Senin, 14 Mei 2012

Perburuan dan Kelincahan Metodis

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

Selalu tidak ada titik temu dalam polemik sastra. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat sastra yang menghendaki bahwa karya sastra adalah media komunikasi, sekaligus estetika. Di seberang sisi yang lain sangat berbeda. Karya sastra hendaknya dibebaskan dari beban-beban komunikatif tersebut. Karena itu, sastra adalah estetika. Sastra tiada lain hanyalah seni.

Golongan yang pertama, mewakili golongan modern yang mempertahankan nilai fungsional sastra. Sedangkan golongan yang kedua, adalah para sastrawan pascamodern yang menghendaki kebebasan penafsiran atas teks sastra, secara terus-menerus tanpa henti, sesuai dengan selera pembacanya.

Sekilas, golongan pertama adalah moralis. Sastra memang digunakan sebagai strategi moral dan kepentingan sosial. Hal ini dapat ditemui di mana saja, misalnya tatkala teks sastra, menuliskan penderitaan orang-orang kecil dan tertindas, pemihakan sosial, kritik sosial, ungkapan religius kebudayaan tertentu dan lain sebagainya.

Pada golongan pascamodern, awalnya ingin memberikan kritik yang konstruktif bagi pemikiran modern. Jika sastra itu fungsional dan komunikatif, memang menjadi hal yang menggembirakan saat sastra digunakan sebagai alat untuk ibadah atau berbuat baik. Dari sini, tentu saja ada celah-celah yang mudah dibelokkan. Sastra bisa jadi, dimanfaatkan untuk hal-hal yang kurang baik, tercela dan merugikan orang lain.

Sastra yang bermanfaat ini, baik itu manfaat yang benar maupun sebaliknya, selalu bermakna atas apa yang dikehendaki penciptanya. Di samping itu, bermakna pula atas keinginan pembacanya. Bagi pembaca, jelas, adalah mereka yang punya kepentingan yang sama dengan penciptanya. Secara lebih sederhana, sastra modern, adalah untuk kepentingan moral tertentu. Makna, selalu mengikuti tuan pengendali kepentingan.

Dengan bahasa yang lugas, sastra modern disebut pula sastra moral atau sastra kepentingan. Lazim diketahui bahwa, setiap moral atau kepentingan adalah kekuasaan yang dijalankan untuk tujuan tertentu. Di sinilah pemikir pascamodern memberikan kritik atas kekuasaan, agar setiap kuasa tertentu, tidak terlampau berlebihan dalam melampiaskan hasratnya.

Dalam memberikan kritik, sastrawan pascamodern tentu saja tidak menggunakan metode yang sama seperti yang dijalankan sastrawan modern. Dialektika modern atau saling beradu argumen dan bertukar pikiran atas makna-makna, sangat beresiko pada debat kusir yang tidak berujung. Tetapi yang paling penting, mengikuti arus jalannya sastra modern, maka akan selalu tidak mandiri dan tidak pula dapat lepas dari tuntunan moral yang agung.

Jalan alternatif yang ditempuh adalah keluar dari dialektika modern dan beralih pada metode yang sama sekali berbeda. Barangkali, secara lebih terus terang, bahwa jalan yang ditempuh adalah bukan jalan dalam kungkungan moral. Dengan kata lain, bukanlah jalan yang didikte oleh kekuasaan.

Metode pascamodern menghendaki bahwa sastra hendaknya terlepas dari beban-beban komunikatif dan fungsional. Kebebasan itu berarti adalah kemandirian teks sastra. Konsekuensinya, bisa saja bahwa teks itu bukanlah bahasa formal maupun informal dalam komunikasi massa, tetapi hanyalah tenunan huruf. Beruntung pula tenunan itu dapat dibunyikan secara oral, jika terajut huruf-huruf vokal. Di sini, justru makna sangatlah penting. Makna akan berdiri bebas, mengikuti kehendak-kehendak pembaca, tanpa melulu didikte oleh kuasa apapun.

Secara umum, pemikiran pascamodern, menolak setiap kekuasaan mutlak. Tentu bukanlah hal yang sungguh-sungguh mutlak di dalam dirinya sendiri. Misalnya saja Tuhan. Tuhan berbeda dengan sesuatu tentang Tuhan: ketuhanan. Maka, kebenaran mutlak, yang hendak ditantang dan diserang pemikiran pascamodern, bukanlah yang benar-benar mutlak. Namun, nampak mutlak. Manusialah yang bisa menentukan adanya yang “nampak” mutlak, kendati dengan istilah benar-benar mutlak.

Demikianlah, yang ditentang oleh pemikiran pascamodern adalah kebenaran yang “seolah” tunggal, yang seringkali ditampilkan oleh pemikiran modern. Sesungguhnya sekali lagi, bukan ketunggalan itu yang coba dipersoalkan. Namun, arogansi manusia-manusia yang merasa dirinya sendirilah yang paling benar. Kebenaran dalam hal ini, bisa berarti makna, pikiran, rasionalitas, moral, pengetahuan dan segala dimensi etis.

Kebebasan dan ketiadaan moral yang dimiliki manusia pascamodern, bukanlah berarti bahwa manusia kehilangan pijakan. Tidak demikian. Pijakan tetaplah ada, kebaikan tetaplah diapresiasi dan kebenaran tetaplah diinginkan. Kendati demikian, semua itu tidak tunggal ataupun selesai, final. Tetapi, terus-menerus memperbaharui segala maknanya, tanpa batas dan akhir, sepanjang manusia itu hidup.

Terlalu beresiko, menyebutnya “ketidakmungkinan” maupun kebalikannya, “keabadian”. Ketidakmungkinan dan keabadian adalah masa yang belum tertempuh. Manusia yang hidup sekarang, kekinian dan kedisinian, hanyalah mengangankan, mengimajinasikan, berkarya akan masa depan tersebut. Dari sini, teranglah bahwa, ketidakmungkinan, kekosongan dan makna yang tidak pernah selesai, sesungguhnya adalah apa yang belum dijumpai.

Menyoal hal ini melalui cara pandang filsafat, akan ditemui istilah relativisme, bahkan nihilisme. Relativisme atau makna bagi setiap pembaca adalah relatif, bisa dimengerti dengan mudah. Namun, kerelativan itu sendiri, tidak seliar yang dibayangkan. Betapapun manusia itu memaklumi relativitas pemaknaan, tatkala memberi makna atas teks sastra, maka berhentilah pembaca atau penikmat sastra dalam “satu” persinggahan kekinian. Begitu juga dengan nihilisme, ketidakadaan kebenaran, hanyalah ilusi. Sejajar dengan persoalan kebenaran tunggal itu sendiri. Klaim nihilisme dan kebenaran tunggal, adalah dua hal yang berada di luar pemikiran kekinian. Termasuk pula, jika saat ini seorang pembaca sastra mengimani nihilisme, maka sesungguhnya itulah suatu terjemah akan karya sastra, suatu iman nihilisme sebagai kebenaran tunggal saat itu juga, kekinian.

Namun, kalaupun relativisme dan nihilisme itu ada, atau sederajat dengan kebenaran tunggal yang sejati itu ada, tidaklah bisa manusia berkomentar atau memberi catatan kritis atasnya, terlebih mengkomunikasikannya.

Mengatakan kebenaran itu tidak ada (nihilisme), berarti telah mengatakan satu kebenaran. Begitu pula, mengatakan bahwa sesuatu itu benar sejati, maka hilanglah kesejatiannya karena sifat manusia yang alpa. Tidak jauh berbeda, bahkan lebih ironis jika mengkomunikasikan keduanya, berarti telah memanfaatkan untuk kepentingan atau moralitasnya.

Pemikiran sastra pascamodern, khususnya yang menghendaki kebebasan mutlak atas makna dan mengkritik dimensi fungsional-komunikatif dari teks sastra, “seperti” memiliki sayap yang ingin terbang bebas dengan sejati. Hal itu, tidak sepenuhnya benar. Realitasnya, mereka hanya memiliki kelincahan metodis dan kecerdikan dalam berpolemik pemikiran sastra.

Kelincahan metodis adalah persoalan mudah. Jelas, dengan kehendak untuk menetralisir segala petunjuk moral sebagai perwujudan kuasa dalam proses pemaknaan teks sastra, akan mempersilahkan setiap pembaca untuk melewati tahapan berikutnya, yaitu tafsir yang dikehendaki atau yang disukai, “secara bebas”. Kembalilah tahapan pascamodern, pada pemaknaan yang serupa pada metode sastra modern. Kendati demikian, hal ini tetaplah berbeda satu sama lain. Metode sastra modern terlihat mantap dengan keyakinan, sedang pascamodern, tidak terlalu penting menyoal keyakinan, yang terpenting adalah kebebasan pemaknaan.

Memberikan kritik pada pemikiran pascamodern, bisa saja dengan pemikiran modern, maupun dengan kelincahan metodis yang serupa. Bagi kritik yang pertama, berarti memberikan kritik dengan moral-moral atau dengan kekuasaan kehendak pengkritik. Memburu celah-celah pemikiran pascamodern yang cela dengan metode pascamodern, punya geliat yang sama dengan kehendak modern, kendati perbedaannya bahwa hal ini lebih pada kegiatan menafsirkan ulang tanpa selesai dan selalu menggapai makna kebaruan.

Apapun itu, segala yang tergolong sebagai pembacaan ulang, kritik atau penafsiran tertentu, adalah operasi penindakan terhadap obyek tertentu. Singkat kata, kritik seutuhnya adalah modus operandi penguasaan. Kritik adalah perburuan.

Sebagai perburuan, entah apa yang diburu, baik pemikiran modern maupun pascamodern, baik menggunakan senjata tradisional maupun dengan yang lebih canggih, senantiasa menginginkan agar hasrat berburunya terpenuhi.

Cara berburu ini akan lebih kentara di permukaan, jika menunjukkan bahwa obyek buruannya memiliki kekuasaan, kehendak, niat, hasrat tertentu, maka setiap pemburu punya hal yang serupa untuk menyerang binatang buruannya (teks sastra). Persoalan perburuan, adalah persoalan pertarungan, tarik-menarik kehendak dan dalam bahasa yang lebih terus terang adalah kompetisi, kontestasi, rivalitas dan lain sebagainya. Tapi tetap, dalam bahasa sastra sehari-hari, perburuan atau kritik, adalah suatu upaya penafsiran.

Berikut ini, akan dijelaskan soal polemik sastra yang ada di Indonesia. Secara spesifik bahwa, yang hendak dikritik adalah pemikiran pascamodern, yang diwakili oleh Sutardji Calzoum Bachri (Sastrawan Indonesia) yang didukung oleh Ignas Kleden (Kritikus Sastra), khususnya dalam esai yang berjudul, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007). Pemikiran yang punya kelincahan metodis ini, hendak diburu oleh penafsir lainnya, yang juga memiliki kehendak pemaknaan terhadap sastra, khususnya oleh Nurel Javissyarqi, sastrawan dan kritikus yang bergaya Surealis dan eksentris.

Perburuan Nurel ini, telah ditulis secara sistematis di dalam esai bersambungnya yang berjudul “Membaca ‘Kedangkalan’ Logika Dr. Ignas Kleden?”. Pada bagian pertama dan kedua esainya, akan diuraikan dalam diskusi berikut ini.

***
Segala sastra adalah metafora. Berarti, setiap pencipta seni, akan melepaskan karyanya untuk hidup sendiri secara mandiri. Dengan kata lain, seperti melepaskan burung dan membiarkannya hinggap dengan sesuka hatinya.

Sastra, barangkali akan sangat mudah dipahami orang, pembaca atau penikmatnya. Namun adakalanya sebaliknya. Sastra, menuruti sifatnya untuk menyembunyikan makna, sehingga sangat sulit dan beragam pemaknaan atasnya.

Seorang sastrawan terkemuka, Sutardji Calzoum Bachri misalnya, memiliki ciri khas tatkala menuliskan puisi-puisinya. Kadangkala bagian awalnya hanya berupa tenunan huruf-huruf yang tidak selesai sehingga layak dimengerti sebagai kata. Rasa-rasanya sepintas, kalau dibacakan seperti membunyikan sesuatu. Mungkin tidak bermakna atau sulit sekali menemukan maknanya secara sederhana, tetapi berasa sesuatu, yang mana dapat dinikmati baik oleh pelantun maupun pendengarnya, sesuai dengan selera masing-masing.

Itulah, tidak heran jika Sutardji dalam bukunya yang berjudul Isyarat (2007: 10), menjelaskan bahwa puisinya adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan serta kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata. Dengan kekhasan ini, masyhur ciptaannya menyandang gelar “mantra”.

Dalam bidang studi antropologi, “mantra” itu sangatlah unik dan fungsional. Orang membaca mantra, biasanya punya kehendak agar orang lain mengikuti kehendaknya tersebut, hanya dengan mendengarkan lantunan-lantunan yang menuntun batin. Entah energi, entah keajaiban, yang jelas, tanpa penjelasan secara rasional, mantra seringkali bekerja secara ampuh, menuruti kehendak tuannya. Mantra di sini, sejenis kata-kata, namun bukan bahasa, karena tidak memiliki makna yang lazim dipahami secara komunikatif. Itulah keunikan mantra.

Tentu saja berbeda, antara mantra sebagai tradisi masyarakat adat, dengan mantra dalam khazanah sastra, khususnya mantra Sutardji. Kendatipun memiliki kesamaan, baik itu dalam dimensi kesakralan, religiusitas, magis, mistis dan estetika, dari segi kelahirannya, kedua jenis mantra tersebut memiliki ibu, rahim, ruang, waktu dan falsafah yang berbeda.

Para penikmat sastra, bisa saja larut dalam keheningan dan terbawa dalam suasana ruhaniah, tatkala puisi mantra Sutardji dibacakan. Namun hal ini, tidak berlaku bagi masing-masing masyarakat adat yang memiliki tradisi mantra, bahkan kelahiran tradisi tersebut jauh sebelum zaman-zaman perkembangan sastra Indonesia menjadi marak.

Seorang gadis adat Osing dari Banyuwangi, akan jatuh cinta secara tergila-gila, karena batinnya telah tertuntun oleh mantra pengasihan Jaran Goyang, yang dibacakan oleh seorang pria yang menginginkannya. Gejala-gejala magis dari mantra Osing, sangat berbeda dengan mantra Sutardji yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat berpendidikan.

Namun, ada sisi menarik dalam mantra Sutardji. Jika padamulanya bahasa, selalu berfungsi sebagai alat komunikasi, kini tidak lagi demikian. Karena, seperti dijelaskan sebelumnya, kata, tidak selalu sebagai bahasa. Kata yang bukan bahasa.

Kata itulah burung yang terbang bebas. Sedangkan puisi, lebih luas lagi dari itu. Bagaikan langit, puisi menjadi ruang bagi burung-burung yang terbang tinggi, menari dan pergi sekehendak hati.

Dari sini jelaslah bahwa, puisi atau teks sastra bagi Sutardji, karena bukan dalam kategori bahasa, bukan berarti tidak bisa dikomunikasikan. Namun, cara komunikasi, baik itu makna maupun bunyinya, diberikan seutuhnya bagi pembaca secara bebas, tanpa batas secara terus-menerus.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) membenarkan pendapat ini. Ia mengungkapkan bahwa, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

“Puisi sebagai alibi kata-kata” itulah kata yang paling pas untuk membayangkan teks sastra gaya Sutardji. Dengan puisi, pembaca bisa lari dari makna yang hendak dipatenkan, sekehendaknya. Dengan puisi, yang paling pasti adalah ketidakpastian yang liar. Inilah yang dimaksud dengan kelincahan metodis. Selalu menemukan jalan untuk kabur dan pergi ke sana ke mari sesuka hati. Sebenarnya, inilah deklarasi kebebasan Sutardji. Semacam kredo yang sedang dirayakan.

Dalam kesempatan lain, Sutardji menyampaikan bahwa, “Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”

Sekali waktu, Ignas Kleden dalam Pidato Kebudayaan Pekan Presiden Penyair (19 Juli 2007) sangat berharap agar kredo Sutardji tersebut akan diwujudkan.

Dari sini, mulailah pelbagai kritik dilancarkan oleh Nurel. Bukan pada Sutardji, namun pada penafsirnya, yaitu Ignas Kleden. Jelas dalam uraian esainya, baik itu bagian pertama maupun kedua, belumlah secara terus terang memberi kritik pada teks sastra Sutardji. Kritikus surealis ini hanya menjelaskan bahwa, logika yang dipakai Ignas Kleden untuk menjelaskan kelincahan metodis Sutardji, belumlah tepat.

Misalnya dalam dukungan Kleden akan Sutardji, diungkapkan bahwa kelincahan metodis, serupa dengan penerobosan makna, jenis, bentuk kata dan tata bahasa. Hal itu dinilai sebagai dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, karena memberi peluang bagi pelbagai gaya baru yang lebih otentik melalui karya sastra. Jadi di sini, bukan sekedar teks sastra yang mengalami pembebasan, namun juga metodologi dan filsafat sebagai dasar pijaknya.

Dalam memberikan kritik, Nurel mendiagnosa bahwa Kleden menafsirkan kata “pembebasan” dengan “penerobosan”. Pilihan kata “menerobos” sangat beresiko untuk mendapati arti yang dirasa tepat dengan maksud kelincahan metodis Sutardjian. Menerobos barangkali, lebih tendensius dan memanggul cita rasa resentimen terhadap lawan. Sedangkan pembebasan tentu saja, kendatipun berkehendak untuk melawan, kata ini mengandung unsur moral kebaikan.

Menurut Nurel, menerjemahkan kata “membebaskan” dengan “menerobos” berarti membelokkan maknanya. Jelas sah, bagi seorang penafsir, siapapun, untuk menafsirkan suatu kata tertentu. Tapi satu penafsiran, jika ditafsir ulang, maka tidak akan luput dari kritik.

Kalau konsekuen dengan kebebasan dan pembebasan penafsiran, maka dekonstruksi Sutardjian oleh Kleden, akan lebih mengarah kepada upaya yang destruktif, sekedar merusak atau menghancurkan, tanpa menata kembali. Namun, sebagai suatu jalinan kata yang utuh (kalimat), Kleden bisa saja membela bahwa, maksud dari menerobos telah dijelaskan oleh kata berikutnya, yaitu untuk, “...melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.”

Dalam esainya, Nurel mencoba menjelaskan, “Kata ‘menerobos’ yang diulang-ulang, tak lebih bentuk usaha keras IK dalam mengaburkan pemahaman, membuat buyar pelahan-lahan atas tatanan konsep SCB, disesuaikan pola IK dalam pijakannya berfikir kali itu, dan upaya menekankan, meyakinkan pembaca bahwa kata ‘(mem)bebaskan’ sama dengan ‘menerobos’. Ini awal pembelokan manis teruntuk pembaca sastra yang sungguh menghipnosis, kalau yang bilang bukan IK, tentu ada tuntutan, tetapi karena yang berkata-kata Dr. Ignas Kleden, siapa berani?”

Di sinilah yang dimaksud dengan penafsiran ulang atas tafsir tertentu. Padamulanya, Kleden mentransformasi kata “membebaskan” menjadi “menerobos”. Ini adalah tenunan baru dari sebelas tenunan huruf-huruf m-e-m-b-e-b-a-s-k-an menjadi sembilan tenunan huruf-huruf: m-e-n-e-r-o-b-o-s. Lalu prosesnya, Nurel mengudarnya menjadi banyak tenunan huruf, dan jalinan kata yang lain pula. Misalnya, “’Menerobos’, masihlah fokus dengan jalan pintas seperti sorot cahaya, sedangkan kata ‘(mem)bebas(kan)’ bermakna membuyarkannya.

Makna menerobos menurut Nurel, seperti halnya makna tunggal tertentu yang secara spesifik, memiliki kebenaran yang erat dengan penulisnya. Sangat berbeda dengan kata membebaskan, yang bermakna “membuyarkan” sesuatu. Kata membuyarkan, jika dikehendaki, bermakna pula sebagai diseminasi atau penyebaran teks, dengan demikian, juga penyebaran jaringan jejak teks (gramma) ke teks yang baru, yang tidak tunggal, namun berlaku “bebas” sesuai kehendak penafsir.

Dalam persoalan ini, penulis memaklumi penjelasan Kleden soal “menerobos” dan tafsiran Nurel soal “keberatan terhadap kata menerobos”. Menurut kacamata sastra pascamodern, terjadi dialektika intertekstualitas. Tapi secara jujur, pastilah itu semua adalah tarik-menarik kehendak antara Kleden yang selesai menuliskan karyanya, lalu diburu untuk dikritik oleh Nurel yang kurang sependapat dengannya. Dengan demikian, bukan melulu intertekstual, tetapi intersubyektif. Apalagi jelas-jelas dalam komentar Nurel disebutkan bahwa, “Siapa berani?”

Hal ini tidak selesai. Seperti dijelaskan di muka, aktivitas tafsir-menafsir, tidak akan pernah selesai. Selalu menemui makna baru yang dikehendaki secara terus-menerus. Reproduksi teks dalam ketidakpastian yang paling pasti.

Mungkin kata “kebebasan” sangat cocok untuk diselidiki lebih jauh. Pertimbangannya adalah karena polivokalitas yang dimiliki, juga sifat interpretatif dari pembacaan terhadapnya. Nurel mengungkapkan bahwa, “Kelicinan IK tidak menampakkan kata ‘kredo’ pada paragraf awalnya, padahal secara ruhaniah makna merujuk padanya, yang terbukti munculnya kalimat ‘memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi’.”

Seluruhnya adalah teks. Bagi penulis, untuk menunjukkan tafsir baru, berarti mereproduksi teks. Namun mengurai metode, berarti menunjukkan bagaimana cara kerja filsafat penulisan teks berlaku. Di sini, Sutardjian menghendaki pembebasan makna. Demikian pula dengan kedua kritikus, baik itu Kleden maupun Nurel. Kemungkinan bagi konstruksi baru adalah teks baru yang berasal dari reproduksi. Begitu pula dengan catatan Nurel, bahwa tantangan kritis terhadap Kleden adalah teks baru yang juga dari hasil reproduksi. Tentu saja, dapat disimpulkan bahwa inti dari kebebasan adalah reproduksi teks yang sekali lagi, terus-menerus dan tidak selesai.

Misalnya saja, Kleden menyatakan, “...dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik...” Tentu saja jika dekonstruksi berlaku, maka barangkali kungkungan gramatika bahasa Indonesia yang menjerat akan terbebaskan dan teks otentik baru akan tercipta. Namun, bagi dunia pascamodern, bukankah hal ini adalah biasa saja? Apa yang hendak didekonstruksi? Tidak ada. Sekiranya mendekonstruksi jejaring teks, maka jejaring baru adalah pengulangan yang lama. Seandainya makna yang didekonstruksi, maka makna barulah yang akan menggantikan kekuasaan makna lama.

Sama halnya dengan Nurel, apa yang hendak dikritik? Makna? Jejaring teks? Kekuasaan Sutardji? Kebesaran citra Kleden? Bukankah itu hal yang biasa? Demikianlah, perburuan-perburuan serupa dialektika modern atau pascamodern yang tidak terlalu rumit, bahkan biasa saja. Teks hanyalah teks. Subyek adalah subyek. Dialektika kehendak, sebenarnya tidak pernah ada. Kehendak untuk saling berkuasalah yang sedang beroperasi. Hubungan antar kehendak, dalam jejaring interpretasi, lazim disebut dengan intersubyektivitas.

Mana yang lebih baik dalam berkomentar atau upaya kritisisme, bukanlah hal yang penting. Bahkan benar dan salah adalah hal yang sepele saja. Ini juga teks.

7 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez