Imron Tohari
BUAH SIMALAKAMA ITU …
: bagi penyair generasi kini
buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal
buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?
buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!
(Dimas Arika Mihardja, bpsm, 11/1/2012)
“Saya tidak tahu bagaimana nasib Anda kelak, tetapi ada satu hal
yang saya ketahui: Mereka yang benar-benar berbahagia hanyalah mereka
yang mencari dan menemukan cara membaktikan diri” (Albert Schweitzer – hal.149 Chicken Soup for the Soul at Work).
Perkataan Albert Schweitzer tersebut kalau kita tarik benang merahnya
dengan kinerja cipta karya puisi, terkait maraknya dunia tulis menulis
puisi lima tahun terakhir, khususnya di dunia virtual (kita kerucutkan
di jejaring social semacam facebook), tak pelak memunculkan berbagai
pendapat positip pun negatip; pro maupun kontra akan kualitas karya yang
bertebaran laksana jamur di musim hujan. Di mana pada karya-karya yang
tumbuh bak jamur di musim hujan tersebut, notabene banyak dari mereka
yang tadinya tidak suka puisi, karena mudahnya berinteraksi dengan karya
pencipta pendahulunya yang juga banyak diupload di dunia cyber,
menjadikan suatu dorongan bahwa mereka juga bisa membuat puisi
seperti yang telah ada, sehingga bergegas mereka (baca: baru tarap awal
jatuh cinta dengan puisi) beramai-ramai membuat dan langsung publis,
yang saya yakin 90% dari karya yang dipublish ini tidak melalui proses
pengendapan untuk mendapatkan nilai estetis secara maksimal yang sesuai
dengan kaidah-kaidah sastra, dalam pengertian, instan ini
terjadi tersebab mereka lebih mengacu pada pemikiran sebatas meluahkan
perasaan yang terpendam dalam magma pergolakan jiwa pengkarya cipta.
Sedangkan mengenai estestis karya, biasanya mereka lebih banyak
mengikuti pola penyair-penyair yang sudah mapan di ranah sastra (dengan
abai akan pengaruh baik buruk atas tekhnik saji bahasa poetika para
penyair yang dianutnya tersebut). Hal inilah selanjutnya yang memicu
banyaknya karya puisi yang berseakan tidak bisa melepaskan diri dari
pengaruh penulis karya sebelumnya (kalau tidak boleh dikata sebagai
pengekor kelas akut).
Sebagian pelaku sastra menyambut fenomena menarik ini sabagai sesuatu
yang positip bagi tumbuh kembangnya sastra puisi di kemudian hari,
serta merupakan suatu momentum yang baik untuk kembali menggerakkan
roda-roda sastra khususnya puisi yang setelah sekian lama tak ada derit
suara dari perputaran roda sastra termaksud. Dan sebagian pelaku sastra
lainnya menganggap fenomena ini justru akan kian menenggelamkan kualitas
dari sastra puisi itu sendiri, tersebab tidak adanya filter dan atau
saringan kuat atas karya yang dipublis. (adanya dua pendapat inilah yang
memicu adanya perang argument yang tak berkesudahan antara peran sastra
puisi Koran vs sastra puisi cyber, beserta pengaruhnya terhadap wibawa
sastra puisi dalam kedudukannya di masyarakat yang berbudaya adi
luhung).
Tidak ada yang salah dan benar atas pro kontra yang terjadi dengan
fenomena semaraknya sastra cyber. Sastra cyber lebih geliat dibanding
sastra Koran tersebab para pencipta butuh ruang yang lebih bersahabat
untuk mendapat apresiasi dari pembacanya yang bisa secara interaktip
langsung (terlepas apa karya itu berkualitas atau tidak), sedangkan
sastra Koran lebih mengedepankan nilai kualitas karya sebagai produk
budaya sastra (terlepas dengan merebaknya wacana kepentingan ekonomis
dewasa ini di ranah sastra Koran), namun jika dua alasan tadi kita
letakkan dalam lapak yang besar, maka kemenonjolan dua pendapat tadi
tentang “kegelisahan” akan tampak jelas di sana sebagai wujud peduli
pada tubuh kembangnya sastra tanah air secara baik, yang diharapkan akan
bisa mengembalikan kewibawaan sasra tanah air di ranah sastra dunia.
Berangkat dari kegelisahan tadi, Dimas Arika Mihardja menetaskan
gejolak jiwa dan opininya terhadap fenomena di atas, lewat hantaran
puisinya yang bertajuk “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, Dimas Arika
Mihardja (untuk selanjutnya saya singkat “DAM”) tidak sembarang memberi
judul, karena pada puisi ini, saya menangkap suatu isyarat, kalau judul
itu seperti halnya bahasa poetika yang ada di dalam sebuah rumah puisi
secara utuh, maka judul “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, saya ibaratkan sebuah
lampu di halaman rumah, sebagai penerang yang menunjukkan tetamu untuk
melihat sebuah pintu masuk menuju ke rumah puisi, Begitu kira-kira yang
saya tangkap dari pemilihan judul oleh DAM tersebut, yang di akhir
judul, seakan kunci masuknya diberikan pada penghayat itu sendiri dalam
bentuk simbolik tanda baca ellipsis (…). Dan kalau ellipsis tadi saya
parafrasakan untuk memudahkan saya membuka pintu-pintu yang pastinya
tidak hanya satu pintu yang ada di dalam rumah puisi, maka saya akan
menulisnya secara utuh seperti ini: “BUAH SIMALAKAMA ITU (hendaknya
bijak disikapi): Disikapi oleh siapa? Orang lampaukah? Atau orang
kinikah? Penyair legenda hidupkah? Atau penyair masa kinikah?
blablablaaaaa yang pasti berseakan saya menangkap judulnya berteriak:
ayo luruskan luruskan ini engkau yang legenda hidup, dan ayo saring
dengan saringan jernih engkau yang di kini sebelum minum nikmatnya
perasan buah anggur jiwa, biar tak mabuk dan tak sadarkan diri terlalu
lama.
Pemakaian simbolik bahasa ellipsis pada judul ini merupakan sebuah
keputusan tepat yang diambil oleh DAM, mengingat dibawah judul puisi ini
ada sebaris kalimat yang merujuk pada titik focus pesan untuk penyair
masa kini (baca tanpa tending aling aling ya: penyair yang baru awal
menapak jejak): “: bagi penyair generasi kini”, sementara di sisi lain
teks puisi ini, ada bahasan yang tak kalah penting yang ingin
disampaikan DAM pada rumah puisi melalui pintu-pintu simbolik bahasanya
secara utuh untuk penyair-penyair mapan dan atau pelaku sastra dalam
menyikapi fenomena sastra masa kini yang tengah terjadi (kalau tidak
boleh saya katakan semacam auto kritik terhadap pertanggung jawaban
moril selaku penggiat, pencipta dan atau pencinta sastra). Dan
kegelisahan penyair, esais DAM itu semakin kentara jika kita mau sedikit
berpayah-payah menelusuri setiap pintu simbolik bahasa poetika di bait
pertama, yang saya kutipkan di bawah ini:
“buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”
Menangkap simbol-simbol bahasa pada bait pertama puisi DAM di atas,
aku lirik berupaya membebaskan kegelisahaannya dengan memilih “cintaku”
sebagai kata kunci untuk merekatkan barisan kata sebelum dan sesudahnya.
Dan saya rasa pilihan kata kunci “cintaku” ini sudah tepat, cinta yang
memiliki makna yang begitu dalam serta tak berbatas prespektipnya,
senantiasa menawarkan suatu pergolakan batin suka dan dukanya (baca:
risau, gelisah berdasarkan KBBI), dan dengan kata “cintaku” ini juga
diharapkan bisa memberi daya dorong yang kuat pada imaji penikmat
baca/penghayat atas kode-kode dan atau simbol-simbol poetika yang
lainnya, yang secara tekstual bahasa pada puisi karya DAM “BUAH
SIMALAKAMA ITU …”, beberapa baris kalimat pada bait pertama (dan juga
pada beberapa baris lainnya pada bait selanjutnya) berseakan baris-baris
tadi hanya memberi makna secara yang tersirat teks saja, padahal kalau
kita mau sedikit saja berpayah-payah melebur pada kalimat-kalimat tadi,
ianya akan menghisap imaji rasa dan piker kita masuk ke pusaran simbolik
bahasa termaksud, kita akan mendapatkan makna yang membawa prespektip
besar berkaitan dengan segala amuk atas fenomena kekinian di ranah
sastra: “//mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi,
sementara/keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap
subagio/o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari
bersama afrizal//”
Hal yang bagaimana sebenarnya yang tengah digelisahkan DAM dalam larikan-larikannya tersebut?
Untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang tak hanya dari satu sisi, kita
terlebih dulu harus menarik benang merah dengan baris kalimat
sebelumnya, serta tak meninggalkan judul yang seperti saya kata
sebelumnya ibarat lampu penerang untuk melihat letak pintu-pintu yang
ada didalam rumah puisi. Jika kita menariknya terlebih dulu ke atas:
“BUAH SIMALAKAMA ITU …
: bagi penyair generasi kini
buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”
Nah di sini adanya ellipsis (…) yang ditaut benturkan dengan “: bagi
penyair generasi kini” akan menjadikan pesan aku lirik focus pada makna
dan atau pesan yang ingin dia letupkan pada dua baris pembuka di bait
pertama, di mana aku lirik mewanti-wanti pada penyair generasi kini
untuk menyikapi dengan bijak akan segala hal terkait banyaknya wacana
cipta karya puisi “buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja
makan”, dalam pengertian, apa buah simalakama itu? Ya buah simalakama
itu tidak lain dan bukan segala bentuk dan atau wujud puisi, baik yang
kita anut dari penyair pendahulu atau bentuk dari karya puisi sendiri,
dan seberapa jauh puisi-puisi pendahulu tadi yang banyak tersaji baik
yang tersebar di sastra cyber maupun di sastra Koran mempengaruhi dalam
penciptaan karya sendiri. Dan ada apa dengan “cintaku”, bisa jadi ini
simbolik yang mewakili kegelisahan dari aku lirik, dan bisa juga ini
merupakan semacam code bahasa untuk penyair kini agar tabah dalam
menggeluti dunia sastra puisi walau dalam pencarian jati diri tidaklah
semudah membalik telapak tangan “apapun pilihan akan meruahkan masalah
dalam pencarian”
Pesan yang sarat wanti-wanti dari sosok penyair DAM untuk penyair
kini, kian jernih saat kita membuka pintu-pintu simbolik poetika pada
tiga baris terakhir pada bait pertama:
“mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”
Pada larikan di atas, DAM tidak serta merta hanya sekedar memilih dan
atau menautkan sembarang nama penyair, namun dia saya rasa cukup jeli,
karena kebanyakan karya-karya merekalah yang banyak menjadi anutan para
penyair kini, khususnya pemula. Siapa pecinta sastra puisi yang tidak
mengenal karya Sapardi Djoko Damono yang fonumenal “Aku Ingin”, dan
betapa kekuatan estetika bahasa poetikanya begitu memukau para penyair
penerusnya, yang sayangnya justru para pengikutnya ini terjebak dalam
sebatas keindahan bahasanya sahaja tanpa memperdulikan estetika makna,
seperti karya-karya Sapardi Djoko Damono itu. Dan hal inilah yang
menjadikan duka abadi bagi kembang tumbuh karya sastra puisi ““mata
pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara“, benar-benar
seperti mata pisau yang tajam dan bisa melukai diri sendiri bila kita
tidak hati-hati serta bijak mencernanya.
Hanya saja saya kesulitan untuk merujuk pesan apa yang ingin
diletupkan DAM pada baris ke empat bait pertama “keraguan goenawan dan
kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, dibaris kalimat ini saya
rasa DAM gagal menjadi guide bagi penikmat baca/penghayat, karena tidak
seperti pada baris-bari sebelumnya dan sesudahnya pada bait yang sama,
yang begitu indah membantu penghayat untuk menangkap pesan-pesan yang
ingin diletupkan dengan melekat sertakan penanda seperti “dukamu abadi”
yang dibenturkan dengan “mata pisau telah diasah sapadi” serta “o amuk
kapak sutardji” yang dibentur tautkan dengan “lepas dari tradisi bersama
afrizal” yang saya tangkap dari larikan ini tentang pemujaan terhadan
kebebasan bahasa dan atau lebih mengedepankan keunikan bahasa tuang
karya dari pada makna karya itu sendiri. Sedangkan pada baris keempat
ini saya serasa dibenturkan pada sebuah pintu yang banyak kuncinya, dan
saya bingun kunci yang mana yang mesti bisa saya pakai untuk membuka
baris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap
subagio”, apakah baris ini oleh DAM dimunculkan hanya sebagai baris
pelengkap saja? Saya rasa untuk penyair sekelas DAM yang telah lama
malang melintang di ranah sastra tanah air secara ntata, tidaklah
begitu, pastinya ada pesan terkandung di dalamnya yang ingin diletupkan
ke permukaan.
Tapi apa? Entahlah, karena saya di baris ini hanya dihadapkan dengan
kalimat “keraguan goenawan”, keraguan yang bagaimana? Keraguan dalam
konteks apa?, dan juga pada kalimat selanjutnya “dan kematian semakin
akrab dalam dekap subagio”, kematian yang bagaimana yang dimaksud?
Kematian sastrakah? Atau merujuk pada statemen dari sosok penyair
Subagio dalam suatu tesisnya dan atau pengalaman pribadi DAM sewaktu
mengobrol dengan subagi tentang sesuatu perihal yang ada kaitannya
dengan tema yang diangkat dalam puisi ini? Semua terasa samar tanpa
adanya penanda yang jelas seperti pada sosok damono dengan duka abadinya
serta sutardji dengan o amuk kapaknya yang ditaut benturkan dengan
afrizal yang juga menganut kebebasan dalam menuliskan bahasa karya
(baca: semacam pembrontakan bahasa). Dibaris “keraguan goenawan dan
kematian semakin akrab dalam dekap subagio” ini saja saya berpendapat
DAM membuat saya seakan terantuk pintu dan jatuh sesaat karena kepala
pusing. Hehe. Tapi di baris selanjutnya “o amuk kapak sutardji lepas
dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”, kematangan
kepenyairan DAM seakan menolong saya untuk kembali bangun serta
menlanjutkan perjalanan untuk masuk pintu-pintu ruang kontemplatip yang
ada di rumah puisinya. Dan di baris pamungkas bait pertama ini saya
mendapati suatu pesan wanti-wanti yang teramat sangat pada penyair masa
kini, untuk tidak sekedar meniru tanpa menelaah secara bicak dan tidak
dimodali dengan pengetahuan yang baik seluk meluk komponen-komponen
sastra puisi secara utuh, yang didalamnya estetika bahasa dan estetika
makna harus berbanding sama. Wanti-wanti ini terkait dengan salah
kaprahnya para pengikut SCB dan Afrizal Malna yang akhirnya tumbuh
membiak pemikiran bahwa setelah karya di publis, maka matilah
penyairnya. Yang fatalnya lagi, paham ini dipertegas dengan statemen SCB
“ bahwa penyair tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya,” yang
justru hal ini tanpa dipikirkan secara bijak diamini oleh pengikutnya,
yang pada kenyataannya justru dijadikan sebagai senjata pamungkas aspek
pembenar. Disinilah sikap wanti-wanti pada penyair masa kini ini begitu
ditekankan oleh DAM. Dan menurut saya baris penutup ini bait yang
paling kuat di antara baris lainnya dibait pertama, walau senyatanya
kita tidak bisa memenggal baris tadi secara pisah, sebab dalam puisi,
baris merupakan satu kesatuan terowongan penyampai imaji, baik imaji
pengkarya cipta maupun imaji penikmat baca. Baris “o amuk kapak sutardji
lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal” ini saya
katakana kuat, karena berhasil memandu saya untuk mendekati pesan yang
ada seperti apa yang dikatakan Nurel Javissyarqi tentang pola pemikiran
SCB pada bukunya “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum
Bachri”: “Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan
penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas
puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha
mengaburkan daya tirakat, melalui mantra penutup yang menghilangkan
jejak tapak halusnya. Demikian dikatagorikan lempar batu sembunyi
tangan.”
Dan saat saya melongok catatan DAM untuk mencari tahu adakah hal yang
terkait dengan baris penutup bait pertama tadi, dan saya semakin yakin
pesan yang saya tangkap tadi, setelah saya membaca salah satu catatan
DAM di note Facee Booknya 12 Mei 2011 tentang INKONSISTENSI SUTARDJI
CALZOUM BACHRI, Sebagai tanggapan atas esai Nurel Javissyarqi,
menuliskan:
“SCB, menurut kredo puisinya, yang mengantar buku kumpulan
puisinya O AMUK KAPAK (pernah diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1981, dan
Depdiknas, 2003) ingin membebaskan kata dari penjajahan makna, ingin
mengembalikan pada kata pertama, yakni mantra. Realitasnya, kesan saya
sama dengan NJ bahwa dalam puisi-puisinya SCB sekadar menjungkirnalikkan
kata semaunya. Lalu setelah banyak pembaca dan kritisi dinilai kurang
cerdas menangkap sinyal-sinyal puisi SCB, SCB yang semula emoh
bertanggung jawab, lalu menulis pengangantar khusus untuk
menerangjelaskan karya-karyanya. Dalam konteks ini lalu terlihat
inkonsistensi kepenyairan SCB (pada satu ketika menolak bertanggung
jawab dan pada ketika lain justru menerangjelaskan karya-karyanya).”
Pada bait dua, yang merupakan penegas bait pertama. Dam dalam siratan
pesannya ke penyair masa kini, masih tidak terlepas dengan simpul
pembuka pada dua baris pertama bait pertama “//buah simalakama itu,
cintaku, terhidang di meja makan/apapun pilihan akan meruahkan masalah
dalam pencarian//, hanya saja melalui repetisi “//buah simalakama itu,
cintaku, tumbuh sepanjang tualang// ingin menegaskan, bahwa dalam
perjalanan proses pematangan dan atau pencarian jati diri “tumbuh
sepanjang tualang”, apakah sebagai penyair kita hanya berkutat dengan
kekuatan makna saja, dan kembali kemainstrem karya-karya semacam
angkatan pujangga lama dan pujangga baru sahaja, atau kita berani
melepaskan panah kreasi yang melesat melebihi mereka? Atau memang
penyair kekinian itu tidak bisa lepas dari baying-bayang pedahulunya
semacam apa yang disyiratkan dam dama baris “mengembara serupa ahasveros
dikutuksumpahi eros”.
APAKAH sastra Indonesia sedang sakit, sekarat, atau kritis
sehingga perlu diselamatkan? (dikutip dari Catatan: Dimas Arika
Mihardja: “PENYELAMATAN SASTRA INDONESIA”).
Entahlah, yang pasti dengan larikan teduhnya, sesuai dengan motonya
di BPSM, suatu wadah pembinaan para pencinta karya sastra, “asah, asih,
asuh”, Dam menutup puisi indah sarat kebaharuan piker dengan 3 baris
yang secara terang bisa kita cecap pesan dan atau makna yang tersirat
pun terusrat di dalamnya:
“buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!”
Salam lifespirit!
(Imron Tohari – lifespirit, 15 January 2012)
Dijumput dari:
http://www.facebook.com/notes/imron-tohari/esai-ringan-tentang-pembacaan-kegelisahan-buah-simalakama-dimas-arika-mihardja/10150486414413174?ref=notif¬if_t=like
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar