Muhammad Kosim *
http://www.lampungpost.com/
SEJARAH Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran dan perjuangan pondok pesantren (ponpes). Sejak awal kedatangan Islam pada masa Wali Songo hingga kini pesantren menyumbang jasa tak ternilai bagi Indonesia.
Menelusuri sejarah Islam di Nusantara sejak sekitar 1400 Masehi, peran Wali Songo tak dapat ditinggalkan. Meskipun Wali Songo berhasil mengislamkan sebagian besar Nusantara, setelah periode para wali banyak pemeluk Islam yang keislamannya belum sempurna. Hal ini terlihat dari masih banyaknya umat Islam yang percaya kepada hal-hal berbau mistik animisme dari nenek moyang mereka, meskipun sebenarnya mereka juga rajin salat.
Dalam situasi demikian, peran ponpes menjadi semakin penting. Tugas dan tujuan utama pesantren adalah meneruskan kerja Wali Songo, yaitu mengajak umat kepada tauhid yang lurus serta menyadarkan umat untuk menghidupkan kembali usaha dakwah.
Terkotak-kotak
Data Pusat Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, di 33 provinsi se-Indonesia terdapat sekitar 25 ribu pondok pesantren (ponpes) dengan jumlah santri mencapai 3,65 juta orang. Dari jumlah tersebut, seharusnya perkembangan ponpes membawa perubahan pada masyarakat.
Sebagai contoh, bila dari 25 ribu ponpes tersebut setiap ponpes meluluskan 10 santri per tahun (diambil jumlah minimal), jumlah lulusannya sudah mencapai 250 ribu santri. Mereka bisa membawa perubahan besar di lingkungan tempat tinggalnya. Tetapi, tampaknya mereka tidak membawa perubahan. Bahkan banyak di antara para santri hidup dalam kondisi lingkungan yang buruk.
Situasi tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama. Sejak Perjanjian Giyanti, Belanda membatasi perkembangan pesantren karena khawatir kehilangan kekuasaan. Dampaknya para santri hanya berkutat pada pelajaran dan kepekaannya terhadap lingkungan dihilangkan. Situasi tersebut terus berlangsung hingga kini.
Hasilnya arah pendidikan pesantren menjadi terkotak-kotak menjadi beberapa kategori. Pertama, pesantren salafiyyah, hanya mempelajari kitab karya ulama klasik (salaf). Pesantren jenis ini dibagi lagi menjadi dua kategori, yakni pesantren tahfizul Quran yang menjaga lafaz-lafaz Alquran sesuai dengan aslinya. Kemudian pesantren diniyyah, yang berperan menjaga makna Alquran agar tetap menjadi pedoman sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedua, pesantren modern yang menggabungkan kurikulum pendidikan agama dan pendidikan umum. Ada satu lagi bentuk pesantren yang sudah hilang sejak berakhirnya zaman Wali Songo, yakni pesantren dakwah wat tabligh. Pesantren ini berperan menyampaikan lafaz, makna, dan hukum syariah. Sebenarnya seluruh jenis pesantren memiliki tugas dan tujuan yang sama, yaitu dakwah dan tablig.
‘Trainning’ Dakwah
Ketiga jenis pesantren tersebut bila diperhatikan hanya berkutat dengan kitab atau buku pelajaran dan lingkungan asrama. Untuk jenis pesantren terakhir tidak harus dibuat terpisah dengan pesantren lain.
Akan tetapi hendaknya ada kurikulum pesantren yang mengatur hal tersebut.
Misalnya, setiap sebulan sekali (saat libur Jumat atau Minggu) santri-santri mendapat trainning dakwah secara bergiliran (dan dibentuk rombongan 5-10 orang) untuk diterjunkan di desa-desa sekitar lingkungan pesantren. Pengasuh pesantren menyeleksi santri yang layak menjadi amir (pimpinan) rombongan (biasanya yang lebih alim atau hafiz/hafal Alquran). Selanjutnya, para santri belajar mengamalkan dan menyampaikan ilmu yang telah diperolehnya di pesantren kepada masyarakat.
Di setiap kampung tempat berdakwah para santri menjadikan masjid sebagai base camp. Kemudian mereka berpencar ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak masyarakat menghadiri pertemuan di masjid. Para santri tersebut akan menyampaikan pesan-pesan keagamaan berupa dakwah ilallah (mengajak bertauhid yang benar menurut tuntunan Islam), talim wa talum (belajar dan mengajar tentang hukum-hukum Islam, membaca Alquran, keutamaan amal, dan sebagainya), zikir wal ibadah (mengajak untuk mempraktekkan zikir dan ibadah sesuai dengan tuntunan Islam), dan khidmat (melayani keperluan umat dengan penuh kasih sayang).
Setelah santri terbiasa dengan aktivitas tersebut, setiap menjelang libur panjang mereka dikeluarkan untuk berdakwah dalam waktu yang lebih lama. Bisa saja di luar kecamatan atau luar daerah selama satu bulan. Cara ini akan menghasilkan berbagai manfaat.
Pertama, masyarakat akan merasa memiliki pesantren dan tidak sungkan untuk berinteraksi dengan pesantren. Sehingga tidak terjadi orang yang belajar di pesantren hanya dari kalangan muda. Golongan tua pun dapat memetik manfaat dari pesantren.
Kedua, sebagai sarana refreshing, karena siapa saja yang pernah mondok di pesantren, pasti pernah merasa jenuh akibat padatnya aktivitas selama 24 jam. Mereka sering dilanda kejenuhan karena intens berinteraksi di lingkungan yang sama dengan orang-orang yang sama selama beberapa tahun.
Ketiga, belajar mengamalkan, menyampaikan, serta mengasah kemampuan santri untuk belajar dakwah. Santri mungkin saja bisa saja istiqamah untuk salat tahajud, baca Alquran, dan sebagainya karena di lingkungan yang taat, tetapi belum tentu seperti itu di lingkungan yang lain. Dengan metode seperti itu, dapat diukur kesiapan santri menghadapai masyarakat ketika ia benar-benar telah lulus dari pesantren. Jangan sampai santri bukannya mewarnai masyarakat, malah diwarnai.
Keempat, sebagai sarana untuk mengajak dan menyadarkan umat untuk menghidupkan kembali usaha dakwah. Sebab, tanggung jawab dakwah bukan hanya berada di pundak pesantren dan ulamanya, melainkan juga tanggung jawab setiap pribadi umat Islam sebagai khoiro ummah.
Kurikulum Tetap
Alhamdulillah, sekadar catatan (berdasarkan survei kami), program dakwah seperti di atas sudah mulai dihidupkan kembali dan menjadi kurikulum tetap di beberapa pesantren di Jawa Timur (seperti Ponpes Al Fatah Temboro, Magetan (sebagai pusatnya, Malang Selatan, Surabaya, Jember, Madura).
Di Jawa Tengah (Ponpes Payaman Krincing, Magelang (sebagai pusatnya), dan Ponpes Darul Mustofa, Solo. Di Sumatera Selatan (Betung). Serta di Lampung Ponpes Al Kirom (Kebon Bibit Natar) serta sejumlah pesantren lain di beberapa provinsi.
*) Pegawai Kementerian Agama, Kabupaten Way Kanan /15 June 2012
http://www.lampungpost.com/
SEJARAH Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran dan perjuangan pondok pesantren (ponpes). Sejak awal kedatangan Islam pada masa Wali Songo hingga kini pesantren menyumbang jasa tak ternilai bagi Indonesia.
Menelusuri sejarah Islam di Nusantara sejak sekitar 1400 Masehi, peran Wali Songo tak dapat ditinggalkan. Meskipun Wali Songo berhasil mengislamkan sebagian besar Nusantara, setelah periode para wali banyak pemeluk Islam yang keislamannya belum sempurna. Hal ini terlihat dari masih banyaknya umat Islam yang percaya kepada hal-hal berbau mistik animisme dari nenek moyang mereka, meskipun sebenarnya mereka juga rajin salat.
Dalam situasi demikian, peran ponpes menjadi semakin penting. Tugas dan tujuan utama pesantren adalah meneruskan kerja Wali Songo, yaitu mengajak umat kepada tauhid yang lurus serta menyadarkan umat untuk menghidupkan kembali usaha dakwah.
Terkotak-kotak
Data Pusat Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, di 33 provinsi se-Indonesia terdapat sekitar 25 ribu pondok pesantren (ponpes) dengan jumlah santri mencapai 3,65 juta orang. Dari jumlah tersebut, seharusnya perkembangan ponpes membawa perubahan pada masyarakat.
Sebagai contoh, bila dari 25 ribu ponpes tersebut setiap ponpes meluluskan 10 santri per tahun (diambil jumlah minimal), jumlah lulusannya sudah mencapai 250 ribu santri. Mereka bisa membawa perubahan besar di lingkungan tempat tinggalnya. Tetapi, tampaknya mereka tidak membawa perubahan. Bahkan banyak di antara para santri hidup dalam kondisi lingkungan yang buruk.
Situasi tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama. Sejak Perjanjian Giyanti, Belanda membatasi perkembangan pesantren karena khawatir kehilangan kekuasaan. Dampaknya para santri hanya berkutat pada pelajaran dan kepekaannya terhadap lingkungan dihilangkan. Situasi tersebut terus berlangsung hingga kini.
Hasilnya arah pendidikan pesantren menjadi terkotak-kotak menjadi beberapa kategori. Pertama, pesantren salafiyyah, hanya mempelajari kitab karya ulama klasik (salaf). Pesantren jenis ini dibagi lagi menjadi dua kategori, yakni pesantren tahfizul Quran yang menjaga lafaz-lafaz Alquran sesuai dengan aslinya. Kemudian pesantren diniyyah, yang berperan menjaga makna Alquran agar tetap menjadi pedoman sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedua, pesantren modern yang menggabungkan kurikulum pendidikan agama dan pendidikan umum. Ada satu lagi bentuk pesantren yang sudah hilang sejak berakhirnya zaman Wali Songo, yakni pesantren dakwah wat tabligh. Pesantren ini berperan menyampaikan lafaz, makna, dan hukum syariah. Sebenarnya seluruh jenis pesantren memiliki tugas dan tujuan yang sama, yaitu dakwah dan tablig.
‘Trainning’ Dakwah
Ketiga jenis pesantren tersebut bila diperhatikan hanya berkutat dengan kitab atau buku pelajaran dan lingkungan asrama. Untuk jenis pesantren terakhir tidak harus dibuat terpisah dengan pesantren lain.
Akan tetapi hendaknya ada kurikulum pesantren yang mengatur hal tersebut.
Misalnya, setiap sebulan sekali (saat libur Jumat atau Minggu) santri-santri mendapat trainning dakwah secara bergiliran (dan dibentuk rombongan 5-10 orang) untuk diterjunkan di desa-desa sekitar lingkungan pesantren. Pengasuh pesantren menyeleksi santri yang layak menjadi amir (pimpinan) rombongan (biasanya yang lebih alim atau hafiz/hafal Alquran). Selanjutnya, para santri belajar mengamalkan dan menyampaikan ilmu yang telah diperolehnya di pesantren kepada masyarakat.
Di setiap kampung tempat berdakwah para santri menjadikan masjid sebagai base camp. Kemudian mereka berpencar ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak masyarakat menghadiri pertemuan di masjid. Para santri tersebut akan menyampaikan pesan-pesan keagamaan berupa dakwah ilallah (mengajak bertauhid yang benar menurut tuntunan Islam), talim wa talum (belajar dan mengajar tentang hukum-hukum Islam, membaca Alquran, keutamaan amal, dan sebagainya), zikir wal ibadah (mengajak untuk mempraktekkan zikir dan ibadah sesuai dengan tuntunan Islam), dan khidmat (melayani keperluan umat dengan penuh kasih sayang).
Setelah santri terbiasa dengan aktivitas tersebut, setiap menjelang libur panjang mereka dikeluarkan untuk berdakwah dalam waktu yang lebih lama. Bisa saja di luar kecamatan atau luar daerah selama satu bulan. Cara ini akan menghasilkan berbagai manfaat.
Pertama, masyarakat akan merasa memiliki pesantren dan tidak sungkan untuk berinteraksi dengan pesantren. Sehingga tidak terjadi orang yang belajar di pesantren hanya dari kalangan muda. Golongan tua pun dapat memetik manfaat dari pesantren.
Kedua, sebagai sarana refreshing, karena siapa saja yang pernah mondok di pesantren, pasti pernah merasa jenuh akibat padatnya aktivitas selama 24 jam. Mereka sering dilanda kejenuhan karena intens berinteraksi di lingkungan yang sama dengan orang-orang yang sama selama beberapa tahun.
Ketiga, belajar mengamalkan, menyampaikan, serta mengasah kemampuan santri untuk belajar dakwah. Santri mungkin saja bisa saja istiqamah untuk salat tahajud, baca Alquran, dan sebagainya karena di lingkungan yang taat, tetapi belum tentu seperti itu di lingkungan yang lain. Dengan metode seperti itu, dapat diukur kesiapan santri menghadapai masyarakat ketika ia benar-benar telah lulus dari pesantren. Jangan sampai santri bukannya mewarnai masyarakat, malah diwarnai.
Keempat, sebagai sarana untuk mengajak dan menyadarkan umat untuk menghidupkan kembali usaha dakwah. Sebab, tanggung jawab dakwah bukan hanya berada di pundak pesantren dan ulamanya, melainkan juga tanggung jawab setiap pribadi umat Islam sebagai khoiro ummah.
Kurikulum Tetap
Alhamdulillah, sekadar catatan (berdasarkan survei kami), program dakwah seperti di atas sudah mulai dihidupkan kembali dan menjadi kurikulum tetap di beberapa pesantren di Jawa Timur (seperti Ponpes Al Fatah Temboro, Magetan (sebagai pusatnya, Malang Selatan, Surabaya, Jember, Madura).
Di Jawa Tengah (Ponpes Payaman Krincing, Magelang (sebagai pusatnya), dan Ponpes Darul Mustofa, Solo. Di Sumatera Selatan (Betung). Serta di Lampung Ponpes Al Kirom (Kebon Bibit Natar) serta sejumlah pesantren lain di beberapa provinsi.
*) Pegawai Kementerian Agama, Kabupaten Way Kanan /15 June 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar