Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Sesuatu yang esensial itulah yang mengubah suatu potensialitas menjadi aktualitas, baik dengan maupun tanpa perantaraan. (Ibnu Sina).
Selalu saja saat mengawali tulisan merasakan bergetar, untuk mengurangi debarannya saya mulai dengan kata pengantar demi meringankannya. Pada awalan ini akan bercerita pertemuan saya dengan tiga ‘orang gila’ (balutan fisiknya begitu); mereka merasuki jantung ini.
Orang pertama sama dengan terceritakan di bagian VII, kali itu ia menuju ke arah barat seperti perjalanan saya, demikian juga orang kedua. Hanya jarak antara orang pertama dan kedua, satu kilometer-an. Yang ketiga di Bojonegoro tengah malam, ia meringkuk berlimutkan sampah plastik menghalau hawa dingin rintikan gerimis.
Beberapa hari sebelum di
Bojonegoro, saya ke salah satu kampus di Surabaya, mengantar kakak ipar
mencari bacaan Disertasi, lantas ke Jalan Semarang mencari-cari buku
bekas, bertemu Fahrudin dan Ribut, tak luput ngobrol ringan disertai
ngopi, tombo kangen. Ini mencairkan kepenatan di ruang belajar, namun
sayangnya tidak berjumpa ‘orang gila’ di kota itu yang biasa memberi
firasat. Ke Bononegoro berboncengan motor sama Denny, berjumpa Gampang,
Bonari, Ragil, Timur, menyaksikan pentas teater yang pemainnya
Sabrank, Wong Wing King dengan komunitas Suket di desa Jono. Oya
terima kasih Mashuri, yang membawa buku pesanan saya karangan Dami N.
Toda "Apakah Sastra?" disaat ia membedah antologi puisi "Kabar Debu"
di Lamongan. Balik ke ‘orang-orang gila', sebab berkaitan penulisan
yang getarannya kini hadir.
Jalan ke luar kota membuka
denyar anyar, meski bacaan sama berpengamatan lain yang menghadirkan
pengoreksian, ditambah fisarat meningkatkan drajad perolehan mawas.
Siapa tahu mengurangi kecelakaan jika ada, sedari pandangan lalu
ditetapkan sesuai timbangan tengah terlarungkan. 'Orang gila' awal masih
akrab di batin ini, munculnya orang kedua membuat heran, sekurangnya
keberadaan atmosfir jalan itu tercium olehnya. Orang kedua disaat saya
berjalan hampir mendekati melecutkan pecut, maka saat melihat
pementasan di Bojonegoro ada aktor membawa cambuk bersuara kilatan,
saya tak heran. 'Orang gila' ketiga amat lain, di batin ini penasaran,
apakah orang atau makhluk halus sedang membentuk sosok, saya melihat
sebagian mukanya tertutupi bayangan rimbun pohon ditimpa gelap malam,
seluruh badannya terselimuti plastik. Cukup itu gemetaran, seirama
getaran permulaan kini menujah niatan, mengurangi dengan waswas
sepadan dan berani melangkah.
***
Sebelum pada paham Muhammad
Iqbal, mari simak ungkapan SCB saat pidatonya Anugerah Sastra DK Riau
2000. Karena pemahaman "Kun Fayakun" agak panjang di sini, maka saya
kutip lumayan melebar untuk tahu apa saja kisaran menurutnya soal
tersebut:
"Pada
mulanya Sang Maha Penyair berucap, "Jadi maka jadilah!" Itulah kata
yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi
adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna
menghadirkan diri."
"Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri."
"Itulah
yang ingin diraih penyair walaupun ia sadar sajaknya tak mungkin
abadi. Walaupun tahu takkan sampai pada kebenaran mutlak kata, meski ia
takkan dapat menggapai kemutlakan benar. Meski tahu walau hurufnya
habislah sudah alifbatanya takkan sampai pada kebenaran mutlak, obsesi
itu dilayaninya dengan girang, penuh antusiasme dan passion."
"Sehubungan
dengan kata, pada manusia -pada Adam- Tuhan mengajarkan pula nama
benda-benda, merujuk pada pengenalan potensi benda-benda dan ihwal,
mengakibatkan kehadiran ilmu dan penguasaan terhadap benda-benda dan
ihwal."
"Jika
manusia wakil Tuhan di muka bumi, maka ia adalah khalifah kata-kata.
Para penguasa dan pemuka (politik, sosial, ekonomi, militer) yang
zalim cenderung sewenang-wenang memanfaatkan kata-kata untuk
kepentingan sendiri. Itu sering mudah dilakukan, karena di samping
mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan riil, juga karena kata-kata
sebagai penanda sering sewenang-wenang."
"Akibat
tekanan kezaliman kata yang sebenar kata, kata yang benar, tergusur
tidak muncul dalam permukaan luas masyarakat. Ia tampil dalam mimpi,
jerit, gurau dan gelak igau yang tersembunyi dari para dhuafa."
"Dalam
bait-bait puisi, kata-kata yang sebenarnya mendapatkan tempat
pelarian (asylum). Bukan sekadar untuk disimpan atau dilestarikan,
tetapi lewat puisi ia akan bisa memberikan penyegaran, pencerahan, dan
perpanjangan kreatif dari pemaknaan manusia dan kehidupan."
Untuk memasuki perlu juga
menyerapi perolehan lalu, terpetik satu paragraf bagian XVII dalam
merambahinya, oleh pantulan ini: "SCB menghilangkah kata kerja awalan
dari firman tuhan sang maha penyair, dan tampak kata kerja perintah itu
datangnya terlambat, dengan memunculnya kata-kata 'lantas jadilah.'
Kemendadakan mencipta keterkejutan, seperti dalam ruangan tunggu atau
firmannya menanti hadirnya (kata) benda itu jatuh; ‘kata adalah benda,’
menurutnya ‘adalah ikhwal’ (fenomena), fenomena itu sesuatu yang
rumit, jamak, selalu berubah. Perihal tersebut masuk ke dalam ‘adalah
makna,’ yang otomatis makna ini sesuatu amat rumit, jamak (banyak),
serta senantiasa berubah, nilai yang bisa berkurang juga bertambah,
lantas ‘adalah diri ekspresi’ dari benda-benda, kerumitan pun tidak
tetap masanya di dalam ruangan bisa berganda pula, demi mewujudkan
keberadaannya -jadi ‘adalah eksistensi.’"
Kembali Sutardji menghadirkan Tuhan “Sang Maha Penyair” dengan firman ”ucapan” serupa sulapan, ”Jadi maka jadilah!" Itulah kata yang paling hakiki dari puisi”. Kata
paling hakiki dari puisi itu wujud, jadi, ada, bukannya berangkat
sedari napasan kerja perintah, tetapi benda itu hadir seperti barang itu
ada. Misalkan wujud manusia gila saya temui di jalan kembara, ruh
penggembol ketidaknormalan akal menurut pandangan umum, yang tidak
terketahui muasal kejadian kenapa bisa gila? Sebab-sebabnya dihapus. ”Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri.” Tak
lain ‘orang gila’, dengan sendiri? Ataukah bawaan sejak lahir? Untuk
pembaca yang sulit menangkap, sederhananya; bintang, bulan, matahari
ada sendiri, pula seluruh benda-benda angkasa ada, jadi dengan
sendirinya, muncul tiba-tiba oleh datangnya perintah "maka jadilah!"
“Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri." Kata
‘Jadi’ menerbitkan ‘makna’ menghadirkan ‘diri’-nya. Benda itu,
orang-orang gila pun yang normal ada seperti adanya, tiada jenjang
sebelumnya, takdirnya mendadak menjadikan “Sang Maha Penyair”
kewalahan, kaget, bingung atas munculnya kata benda, jadi, makna,
diri. Bagaimana Dia berlaku serupa pesulap? Seperti melihat orang gila,
tidak tahu kenapa gila? Selaras menyaksikan bintang, bulan, matahari
wujud bersama makna terkandung di dalamnya? Tidakkah ini menempatkan
Tuhan sangat rendah, menghadirkan sesuatu dari sebelumnya yang sudah
ada? Yakni kata Jadi, wujud, ada, benda; orang gila / waras, bebenda
angkasa seisi dunia. Seolah seniman berkreasi, pelukis menggurat
gemintang, penyair kumandangkan keayuan bulan. Senada terima tanpa
diperkenankan ketahui tahap kejadian, sebatas mengolah yang telah ada,
berasal dari kata 'Jadi.'
Dengan terpaksa saya ambil
terjemahan wahyu pertama, Surat Al 'Alaq (Segumpal Darah, Makkiyyah 19
ayat) di Kitab Tafsir Jalalain, ayat 1-5 yang turun di Makkah, yang
dalam kurung artiannya, buka kurung tafsirannya:
1. (Bacalah) maksudnya, mulailah membaca dan memulainya (dengan menyebut nama Rabbmu Yang menciptakan) semua makhluk.
2.
(Dia telah menciptakan manusia) atau jenis manusia (dari 'alaq) lafaz
'alaq bentuk jamak dari lafaz 'Alaqah, artinya segumpal darah yang
kental.
3.
(Bacalah) lafaz ayat ini mengukuhkan makna lafaz pertama yang sama
(dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah) artinya, tiada seorang pun yang
dapat menandingi kemurahan-Nya. Lafaz ayat ini sebagai Ha'l dari Dhamir
yang terkandung di dalam lafaz Iqra'.
4.
(Yang mengajar) manusia menulis (dengan qalam) orang pertama yang
menulis dengan memakai qalam atau pena ialah Nabi Idris as.
5.
(Dia mengajarkan kepada manusia) atau jenis manusia (apa yang tidak
diketahuinya) yakni sebelum Dia mengajarkan kepadanya hidayah, menulis
dan berkreatif serta hal-hal lainnya.
Dan mari menimba petikan
pemikiran M. Iqbal beserta beberapa ayat yang diketengahkannya. Saya
hidangkan seperlunya kepahaman ini dari bukunya "The Reconstruction of
Religious Thought in Islam" (Bookseller & Publisher, Kashmiri
Bazar, Lahore, Pakistan (1930). Diterbitkan Tintamas Jakarta 1982,
alihbahasa Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad, diterbitkan
Jalasutra Yogyakarta, penyunting Muhiddin M Dahlan, 2002.
Terlebih dulu simaklah
penuturan Dr. 'Abdul Wahhab 'Azzam, yang untaian kata-katanya kerap
mengharukan di bukunya "Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Syi'ruh"
terbitan Mathbu'at Pakistan 1373 H / 1954 M, diterjemahkan Ahmad Rofi’
Usman, Ammar Haryono, penerbit Pustaka Bandung, cetakan awal 1985, hlm
14:
"Kedua
orang tua Iqbal terkenal dengan keshalehan dan ketaqwaan mereka.
Ayahnya adalah seorang sufi, yang bekerja keras demi agama dan
kehidupan. Dituturkan darinya, bahwa pada suatu ketika, sewaktu ia
melihat Iqbal senang membaca al-Qur'an, maka katanya: "Bila kamu ingin
memahami al-Qur'an, bacalah seakan ia diturunkan padamu."
Allama Muhammad Iqbal menuliskan, "Jadi,
berdasarkan al-Qur'an, bagaimana sifat alam semesta tempat kita
tinggal? Pada tingkat pertama, alam ini bukan hasil titipan sekadar
main-main saja:"
“Tidaklah
Kami ciptakan langit dan bumi serta segala isinya yang ada di antara
keduanya itu untuk bermain-main. Kami ciptakan keduanya itu dengan
maksud tertentu; tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs. 44:
38-39).
“Nyatalah
itu sama dengan: Sebenarnya dalam penciptaan langit dan bumi serta
pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi mereka yang
berpikir. Mereka yang mengingat Tuhan ketika berdiri, ketika duduk dan
berbaring, serta merenungkan penciptaan langit dan bumi itu seraya
mengatakan: “
"O Tuhan kami! Tidaklah sia-sia Kau ciptakan semua ini." (Qs. 3: 190 - 191)."
"Begitulah alam semesta itu disusun demikian rupa hingga ia dapat diperluas:"
“Ia (Tuhan) menambahkan ke dalam ciptaannya itu apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. 35:1).
"Itu
bukanlah sebuah alam cetakan, semua hasil yang sudah selesai, yang
tidak bergerak dan tidak berubah. Jauh dalam wujud batinnya, barangkali
terletak impian sebuah kelahiran baru:"
“Katakanlah
-jelajahilah bumi, lalu perhatikanlah betapa Ia memulai penciptaan
itu; kemudian Tuhan menyusun sebuah ciptaan lain.” (Qs. 29: 20).
"Sebenarnya
ayunan dan tarikan alam semesta yang penuh rahasia ini, peredaran
zaman yang dengan diam-diam menjelma di depan kita, makhluk manusia,
juga peredaran gerak siang dan malam, oleh al-Qur'an dimaksudkan
sebagai tanda-tanda Tuhan yang paling akbar."
“Tuhan memutarkan peredaran malam dan siang. Disitulah terdapat pelajaran bagi mereka yang luas pandangan.” (Qs. 24: 44).
Lebih maju Beliau menguraikan, “Tidaklah Tuhan akan mengubah nasib sesuatu kaum, kalau bukan kaum itu yang mengubah nasibnya sendiri.” (Qs. 13 :11).
"Kalau
ia tidak mengambil inisiatif, kalau ia tidak mau mengubah keadaan
batinnya, kalau ia berhenti merasakan deburan batin hidup yang lebih
tinggi, maka ruh yang ada dalam dirinya pun akan mengeras menjadi batu
dan dia merosot turun ke tingkat benda mati. Tetapi hidup dan kemajuan
ruhnya itu amat bergantung kepada terbentuknya hubungan dengan
kenyataan hidup yang dihadapinya. Yang membentuk hubungan-hubungan
demikian itu pengetahuan, dan pengetahuan ialah cerapan penginderaan
yang dipupuk dengen pengertian."
“Tatkala
Tuhan mengatakan kepada para Malaikat: "Aku hendak menghadirkan
seorang khalifah di atas bumi ini." Mereka berkata: "Adakah hendak Kau
tempatkan seseorang yang akan membawa bencana dan akan menumpahkan
darah, padahal kami, dengan rasa syukur memuja-Mu dan menjunjung-Mu?" Ia
berkata: Akulah yang tahu apa yang tidak kalian ketahui." Dan
diajarkan-Nyalah semua keterangan itu kepada Adam, kemudian semuanya itu
ditunjukkan-Nya pula kepada para Malaikat, seraya kata-Nya:
"Sebutkanlah nama-nama semua itu jika memang kalian mengetahui!" Mereka
menjawab: "Maha sucilah Kau. Kami memang tidak mengetahui, selain yang
pernah Kau ajarkan kepada kami, Engkaulah sebenarnya yang Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana." Ia berkata: "Hei Adam, sebutkanlah
nama-nama itu kepada mereka." Setelah ia memberikan
keterangan-keterangan itu kepada mereka, berkatalah Ia: "Bukankah sudah
Kukatakan kepada kalian, bahwa Akulah yang mengetahui rahasia-rahasia
langit dan bumi, mengetahui semua yang oleh kalian dinyatakan atau
disembunyikan?” (Qs. 2: 30-33).
"Pokok
dari ayat-ayat itu ialah bahwa manusia telah dianugerahi dengan
kecerdasan pikiran untuk menyebutkan nama-nama benda, artinya untuk
menyusun pengertian-pengertian tentang benda-benda itu, dan menyusun
pengertian yang demikian berarti menguasai benda-benda itu. Jadi sifat
pengetahuan manusia ialah konseptual, dan dengan bersenjatakan
pengetahuan konseptual inilah manusia berkenalan dengan aspek Kebenaran
yang bisa diselidiki. Yang perlu sekali dicatat adalah al-Qur'an
menekankan semuanya terletak pada aspek Kebenaran yang harus
diselidiki." (Hlm 37-38, 41-42 dari buku saya sebut paling permulaan).
***
Kini izinkan menuangkan
gambaran dari pokok-pokok di atas. Karen Armstrong betapa indah
memaparkan ‘kedatangan Kerasulan’ Muhammad saw. dalam bukunya "Muhammad:
A Biography of the Prophet" Phoenix Press, London 2001, diterjemahkan
Joko Sudaryanto, penerbit Jendela 2004. Dengan tarikan berbeda saya
tuangkan; sekitar tahun 610 dalam Gua Hira’ di lembah Makkah 17
Ramadhan, dikala Nabi saw. terjaga dari tidurnya, didatangi Malaikat
Jibril as. yang menaburkan kalam fitri, firman Allah swt. yang pertama,
"Iqra'" (Bacalah). Hentakan keras datangnya sebuah kata kerja
perintah, Fi'il Amar, seakan meringkus tubuh Sang Nabi saw. hingga
mengucurkan keringat dingin, demam tidak tertahan di sisi waswas
mendera. Ada tiupan ruh lain dari biasanya, hembusannya bergema ke
dinding seluruh gua, tidak sekadar sekujur jiwa raganya bersaksi,
namun segenap hidup sebelum-sesudahnya. Tidak hanya bintang kemukus
memberi janji, seluas semesta raya tak terketahui batasannya, kecuali
Sang Maha Kuasa memahami hukum-hukumnya.
"Iqra'" selurus "Kun
Fayakun" tidak dapat diganti apa pun, siapakah pendukung firman Allah
swt. dijelmakan dalam kata benda? Tidakkah sudah terpaparkan, dan
kehilafan disengaja di mana saja sembunyi ke sudut terpencil akan
ketahuan! Ilmu pengetahuan bukan tempat beralibi, tapi kelenjar sejarah
berdaya tariknya selalu membuncah, memukul mental nanggung tidak
meruhaniahi menjadikan tempelan. Maka bisa sulapan, mensejajarkan para
ulama' dengan orang-orang ‘terlena,’ namun takkan lama pengadaan semu
menyeruak, dan para pendukungnya patut bertanggungjawab pada imbasnya?
Para tukang syair mengamini kekaryaan sedari pusaran tidak sadarkan
diri bukan lantaran tingkatan 'Jadab.' Menjadikan teringat makolah,
‘kezaliman terorganisir itu membahayakan’, meski berbentuk permainan
jemari!
Bacalah dengan ruhmu dan
jantung memompa segumpal dagingmu! Bagaimana berleha-leha membetulkan
kemengslean kalbu sekadar kesalahan ketik misalnya, padahal jelas-jelas
keinginannya? Katanya penyair sufistik, hingga berani menyebut Allah
swt. bersifat "Sang Maha Penyair." Penambahan kemuliaan kepada-Nya
ternyata punya maksud seperti menyuap Tuhan, menyogok kaum beriman, agar
pensifatannya bisa meloloskan pengertian Tuhan "Sang Maha Penyair"
juga membikin sesuatu yang telah ada, memunculkan barang tercetak,
wujud, "Jadi maka jadilah!" Sungguh manis ungkapannya. Mungkin baginya
Tuhan seolah redaktur koran atau dirinya yang mudah meloloskan maksud
tertentu, terlepas logika serta tidak Ilahiah.
Tak ayal "Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri."
Para penyair diserukan ‘Raja Mantra, Presiden Penyair Indonesia,’
juga untuk dirinya menuju "Sang Maha Penyair", obsesinya meraih kata
bermakna hakiki yakni sulapan pertama di dunia Sastra Tanah Air. Puncak
keblingeran itu menandakannya penggerak angkatan susastra, tentu
menggenapi lipatan sejarah kesusastraan, dan pendatang baru tersirap
manggut manut lewat pembetulan seadanya, tersebab sudah terpampang di
buku pelajaran dan sebagainya.
Setelah menyematkan "Sang Maha Penyair" berucapan rendah, "Jadi maka jadilah!" Lalu melangkah, "Itulah yang ingin diraih penyair walaupun ia sadar sajaknya tak mungkin abadi."
Sutardji menempatkan Tuhan muasal hadirnya (bukan terciptanya) segala
sesuatu, dan sebab penyair takkan bisa menerbitkan bulan, bintang
matahari, tapi sekadar melukiskan dengan kata-kata. Para penyair
dihimbau ke jalan keabadian sulapan di setiap ungkapanya, meski tak
abadi. "Walaupun tahu takkan
sampai pada kebenaran mutlak kata, meski ia takkan dapat menggapai
kemutlakan benar. Meski tahu walau hurufnya habislah sudah alifbatanya
takkan sampai pada kebenaran mutlak," Gaya naik-turun ini hampir
sama melodinya dengan Taufiq Ismail bagian X, pribadi penyair diangkat
tinggi, tapi oleh karena sadar takkan mungkin dan jadi bahan tertawaan
yang memperjelas maksudnya secara tiba-tiba. Maka diturunkan
nyanyiannya, agar diterima khalayak seturut hukum alam.
"obsesi itu dilayaninya dengan girang, penuh antusiasme dan passion."
Tepat menyelidikan sebelumnya, SCB sedang membetulkan paham "Manusia
diberkahi untuk bebas." Pengertian insan sebagai khalifah Tuhan di
muka bumi dirombak sesuai kebutuhan dirinya dalam meloloskan paham nan
dianggapnya bisa menyenangkan; membuat girang berdaya antusias penuh
gairah, serupa temuan-temuan pesulap David Copperfield yang
dikaguminya misalkan.
Jenis penulisan tersebut
amat umum, tinggal melihat yang terlebih dulu diayunkan, tentu
mengetahui dimana letak pemberhentiannya, dari titik-titik tenggang yang
disebarkan di atas tempo diharapkan. Dan senandung umum dapat
membentuk kenetralan seperti warna putih pada cat, memudahkan
nilai-nilai apa saja setelahnya masuk, SCB menulis "Sehubungan
dengan kata, pada manusia -pada Adam- Tuhan mengajarkan pula nama
benda-benda, merujuk pada pengenalan potensi benda-benda dan ihwal,
mengakibatkan kehadiran ilmu dan penguasaan terhadap benda-benda dan
ihwal." Kesadaran di sana sungguh nyaring, lagi-lagi berbalik ke
sebelum yang diketengahkannya. Sutardji menulis perihal M. Iqbal
bertitel "Mengenang Iqbal" hlm 418 di buku "Isyarat", ia tidak memberi
sodokan seperti kepada Derrida, dapatlah dikata mengamini atau segan
mengoreksinya mungkin tulisan Iqbal terlalu terang. Kalau berkehendak
memengslekan akan ketahuan khalayak, tidak seperti tulisan Derrida, Ibnu
‘Arabi, tentu menimbulkan polemik dan syah jikalau lepas tangan,
sebab telah banyak yang menyalahartikan.
Allama Iqbal berujar, "alam ini bukan hasil titipan sekadar main-main saja" Bukan
jenis akrobatik, namun mereka mengira seperti sulapan kejadiannya,
semua peristiwa dianggap 'mak bedunduk' lalu "Sang Maha Penyair"
kelelahan setelah berucapan "Jadi maka jadilah!", maka dihadapanya
seolah sia-sia, dari kesia-siaan itu disurunya gembira, girang beralibi.
Dan untuk menutupi maksudnya SCB menuliskan, "Jika manusia wakil Tuhan di muka bumi, maka ia adalah khalifah kata-kata."
Sebagai khalifah kata-kata dari-Nya, seakan tak masalah diganti
sepadan kepentingan khalifah tersebut, seperti wakil Tuhan yang
dikiranya sekedudukan wakil presiden yang bisa membelot presiden,
mungkin semacam itu nalar Sutardji. Lalu ia melanjutkan, "Para
penguasa dan pemuka (politik, sosial, ekonomi, militer) yang zalim
cenderung sewenang-wenang memanfaatkan kata-kata untuk kepentingan
sendiri." Sepertinya mau membalas, karena kata-katanya kalah ampuh
dengan para politikus, sosiolog, ekonom dan militer. Dengan berpribadi
penyair, memakai cara-cara girang merombak "Kun Fayakun" bahkan merasa
dirinya lebih hebat, sebab Tuhan saja manggut manut tinta penanya,
Naudubillah!
Pada paragraf yang sama menuangkan, "Itu sering mudah dilakukan, karena di samping mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan riil,"
Sebagai pemuda saya heran, masak minder? Ternyata merombak lafaz-Nya
menjadikan merasa bersalah, dan kemampuan berdalih merontok pula, "juga karena kata-kata sebagai penanda sering sewenang-wenang."
Tidakkah ini membalikkan fakta, Sutardji sewenang-wenang terhadap
firman-Nya, mengganggap orang lain seenak udelnya? Tapi pemerintah
mencium baunya, Presiden SBY memberinya penghargaan Bintang Budaya
Parama Dharma. Ini terbalik namun diingini, sebab kalah dibanding
politikus, apalagi negarawan!
Dirujuk bonggol kefatalan dimula dan simak penurutannya, "Akibat tekanan kezaliman kata yang sebenar kata," SCB sepertinya sangat menyadari "Kun Fayakun" yang pas menurutnya "Jadi maka jadilah!" sampai berani melanjutkan "Kata yang benar, tergusur tidak muncul dalam permukaan luas masyarakat."
Yang menurutnya paling tepat kata 'Jadi', ada, wujud, kata benda,
cetakan, bukan ‘jadilah,’ tidak ‘wujudlah.’ Maka dirombaklah, alih-alih
mengembalikan ke bentuk asalnya yang dianggap terkena penggusuran
(kezaliman versinya), seolah mensucikan lewat mengembalikan, senada "Jadi adalah Jadi itu sendiri." Kata ‘Jadilah’ / "Kun" dipandangnya, "Ia tampil dalam mimpi, jerit, gurau dan gelak igau yang tersembunyi dari para dhuafa."
Padahal ajaran Islam Rahmatan Lil'alamin, semua umat boleh memeluknya
dari seluruh lelapisan masyarakat di dunia, tak membedakan kelas
sosial, kulit, bangsa dan lainnya. Tidak harus membeli karcis seperti
menonton sulap di bangku berkalas-kelas!
Sutardji teringat tulisannya yang lain, digaritlah, "Dalam bait-bait puisi, kata-kata yang sebenarnya mendapatkan tempat pelarian (asylum)." Ignas
pun menunjuk pada paragraf awalnya tentang, "puisi adalah alibi
kata-kata." Saya harap pembaca teringat "Puisi Konkrit" yang
diungkapkannya, dan "Bukan
sekadar untuk disimpan atau dilestarikan, tetapi...” ..."Sutardji
Calzoum Bachri menampilkan sebuah kanvas yang digantungi sekilo daging
segar. Darah daging itu dibiarkan mengucur di atas kanvas. Ada tulisan
grafis berbunyi "Luka ha ha". Abdul Hadi WM menampilkan kertas poster
dengan gambaran silhuet seekor sapi dan pengendaranya. Wujud silhoutte
pengendara sapi ditulisi grafis: "k sapi p/ jak sapi per/ ajak sapi
pera/ jak sapi per/ ak sapi p/ sapi perah/ sapi perah sajak sapi perah/
sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ sajak sapi perah/ ..." dan
seterusnya. Silhuet sapi ditempeli guntingan berita surat kabar,
guntingan "kepada berita" (head line), foto-foto. Ada misalnya guntingan
kepada berita yang berbunyi, "Ancaman Komunis Pada ASEAN Semakin
Deras", "Jepang Ingin ASEAN untuk Bisa..." (teks aslinya dicoret dan
diberi tanda panah ke arah kepada berita lain yang berbunyi "Terharu
Memandang Wajah-wajah Lapar". (Dami N. Toda, Hamba-hamba Kebudayaan, hlm 105).
Pelarian (asylum), siluman,
alibi sudah terbongkar di bagian awal. Sejauh-jauhnya berlari membawa
kekeliruan memengslekan lafaz-Nya pastilah ketahuan, karena
keshahihan Al-Qur' an terjaga serta terpelihara sepanjang masa
(jaman). Simak ayat di bawah ini saya ambil dari Kitab Jalalain: “(Sesungguhnya
Kami-lah) lafaz Nahnu mentaukidkan atau mengokohkan makna yang
terdapat di dalam isimnya Inna, atau sebagai Fashl (yang menurunkan Adz
Dzikr) Al-Qur’an (dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya)
dari penggantian, perubahan, penambahan dan pengurangan.” [Surat
Al-Hijr (15):9]. Mereka yang cerdik berseberangan pun menghindari
pemalsuan, kebanyakan dipilih menafsirkan sejenis serampangan. Sebab
kan mudah ketahuan merombak lafaznya, atas terpelihara kesuciannya,
pula selalu terawat oleh para penghafiz Al-Qur' an. Mungkinkah sikap
SCB sama persis dengan Abdullah ibn Sa’id, mantan juru tulis Kanjeng
Nabi saw?
“lewat puisi ia akan bisa memberikan penyegaran, pencerahan, dan perpanjangan kreatif dari pemaknaan manusia dan kehidupan.” Seperti
daging segar darahnya dibiarkan mengucur di kanvas, lalu setelah
pameran dikonsumsi mencerahkan pandangan, perpanjang proses kreatif
menjaga tubuh kemanusiaan dalam kehidupannya. Atau pembaca tak perlu
kaget para kritikus Indonesia kebanyakan latah, mungkin istilah 'latah'
berasal dari salah satu dewa (Lata) yang kepalanya dipenggal Nabi
Ibrahim as. Latah mengkritisi dengan angin analisa musiman, jika musim
puisi konkrit maka konkritlah gayanya, dikala musim puisi sufistik,
sufistiklah dedahannya. Mungkin juga karyanya bersimpan nilai universal;
ini hebat, tapi dalam naungan mitologi susastra Indonesia.
Sebelum menjalar saya beri
garis tebal Sartre "Manusia dikutuk untuk Bebas" merujuk pada
sejarawan perempuan asal kelahiran Wildmoor, Worcestershire, Inggris,
Karen Armstrong yang berkata:
"Dalam
sebuah ayat yang luar biasa dalam al-Qur'an, Tuhan menawarkan
kebebasan kepada seluruh makhluk-Nya, namun mereka menolak. Hanya
manusia yang memiliki keberanian untuk menerima:
"Sesungguhnya,
Kami telah mengemukakan amanat pada langit, bumi, dan gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya,
manusia itu amat zalim dan bodoh." [Surat (33) al-Ahzab: 72].
"Akan
tetapi, Tuhan tidak membiarkan manusia tanpa bimbingan. Dia mengutus
banyak nabi kepada setiap komunitas di bumi sehingga mereka mengetahui
apa yang Dia maksudkan bagi mereka. Namun semenjak Adam, nabi
pertama, manusia menolak untuk mendengarkan wahyu-wahyu tentang
kehendak Tuhan tersebut ." (Hlm 286 - 287).
Menukik lebih dalam, selepas melihat paragraf-paragraf SCB. Lalu menengok ayat-ayat ini:
"(Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa al-Qur'an ini) dalam hal kefasihan dan ketinggian
paramasastranya (niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain") saling bantu-membantu. Ayat ini diturunkan sebagai
sanggahan terhadap perkataan mereka, sebagaimana yang disitir oleh
firman-Nya (QS 8 al Anfal, 31): Kalau kami menghendaki niscaya kami
dapat membacakan yang seperti ini (al-Qur'an). [Qs. al-Isra' (17): 88]
"(Dan
Kami tidak mengajarkan kepadanya) yakni kepada Nabi saw. (tentang
syair) ayat ini diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan
orang-orang kafir, karena mereka telah mengatakan, bahwa sesungguhnya
al-Qur'an yang didatangkan olehnya adalah syair (dan bersyair itu tidak
layak) tidak mudah, ada yang menyebut tidak pantas (baginya).
(Al-Qur'an itu tiada lain) apa yang diturunkan kepadanya, tiada lain
(hanyalah pelajaran) nasehat -peringatan- (dan Kitab yang memberi
penerangan) yang menjelaskan tentang hukum-hukum dan lain-lainnya." [Qs. Ya'sin [36]: 69).
Setahu saya pada karya
penyair Muhammad Iqbal maupun sebelum-sesudah Beliau, tidak saya temukan
himbauan senada paragraf SCB untuk mencari inti "Kun Fayakun" di
dalam memanjati pengetahuan mengenai puisi / syair dari Kitab-Nya,
yang serasa dekat kedua ayat tersebut. Namun para ulama’ menggali
nilai-nilai terkandung di dalamnya yang Insya Allah tiada niat sekecil
pun "mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri" dari “Kun.”
Nada-nada syair dan karya para beliau menebarkan syiar dari
ayat-ayat-Nya, bukannya meringkus dijelmakan ke syair. Lebih kacau
mempereteli alunan lafaz-Nya demi kepentingan ‘mitos puisi mantra’ yang
dibela?
Jadi tidak perlu abang-abang lambe, "Meski tahu walau hurufnya habislah sudah alifbatanya takkan sampai pada kebenaran mutlak" Padahal perihal itu dekat keterlenaan. Mari perhatikan Surat Ath thu'r dan Qa'f berikut (saya rujuk ke Kitab Tafsir Jalalain) atas urutannya Ibn Taimiyah dalam tulisan Beliau "Tangga Pencapaian."
"(Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatu pun) tanpa ada yang menciptakannya
(ataukah mereka yang menciptakan) diri mereka sendiri. Dan tidak masuk
akal ada makhluk tanpa penciptanya, dan tiada sesuatu yang Ma’dum yakni
yang asalnya tiada, dapat menciptakan. Maka makhluk itu pasti ada
yang menciptakannya, yaitu Allah yang Mahaesa. Mereka tetap tidak mau
mengesakan-Nya dan tidak mau beriman kepada rasul dan kitab-Nya.” [QS.
Ath Thu'r (52): 35].
"(Maka
apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama?) maksudnya, Kami
tidak merasa letih / lelah dengan penciptaan yang pertama itu, demikian
pula Kami tidak merasa letih untuk mengembalikan mereka. (Sebenarnya
mereka dalam keadaan ragu-ragu) yakni berada dalam keragu-raguan /
kebingungan (tentang penciptaan yang baru) yaitu membangkitkan mereka
menjadi hidup kembali pada hari berbangkit nanti." [Qs. Qa'f (50): 15].
Untuk mendaki lengkungan
dinding-dinding terpancang jua sebagai kupasan paragraf muakhir Muhammad
Iqbal yang telah tertancap, hamba penuh dosa dekat kebodohan ini kan
berikhtiar menggapai melalui Surat Ath Thu'r (Bukit Thu'rsina, 52):
29-31:
"(Maka
tetaplah memberi peringatan) tetaplah kamu memberi peringatan kepada
orang-orang musyrik dan jangan sekali-kali kamu mundur dalam hal ini
hanya karena mereka mengatakanmu sebagai seorang penenung lagi gila
(dan kamu disebabkan nikmat Rabbmu bukanlah) karena limpahan
nikmat-Nya kepadamu (seorang tukang tenung) menjadi Khabar dari Ma'
(dan bukan pula seorang gila) lafaz ayat ini diatha'fkan kepada lafaz
Ka'hinin."
"(Bahkan)
lebih dari itu (mereka mengatakan:) "Dia (adalah seorang penyair yang
kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya") malapetaka menimpanya lalu
ia binasa sebagaimana nasib yang dialami oleh para penyair lainnya."
"(Katakanlah:
"Tunggulah) oleh kalian kebinasaanku (maka sesungguhnya aku pun
termasuk orang yang menunggu pula bersama kalian") menunggu kebinasaan
kalian; akhirnya mereka disiksa oleh Allah melalui pedang dalam perang
Badar. Makna Tarabbush adalah menunggu."
Dalam batas-batas tertentu
saya kerap berdoa kala menulis semacam kritik ini: "Ya Allah, jikalau
tulisanku menimbulkan fitnah, hentikanlah jemari ini melangkah, tentu
Engkau berkuasa apa saja untuk menghentikannya. Namun jikalau ada
hikmah, atau Engkau menghendaki menunjukkan ke jalan lurus, mudahkanlah
menelusurinya."
Ini tidak tersangka seperti
Babad Nuca Nepa, menggali prasejarah bertemu bebayang masa depan dan
kini seolah tak terhindari berjumpa ayat-ayat suci sejalur harus
dilewati. Hanya kemurahan-Nya melalui para pendahulu, saya berikhtiar
menulis beberapa hal yang meski para beliau berbeda pendekatan,
Al-Kindi, Al-Asy'ari, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghozali, Ibn Rusyd, Ibn
Taimiyah, Ibn Khaldun, Al-Afghani, Muhammad 'Abduh sampai Muhammad Iqbal
misalkan. Olehnya saya haturkan Al-Fatiha sebelum teruskan langkah.
Dapatlah ini menyempurnai
sebelumnya kisah Nabi Musa as. sebagai melodi luarnya, dan getaran
kisah dihadapi seelusan uraian masalah terkandungnya. Sebelum Musa di
jabbal Thur (Bukit Thu'rsina). Lahir di Mesir dalam tekanan jaman
jahiliyyah, bayi-bayi terlahir lelaki harus dibunuh atas perintah Raja
oleh bisikan para penujum yang dipercayainya, periode diwajibkannya
membunuh bayi laki-laki, lantaran kelak menghalangi kewibawaan
kekuasaan kerajaannya. Namun takdir menyelamatkan bayi Musa
dihanyutkan ibunda dalam peti di Sungai Nil, yang alirannya menuju
pemandian istri Fir'aun, sedang ibundanya menanti-nanti berhati cemas
apa yang kan terjadi?
Bayi mungil Musa mentautkan
hati istri raja, Fir'an sendiri terpesona paras tampan sang bayi.
Lalu datanglah sayembara menyusui, para ibu di Mesir dikumpulkan, tapi
tiada dimaui bayi mencecapi puting mereka, hingga tiba ibunda Musa
sendiri mendengar kabar, dengan hati takut anak dan dirinya dibunuh
jikalau ketahuan. Diberanikannya ke Istana beralur indah, Fir'aun tidak
curiga, Musa dapat menyusui ibunda tercintanya.
Lambat laun beranjak bocah
digendong sang raja menjambak jengget raja Mesir membuat geram, kala
menginjak remaja kerap bersinggungan ayah angkatnya. Suatu hari
dikisahkan, Musa melerai dua penduduk tengah berselisih paham, yang
salah tak mengakuinya, ditempeleng orang itu seketika mati. Para
penduduk mengetahui tiada yang berani melapor ke pemerintahan,
desas-desus berkembang sampai Fir'an mendengar, maka dikerahkan bala
tentaranya untuk menangkap Musa saat itu juga.
Dalam pelariannya jauh
tengah padang gersang dilihat berdesak-desakan manusia mengantri air,
diamatinya dua gadis kesulitan di kerumunan menjemput giliran, pemuda
Musa menawarkan tenaga, hewan-hewan gembalaan dua gadis serta mereka tak
kehausan lama. Pulanglah kedua gadis tersebut melamporkan kejadian ke
orang tuanya, Syu'aib as. memahami soal terjadi, diperintah anak
gadisnya menjemput Musa untuk bersinggah di kediaman mereka.
Musa di tempat pelarian
pada negeri Madyan, selalu teringat ibunda serta saudaranya Harun, meski
tiap hari melihat gadis-gadis rupawan anak Syuaib. Musa dipekerjakan
tuan rumah mengembala, dan diberi tongkat yang biasa dipegang Syuaib
manakala mengembala semasa dulu. Ketekunan, kejujuran di sisi
ketampanan Musa membuat mereka terpikat, Nabi Syuaib as. tak ragu-ragu
mengikuti rencana Tuhan melamar bagi suami dari salah satu anaknya.
Musa dibilang kesepian selain gundah merindukan keluarganya sedikit
terobati.
Maharnya mengembala selama
delapan tahun, karena Musa rajin diketahui Syu’aib kerap menambahi
sesuatu pekerjaan yang baik, diperintahkan menambah sendiri jumlah mahar
sampai sepuluh tahun. Waktu berjalan, siang-malam berputar; kata
penyair. Jatuh tempo diselesaikan indah oleh Musa, Nabi Syuaib memberi
pilihan tetap di negeri Madyan atau kembali. Dipilih mengunjungi orang
tuanya, bersama istrinya.
Di tengah perjalanan dengan
belahan jiwanya kemalaman di kaki bukit, mereka mengalami kebingungan
arah ke kota Mesir. Setelah lewati senja menggenapi gelap malam,
bintang-gemintang berbiak di langit. Waktu sulit dipahami serupa
sepertiga malam, dilihatnya di ketinggian bukit ada cahaya berkilauan,
disurunya sang istri tak beranjak ke mana-mana, Musa ke atas bukit
mendatangi muasal Cahaya.
Lalui jurang terjal
bebatuan cadas di ceruk dalam, ia hampiri pohon zaitun rindang di sisi
Cahaya sedari tadi disaksikan dari kaki bukit Tursina. Kelak pohon itu
bersebut "Syajar Musa." Alhamdulillah beriring-iring menyambut hari
kelahiran Nabi saw (12 Rabiul Awal) ini mengalir seingatan masa kecil,
sebentar lagi merayakan ‘Maulud Nabi’ di Jawa demi memuliakan kelahiran
Sang Nabi saw.
Istilah Syajar Musa dapat
dimaknai sejarah awal kenabian Musa as, pada dinaya tertentu seperti
Nabi saw di Gua Hira.' Dalam al-Qur'an disematkan peristiwa di bukit
Sina dalam Surat Ath Thur, saya kutip ayat 1-4 berikut:
1. (Demi Thur) Thur nama sebuah bukit tempat Allah berfirman secara langsung kepada Nabi Musa as.
2. (Dan demi Kitab yang ditulis).
3. (Pada lembar yang terbuka) yakni kitab Taurat atau kitab Alquran.
4.
(Dan demi Baitul Makmur) yang berada di langit ketiga, atau keenam
atau yang ketujuh, letaknya persis berada di atas Ka'bah; setiap hari
diziarahi oleh tujuh puluh ribu malaikat yang melakukan thawaf dan
shalat di situ, dan mereka tidak kembali lagi kepadanya untuk
selama-lamanya.
Kalau tak luput, Imam Al
Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin berujar, 'seorang ahli ilmu tak
kan bosan menyimak keilmuan meski diulang-ulang, sebab dibacaan serupa
selalu menemu penyingkapan bertambah.' Saya harap ini pula pada kisah
Musa di atas. Ibn 'Arabi dalam Fusus al-Hikam memaknai 'ruh Musa
merupakan kumpulan sedari ruh-ruh bayi terbunuh di masanya:' “Musa
adalah suatu peleburan setiap kehidupan yang diambilkan manfaatnya,
dan segala sesuatu disiapkan untuk setiap anak menurut penerimaan
spiritualnya, lalu, diletakkan pada Musa. Bagi Musa, ini adalah suatu
anugerah Ilahi khusus yang tidak diberikan pada seorang pun sebelum
beliau.” Tulisan saya yang lain, 'anak yang selamat dari bencana
akan menyelamatkan bangsanya.' Walau Allah swt membentangkan alur Musa
sangat elok tak luput hukum alam (sunnatullah), bahasa Muhammad Iqbal
saya kutip, "Pengetahuan
manusia ialah konseptual, dan dengan bersenjatakan pengetahuan
konseptual inilah manusia berkenalan dengan aspek Kebenaran yang bisa
diselidiki. Yang perlu sekali dicatat adalah al-Qur'an menekankan
semuanya terletak pada aspek Kebenaran yang harus diselidiki."
'Keputusasaan' ibunda
memasukkan peti bayinya merupakan kasih sayang paling ganjil demi nyawa
Musa, meski firasat 'penyelamatan' nyata dalam keyakinannya, seperti
'keputusan' Nabi saw berhaji dari Madinah ke Makah menghasilkan
Perjanjian Hudaibiyah, membuat para sahabatnya mengalami keraguan, tak
luput Umar bin Khattab. Mungkin bagi sebagian peneliti, perihal itu
bukan didasari wahyu atau Sang Nabi bertindak bersandar rabahan
kemanusiaannya, dan Allah swt mengabulkannya berhaji tahun depannya,
sisi lain sikap Umar dianggap cerdas, namun dalam Kitab Suci
menyingkapnya kemenangan, sesuai jalannya sejarah. Situasional tertekan
kerap mendatangkan keputusan menghawatirkan, hanya dengan langkah
terbuka pintu lain, pilihan mengurangi sekecil-kecilnya kefatalan, jalan
diperhitungkan tetap diamati seksama, diselidik masak-masak di balik
peristiwa tengah berjalin, sebab berjalannya semesta laksana
timbangan.
Peti pembawa bayi Musa. Ada
riwayat saat melaju di air melawan arus dan mengelurkan sinar,
jelasnya ke Istana Mesir. Di mana pembantaian bayi-bayi lelaki masih
terus saja dilakukan, dalam pertimbangan jaman masih percayai
keajaiban, istri Fir'aun terpikat bayi mugil di balik darah kian
mengucur atas perintah suaminya, demikian jua dialami Fir'aun
terperdaya suasana melupakan ucapan penujum. Di suatu makolah
disebutkan, informasi penujum terperoleh dari bisikan jin mendengar
rencana Tuhan. Namun ini dapat dikembalikan segenap sesuatu
ditentukan-Nya, tidak laksana sulapan atau tengok QS. Ath Thu'r (52):
35 di atas. Elusan Ilahi sangat manusiawi memasukkannya bayi Musa dalam
lingkungan kerajaan yang ketat laksana nyamuk tak sanggup menembus.
Dalam didikan sepadan para pangeran, Musa yang diberkahi kepandaian
menangkap situasi terus mempelajari kejadian, apalagi ibundanya sendiri
menceritakan, makin terkuak merasa beruntung di antara bayi-bayi
semasanya. Kepercayaan diri meningkatkan indranya mencium peristiwa
jadi bertumpuk nilainya, dikala menginsyafi keterbatasan sebagai anak
angkat raja.
Saya percaya, pembaca bisa
ambil hikmah terudar ke permasalahan sastra. Terbentuknya angkatan,
pelopor susastra dilanggengkan para kritikus dalam berita tulisannya,
kerap kali kesampingkan orang sekitar. Periodenya selalu disebut,
namanya diperbesar beristilah semangat kepahlawanan, kebangsaan, ini
mengukuhkan beberapa gelitir nama menyingkirkan lainnya, lebih fatal
mengada, saat dibentur kekisaran sejarah tak sebanding, tengok bagian
XI. Penggalian kekaryaannya pun lebih pujian yang menumpulkan kekritisan
generasi selanjutnya. Ini dialami orang-orang tua yang bayinya
diserahkan / menguburnya sendiri, ketakutan berlebih dalam menyuarakan
kebenaran tertinggal menjaga wibawa penguasa sampai keropos nyalinya,
ide-ide besar tak sepaham ditumpas di meja redaktur laksana algojo
membantai bayi-bayi Mesir. Untung kemajuan sarana penyebaran jaring
saiber atau saya teringat keberanian bangsa Sparta, sisi lain perang
Badar / kekuasaan menyimpang dapat balasan setimpal, jika tak mau
membenahi keadaan semisal sulapan dangkal "Jadi maka jadilah!" bersama
orang-orang menyaksikan dan mengamininya!
Dalam volume tertentu,
kintirnya peti Musa membentuk takdir lain semasanya dalam pengejaran
tentara dan peroleh tempat bertenduh di kediaman Syuaib. Ringan
tangannya menolong anak-anak gadis mengambil air diantrian panjang
sejelas keputusan orang tua Musa menghanyutkannya di Nil, itulah nada
irama perikehidupan diudar setarikan hidup sungguh berharga meski di
dalam 'kutukan,' Adam diturunkan ke Bumi bersama Hawa, Tuhan menurunkan
para nabi memberkati penerang (paham ini bukannya sepakat mengenai
dosa turunan, namun demi kehati-hatian bersikap). Allah swt
menundukkan daratan serta lautan agar manusia kembangkan fitrohnya,
begitulah naik-turunya melodi hayati dapat dirunut muasanya seturut
timbangan masa ditentukan-Nya, mukjizat Nabi Musa as mengimbangi
keahlian para penyihir Raja Fi'aun, mukjizat al-Qur'an sebagai jawaban
persoalan di depan.
Dia menganugerahi
keistimewaan tongkat Musa pun bersebab-musabab, tidak asal-asalanya
sebatang kayu ditemukan di jalan, silsilahnya dari Nabi Syuaib as, yang
mana tongkatnya setiap hari untuk menggiring gembalaan. Para petani
pun pengembala dapat disebut berikhtiar dalam hidupnya secara langsung
dari-Nya yang bergantung turunnya hujan, sunnatullah, 'firman yang
bergerak serta tampak', mendorong perubahan alam ciptaan-Nya. Kesabaran
Nabi Syuaib mendidik putri-putrinya, melangsungkan hidup secara halal
beternak, keuletan sungguh di dataran gurun pasir menuwai berkah,
diangkatnya menjadi utusan-Nya juga kepada menantunya, Musa.
Tahun 1980-an di bencah
tanah Jawa pinggiran Pantura, Para Kyai masih memandang / mencari
menantu yang ahli keagamaan, ‘berapa kitab sudah dihapal, berguru kepada
siapa saja,’ serta ‘ketawadhuan terhadap keilmuan dipetik setiap
harinya,’ yang tidak mementingkan lahiriah demi kelanjutan syiar sudah
dilakoni. Kehusyukan ini tercermin dalam sikap Musa terhadap Syuaib,
orang ‘diselamatkan’ dari pengejaran tentara Fir'aun, diamankan dari
tangan kejahiliyaan, merasa berhutang budi, maka sebaik-baiknya berserah
kepada-Nya. Di suatu makolah disebutkan, ‘lelaku istikomah (ajek,
tekun, gerak bersifat kontinyu) lebih baik dari seribu karomah. Dan
"nalar yang hidup" istilah yang kerap dipakai KH Abdul Ghofur, Pengasuh
Pesantren Sunan Drajat, “akan senantiasa berkembang.” Ini sejauh insan
memekarkan kesadaranya di setiap tingkap persoalan dihadapi, senada
petani mengolah tanah menuai hasil, dengan tak melupakan rasa syukur
meski tak seberapa.
Nabi Syuaib as mewariskan
tongkatnya kepada Musa pun tidak sekenanya berucap “Ini tongkat keren,
sakti!” Namun hukum-Nya beriringan siklus alam yang diciptakan-Nya.
Musa mungkin tak menyadari tongkat setiap harinya digunakan
mengembala, kelak jadi penentu jalan takdirnya. Saya percaya Musa
tidak picik berpandangan kalaulah tuan rumahnya seorang penyihir, tapi
bebulir nilai kebeningan dari pancaran pikirannya menaburi pengertian
benderang, limpahan kurnia hadir atas ketabahan dua generasi
'pengembala,' berikhtiar langsung di hadapan-Nya sebagaimana
sunnatullah di atas. Keterangan semakin jelas di puncak bukit Sina
kala melihat Cahaya-Nya, versi cerita Tuhan bertanya kepada Musa, 'Apa
yang kau bawa?' ‘Tongkat nan biasa buat saya mengembala’ jawab Musa.
'Lemparkan ke tanah!' Setelah dilempar menjelma ular besar sampai Musa
ketakutan sangat, lalu Tuhan menghiburnya dengan memerintahkan ular
tersebut dipegangnya, kan berubah menjadi tongkat seperti semula.
Lalu Musa memohon
kepada-Nya agar Harun juga diangkat sebagai utusan. Dikabulkanlah doanya
lantas meneruskan perjalanan bersama istri tercinta ke Mesir, menemui
ibunda serta menjumpai Nabi Harun as untuk memerangi Raja Fir’aun,
sedang kekisah berikutnya seperti terdapat di bagian XVII. Untuk
persingkat waktu saya petik Hadits berkenaan permasalahan di atas, dan
mengenai kisah Nabi Musa as selanjutnya, tidak menutup kemungkinan
tertuang di bagian lain. Ada sebuah Hadits yang kerap mendampingi Surat
Asy Syu’ara ayat 225-227 manakala para ulama ketengahkan pembahasan
syair pun susastra. Hanya saja saya belum menemukan jalur-jalur
perawinya, para beliau kebayakan menyebut langsung ‘sabda Rasulullah
saw.’ Dan yang terjumput ini sedari sambutan Sayid Ali Al-Bablawi, Guru
Besar Universitas Al-Azhar dalam kitab "Jawahirul Balaghah" karya
Sayid Ahmad Al-Hasyimi, diterjemahkan Drs. M. Zuhri Dipl. TAFL. dan K.
Ahmad Chumaidi Umar, terbitan Darul Ihya' Indonesia dan Mutiara Ilmu
Surabaya, Mei 1994. Haditsnya berbunyi:
"Sesungguhnya sebagian dari perkataan yang fasih itu ada sesuatu yang
mempesona laksana sihir. Dan sesungguhnya sebagian dari sya'ir itu
terdapat hikmah."
Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani tak segan memberi misal kesabaran 'Majnun Layla' dalam salah
satu pegajiannya bertitel "Cinta Allah" yang terkumpul di kitabnya
"Al-Fath al-Rabbani wa al-Fayd al-Rahmani," diterjemahkan Kamran As'ad
Irsyadi, terbitan Pustaka Sufi, 2003. Pun menuturkan ungkapan indah
seorang penyair, “Ketika nafsu mendorong pada cinta (hawa), Maka ia menjadikan manusia seperti besi yang dingin.” Hassan
Hanafi dalam karangannya "Min al-'Aqidah ila al-Tsawrah" pula
mengamini para cendekia mengenai syair, merupakan amal saleh pendorong
ketakwaan.
Adalah tiada larangan
mempelajari syair, bertekun-tekun mencipta karangan indah, pun tiada
anjuran secara khusus bersastra kecuali sebagai alat menuju ketakwaan,
lantaran di sisinya ada arus mudah menggelincirkan laksana sihir nan
mencipta keterlenaan. Tantangan besar diberikan Al-Qur'an dalam Surat
al-Isra' (17): 88 teruntuk para penyair yang bernafsu mendekati /
menyaingi ketinggian, berikhtiar menggapai kemuliaan, berhendak menuju /
menyepadani kesucian al-Kitab, tentunya sudah diwaspadai para beliau
agar tidak terperosok ke jalan tersebut. Lebih tegas Surat Ya'sin
[36]: 69 Allah swt berfirman "Dan
Kami tidak mengajarkan kepadanya tentang syair, dan bersyair itu
tidak layak baginya. Al-Qur'an itu tiada lain hanyalah pelajaran dan
Kitab yang memberi penerangan." Maka kiranya perlu sangat
berhati-hati mendedah, apalagi menghimbau yang jelas-jelas para
beliau, Rasulullah sendiri tak memerintah langsung. Nabi saw dan para
sahabatnya dalam beberapa riwayat, suka alunan syair yang di dalamnya
menunjukkan ke jalan keagungan-Nya, apakah menggambarkan kecantikan
ciptaan-Nya, kerinduan terhadap kota suci Makkah dan seiramanya.
Sungguh disayangkan SCB mengungkapkan perihal ini, "Pada
mulanya Sang Maha Penyair berucap, "Jadi maka jadilah!" Itulah kata
yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi
adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna
menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih
kata yang makna hakiki itu sendiri." dan "Pada
mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, "Jadi, lantas jadilah!"
Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah
ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah
penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu
sendiri." Alhamdulillah sudah saya udar di bagian XVI, XVII dan
XVIII ini, kiranya uraian saya terdapat kekeliruan, sungguh sangat
senang mendapat teguran, namun alangkah elok jikalau ada kebenaran
dikumandangkan. Dan kekeliruan disengaja, setengahnya pun tak disengaja,
semoga kembali ke jalan keselamatan, serupa pertaubatan masa akhir
hayatnya Abdullah ibn Sa’id, yang pernah merubah Firman-Nya, 'alimun
sami'un' menjadi 'alimun hakimun' dikisahkan Karen Armstrong.
Sebagai pengelana, saya tak
pantas menuangkan ini, namun terdorong suara-suara para beliau seakan
terpaksa menulis beberapa ayat-ayat dari Kitab Suci untuk menerangi
paham kelewat berani terlampaui nekat sampai-sampainya merombak
lafaz-Nya. Yang mana tulisan saya kebanyakan dapat dibilang jarang
mencantumkan firman-Nya kecuali terpaksa mendedah tulisan yang menyebut /
terkait dengannya, kebanyakan tulisan saya mengutip pandangan para
beliau sebagai rasa hormat, karena tiada keberanian menilai kandungan
al-Qur'an secara langsung / berpedoman dengan langkah sendiri, tapi jua
tak menutup rahmat bahwasannya ini teguran bagi saya sebagai langkah
awal ke muka lebih baik. Hanya dengan izin-Nya lelembaran ini
terlaksana dan saya bukan hakim penentu, semuanya saya serahkan ke
hadiran pembaca yang memiliki kepahaman lebih daripada pengelana. Kini
saya tutup, jika ada batasan belum jelas, Insyaallah di bagian
berikut mendekatkan kembali.
6 Februari 2012,
13 Robiul Awal 1433 H,
Senin Kliwon 13 Mulud 1945.
Lamongan, Jawi Syarqiyah, Indonesia.*) Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XVIII kupasan keempat dari paragraf tiga dan empat)
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/02/surah-at-tur-mount-heavenly-recitation.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar