Selasa, 07 Agustus 2012

Umatan Wasathon? Iblis dan Yehuwa pun Bertawhid

Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/

Keunggulan Pengajian Padhang mBulan di samping sebagai majlis ilmu juga wahana apreseasi kesenian dalam bentuk apa pun yang siap tampil mengisi acara. Sebut saja Cak Suliadi, seniman asal Nganjuk, pada Padhang mBulan 4 juni 2012, ia mengisi beberapa lagu tradisional Banyuwangi-an sebelum acara. Alunan lagu Gelang Alit (ciptaan Catur) yang diaransemen musik mandolin dan lirik asli Oseng Banyuwangi-an: //wes kelakon, semene lawase //isun yo riko kedani //semunu sun imbangi //mulo riko, kudyangane ati //segoro yo, ono pesisire //sun welas nono batese //wedyang kopi-belung nongko //raino bengi-mung katon nyang riko//.
Lagu yang pernah digubah dan dipopulerkan pedangdut kondang Ikke Nur Jannah tersebut mengingatkan saya ketika hidup di Denpasar. Tetangga kost yang kebanyakan perantau asal Banyuwangi selalu memutar lagu-lagu Oseng. Begitulah suasan bertetangga perantau Oseng, serasa bermukim di pedalaman Banyuwangi: Jajag, Srono, Genteng, Ketapang, Sritanjung dan semenanjung Blambangan. [Ada bahasa yang berlawanan, misal kata: ono = ada, tapi kata nono = tidak ada, sing ono (Oseng) = tidak ada, sing ono (Jawa induk) = yang ada. Kata sabrang (Oseng) = daun ketela ramban, sabrang (Madura) = ketela pohon, hal ini secara artifisial membuat seluruh pemilik nama sabrang, mati kutu di wilayah ini, padahal sabrang (Jawa dalam kitab Adam Makna) = angin [seingat saya dalam serat sabdo gambuh. Buku kecil Adam Makno saya temukan di almari teman kost dekat Simpang Siur kawasan Planet Holywood Kuta, saya lupa namanya, dia teman dari Jember, penjual art shop panah indian yang dijajakan di pantai Nusa Dua Bali. Ia pindah kost karena terlilit hutang bank titil yang uangnya dipakai selingkuh dengan wanita sesama perantauan yang kemleler di Bali. Makanya di Bali ada istilah ‘kiai satu yang menggoda setan sepuluh’, juga istilah ‘uang gelap dimakan hantu’. Setelah ia pindah itulah kamarnya saya tempati dan menemukan arti sabrang = angin yang berhubungan dengan temperatur, panas, dingin, bumi, matahari dan awal terjadinya planet Bima Sakti]. Yang paling homonem adalah: Padyang Ulan (Banyuwangi) = tempat prostitusi, Padhang mBulan (Jombang) = tempat pengajian] Begitu pula ketika Cak Suliadi melantunkan tembang ke dua, yakni Bengawan Sore. Saya seperti melintasi pedalaman Solo, Sragen, Ngawi, Bojonegoro (wilayah yang dialiri Bengawan Solo): //ning piinggire Bengawan //wayah sore //san soyo kelingan//nyawang eseme sliramu // cah ayu// tansah ngeridu atiku.

Setelah dibuka penampilan Cak Suliadi, barulah Cak Fuad membahas ayat Al quran yang berkaitan dengan Umatan Wasathon (umat penengah). Bahwa salah satu misi Islam yang diwahyukan pada nabi Muhammad adalah sebagai agama penengah di antara agama-agama terdahulu. Lantas bagaimana bentuk aplikasi mengenai rumusan Umatan Wasathon, Cak Fuad menyarankan pada Jamaah Maiyah untuk mencari referensi dari berbagai sumber yang menjelaskan. Sebab tidak gampang merumuskan Umatan Wasathon di tengah kompleksitas agama-agama lain yang juga (pasti) mengampanyekan jalan ketawhidan.

Cak Nun mengupas konsep Umatan Wasathon dalam Islam berupa bentuk sikap yang cenderung / mendekati keadilan. Dalam skala individu, bagaimana seseorang mampu bertanggngjawab atas penguasaan dirinya: kapan waktunya makan, minum, kencing, tidur (hal hal mendasar makhluk) dengan tidak korup ataupun dimanja-manjakan. Kebutahan dasar tersebut dilaksanakan sebatas tagihan almiah: tidur menjadi wajib jika sudah mengantuk, makan menjadi harus jika sudah lapar dst yang merangsang bagian tubuh untuk disuplai (secukupnya) kandungan zat tertentu. Ukuran keadilan bagi individu adalah bagaimana orang beragama memproduk diri di tengah kondisi sosial. Pada situasi bertetangga, berteman, berumat dengan orang yang serba kekurangan, tidak lantas sak enak udele dewe, pokoe enak dewe gak ngurusi tonggone.

Pada skala yang lebih luas, Cak Nun menjelaskan aplikasi Umatan Wasathon sebagai penterjemahan bagaimana seharusnya umat Islam adil dalam menentukan strategi kebudayaan, strategi perjuangan untuk menghadapi tantangan beserta menikmati tantangan itu sendiri. Sebab Umatan Wasathon yang diemban umat Muhammad memiliki strategi penyelesaian yang berbeda dengan umat Nuh, Umat Lut dll. Banjir bandang zaman Nuh, krisis pangan zaman Yusuf atau stunami yang menenggelamkan Firaun zaman Musa berbeda dengan azab pada umat Muhammad. Sedangkan azab itu sendiri merupakan keterlibatan alam yang menawarkan diri untuk ikut menata nilai. Jabal Uhud yang menawarkan diri untuk jugrug supaya menimbun pasukan kafir adalah bukti pengambilan hak si gunung untuk membela yang benar. Dari penjelasan di atas, setara pada simpulan bahwa Umatan Wasatho adalah orisinalitas.

Sudut Pandang Teologi

Cak Nun menegaskan bahwa Umatan Wasathon dari segi teologi, layaknya umat Islam memahami wawasan yang luas mengenai sejarah agama-agama. Sebab yang disebut agama memiliki tujuan sama, yakni tawhid, sebagai upaya kaum agamis menyandarkan prototipe kebudayaan pada yang tak terkirakan dari sekedar target individu. Kaum agamis apapun namanya: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Darmogandul, Gatulucol, Sapto Dharmo, Pagan, Jain, Yehuwa bahkan Iblis pun bertawhid.

Untuk menjelaskan lebih jauh ke arah Umatan Wasathon, saya menggambarkan jika setiap orang asalnya turun dari langit. Beberapa ratus meter sebelum menginjak bumi, ia menyaksikan sudah ada sekian banyak manusia yang menempati pulau dan benua. Di antara sedikit manusia yang ateis (meskipun pura-pura ateis, tapi sesungguhnya ketika menginjak tua dan mendekati ajal, pasti kebingungan sendiri, iya kalau tuhan benar tidak ada, kalau ternyata tuhan itu ada, kecele seumur hidup dan gak bisa balik, kontrak kadung habis), mereka kebanyakan agamis. Si baru turun ini berfikir akan memilih agama apa? Baha’i (asalnya Islam kemudian menyempal menyatukan total bahwa semua agama baik yang berpusat di Mount Abu, India), Ahmadi, atau pluralisme agama, yakni bertuhan tapi tidak beragama. Atau apa yang disebut Cak Nun sebagai penganut Rasululloh terima beres, yakni penganut turunan tapi tidak pernah meriset langsung atau sekedar ‘menanyakan’ pada Rasul mana sesungguhnya yang paling benar? Istilah Gus Dur saat berbicara dengan Muslim Abdurahman, ”pak, kita harus bersyukur, Islam sudah nyasar ke pulau Jawa ini, sehingga kita kecipratan.” Atau kaum Malamatiah sekalipun yang sufinya membabat habis kepentingan dunia, tapi toh tetap bisa hidup. Bahkan sampai agama Eden sekali pun [agama yang dipelopori Lia Aminuddin sampai mengaku sebagai Jibril. Saya ingat sebulan menjelang kerusuhan Semanggi tahun 1998, di mana revormasi berdarah yang merenggut tiga mahasiswa Tri Sakti. Lia Aminuddin datang ke Padhang mBulan dan menceritakan kalau akan terjadi kerusuhan di Semanggi. Lia juga menerawang bahwa di sekitaran gunung Kawi, Malang akan terjadi kerusakan alam yang ia perlambangkan dengan ulat-ulat yang makan dedaunan. Dalam kesempatan itu Cak Nun menuturi Lia, “Mbak Lia, kalau ada 10 cemlorot dari langit (ilham), jangan ditelan semua. Ambil dua saja, sebab yang delapan bisa berarti penipuan.” (kalimat Cak Nun ini suatu saat anda temukan dalam konsep eksistensi hamba dengan Tuhan yang melahirkan rumus: The Real I dan The Real i = Siapa Aku dan Siapa aku. Semacam keterjebakan kodam supaya tidak sampai ke Tuhan] yang diikuti banyak penganut dari berbagai kalangan (kalangan yang tidak jelas basis agamanya dan dilanda keputusasaan atas situasi yang tidak menjamin dirinya. Meminjam istilah Cak Priyo Aljabar, “wong pekok diikuti wong congok.”

Agama apapun bentuknya adalah pesan, adalah perjanjian “al din-u nashihah,” bagi muslim pesan Alquran adalah pesan yang terakhir. Artinya pesan yang lama tidak harus hilang. Renovasi kontruksi bangunan misalnya dengan cat dan plamir yang baru bukan berarti menghilangkan pasangan bata di dalamnya. Pesan dalam agama berlaku untuk agama apa pun, sebab bersifat Kebenaran Universal, Kebenaran Tunggal, Tawhid, sama-sama takut Tuhan. Jika kemudian menjadi berselisih paham karena setiap umat masing-masing menjelaskan makna kebenaran tersebut yang melahirkan perbedaan. Apalagi dipertajam dengan masuknya vested interets (berbagai jenis kepentingan, hawa nasfu).

Alternatif penggiring ke arah Umatan Wasathon semisal yang ditanyakan Jhon Lyden, “apa yang dipikirkan ahli agama terhadap agaman lain, dibanding agamanya sendiri? Apakah ada kebenaran (keselamatam) dalam agama lain? Apa kita menyembah Tuhan yang sama? Jawabnya bahwa tiap agama mempunyai konsep yang berbeda. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimanan umat beragama mendevinisikan diri di tengah agama-agama lain? Jika seorang muslim membaca buku polemik karya Ahmad Deedat (kritik tajam terhadap Kristiani), atau seorang Kristen membaca bukunya Norman L. Geisler dan Abdul Saleeb (klaim sangat ilmiah terhadap Islam) sulit menciptakan Umatan Wasathon. Bahkan ketika seseorang membaca keduanya, akan terjadi kebingungan, jangan-jangan agama A yang salah, atau agama B, atau AB sama-sama benar dan AB sama sama salah.

A. N. Wilson dalam buku Against Relegion, Why We Should Try to Live Without It (London: Chatto and Windus, 1992) menggambarkan dilema konflik antar agama yang disebabkan kurangnya orisinalitas keadilan individu sebagai berikut: dalam suatau agama, orang memusuhi agama lain dengan alasan jihat kebenaran agamanya, dan kezaliman agama lain. Agama lawan yang dimusuhi juga berfikir bahwa kaum yang menyerang adalah zalim, dirinya yang menegakkan kebenaran. Orang yang berada di luar agama akan menyimpulkan bahwa ke dua agama yang berseteru, karena sama sama menggunakan klaim kebenaran hasilnya salah, sebab rusak. Kalau agama itu benar, tapi tidak mempengaruhi pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar jika tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Yang salah agamanya ataukah yang menafsirkan kebenaran dalam tawhid agamanya. Umatan Wasathon adalah sikap pararelis, yakni menyejajarkan agama lain dengan agama sendiri.

Jalan lain menuju Umatan Wasathon adalah berjiwa esoterik, yakni pandangan holistik. Ia sadar bahwa agamanya berada dalam naungan kesatuan dengan agama lain. Bukan berjiwa eksoterik, yakni pandangan bahwa agamanyalah yang paling benar, final. Esoterik dan eksoterik harus bisa bertukar posisi, agamanya ibarat istri, (suami berhak mempercantik, mempermolek, membahenolkan bahkan menganggap istrinya yang paling cantik) namun orang lain juga punya istri. Jika salah satu istri ternyata ada kelebihan yang bisa dibuktikan secara ilmiah, budaya dll, bukan berarti istri yang kecacatan, salah. Ada dinamika toleransi.

Di antara artikel pendek Gus Dur yang dimuat Tempo 26 Juni 1982, ia menceritakan sarjana X yang 8 tahun mendalami ilmu di negara lain. Sekembalinya ke Indonesia, X kebingungan melihat moralitas yang disebut negara agamis. X menemui pamannya dan menceritakan kemuskilan yang ditemuinya. Pamannya menuturkan, “kau sendiri yang kurang tabah. Kemuskilan yang kau saksikan itu dalam rangka amar makruf nahi mungkar. Seharusnya kau pun bersikap seperti itu, jangan menyalahkan mereka.” X terdiam, tidak puas dengan jawaban pamannya. X lalu menemui tokoh moderat yang dianggap mampu menjembatani formalisme agama dan modernisme agama. Jawaban yang diperolehnya, “kita harus bersyukur bahwa kaum agamis masih menawarkan gagasan parsial. Sehingga agama tidak dihadapkan sebagai alternatif ideologi tatanan yang ada.” Lagi lagi X kecewa. Terakhir X menemui guru tarekat. Di situlah X memperoleh kepuasan. Ternyata jawabnya sederhana, “Alloh itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian atas kebesaranNya. Ia Maha Besar karena Ia ada, apapun yang diperbuat orang atas diriNya, sama sekali tidak berpengaruh atas wujud dan kekuasaanNya. Al Hujwiri mengatakan: Bila engkau menganggap Alloh ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah kafir. Alloh tidak perlu disesali kalau Ia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau ada orang yang menyerang hakikatNya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Alloh, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.

*) Sabrank Suparno. Bergiat di Lincak Sastra Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez