benar-benar tidak terjadi!
Apa sikap saya bila seandainya ending HTDG itu berakhir poligami? Tentu saya posisikan dulu diri saya sebagai seorang perempuan, bukan laki-laki. Lalu orang akan bertanya, ikhlaskah saya bila suami yang saya cintai menikah dengan perempuan lain? Bila pun bibir saya terkunci rapat saat itu, hati saya akan menjerit dan menjawab, “tidak!” Siapa yang tega, orang yang dicintai, membagi kasih sayangnya kepada perempuan lain? Benarlah, bila jujur mengatakannya, tidak ada perempuan yang sudi dimadu!
Jadi, saya juga menolak poligami. Tetapi penolakan saya itu tidak di alam imajinasi dunia kepengarangan. Konflik apapun yang ditulis si pengarang di dalam karyanya menjadi sah dan cukup dinikmati saja oleh si pembacanya. Sebab pembacalah hakim bagi suatu karya (sastra). Bermanfaat tidaknya karya itu hak si pembaca menilai. Maka, bila sebuah karya sastra bermanfaat bagi banyak orang, waktu juga yang akan mengujinya. Buku itu akan terus mengalami cetak ulang, dibaca banyak orang, bahkan menjadi bahan diskusi di berbagai ruang pertemuan. Tetapi bila tidak bermanfaat, terbitnya buku itu adalah awal untuk matinya.
Mempersoalkan Judul HTDG
Mula membaca Novel HTDG ini, saya mengira ceritanya bertema poligami yang sudah umum diperbincangkan dalam novel-novel lainnya. Setelah saya teliti bab perbabnya, hingga semua kisahnya berakhir, ternyata bukan soal poligami. Sebab, tidak ada pernikahan di sana. Tokoh utama, Nadhifah, hingga akhir cerita, tetap dengan status kesendiriannya. Sementara, laki-laki masa lalunya, Ofik, yang meminta agar Nadhifah menikah dengannya, sebagaimana tiba-tiba datangnya, tiba-tiba pula perginya.
Begitupun, awal membaca judul novel ini, saya mengira ceritanya berlatar bumi Palestina, atau membahas persoalan derita rakyat Gaza yang dikemas kisah cinta antartokohnya. Tetapi nyatanya juga tidak. HTDG hanya satu judul bab di dalam novel ini. Derita rakyat Gaza digambarkan pengarangnya hanya dalam 22 paragraf, atau sekitar 5 halaman. Itupun hanya cerita dalam imajinasi Nadhifah, sebab Nadhifah tidak pernah berangkat ke Gaza. Inti keseluruhan ceritanya adalah tentang “kisah cinta segitiga”, antara Nadhifah dengan bekas kekasih lamanya, Ofik, dan Nindi, istri Ofik.
Pengarang novel ini, Sastri Bakry, berhasil menciptakan rasa penasaran pembacanya untuk terus mengikuti alur setiap bab hingga titik terakhir novel ini. Kalimat pembuka ceritanya pun mengejutkan dan mengundang rasa penasaran pembaca tentang apa yang akan terjadi pada bab-bab berikutnya. Simaklah bagaimana piawainya pengarang menulis kalimat pembuka novelnya:
“Aku ingin menikah denganmu,” katanya tanpa ragu. Terdengar berat suaranya. Wajahnya tegang. Ucapannya tak sedikit pun mengandung keraguan. Wajahnya selama ini kelihatan santai, tapi tidak untuk malam ini. Matanya yang bulat memandang tajam ke arah Nadhifah. Ujung jarinya menyentuh ujung jari Nadhifah…
Paragraf pembuka ini sangat menarik. Siapa pun yang membaca ingin tahu bagaimana cerita selanjutnya. Apa yang terjadi pada diri Nadhifah sesudah kata-kata itu diucapkan oleh seorang laki-laki yang pernah hadir di bilik hatinya, walau saat ia berjumpa itu, Ofik, lelaki itu, telah menjadi suami perempuan lain. Telah pula beranak cucu. Pembaca juga akan penasaran, akankah Ofik beristrikan Nadhifah yang sudah berkepala empat, tidak muda lagi, dan sejumlah keingintahuan lainnya. Walau sebenarnya tidak lumrah, sosok Nadhifah yang digambarkan pengarangnya seorang perempuan saleha, berjilbab, memakai gamis pula, bersentuhan tangan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Tetapi di titik ini pengarang seolah ingin mengatakan bahwa (maaf) tidak semua perempuan berjilbab itu yang dapat menjaga pakaian muslimahnya secara baik. Pakaian cenderung sebagai simbol, tidak selalu mewakili hati dan tubuh si pemakainya. Bahkan banyak orang yang menutupi keburukannya dengan pakaian yang dipakainya. Dan, realita di alam nyata juga sering kita saksikan dengan mata kepala fenomena demikian. Apa yang difiksikan Sastri Bakry di dalam novelnya itu, tentu saja menjadi i’tibar bagi pembaca. Inilah salah satu pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
Seperti yang sudah saya sebut di atas, di era emansipasi wanita sekarang ini, mustahil rasanya bila ada perempuan yang suka dimadu. Apalagi madunya itu adalah perempuan bekas pacar suaminya. Tetapi tidak halnya dengan Nindi, istri Ofik yang dinikahinya secara sah, malah menganjurkan suaminya untuk menikahi Nadhifah. Dalam beberapa bagian Nindi berperan meyakinkan hati Ofik untuk menemani Nadhifah ketika ia datang ke Jakarta—yang sekali lagi Nadhifah bukan muhrim Ofik.
Ini juga tidak lumrah. Sebab tidak disebut alasan kuat mengapa Nindi yang juga digambarkan pengarang sebagai sosok istri setia, perhatian kepada suami dan anak-anak, serta menutup auratnya, malah berperan tunggal mendorong Ofik menikahi Nadhifah. Sebagai seorang istri, tidak disebut pula apa kekurangan Nindi sehingga Ofik dapat beralasan menikah lagi (misal, Nindi tidak dapat memberikan anak kepada Ofik, berpenyakitan, atau telah sangat uzur sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri). Ofik pun digambarkan sebagai lelaki sempurna di dalam rumah tangga Nindi, seperti disebutkan dalam paragraf berikut:
“…. Ofik adalah lelaki yang penuh kasih sayang dan penuh perhatian sama istri dan anak-anak, kalau salah seorang dari kita ada yang sakit, biasanya Ofik lah yang paling sibuk mengurusi segala tetek bengeknya, mulai dari yang penting sampai gak terlalu penting. Mengingatkan minum obat; makan yang banyak…” (hal. 34)
Agaknya, hanya alasan Nindi punya “dosa masa lalu” terhadap laki-laki lain yang juga pacar masa remajanya saja sehingga suaminya, Ofik direlakan menikah dengan Nadhifah, bekas pacar Ofik itu. Sementara Ofik sendiri agaknya tidak punya alasan kuat untuk menikah lagi, kecuali, semata soal “nafsu” belaka hendak mendapatkan pacar lamanya kembali yang belum juga bersuami. Bayangkan, secara psikologis, seseorang yang pernah jatuh cinta di kala pertama mengenal seorang gadis, lalu berpisah sekian lama, tiba-tiba berjumpa di lain waktu, tentulah benih-benih kasih sayang itu akan membiak kembali. Begitulah yang terjadi antara Ofik dan Nadhifah.
Dalam membentuk tokoh, pengarang agaknya belum cukup kuat mencipta tokoh-tokoh yang berkarakter. Nadhifah, Ofik, Nindi, cenderung hadir dalam karakter yang dipaksakan. Nadhifah misalnya, tidak dijelaskan pengarang apa sebab pula ia belum juga berkeluarga hingga sampai di usia kepala empat. Nadhifah yang digambarkan sebagai wanita “sempurna” rasanya sangat mustahil bila tidak ada laki-laki yang meliriknya. Terasa kurang logis bila sampai usia yang tidak muda lagi itu Nadhifah harus bertemu kembali dengan bekas kekasihnya yang sudah berstatus “kakek”.
Ofik yang sangat “bernafsu’ hendak mendapatkan Nadhifah kembali, pun berupaya bermacam cara. Dalam salah satu dialog Ofik mengatakan:
“Kamu lihat rumput ini? Mungkin kamu anggap tak penting karena hanya akan diinjak-injak orang. Tapi rumput ini bisa menghidupi banyak makhluk di bumi.” (hal. 41)
“Kamu dan Nindi seperti rumput bagiku dan anak-anakku. Awalnya yang menyediakan rumput bagi kami hanya Nindi, bayangkan apabila ada tambahan rumput lain di rumah kami. Rumput yang subur. Tidakkah kebahagiaan itu akan bertambah? Kamu mengerti, kan?” (hal. 42)
Tentu saja tidak lumrah memberi perumpaan hadirnya Nadhifah dalam kehidupan Ofik seandainya mereka menikah diibaratkan adanya tambahan rumput segar di rumah Ofik. Dalam kalimat itu pengarang menyebut kata “kami” yang berarti jamak, tidak hanya buat Ofik, tapi juga buat istri, anak, dan cucu Ofik. Tapi di sini pula kepiawaian si pengarang meracik konflik batin antar tokoh ceritanya, sehingga pembaca benar-benar penasaran untuk terus membaca.
Sayangnya, akhir cerita HTDG ini tidak happy ending maupun tragedy ending. Terasa biasa saja. Nadhifah, yang sejak awal bab berperang batinnya antara menerima kehadiran Ofik kembali, di akhir cerita memutuskan untuk membiarkan Ofik pergi tanpa ada kata-kata perpisahan. Lihatlah di ujung bab terakhir ini:
“…Ofik semakin gencar mengajak Nadhifah, mendesak dan membujuk. Nadhifah berulang kali mengucapkan terima kasih dan menolak dengan halus. Mobil Ofik akhirnya bergerak menjauhi Nadhifah.” (hal. 199)
Saat ini ia telah ikhlas melepaskan Ofik dari gantungan hatinya. Hatinya tidak lagi sakit melihat kepergian Ofik. Tubuhnya juga terasa ringan. Ia mengalihkan pandangannya dari mobil Ofik ke ujung jembatan Banda Bekali… (hal. 199)
Tanpa happy ending maupun tragedy ending, di sini pengarang seolah ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa akhir cerita yang ditulisnya itu silakan pembaca yang menyimpulkan. Dan, itu saya nilai sebagai sikap bijak seorang pengarang dalam menutup cerita di dalam karyanya.
Pengarang yang Berbakat
Sebagai pengarang perempuan asal Ranah Minang, eksistensi kepengarangan Sastri Bakry telah menjawab persoalan langkanya penulis perempuan di daerah ini. Selama ini penulis laki-laki mendominasi di ranah kesusasteraan Sumatra Barat. Bukan sekarang saja, tetapi sudah sejak dahulunya. Maka, munculnya novel-novel buah pena Sastri Bakry, diantaranya Novel HTDG ini perlu mendapat apresiasi positif berbagai pihak.
Upaya Sastri Bakry menulis novel diharapkan mencipta aura positif bagi kalangan pembaca generasi muda bahwa menulis itu benar-benar gampang. Seorang Sastri Bakry yang sepengetahuan saya sosok “super sibuk” lantaran aktivitasnya sebagai Sekretaris Dewan di DPRD Kota Padang, juga bergiat di sejumlah organisasi, membuktikan bahwa sesibuk apapun rutinitas masih ada waktu untuk menulis. Siapa sangka, buah dari kesibukan itu melahirkan karya yang luar biasa ini, yang tentu saja cukup layak dibaca.
10 Juli 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar