Walid Syaikhun
http://www.republika.co.id/
(I)
Pada abad ke-16 seorang wali Sufi harus menghadapi tuduhan sesat oleh Majelis Hakim kerajaan Islam Demak. Gara-gara tuduhan ini Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang, sang wali, harus menjalani hukuman mati dengan tikaman sebuah keris yang konon milik Sunan Jati Cirebon. Referensi Islam Indonesia telah membukukan Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sesat yang membangkang terhadap kepemimpinan Walisanga.
Istilah kafir, murtad, zindik dan atheis adalah tuduhan yang akrab dialamatkan kepadanya. Bahkan, dia telah menjadi simbol tokoh pembangkangan terhadap sistem yang telah dianggap absah. Itu sebabnya, Syekh Siti Jenar dinisbatkan sebagai tokoh kaum abangan — yang tak rela terhadap musnahnya ajaran nenek moyang setelah datangnya Islam.
Syekh Siti Jenar dianggap berdosa karena menyebarkan faham wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti) kepada masyarakat yang waktu itu masih tergolong awam. Lebih fatal lagi adalah ucapannya Ama al-haq (Akulah Al-haq) — sebuah pernyataan yang menyebabkan Al Hallaj dihukum mati.
Karena alasan inilah maka DH Kraemar menjulukinya Al-Hallaj dari Jawa. Berikutnya — terutama oleh para penulis Belanda seperti Rinkes dan Zoetmolder — Siti Jenar disebut-sebut sebagai penganut Syi’ah, beraliran Jabariah dan Qadariah (Rinkes, ”De Heiligen van Java”) serta pengikut tarekat Rifaiyah (Zoetmolder, ”Pantheisme en Monisme”) Bahkan Kraemer dalam ”Een Javaansche Primbon” menempelnya sebagai musuh dalam selimut bagi Islam. ”Sering kali dari balik pikiran-pikirannya yang pantheistik, yang berkedok istilah-istilah Islam, terasa sekali polemik yang tajam menyerang Islam secara diam-diam,” tulis Kraemer.
Syahdan, dalam satu diskusi periodik yang dilakukan Majelis Walisanga, Syekh Siti Jenar melontarkan buah renungannya yang kemudian dikenal sebagai konsep Syahadat Mutaawwila atau lebih dikenal Sasahidan. Konsep ini berakar padfaham wihdatul wujud, sebuah faham tasauf yang menjadi trade mark para wali waktu itu. Sasahidan adalah tafsir Siti Jenar terhadap Alquran surah Thaha ayat 14 yang berbunyi: innany anallaha la ilaha illa ana fa’buduny. Wa aqimish-sholaata li dzikri (Sesungguhnya AKu ini adalah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku).
Syahadat mutawwila yang bunyi lengkapnya Asyhadu anla ilala illa huwa (Tidak ada Tuhan selain Dia), menurut Siti Jenar merupakan pengejawantahan atas surah Thaya ayat 14 tadi. ”Aku” dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai kehidupan kita sendiri. Sehingga, bernafas pun dianggap sebagai ibadah kepada Sang Pencipta. Dalam kerangka filosofis ini Siti Jenar memandang kehidupan di dunia adalah sesuatu yang semu atau palsu. Sedangkan kehidupan sebenarnya adalah alam akhirat, karena di situ manusia hidup kekal. ”Mila dunya punika dudu aran idup, pratandane sira pejah, aneng donyo ingaran pati,” kata Siti Jenar.
Diskusi periodik Walisanga ini terekam dalam kitab ”Pananggalaning ngilmu” sebuah kitab majmu yang berisi kumpulan wejangan para wali peserta diskusi. Sunan Giri misalnya mengulas tentang Ananing Dzat (Keadaan Dzat), Sunan Gunung Jati tentang Kasentosaing Iman (Kesentosaan Iman), Sunan Kalijaga mengulas soal Tata Malige ing Baitul Mal. Sedangkan Syekh Siti Jenar sebagai pembahas soal Sasahidaning Dumados (Kesaksian dari Kejadian atau Mahluk).
Masih dalam paradigma filosofisnya, Siti Jenar berprinsip tidak terlalu menekankan simbol formalisme dalam mencari kebenaran. Sikap tunduk dan patuh pada Yang Benar itulah yang menurutnya hakikat ajaran agama yang oleh Alquran disebut sikap Al-Hanief.
Siti Jenar yang nama aslinya Sayyid Ali Anshar ini juga membenarkan adanya kesinambungan dan persatuan agama-agama samawi atau yang disebut wihdatul adyan. Sikap intelektual inilah yang mendorong Siti Jenar mengeluarkan statement yang dianggap kontroversial: ”Jangan banyak semu. Aku inilah Allah, Aku bernama Prabu Satmata dan tiadalah yang lain dengan nama ketuhanan” (”Walisanga”, Solochin Salam). Babak berikutnya, tokoh ini hanya dikenang sebagai Wali yang diqishosh (hukum mati) oleh sesama wali lainnya.
Melihat konteks situasional di atas, merasa perlu menggarisbawahi sebuah vonis dan tuduhan yang telah ditulis para pelopor sejarah Syekh Siti Jenar. Memang, sementara ini ada kesan, sejarah Walisanga adalah ”Ruang Keramat” yang setiap orang merasa tabu memasukinya, apalagi bertingkah nyleneh. Sehingga, dapat dipahami jika sepanjang masa selalu muncul kontroversi pemikiran keagamaan, bahkan menjadi fenomena yang menyejarah.
(II)
Syekh Siti Jenar tergolong wali senior dalam Majelis Walisanga. Andilnya terhadap pengembangan Islam di Pulau Jawa sangat besar. Sayangnya, informasi tentang asal usul dan sepak terjangnya sangat simpang siur. Berita menyebut Siti Jenar sebagai penganut Syi’ah yang datang dari tanah Persia dan berdakwah dengan wali lainnya.
Dia menggantikan Syekh Sutamaharja (kakak Maulana Ishak) yang gugur dibunuh oleh pasukan Andayaningrat dari Pengging dalam sebuah insiden antara pasukan Islam dengan laskar Majapahit, sekitar tahun 1524 M. )”Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa”, H.J. De Graaf). Siti Jenar tergolong berhasil membangun masyarakat Islam di Pengging, Ngerang, Butuh, Pajang dan sekitarnya sehingga beberapa pembesar setempat seperti Ki Gede Kanigara (putra Andayaningrat) menyerahkan diri masuk Islam.
Lebih dari itu, pola dakwah Siti Jenar melalui pengembangan tradisi keagamaan dianggap paling berhasil, sehingga cara ini ditiru oleh Sunan Kalijaga pada waktu berikutnya. Dalam kaitan ini kita patut mempertanyakan laporan para penulis sejarah yang menyebut Syekh Siti Jenar sebagai musuh Islam, antek-antek kezindikan. Para pelopor nampaknya telah memanipulasi diri dengan menisbatkan Walisanga sebagai pelontar-pelontar tuduhan mereka terhadap Siti Jenar.
Wihdatul wujud sebagai sebuah faham tasauf pada masa itu sudah akrab di mata Walisanga. Apalagi banyak di antara mereka yang mendalami dan mengambil jalan tarekat itu. Sebut saja misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Menurut Kitab ”Walisanga” yang disebut-sebut sebagai karya Sunan Giri II. Sunan Gunung Jati telah mendalami karya-karya ulama wujudiyah dan menjadikannya sebagai ”kurikulum” pengajaran kepada para santrinya, semiasl Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati sangat menguasai ilmu-ilmu yang termaktub dalam kitab karya Syekh Ibrahim Al-Iraqi (kumpulan syair Al-Iraqi), Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syabasty (ahli tarikh Daulat Fatimiyah yang meninggalkan karya spektauler ”ad-Dirayah”, berisi kisah jenaka tentang biara-biara di Irak, Suriah, Mesir dan Aljazair), Syekh Muyidin Ibnu Araby (Ibn Araby), Syekh Abu Yazid Al-Bustomi, Syekh Abu Abdullah Ibn Muhammad Ar-Rudayi (yang digelari ”Babak Penyair Persia”), Syekh Samaun Assarini dan kitab-kitab karya ulama wihdatul wujud lainnya. Sunan Gunung Jati juga dikenal sebagai penganut Syi’ah yang sangat sholih. Bahkan, hingga pemerintahan Penembahan Giri Laya (1650-1662) Syi’ah menjadi mazhab resmi kerajaan Cirebon.
Sunan Kalijaga juga seorang penganut wihdatul yang cukup fanatik. Dia bersama-sama Syekh Siti Jenar pernah berguru faham ini kepada Sunan Bonang bin Sunan Ampel. Tema-tema dakwah yang dikumandangkan Sunan Kalijaga sangat mengakar bercorak wujudiyah. Hal itu antara lain dapat dilihat dari karya yang cukup masyhur di masyarakat Jawa, ”Dewa Ruci”. Arya Sena (Bhima) yang menjadi tokoh cerita itu berusaha mencari Jejering Pangeran (letak kedudukan Tuhan) mencapai klimaks usahanya setelah fana, melebur masuk dalam telinga Dewa Ruci. Karya ini merupakan pengembangan dari paham Jalaluddin Rumy, dan khususnya ”Manthiquth Thair” karya Fariduddin Athar. Dua nama yang disebutkan terakhir adalah tokoh utama wihdatul wujud.
Penjelasan di atas mengasumsikan bahwa wihdatul wujud yang dianut Syekh Siti Jenar dianut pula oleh sebagian anggota Walisanga. Maka, wajarkah jika Majelis Walisanga menganggap sesat kepercayaan itu padahal dianutnya juga? Tuduhan itu makin tidak jelas dengan adanya label Jubariyah dan Qodariyah sekaligus.
Satu sisi Syekh Siti Jenar disesatkan karena berprinsip bahwa gerak langkah manusia secara mutlak ditentukan oleh Tuhan (Jabariyah), dan pada sisi lain dia dizindikkan karena menganut paham Qodariyah yang menganggap takdir manusia sepenuhnya ditentukan oleh tindakan dan sikapnya sendiri dan menafikan campur tangan Tuhannya. Bagaimana mungkin dua paham antagonis ini dinisbatkan kepada satu orang secara bersamaan? Para pengulas Syekh Siti Jenar nampaknya tidak memiliki wawasan teologis, sehingga salah melontarkan tuduhan yang sebenarnya jauh panggang dari api.
Siti Jenar juga disebut-sebut sebagai penganut tarekat Rifaiyah — sebuah aliran tarekat yang didirikan oleh Ahmad Rifai (meninggal 1181 M). Padahal, di Aceh penganut wujudiyah dimusuhi oleh penganut Rifaiyah. Syekh Nuruddin Arraniri yang secara intens mengecam dan memfatwakan halalnya darah kaum wujudiyah adalah syaikh dalam tarikat Rifa’iyah yang ia pelajari dari gurunya Syaikh Ba Syaiban di India. Kemungkinan besar tuduhan itu baru disusun setealh munculnya kelompok Ahmad Rifa’i — sebuah kelompok radikal bermazhab Syafii di Jawa — yang memberontak penguasa Belanda pada Abad ke-18. Untuk kepentingan politik pemerintahnya, para penulis Belanda telah mencitrakan setiap pembangkang dengan asosiasi sebagai penganut aliran Siti Jenar, yang saat itu telah melegenda sebagai sosok pembangkang.
Kesimpulannya, persoalan Syekh Siti Jenar tampaknya bukan persoalan kemurtadan, kezindikan, atau malah kekafiaan. Masalahnya sebenarnya sudah menjadi klasik. Perbedaan pendapat dalam memasyarakatkan pandangan-pandangan ”esoteris”. Banyak ulama dalam sejarah Islam, termasuk Imam Ghazali, cenderung mempertahankan pembagian masyarakat keilmuan ke dalam kelompok elite (khawash) dan awam. Hal ini ternyata dari vonis yang dibacakan oleh Sunan Giri: ”Siti Jenar kafir di sisi manusia, dan mukmin di sisi Allah.”
penulis: Walid Syaikhun
Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Sumber: berbagai sumber
Dijumput dari: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/09/m0m8uf-menimbang-kembali-kasus-syekh-siti-jenar-i
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/09/m0m966-menimbang-kembali-kasus-syekh-siti-jenar-ii
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar