Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/
Keunggulan Pengajian Padhang mBulan di samping sebagai majlis ilmu juga wahana apreseasi kesenian dalam bentuk apa pun yang siap tampil mengisi acara. Sebut saja Cak Suliadi, seniman asal Nganjuk, pada Padhang mBulan 4 juni 2012, ia mengisi beberapa lagu tradisional Banyuwangi-an sebelum acara. Alunan lagu Gelang Alit (ciptaan Catur) yang diaransemen musik mandolin dan lirik asli Oseng Banyuwangi-an: //wes kelakon, semene lawase //isun yo riko kedani //semunu sun imbangi //mulo riko, kudyangane ati //segoro yo, ono pesisire //sun welas nono batese //wedyang kopi-belung nongko //raino bengi-mung katon nyang riko//.
Lagu yang pernah digubah dan dipopulerkan pedangdut kondang Ikke Nur Jannah tersebut mengingatkan saya ketika hidup di Denpasar. Tetangga kost yang kebanyakan perantau asal Banyuwangi selalu memutar lagu-lagu Oseng. Begitulah suasan bertetangga perantau Oseng, serasa bermukim di pedalaman Banyuwangi: Jajag, Srono, Genteng, Ketapang, Sritanjung dan semenanjung Blambangan. [Ada bahasa yang berlawanan, misal kata: ono = ada, tapi kata nono = tidak ada, sing ono (Oseng) = tidak ada, sing ono (Jawa induk) = yang ada. Kata sabrang (Oseng) = daun ketela ramban, sabrang (Madura) = ketela pohon, hal ini secara artifisial membuat seluruh pemilik nama sabrang, mati kutu di wilayah ini, padahal sabrang (Jawa dalam kitab Adam Makna) = angin [seingat saya dalam serat sabdo gambuh. Buku kecil Adam Makno saya temukan di almari teman kost dekat Simpang Siur kawasan Planet Holywood Kuta, saya lupa namanya, dia teman dari Jember, penjual art shop panah indian yang dijajakan di pantai Nusa Dua Bali. Ia pindah kost karena terlilit hutang bank titil yang uangnya dipakai selingkuh dengan wanita sesama perantauan yang kemleler di Bali. Makanya di Bali ada istilah ‘kiai satu yang menggoda setan sepuluh’, juga istilah ‘uang gelap dimakan hantu’. Setelah ia pindah itulah kamarnya saya tempati dan menemukan arti sabrang = angin yang berhubungan dengan temperatur, panas, dingin, bumi, matahari dan awal terjadinya planet Bima Sakti]. Yang paling homonem adalah: Padyang Ulan (Banyuwangi) = tempat prostitusi, Padhang mBulan (Jombang) = tempat pengajian] Begitu pula ketika Cak Suliadi melantunkan tembang ke dua, yakni Bengawan Sore. Saya seperti melintasi pedalaman Solo, Sragen, Ngawi, Bojonegoro (wilayah yang dialiri Bengawan Solo): //ning piinggire Bengawan //wayah sore //san soyo kelingan//nyawang eseme sliramu // cah ayu// tansah ngeridu atiku.
Setelah dibuka penampilan Cak Suliadi, barulah Cak Fuad membahas ayat Al quran yang berkaitan dengan Umatan Wasathon (umat penengah). Bahwa salah satu misi Islam yang diwahyukan pada nabi Muhammad adalah sebagai agama penengah di antara agama-agama terdahulu. Lantas bagaimana bentuk aplikasi mengenai rumusan Umatan Wasathon, Cak Fuad menyarankan pada Jamaah Maiyah untuk mencari referensi dari berbagai sumber yang menjelaskan. Sebab tidak gampang merumuskan Umatan Wasathon di tengah kompleksitas agama-agama lain yang juga (pasti) mengampanyekan jalan ketawhidan.
Cak Nun mengupas konsep Umatan Wasathon dalam Islam berupa bentuk sikap yang cenderung / mendekati keadilan. Dalam skala individu, bagaimana seseorang mampu bertanggngjawab atas penguasaan dirinya: kapan waktunya makan, minum, kencing, tidur (hal hal mendasar makhluk) dengan tidak korup ataupun dimanja-manjakan. Kebutahan dasar tersebut dilaksanakan sebatas tagihan almiah: tidur menjadi wajib jika sudah mengantuk, makan menjadi harus jika sudah lapar dst yang merangsang bagian tubuh untuk disuplai (secukupnya) kandungan zat tertentu. Ukuran keadilan bagi individu adalah bagaimana orang beragama memproduk diri di tengah kondisi sosial. Pada situasi bertetangga, berteman, berumat dengan orang yang serba kekurangan, tidak lantas sak enak udele dewe, pokoe enak dewe gak ngurusi tonggone.
Pada skala yang lebih luas, Cak Nun menjelaskan aplikasi Umatan Wasathon sebagai penterjemahan bagaimana seharusnya umat Islam adil dalam menentukan strategi kebudayaan, strategi perjuangan untuk menghadapi tantangan beserta menikmati tantangan itu sendiri. Sebab Umatan Wasathon yang diemban umat Muhammad memiliki strategi penyelesaian yang berbeda dengan umat Nuh, Umat Lut dll. Banjir bandang zaman Nuh, krisis pangan zaman Yusuf atau stunami yang menenggelamkan Firaun zaman Musa berbeda dengan azab pada umat Muhammad. Sedangkan azab itu sendiri merupakan keterlibatan alam yang menawarkan diri untuk ikut menata nilai. Jabal Uhud yang menawarkan diri untuk jugrug supaya menimbun pasukan kafir adalah bukti pengambilan hak si gunung untuk membela yang benar. Dari penjelasan di atas, setara pada simpulan bahwa Umatan Wasatho adalah orisinalitas.
Sudut Pandang Teologi
Cak Nun menegaskan bahwa Umatan Wasathon dari segi teologi, layaknya umat Islam memahami wawasan yang luas mengenai sejarah agama-agama. Sebab yang disebut agama memiliki tujuan sama, yakni tawhid, sebagai upaya kaum agamis menyandarkan prototipe kebudayaan pada yang tak terkirakan dari sekedar target individu. Kaum agamis apapun namanya: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Darmogandul, Gatulucol, Sapto Dharmo, Pagan, Jain, Yehuwa bahkan Iblis pun bertawhid.
Untuk menjelaskan lebih jauh ke arah Umatan Wasathon, saya menggambarkan jika setiap orang asalnya turun dari langit. Beberapa ratus meter sebelum menginjak bumi, ia menyaksikan sudah ada sekian banyak manusia yang menempati pulau dan benua. Di antara sedikit manusia yang ateis (meskipun pura-pura ateis, tapi sesungguhnya ketika menginjak tua dan mendekati ajal, pasti kebingungan sendiri, iya kalau tuhan benar tidak ada, kalau ternyata tuhan itu ada, kecele seumur hidup dan gak bisa balik, kontrak kadung habis), mereka kebanyakan agamis. Si baru turun ini berfikir akan memilih agama apa? Baha’i (asalnya Islam kemudian menyempal menyatukan total bahwa semua agama baik yang berpusat di Mount Abu, India), Ahmadi, atau pluralisme agama, yakni bertuhan tapi tidak beragama. Atau apa yang disebut Cak Nun sebagai penganut Rasululloh terima beres, yakni penganut turunan tapi tidak pernah meriset langsung atau sekedar ‘menanyakan’ pada Rasul mana sesungguhnya yang paling benar? Istilah Gus Dur saat berbicara dengan Muslim Abdurahman, ”pak, kita harus bersyukur, Islam sudah nyasar ke pulau Jawa ini, sehingga kita kecipratan.” Atau kaum Malamatiah sekalipun yang sufinya membabat habis kepentingan dunia, tapi toh tetap bisa hidup. Bahkan sampai agama Eden sekali pun [agama yang dipelopori Lia Aminuddin sampai mengaku sebagai Jibril. Saya ingat sebulan menjelang kerusuhan Semanggi tahun 1998, di mana revormasi berdarah yang merenggut tiga mahasiswa Tri Sakti. Lia Aminuddin datang ke Padhang mBulan dan menceritakan kalau akan terjadi kerusuhan di Semanggi. Lia juga menerawang bahwa di sekitaran gunung Kawi, Malang akan terjadi kerusakan alam yang ia perlambangkan dengan ulat-ulat yang makan dedaunan. Dalam kesempatan itu Cak Nun menuturi Lia, “Mbak Lia, kalau ada 10 cemlorot dari langit (ilham), jangan ditelan semua. Ambil dua saja, sebab yang delapan bisa berarti penipuan.” (kalimat Cak Nun ini suatu saat anda temukan dalam konsep eksistensi hamba dengan Tuhan yang melahirkan rumus: The Real I dan The Real i = Siapa Aku dan Siapa aku. Semacam keterjebakan kodam supaya tidak sampai ke Tuhan] yang diikuti banyak penganut dari berbagai kalangan (kalangan yang tidak jelas basis agamanya dan dilanda keputusasaan atas situasi yang tidak menjamin dirinya. Meminjam istilah Cak Priyo Aljabar, “wong pekok diikuti wong congok.”
Agama apapun bentuknya adalah pesan, adalah perjanjian “al din-u nashihah,” bagi muslim pesan Alquran adalah pesan yang terakhir. Artinya pesan yang lama tidak harus hilang. Renovasi kontruksi bangunan misalnya dengan cat dan plamir yang baru bukan berarti menghilangkan pasangan bata di dalamnya. Pesan dalam agama berlaku untuk agama apa pun, sebab bersifat Kebenaran Universal, Kebenaran Tunggal, Tawhid, sama-sama takut Tuhan. Jika kemudian menjadi berselisih paham karena setiap umat masing-masing menjelaskan makna kebenaran tersebut yang melahirkan perbedaan. Apalagi dipertajam dengan masuknya vested interets (berbagai jenis kepentingan, hawa nasfu).
Alternatif penggiring ke arah Umatan Wasathon semisal yang ditanyakan Jhon Lyden, “apa yang dipikirkan ahli agama terhadap agaman lain, dibanding agamanya sendiri? Apakah ada kebenaran (keselamatam) dalam agama lain? Apa kita menyembah Tuhan yang sama? Jawabnya bahwa tiap agama mempunyai konsep yang berbeda. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimanan umat beragama mendevinisikan diri di tengah agama-agama lain? Jika seorang muslim membaca buku polemik karya Ahmad Deedat (kritik tajam terhadap Kristiani), atau seorang Kristen membaca bukunya Norman L. Geisler dan Abdul Saleeb (klaim sangat ilmiah terhadap Islam) sulit menciptakan Umatan Wasathon. Bahkan ketika seseorang membaca keduanya, akan terjadi kebingungan, jangan-jangan agama A yang salah, atau agama B, atau AB sama-sama benar dan AB sama sama salah.
A. N. Wilson dalam buku Against Relegion, Why We Should Try to Live Without It (London: Chatto and Windus, 1992) menggambarkan dilema konflik antar agama yang disebabkan kurangnya orisinalitas keadilan individu sebagai berikut: dalam suatau agama, orang memusuhi agama lain dengan alasan jihat kebenaran agamanya, dan kezaliman agama lain. Agama lawan yang dimusuhi juga berfikir bahwa kaum yang menyerang adalah zalim, dirinya yang menegakkan kebenaran. Orang yang berada di luar agama akan menyimpulkan bahwa ke dua agama yang berseteru, karena sama sama menggunakan klaim kebenaran hasilnya salah, sebab rusak. Kalau agama itu benar, tapi tidak mempengaruhi pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar jika tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Yang salah agamanya ataukah yang menafsirkan kebenaran dalam tawhid agamanya. Umatan Wasathon adalah sikap pararelis, yakni menyejajarkan agama lain dengan agama sendiri.
Jalan lain menuju Umatan Wasathon adalah berjiwa esoterik, yakni pandangan holistik. Ia sadar bahwa agamanya berada dalam naungan kesatuan dengan agama lain. Bukan berjiwa eksoterik, yakni pandangan bahwa agamanyalah yang paling benar, final. Esoterik dan eksoterik harus bisa bertukar posisi, agamanya ibarat istri, (suami berhak mempercantik, mempermolek, membahenolkan bahkan menganggap istrinya yang paling cantik) namun orang lain juga punya istri. Jika salah satu istri ternyata ada kelebihan yang bisa dibuktikan secara ilmiah, budaya dll, bukan berarti istri yang kecacatan, salah. Ada dinamika toleransi.
Di antara artikel pendek Gus Dur yang dimuat Tempo 26 Juni 1982, ia menceritakan sarjana X yang 8 tahun mendalami ilmu di negara lain. Sekembalinya ke Indonesia, X kebingungan melihat moralitas yang disebut negara agamis. X menemui pamannya dan menceritakan kemuskilan yang ditemuinya. Pamannya menuturkan, “kau sendiri yang kurang tabah. Kemuskilan yang kau saksikan itu dalam rangka amar makruf nahi mungkar. Seharusnya kau pun bersikap seperti itu, jangan menyalahkan mereka.” X terdiam, tidak puas dengan jawaban pamannya. X lalu menemui tokoh moderat yang dianggap mampu menjembatani formalisme agama dan modernisme agama. Jawaban yang diperolehnya, “kita harus bersyukur bahwa kaum agamis masih menawarkan gagasan parsial. Sehingga agama tidak dihadapkan sebagai alternatif ideologi tatanan yang ada.” Lagi lagi X kecewa. Terakhir X menemui guru tarekat. Di situlah X memperoleh kepuasan. Ternyata jawabnya sederhana, “Alloh itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian atas kebesaranNya. Ia Maha Besar karena Ia ada, apapun yang diperbuat orang atas diriNya, sama sekali tidak berpengaruh atas wujud dan kekuasaanNya. Al Hujwiri mengatakan: Bila engkau menganggap Alloh ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah kafir. Alloh tidak perlu disesali kalau Ia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau ada orang yang menyerang hakikatNya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Alloh, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.
*) Sabrank Suparno. Bergiat di Lincak Sastra Jombang.
http://sastra-indonesia.com/
Keunggulan Pengajian Padhang mBulan di samping sebagai majlis ilmu juga wahana apreseasi kesenian dalam bentuk apa pun yang siap tampil mengisi acara. Sebut saja Cak Suliadi, seniman asal Nganjuk, pada Padhang mBulan 4 juni 2012, ia mengisi beberapa lagu tradisional Banyuwangi-an sebelum acara. Alunan lagu Gelang Alit (ciptaan Catur) yang diaransemen musik mandolin dan lirik asli Oseng Banyuwangi-an: //wes kelakon, semene lawase //isun yo riko kedani //semunu sun imbangi //mulo riko, kudyangane ati //segoro yo, ono pesisire //sun welas nono batese //wedyang kopi-belung nongko //raino bengi-mung katon nyang riko//.
Lagu yang pernah digubah dan dipopulerkan pedangdut kondang Ikke Nur Jannah tersebut mengingatkan saya ketika hidup di Denpasar. Tetangga kost yang kebanyakan perantau asal Banyuwangi selalu memutar lagu-lagu Oseng. Begitulah suasan bertetangga perantau Oseng, serasa bermukim di pedalaman Banyuwangi: Jajag, Srono, Genteng, Ketapang, Sritanjung dan semenanjung Blambangan. [Ada bahasa yang berlawanan, misal kata: ono = ada, tapi kata nono = tidak ada, sing ono (Oseng) = tidak ada, sing ono (Jawa induk) = yang ada. Kata sabrang (Oseng) = daun ketela ramban, sabrang (Madura) = ketela pohon, hal ini secara artifisial membuat seluruh pemilik nama sabrang, mati kutu di wilayah ini, padahal sabrang (Jawa dalam kitab Adam Makna) = angin [seingat saya dalam serat sabdo gambuh. Buku kecil Adam Makno saya temukan di almari teman kost dekat Simpang Siur kawasan Planet Holywood Kuta, saya lupa namanya, dia teman dari Jember, penjual art shop panah indian yang dijajakan di pantai Nusa Dua Bali. Ia pindah kost karena terlilit hutang bank titil yang uangnya dipakai selingkuh dengan wanita sesama perantauan yang kemleler di Bali. Makanya di Bali ada istilah ‘kiai satu yang menggoda setan sepuluh’, juga istilah ‘uang gelap dimakan hantu’. Setelah ia pindah itulah kamarnya saya tempati dan menemukan arti sabrang = angin yang berhubungan dengan temperatur, panas, dingin, bumi, matahari dan awal terjadinya planet Bima Sakti]. Yang paling homonem adalah: Padyang Ulan (Banyuwangi) = tempat prostitusi, Padhang mBulan (Jombang) = tempat pengajian] Begitu pula ketika Cak Suliadi melantunkan tembang ke dua, yakni Bengawan Sore. Saya seperti melintasi pedalaman Solo, Sragen, Ngawi, Bojonegoro (wilayah yang dialiri Bengawan Solo): //ning piinggire Bengawan //wayah sore //san soyo kelingan//nyawang eseme sliramu // cah ayu// tansah ngeridu atiku.
Setelah dibuka penampilan Cak Suliadi, barulah Cak Fuad membahas ayat Al quran yang berkaitan dengan Umatan Wasathon (umat penengah). Bahwa salah satu misi Islam yang diwahyukan pada nabi Muhammad adalah sebagai agama penengah di antara agama-agama terdahulu. Lantas bagaimana bentuk aplikasi mengenai rumusan Umatan Wasathon, Cak Fuad menyarankan pada Jamaah Maiyah untuk mencari referensi dari berbagai sumber yang menjelaskan. Sebab tidak gampang merumuskan Umatan Wasathon di tengah kompleksitas agama-agama lain yang juga (pasti) mengampanyekan jalan ketawhidan.
Cak Nun mengupas konsep Umatan Wasathon dalam Islam berupa bentuk sikap yang cenderung / mendekati keadilan. Dalam skala individu, bagaimana seseorang mampu bertanggngjawab atas penguasaan dirinya: kapan waktunya makan, minum, kencing, tidur (hal hal mendasar makhluk) dengan tidak korup ataupun dimanja-manjakan. Kebutahan dasar tersebut dilaksanakan sebatas tagihan almiah: tidur menjadi wajib jika sudah mengantuk, makan menjadi harus jika sudah lapar dst yang merangsang bagian tubuh untuk disuplai (secukupnya) kandungan zat tertentu. Ukuran keadilan bagi individu adalah bagaimana orang beragama memproduk diri di tengah kondisi sosial. Pada situasi bertetangga, berteman, berumat dengan orang yang serba kekurangan, tidak lantas sak enak udele dewe, pokoe enak dewe gak ngurusi tonggone.
Pada skala yang lebih luas, Cak Nun menjelaskan aplikasi Umatan Wasathon sebagai penterjemahan bagaimana seharusnya umat Islam adil dalam menentukan strategi kebudayaan, strategi perjuangan untuk menghadapi tantangan beserta menikmati tantangan itu sendiri. Sebab Umatan Wasathon yang diemban umat Muhammad memiliki strategi penyelesaian yang berbeda dengan umat Nuh, Umat Lut dll. Banjir bandang zaman Nuh, krisis pangan zaman Yusuf atau stunami yang menenggelamkan Firaun zaman Musa berbeda dengan azab pada umat Muhammad. Sedangkan azab itu sendiri merupakan keterlibatan alam yang menawarkan diri untuk ikut menata nilai. Jabal Uhud yang menawarkan diri untuk jugrug supaya menimbun pasukan kafir adalah bukti pengambilan hak si gunung untuk membela yang benar. Dari penjelasan di atas, setara pada simpulan bahwa Umatan Wasatho adalah orisinalitas.
Sudut Pandang Teologi
Cak Nun menegaskan bahwa Umatan Wasathon dari segi teologi, layaknya umat Islam memahami wawasan yang luas mengenai sejarah agama-agama. Sebab yang disebut agama memiliki tujuan sama, yakni tawhid, sebagai upaya kaum agamis menyandarkan prototipe kebudayaan pada yang tak terkirakan dari sekedar target individu. Kaum agamis apapun namanya: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Darmogandul, Gatulucol, Sapto Dharmo, Pagan, Jain, Yehuwa bahkan Iblis pun bertawhid.
Untuk menjelaskan lebih jauh ke arah Umatan Wasathon, saya menggambarkan jika setiap orang asalnya turun dari langit. Beberapa ratus meter sebelum menginjak bumi, ia menyaksikan sudah ada sekian banyak manusia yang menempati pulau dan benua. Di antara sedikit manusia yang ateis (meskipun pura-pura ateis, tapi sesungguhnya ketika menginjak tua dan mendekati ajal, pasti kebingungan sendiri, iya kalau tuhan benar tidak ada, kalau ternyata tuhan itu ada, kecele seumur hidup dan gak bisa balik, kontrak kadung habis), mereka kebanyakan agamis. Si baru turun ini berfikir akan memilih agama apa? Baha’i (asalnya Islam kemudian menyempal menyatukan total bahwa semua agama baik yang berpusat di Mount Abu, India), Ahmadi, atau pluralisme agama, yakni bertuhan tapi tidak beragama. Atau apa yang disebut Cak Nun sebagai penganut Rasululloh terima beres, yakni penganut turunan tapi tidak pernah meriset langsung atau sekedar ‘menanyakan’ pada Rasul mana sesungguhnya yang paling benar? Istilah Gus Dur saat berbicara dengan Muslim Abdurahman, ”pak, kita harus bersyukur, Islam sudah nyasar ke pulau Jawa ini, sehingga kita kecipratan.” Atau kaum Malamatiah sekalipun yang sufinya membabat habis kepentingan dunia, tapi toh tetap bisa hidup. Bahkan sampai agama Eden sekali pun [agama yang dipelopori Lia Aminuddin sampai mengaku sebagai Jibril. Saya ingat sebulan menjelang kerusuhan Semanggi tahun 1998, di mana revormasi berdarah yang merenggut tiga mahasiswa Tri Sakti. Lia Aminuddin datang ke Padhang mBulan dan menceritakan kalau akan terjadi kerusuhan di Semanggi. Lia juga menerawang bahwa di sekitaran gunung Kawi, Malang akan terjadi kerusakan alam yang ia perlambangkan dengan ulat-ulat yang makan dedaunan. Dalam kesempatan itu Cak Nun menuturi Lia, “Mbak Lia, kalau ada 10 cemlorot dari langit (ilham), jangan ditelan semua. Ambil dua saja, sebab yang delapan bisa berarti penipuan.” (kalimat Cak Nun ini suatu saat anda temukan dalam konsep eksistensi hamba dengan Tuhan yang melahirkan rumus: The Real I dan The Real i = Siapa Aku dan Siapa aku. Semacam keterjebakan kodam supaya tidak sampai ke Tuhan] yang diikuti banyak penganut dari berbagai kalangan (kalangan yang tidak jelas basis agamanya dan dilanda keputusasaan atas situasi yang tidak menjamin dirinya. Meminjam istilah Cak Priyo Aljabar, “wong pekok diikuti wong congok.”
Agama apapun bentuknya adalah pesan, adalah perjanjian “al din-u nashihah,” bagi muslim pesan Alquran adalah pesan yang terakhir. Artinya pesan yang lama tidak harus hilang. Renovasi kontruksi bangunan misalnya dengan cat dan plamir yang baru bukan berarti menghilangkan pasangan bata di dalamnya. Pesan dalam agama berlaku untuk agama apa pun, sebab bersifat Kebenaran Universal, Kebenaran Tunggal, Tawhid, sama-sama takut Tuhan. Jika kemudian menjadi berselisih paham karena setiap umat masing-masing menjelaskan makna kebenaran tersebut yang melahirkan perbedaan. Apalagi dipertajam dengan masuknya vested interets (berbagai jenis kepentingan, hawa nasfu).
Alternatif penggiring ke arah Umatan Wasathon semisal yang ditanyakan Jhon Lyden, “apa yang dipikirkan ahli agama terhadap agaman lain, dibanding agamanya sendiri? Apakah ada kebenaran (keselamatam) dalam agama lain? Apa kita menyembah Tuhan yang sama? Jawabnya bahwa tiap agama mempunyai konsep yang berbeda. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimanan umat beragama mendevinisikan diri di tengah agama-agama lain? Jika seorang muslim membaca buku polemik karya Ahmad Deedat (kritik tajam terhadap Kristiani), atau seorang Kristen membaca bukunya Norman L. Geisler dan Abdul Saleeb (klaim sangat ilmiah terhadap Islam) sulit menciptakan Umatan Wasathon. Bahkan ketika seseorang membaca keduanya, akan terjadi kebingungan, jangan-jangan agama A yang salah, atau agama B, atau AB sama-sama benar dan AB sama sama salah.
A. N. Wilson dalam buku Against Relegion, Why We Should Try to Live Without It (London: Chatto and Windus, 1992) menggambarkan dilema konflik antar agama yang disebabkan kurangnya orisinalitas keadilan individu sebagai berikut: dalam suatau agama, orang memusuhi agama lain dengan alasan jihat kebenaran agamanya, dan kezaliman agama lain. Agama lawan yang dimusuhi juga berfikir bahwa kaum yang menyerang adalah zalim, dirinya yang menegakkan kebenaran. Orang yang berada di luar agama akan menyimpulkan bahwa ke dua agama yang berseteru, karena sama sama menggunakan klaim kebenaran hasilnya salah, sebab rusak. Kalau agama itu benar, tapi tidak mempengaruhi pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar jika tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Yang salah agamanya ataukah yang menafsirkan kebenaran dalam tawhid agamanya. Umatan Wasathon adalah sikap pararelis, yakni menyejajarkan agama lain dengan agama sendiri.
Jalan lain menuju Umatan Wasathon adalah berjiwa esoterik, yakni pandangan holistik. Ia sadar bahwa agamanya berada dalam naungan kesatuan dengan agama lain. Bukan berjiwa eksoterik, yakni pandangan bahwa agamanyalah yang paling benar, final. Esoterik dan eksoterik harus bisa bertukar posisi, agamanya ibarat istri, (suami berhak mempercantik, mempermolek, membahenolkan bahkan menganggap istrinya yang paling cantik) namun orang lain juga punya istri. Jika salah satu istri ternyata ada kelebihan yang bisa dibuktikan secara ilmiah, budaya dll, bukan berarti istri yang kecacatan, salah. Ada dinamika toleransi.
Di antara artikel pendek Gus Dur yang dimuat Tempo 26 Juni 1982, ia menceritakan sarjana X yang 8 tahun mendalami ilmu di negara lain. Sekembalinya ke Indonesia, X kebingungan melihat moralitas yang disebut negara agamis. X menemui pamannya dan menceritakan kemuskilan yang ditemuinya. Pamannya menuturkan, “kau sendiri yang kurang tabah. Kemuskilan yang kau saksikan itu dalam rangka amar makruf nahi mungkar. Seharusnya kau pun bersikap seperti itu, jangan menyalahkan mereka.” X terdiam, tidak puas dengan jawaban pamannya. X lalu menemui tokoh moderat yang dianggap mampu menjembatani formalisme agama dan modernisme agama. Jawaban yang diperolehnya, “kita harus bersyukur bahwa kaum agamis masih menawarkan gagasan parsial. Sehingga agama tidak dihadapkan sebagai alternatif ideologi tatanan yang ada.” Lagi lagi X kecewa. Terakhir X menemui guru tarekat. Di situlah X memperoleh kepuasan. Ternyata jawabnya sederhana, “Alloh itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian atas kebesaranNya. Ia Maha Besar karena Ia ada, apapun yang diperbuat orang atas diriNya, sama sekali tidak berpengaruh atas wujud dan kekuasaanNya. Al Hujwiri mengatakan: Bila engkau menganggap Alloh ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah kafir. Alloh tidak perlu disesali kalau Ia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau ada orang yang menyerang hakikatNya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Alloh, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.
*) Sabrank Suparno. Bergiat di Lincak Sastra Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar