Mahwi Air Tawar
http://cerpenkompas.wordpress.com/
1/
Ia bergegas. Tangan kirinya menyingkap ujung sarungnya hingga beberapa inci dari mata kaki. Layaknya seorang penari memainkan satu komposisi. Berlenggak. Pinggulnya bergoyang ke kanan ke kiri, melangkah pasti sambil menjejaki jalan setapak perkampungan. Sementara lentik jemari tangan kanannya mengapit sisi bundelan kain agar tak tergelincir dari kepalanya.
”Tukang bendring datang….”
Begitulah dulu. Kami. Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami meninggalkan permainan. Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia akan menoleh. Kadang kala, kami membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah baju baru. Tak jarang, ketika berpapasan, di antara kami berdesakan membisikinya, agar ia mau membujuk ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti biasa, ia hanya mengangguk disertai sungging senyum penuh harap. Ketika itulah, kami langsung menggiringnya masuk ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering ibu kami menyambutnya dengan wajah cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu takut. Bahkan, untuk menyambut.
Tukang bendring itu mendatangi kampung kami ketika pagi menjelang siang, saat bapak-bapak kami sedang berada di tegalan. Dan ia, bagi kami serupa seorang istimewa, yang selalu kami tunggu kehadirannya. Tetapi, sekali lagi, tidak bagi ibuku.
Ya. Bagi ibuku, ia tak lebih dari sesosok hantu, yang selalu membuat ibuku ketakutan setiap mendengar suara sumbangnya melengking parau dari balik pintu. Entah, setiap kali ia datang, senantiasa menjadi ancaman bagi ibuku. Barangkali, karena utang ibu belum lunas hingga membuat ibu waswas. Atau ibu khawatir keinginan untuk berutang baju baru lagi tak terkendali.
Untuk menghindari kedatangan, dan teriakannya yang sumbang itu. Banyak cara ibu lakukan. Kadang, ibu segera mengunci pintu halaman dari luar hingga ia mengira, ibu sedang bepergian. Kadang, ibu segera mengemasi baju-baju basah dari atas jemuran, serta sandal hingga suasana rumah terkesan sudah lama ditinggal bepergian oleh penghuninya. Kadang juga, ibu menandai bayangan tubuhnya saat berjalan menuju rumah kami. Biasanya, bentuk bayangannya lebih panjang. Dan yang khas, kalau bayangan itu adalah bayangan tukang bendring, adalah dari bentuk bayangan kepalanya yang lebih panjang dan lebar.
Semua itu ibu lakukan karena semata-mata ibu malu lantaran tak bisa menepati janji untuk membayar utang. Pernah juga, pada suatu ketika, saat tiba pada waktu tagihan, dan ibu tak ada cara lain untuk menghindarinya ke rumah. Pagi-pagi, ketika dari jauh terdengar lengking anak-anak meneriaki tukang bendring, tanpa ragu-ragu ibu keluar, dan aku mengira, ibu mau menghindar, namun ternyata tidak. Di depan pintu ibu berdiri dengan gelisah.
”Ibu mau ke mana?” tanyaku.
”Menunggu tukang bendring,” jawabnya tegas.
”Ibu punya uang?”
”Tidak.”
Aneh, bisikku. Bukannya selama ini ibu selalu menghindar? Dan ketika perempuan tukang bendring itu sampai di pertigaan jalan kampung, wajah ibu tiba-tiba pias dan tampak murung. Mungkin ia segera bergegas pulang. Tetapi tidak, ibu tetap berdiri di situ, dan ketika perempuan tukang bendring itu mulai mendekat, persis di pertigaan, perempuan itu berbelok ke arah kiri, seketika ibu merasa lega, sontak mengajakku masuk.
Namun tak lama berselang, tiba-tiba dari luar halaman terdengar suara sumbang seseorang. Pada mulanya suara itu samar-samar, tetapi setelah beberapa saat suara itu kian lantang. Dengan muka pucat dan gemetar, ibu mengintip dari sela lubang pintu. Di luar, tampak seseorang mondar-mandir.
”Ju, utangmu!”
”Sialan,” umpat ibu.
Selarik cahaya tipis menyelinap masuk lewat celah-celah jendela.
”Kenapa, Bu?”
”Baju lebaranmu belum lunas.”
”Ju, buka pintu,” teriaknya lagi.
Ketika ia sudah berteriak-teriak, biasanya ibu tak bisa mengelak. Khawatir kalau-kalau para tetangga lainnya keluar, lalu mendatangi rumah kami, dan mencibir. Untuk menghindari semua itu, dengan malu-malu ibu terpaksa membukakan pintu. Dan ia, dengan galak, membentak. Melampiaskan kekecewaannya, yang barangkali sudah memuncak. Sementara ibu, hanya mengangguk.
2/
Dan kini, sebagaimana dulu, tukang bendring itu terus bergegas, menapaki jalan setapak. Kemudian masuk ke sebuah gang sebelum akhirnya dengan ragu memasuki pekarangan rumah seseorang. Sekilas sungging senyum terkembang.
Di halaman, orang-orang berkerumun. Mungkin sedang bergunjing. Sementara di tempat yang lain, di beranda, beberapa perempuan duduk memanjang saling menisik rambut. Dan ia? Perempuan dengan bundelan sarung di kepalanya tanpa ragu-ragu segera masuk.
”Baju baru…,” teriaknya, menawarkan barang dagangannya. Sontak perempuan-perempuan itu menyambutnya.
”Harga?”
”Dijamin.”
Mata perempuan yang berkerumun terbelalak saat melihat aneka ragam baju baru tergelar di depannya. Menggoda mata untuk segera memiliki. Tak penting, alasan tak ada uang. Toh, perempuan yang kini menyajikan baju-baju baru itu dengan gayanya yang khas memberi mereka kelonggaran, bayaran bisa dicicil seminggu sekali. Meski tak pasti.
”Murah.” Intonasi suaranya ditekan. Adalah Lastri, salah satu di antara para perempuan itu, segera mengambil satu baju berwarna hijau. Sebelumnya, Lastri melirik kepada para ibu, seakan minta pendapat perihal baju yang dipegangnya hingga membuat mereka heran. Bagaimana mungkin. Bukannya diam-diam belakangan Lastri juga menjadi tukang bendring, pedagang baju keliling?
”Las, bukannya….”
”Ini, Bu. Harganya?” Lastri memotong. Barangkali Lastri cari perbandingan harga.
”Itu baju sudah ada yang pesan.” Sepasang matanya kembali menatap catatan-catatan tagihan yang belum lunas. Mengerut dan berucap sinis, Lastri belum melunasi utang-utang baju sebelumnya. Orang-orang melirik tak senang.
”Sudahlah. Sesama pedagang, berapa harga baju ini?” ketus Lastri. Perempuan itu tak menjawab. Ia tahu, Lastri memang belakangan menjadi tukang bendring, meski tidak di kampungnya sendiri. Bahkan, tak jarang ia mendapatkan laporan bahwa diam-diam Lastri tak keberatan jika ada seorang lelaki ingin membayar tubuhnya daripada baju dagangannya.
3/
”Ini hanya cerita,” bisik ibu, sambil mengintip mereka dari balik jendela. ”Lastri, dan tukang bendring yang sudah renta itu. Kamu masih ingat namanya, Nak?” tanya Ibu.
”Markoya,” jawabku.
”Ya, Markoya.”
Ia, tukang bendring itu, Markoya, namanya. Sebagaimana juga dulu, ketika kami masih asik bermain di belakang rumahnya hingga sore menjelang malam. Kami sambil menunggunya datang. Tentu, yang tak dapat kulupa sampai sekarang, sejak dua puluh dua tahun silam—aku meninggalkan kampung halaman. Sepulang dari berkeliling sebagai pedagang baju bendring, ia suka membawakan kami oleh-oleh jajanan pasar, kemudian dibagi-bagikan secara rata, sebelum akhirnya menyuruh kami pulang, agar tidak telat pergi mengaji.
”Besok lagi mainnya. Sebentar lagi petang,” begitu katanya. Ah, alangkah bijaknya perempuan itu.
***
Dan kini, bersama ibu, aku hanya mengintipnya dari balik jendela. Ia tampak tergesa-gesa. Melewati jalan setapak yang teramat terik. Sesekali ia menoleh. Barangkali kesal dengan sikap Lastri, yang sudah berjanji akan melunasi utang bendring. Atau dengan ibuku?
”Tak sembarang orang sekarang boleh mengambil barang dagangannya.”
”Termasuk Lastri?” Kusingkap jendela, perempuan tukang bendring itu sudah mulai menjauh. ”Kenapa dengan Lastri, Bu?”
”Senok.” Astaga, desisku tak percaya dengan ucapan ibu tentang Lastri. Tidak percaya di kampungku yang sekecil ini ada seorang senok, pelacur. Entah sejak kapan. Tiba-tiba tanpa ditanya ibu menambahkan.
”Sudah lama ia berpisah dengan Madrihmah. Lalu, ia menjadi tukang bendring, tapi tidak di sini.”
”Lantaran?”
”Senok!”
”Dan Markoya itu tak mau ngasih utang kepada senok?”
”Mungkin ia takut, bajunya dipakai ngelonte.”
Ya, rasanya sulit dipercaya kabar, yang baru saja kudengar dari ibuku itu. Bagaimana mungkin, dalam tempurung kampung sekecil ini hidup seorang senok, dan itu Lastri, teman sepermainanku dulu. Bukannya ia juga pedagang baju?
***
Sudah setengah hari Markoya berkeliling. Melewati jalan setapak perkampungan, yang kondisi tanahnya kelewat gersang. Lelehan keringat tak membuatnya merasa gerah, namun sebaliknya, ia umpamakan lelehan keringat itu sebagai air peneduh setelah berjam-jam berkeliling dari kampung ke kampung. Berkunjung dari rumah ke rumah.
Sebagai tukang bendring, meski kadang hasilnya tak sebanding. Tak membuatnya putus asa. Menyerah. Bertemu banyak orang jauh lebih penting, begitu ia menjawab setiap pertanyaan orang tentang pekerjaannya.
”Dagang hanya sampingan,” ujarnya sambil mengikat antara ujung kain.
Hari sudah menjelang sore. Tentu, masih banyak orang mesti ia temui. Banyak rumah mesti ia kunjungi. Ke Brudin, salah satunya, yang tempo hari memesan kain kafan. Kasihan, desisnya, sambil memelankan langkahnya. Setelah melewati perbatasan kampung. Kini, ia tiba di sebuah pekarangan rumah Lastri. Ia pun tak heran ketika di beranda tak terlihat seseorang. Bukannya ini hari sudah sore?
Maka, sebagaimana sering Markoya lakukan setiap memasuki rumah seseorang, ia berucap salam, lalu tanpa menunggu jawaban ia bergegas masuk, dan menuju langgar yang terletak di ujung barat, samping rumah utama.
Markoya duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga. Tak lama berselang, Lastri dengan tubuh hanya dibaluti sarung hingga setinggi dada. Tampak pada lekuk-lekuk tubuhnya pasir putih masih melekat, begitu saja datang menyamperi Markoya. Dan Markoya, dengan berat hati menyambutnya dengan senyum. Satu hal yang tak boleh dilupakan oleh seorang pedagang.
”Baju baru?” tanyanya.
”Beberapa.” Lastri mengambil salah satu baju, bermotif batik.
”Utangmu belum lunas.” Markoya membuka buku catatan.
”Minggu depan,” ujarnya, kemudian masuk, dan tak lama berselang Lastri muncul dengan membawa secangkir kopi. ”Minum dulu.” Markoya tersenyum simpul. ”Sudah ketemu Ke Brudin?” Markoya menyeduh kopi hangat. ”Tadi Ke Brudin pesan, kalau sampean datang suruh ke sana.”
”Guru mengaji itu?” tanya Markoya.
”Ya. Beliau ingin pesan baju baru untuk dipakai hari Jumat. Kasihan, bajunya cuma satu.”
”Ke Brudin juga pesan kain kafan,” desisnya lirih.
”Dengan apa ia akan membayar?”
”Dengan doa.”
”Ngawur. Doa tak membuat orang kenyang.”
”Buktinya, Ke Brudin sampai sekarang masih segar bugar.” Seketika Markoya tercengang. Diam-diam ia membenarkan pernyataan Lastri, meski ucapan itu terasa janggal. Dalam bimbang ia terusik. Bagaimana mungkin, bisiknya.
”Kenapa?”
”Ke Brudin…,” desisnya.
”Sudah tua. Tak mungkin gitu-gituan.”
”Maksudmu, Las?”
”Ngamar,” selorohnya.
”Mulutmu.”
”Lalu?”
”Kain kafan,” suara Markoya, serak dan serasa berat.
Sore hari di halaman. Pasir-pasir berhamburan. Pelepah nyiur dan janur seperti malas berayun. Selarik cahaya senja membentuk garis tipis masuk lewat celah-celah bilik langgar tempat ia duduk bersandar pada tiangnya, yang miring. Sesekali cahaya senja bergetar samar, sesamar gerakan kedipan matanya. Dan tak lama berselang, sebuah bisikan tanpa ia jelang datang, menggiringnya pada sesosok lelaki tua renta. Ke Brudin, desisnya. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk anak-anak, mengajari mengaji, ilmu dunia dan akhirat, suara Markoya lirih. Mungkin tak lama lagi ajal juga menjemputku.
”Ah, sudah lama, saya tak membawakan anak-anak oleh-oleh. Mereka belajar mengaji kepada Ke Brudin.”
”Betul,” spontan Lastri menyahut.
”Saya harus segera ke sana,” lekas mengikat ujung kain sarungnya. Dan segera bergegas. Tapi sesaat ia kembali dan bertanya.
”Baju koko?”
”Baju koko untuk shalat,” Lastri menahan tawa.
”Ya. Saya segera ke sana. Utangmu minggu depan.” Dan Lastri. Entah, seperti mukjizat lain muncul mengusik. Selepas Markoya, tukang bendring itu menghilang di pekarangan, tiba-tiba Lastri merasakan sesuatu yang aneh, dan teringat, pernah menjanjikan Ke Bruddin kain kafan.
Yogyakarta,
Desember 2008-2011
Dijumput dari: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/12/04/sehelai-kain-kafan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar