Agus Sulton
_Radar Mojokerto, 29 Juli 2012
Banyuarang adalah sebuah desa masuk dalam kecamatan Ngoro Jombang. Awalnya, sebelum tahun 1922 desa Banyuarang terdiri dari tiga dusun, yaitu dusun Banyuarang, dusun Balungbiru, dan dusun Sumberagung. Ditahun berikutnya desa Banyuarang menjadi enam dusun, yaitu Banyuarang, Balungbiru, Sumberagung, Plemahan, Ketanen, dan Kuncung. Desa ini sebagian penduduknya hidup dari bertani, sisanya sebagai pedagang, pegawai, industri rumahan dan sebagainya.
Siapa sangka desa Banyuarang menyimpan cerita panjang tentang seorang tokoh penyebar agama Islam dari anak turun kerajaan Pajang. Konon saat perselisihan antara Jaka Tingkir melawan Ngabei Loring Pasar tahun 1582, sebagian anak buah dan saudara keluarga Jaka Tingkir ada yang melarikan ke pedalaman bekas kerajaan Majapahit, termasuk Pangeran Jenu atau Raden Mukhtar dan beberapa anak buahnya. Dalam pelarian, Pangeran Jenu singgah di bekas kerajaan Majapahit yang sebagian wilayahnya masih berupa hutan belantara. Kamudian bersama pasukannya, Pangeran Jenu menebang hutan untuk dijadikan hunian dan mendirikan mandala, semacam tempat dakwah (pesantren) atas dasar menyiarkan agama Islam.
Sumber manuskrip kitab Pararaton (32 halaman), kerajaan Majapahit waktu itu, tahun 1527 sudah lenyap dari muka bumi saat kepemimpinan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana diserang panglima Toh A bo putra dari Tung Ka Lo (dari Demak). Dari manuskrip Babad Tanah Jawa, Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Demak menguasai bekas wilayah Majapahit sampai kesultanan Muk Ming tahun 1546. Kemudian kerajaan Pajang berdiri dibawah kekuasaan Jaka Tingkir, termasuk kerajaan Mataram masa Ki Ageng Pemanah masih dinaungi kekuasaan Pajang. Tahun 1575 Ki Ageng Pemanah meninggal, setelah itu Mataram digantikan oleh Ngabei Loring Pasar yang dikenal membandel tidak patuh pada kesultanan Pajang. Sepeninggalan Jaka Tingkir, Pajang mengalami gonjang ganjing. Pangeran Banawa (anak Jaka Tingkir) tidak bisa mewarisi ayahnya untuk menjadi sultan di Pajang karena dilahirkan dari selir Jaka Tingkir. Ada usulan lain, yang menggantikan Pajang yaitu dari putri Jaka Tingkir yang dinikahkan dengan Adipati Demak. Dan, Pangeran Banawa sebagai Adipati Jipang. Usulan itu—membuat Pangeran Benawa tersinggung sampai akhirnya merangkul Ngabei Loring Pasar untuk menumpas Adipati Demak. Kalau berhasil menumpaskan, akan dihadiahi menjadi kesultanan di Pajang. Setelah berhasil menumpas Adipati Demak, Ngabei Loring Pasar menjadikan Mataram sebagai kesultanan.
***
Dalam cerita rakyat yang berkembang, Pangeran Jenu adalah keturunan dari kerajaan Pajang. Saat perpecahan itu, Pangeran Jenu mengasingkan diri dengan maksud untuk menyebarkan agama Islam. Dalam beberapa edisi teks Babad Tanah Jawa, setelah runtuhnya Majapahit kerajaan-kerajaan tersebut di atas adalah masih terkait. Petinggi raja dan pasukkannya sudah banyak yang memeluk agama Islam.
Menurut kepercayaan dari penduduk desa Banyuarang, pada saat pangeran Jenu mendirikan pesantren ada salah seorang yang sering mengusik keberadaan pesantren, yaitu Kebokicak. Sampai suatu ketika terjadi perlawanan antara pangeran Jenu dan Kebokicak termasuk beberapa pasukannya. Perlawanan keduanya dimenangkan pihak pangeran Jenu, akhirnya tidak berselang lama mereka besanan. Putra pangeran Jenu yang bernama Nur Khotib menikah dengan Wandan Wanuh. Menurut Informan, Kyai Hafidz yang dilakukan sdr. Fahrudin Nasrulloh pada tahun 2008, nama istri Nur Khotib adalah Wandan Manguri cucu dari Brawijaya V dari istri Wandan Kuning.
Beberapa hari setelah pernikahan, Nur Khotib pindah mengikuti istrinya ke Dapur Kejambon. Pada saat itu pula Banyuarang di tempati oleh keluarga Pangeran Jenu dan para santrinya. Suatu ketika ada keanehan dari satu santri Pangeran Jenu. Santri tersebut tidak bisa mengaji karena terlalu bebal tetapi hanya bisa menghafal surat Al Fiil, surat Makkiyah, surat-surat ke 105 yang terdiri dari 5 ayat. Namun, suatu hari saat santrinya melafalkan surat Al Fiil, Pangeran Jenu menyuruh supaya lengna (dipahami betul-betul) dengan maksud agar santri tersebut mau melafalkan dan belajar surat-surat lainnya.
Bukan kata lengna lagi yang ditangkap telinga santri itu, tetapi lenga (minyak). Karena perintah sang Kyai, santri tersebut dimalam berikutnya mengambil air dalam sebuah wadah kamudian meletakkan Al Qur’an di atasnya sambil melafalkan surat Al Fiil semalam suntuk. Pagi harinya seusai sholat Subuh Al Qur’an itu diambil, ternyata ada keanehan dari wadah tersebut. Air yang ada dalam wadah menjadi kental seperti lenga (minyak), para santri lainnya menamai sebagai lenga Al Qur’an. Dari minimnya air dalam wadah itu kekaguman Pangeran Jenu, santri pelafal surat Al Fiil, dan santri-santri lain beranggapan, air yang sebelumnya penuh kemudian berubah menjadi sedikit dan menjadi lenga mengental menyebutnya sebagai ”banyu arang” Sehingga para santri lain memanggil pelafal surat Al Fiil itu dengan nama Mbah Alamtara.
Mungkin berawal dari itulah—cerita rakyat yang berkembang secara turun-temurun sampai akhirnya diabadikan menjadi sebuah nama desa. Cerita rakyat lainnya menyebutkan bahwa pesantren Pangeran Jenu atau Raden Mukhtar dulu berada di barat dusun Banyuarang. Pangeran Jenu meninggal pada tahun 1605 Masehi, dan dimakamkan di sebelah barat dusun Banyuarang dekat komplek pemakaman umum. Sebelah baratnya makam Pangeran Jenu terdapat makam Mbah Alamtara, termasuk makam dari sanak keluarga Pangeran Jenu.
***
_Radar Mojokerto, 29 Juli 2012
Banyuarang adalah sebuah desa masuk dalam kecamatan Ngoro Jombang. Awalnya, sebelum tahun 1922 desa Banyuarang terdiri dari tiga dusun, yaitu dusun Banyuarang, dusun Balungbiru, dan dusun Sumberagung. Ditahun berikutnya desa Banyuarang menjadi enam dusun, yaitu Banyuarang, Balungbiru, Sumberagung, Plemahan, Ketanen, dan Kuncung. Desa ini sebagian penduduknya hidup dari bertani, sisanya sebagai pedagang, pegawai, industri rumahan dan sebagainya.
Siapa sangka desa Banyuarang menyimpan cerita panjang tentang seorang tokoh penyebar agama Islam dari anak turun kerajaan Pajang. Konon saat perselisihan antara Jaka Tingkir melawan Ngabei Loring Pasar tahun 1582, sebagian anak buah dan saudara keluarga Jaka Tingkir ada yang melarikan ke pedalaman bekas kerajaan Majapahit, termasuk Pangeran Jenu atau Raden Mukhtar dan beberapa anak buahnya. Dalam pelarian, Pangeran Jenu singgah di bekas kerajaan Majapahit yang sebagian wilayahnya masih berupa hutan belantara. Kamudian bersama pasukannya, Pangeran Jenu menebang hutan untuk dijadikan hunian dan mendirikan mandala, semacam tempat dakwah (pesantren) atas dasar menyiarkan agama Islam.
Sumber manuskrip kitab Pararaton (32 halaman), kerajaan Majapahit waktu itu, tahun 1527 sudah lenyap dari muka bumi saat kepemimpinan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana diserang panglima Toh A bo putra dari Tung Ka Lo (dari Demak). Dari manuskrip Babad Tanah Jawa, Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Demak menguasai bekas wilayah Majapahit sampai kesultanan Muk Ming tahun 1546. Kemudian kerajaan Pajang berdiri dibawah kekuasaan Jaka Tingkir, termasuk kerajaan Mataram masa Ki Ageng Pemanah masih dinaungi kekuasaan Pajang. Tahun 1575 Ki Ageng Pemanah meninggal, setelah itu Mataram digantikan oleh Ngabei Loring Pasar yang dikenal membandel tidak patuh pada kesultanan Pajang. Sepeninggalan Jaka Tingkir, Pajang mengalami gonjang ganjing. Pangeran Banawa (anak Jaka Tingkir) tidak bisa mewarisi ayahnya untuk menjadi sultan di Pajang karena dilahirkan dari selir Jaka Tingkir. Ada usulan lain, yang menggantikan Pajang yaitu dari putri Jaka Tingkir yang dinikahkan dengan Adipati Demak. Dan, Pangeran Banawa sebagai Adipati Jipang. Usulan itu—membuat Pangeran Benawa tersinggung sampai akhirnya merangkul Ngabei Loring Pasar untuk menumpas Adipati Demak. Kalau berhasil menumpaskan, akan dihadiahi menjadi kesultanan di Pajang. Setelah berhasil menumpas Adipati Demak, Ngabei Loring Pasar menjadikan Mataram sebagai kesultanan.
***
Dalam cerita rakyat yang berkembang, Pangeran Jenu adalah keturunan dari kerajaan Pajang. Saat perpecahan itu, Pangeran Jenu mengasingkan diri dengan maksud untuk menyebarkan agama Islam. Dalam beberapa edisi teks Babad Tanah Jawa, setelah runtuhnya Majapahit kerajaan-kerajaan tersebut di atas adalah masih terkait. Petinggi raja dan pasukkannya sudah banyak yang memeluk agama Islam.
Menurut kepercayaan dari penduduk desa Banyuarang, pada saat pangeran Jenu mendirikan pesantren ada salah seorang yang sering mengusik keberadaan pesantren, yaitu Kebokicak. Sampai suatu ketika terjadi perlawanan antara pangeran Jenu dan Kebokicak termasuk beberapa pasukannya. Perlawanan keduanya dimenangkan pihak pangeran Jenu, akhirnya tidak berselang lama mereka besanan. Putra pangeran Jenu yang bernama Nur Khotib menikah dengan Wandan Wanuh. Menurut Informan, Kyai Hafidz yang dilakukan sdr. Fahrudin Nasrulloh pada tahun 2008, nama istri Nur Khotib adalah Wandan Manguri cucu dari Brawijaya V dari istri Wandan Kuning.
Beberapa hari setelah pernikahan, Nur Khotib pindah mengikuti istrinya ke Dapur Kejambon. Pada saat itu pula Banyuarang di tempati oleh keluarga Pangeran Jenu dan para santrinya. Suatu ketika ada keanehan dari satu santri Pangeran Jenu. Santri tersebut tidak bisa mengaji karena terlalu bebal tetapi hanya bisa menghafal surat Al Fiil, surat Makkiyah, surat-surat ke 105 yang terdiri dari 5 ayat. Namun, suatu hari saat santrinya melafalkan surat Al Fiil, Pangeran Jenu menyuruh supaya lengna (dipahami betul-betul) dengan maksud agar santri tersebut mau melafalkan dan belajar surat-surat lainnya.
Bukan kata lengna lagi yang ditangkap telinga santri itu, tetapi lenga (minyak). Karena perintah sang Kyai, santri tersebut dimalam berikutnya mengambil air dalam sebuah wadah kamudian meletakkan Al Qur’an di atasnya sambil melafalkan surat Al Fiil semalam suntuk. Pagi harinya seusai sholat Subuh Al Qur’an itu diambil, ternyata ada keanehan dari wadah tersebut. Air yang ada dalam wadah menjadi kental seperti lenga (minyak), para santri lainnya menamai sebagai lenga Al Qur’an. Dari minimnya air dalam wadah itu kekaguman Pangeran Jenu, santri pelafal surat Al Fiil, dan santri-santri lain beranggapan, air yang sebelumnya penuh kemudian berubah menjadi sedikit dan menjadi lenga mengental menyebutnya sebagai ”banyu arang” Sehingga para santri lain memanggil pelafal surat Al Fiil itu dengan nama Mbah Alamtara.
Mungkin berawal dari itulah—cerita rakyat yang berkembang secara turun-temurun sampai akhirnya diabadikan menjadi sebuah nama desa. Cerita rakyat lainnya menyebutkan bahwa pesantren Pangeran Jenu atau Raden Mukhtar dulu berada di barat dusun Banyuarang. Pangeran Jenu meninggal pada tahun 1605 Masehi, dan dimakamkan di sebelah barat dusun Banyuarang dekat komplek pemakaman umum. Sebelah baratnya makam Pangeran Jenu terdapat makam Mbah Alamtara, termasuk makam dari sanak keluarga Pangeran Jenu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar