(bagian XXIII kupasan kedua dari paragraf lima dan enam dari esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi
Sastra-indonesia.com
Saya
tidak tahu, wallahualam bissawab.
Setelah diperjalankan dari Lamongan ke Jombang, Kediri, lalu berhenti di
dataran bumi Reog Ponorogo, saya lanjutkan kini. Kenapa disebut ‘diperjalankan?’
Lantaran langkah kaki ini kehendaknya damai di tanah kelahiran, tapi air hayati
menghempaskannya. Kurang lebih sebelum 5 April 2012, saya seakan menghadapi canangan
nasib, namun setelahnya diringkus takdir besar berbeda. Mungkin ini ‘terapi’
tersingkapnya Kun Fayakun walau
sekelumit. Di dalam periode tersebut, perangainya bisa dilihat bagian XX (4
Juni 2012), XXI (25 Juli 2012), XXII (14 Agustus 2012) serta sekarang.
Sisi
lain, saya yang pengelana kurang pantas mengurai paparan penalaran, apalagi
dengan buku tebal. Setelah diraba, sejenis terjadi sebab-akibat alam semesta. Tulisan
senada bisa ditengok di sini http://sastra-indonesia.com/2009/06/bahasa-kausalitas-yang-rahmatan-lil-alamin/
Hukum kausalitas menaungi sepantulan dari kebuntuan para kritikus sastra yang tahu
kejahiliaan dibiarkan, setanggul air tak mengalir merubah warnanya hingga
pembusukan. Dan kegiatan inikah segerak menjebol tanggul angkuh guna dialirkan airnya,
demi peroleh tenaga pelestarian nilai yang mempat? Maka terpancanglah
pembangkit tenaga alamiah.
Atau
seyogyanya kritikus pendukung Sutardji jua menghardik kesalahfatalan terjadi pada
teksnya, tapi lantaran bungkam, sunnatullah diperjalankan. Saya tiba-tiba menulis
kritik panjang lebar tak lebih sepantulan energi dari kritikus malas
mengkritisi, sungkan menegur SCB jadi kebodohan kian tampak parah depan mata.
Ini perihal ketersumbatan; banjir besar atau ribuan semut hitam kata-kata atas
kehendak keseimbangan. Seombak memecahkan keheningan malam atau gerhana bulan
dua kali teralami dalam tahun ini saksinya.
Saya
yang bercita-cita jadi pelukis, karena cat mahal dan oleh pilihan sudah
dimatangkan di tahun 1999, lantas meyakinkan diri menghadapkan jemari memegang
pena menyetiai menulis. "Apakah saya penulis, penyair atau
sastrawan?" Itu tidak penting, dan tak perlu membuat plakat depan rumah
atau belakang nama semisal dokter gigi. Setidaknya saya tak sebarkan gosip, tekslah
yang bicara. Umpama saudara tak paham, sekali lagi saya maklumi, karena
membedakan ‘kata kerja’ dan ‘kata benda’ tak mampu, dalam kasus SCB menyoal Kun Fayakun yang diselewengkan?
Lansung
saja, baca ulang kutipan saya; paragraf Aguk Irawan Mn bagian sebelum ini. Lalu
masuk petuah Al-Ghazali: "Barang
siapa yang hendak berbicara tafsir Al-Qur'an dan takwil hadits, pertama-tama
wajib menguasai bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu i'rab, dan ilmu sharaf, karena
ilmu bahasa merupakan tangga dan jembatan bagi semua ilmu. Barang siapa tidak
menguasai ilmu bahasa, maka tidak akan berhasil memperoleh ilmu. Barang siapa
hendak meningkatkan prestasinya, pertama-tama, hendaklah membentangkan
jembatan, baru kemudian melintasinya. Ilmu bahasa adalah jembatan paling utama
dan lintasan paling pokok. Pencari ilmu mesti mengetahui segenap hukum
bahasa."
"Pemulaan ilmu bahasa
adalah pengetahuan perangkatnya yaitu: kosakata atau muffradat (vocabulary),
susunan kata kerja dan lainnya. Orang yang belajar bahasa Arab harus
mempelajari syair-syair Arab. Syair-syair Arab yang pertama kali harus
dipelajarinya adalah syair-syair jahiliah, karena syair-syair jahiliah itu akan
membantu menghapus keraguan pada suatu makna kata." (Al-Risalah Al-Laduniyah,
penerjemah M. Yaniyullah, terbitan Hikmah, cetakan II, Juli 2003).
Kutipan
di atas sedikit banyak pembaca bisa merujuk bagian XVI yang memuat uraian alat
baca (nahwu shorof) mengenai Kun Fayakun.
Dan jumputan kedua saya tambahkan tulisan Imam Al-Ghazali di buku yang sama
berikut ini:
"Ilmu itu
zatnya sendiri sudah mulia tanpa harus memandang obyeknya. Termasuk ilmu sihir,
zatnya sendiri mulia sekalipun batil. Hal ini dikarenakan ilmu itu merupakan
kebalikan dari kebodohan. Kebodohan pasti disebabkan oleh terhalang
/terdinding. Keterhalangan disebabkan oleh diam, sedang diam itu lebih dekat
kepada ketiadaan. Kebatilan dan ketersesatan berada pada posisi ini. Jika
kebodohan masuk ke dalam hukum ketiadaan, maka ilmu masuk ke dalam hukum
keberadaan. Tentunya keberadaan (ada) lebih baik dari ketiadaan. Hidayah, hak,
dan cahaya, semuanya masuk pada level keberadaan."
Pengarang
Kitab Ihya' 'Ulumuddin memperkuat
landasannya berdasar Al-Qur'an, Surah al-Fathir (35), ayat 19. Setahu saya,
banyak disertasi menganalisa ajaran Islam yang menghindari pengambilan
ayat-ayat kitab suci, karena hal itu saklek tak terbantah. Lalu para guru besar
menyarankan mencari rujukan lain, guna menyegarkan khasana dialektika. Namun
rasanya saya curiga, mereka tak berani mengambil resiko di jalan ijtihat. Lebih
parah menghindari lantaran kurang menguasai, terlebih akrab petuah para intelektual
dari Barat sejenis. Padahal Al-Furqan kitab sucinya yang wajib dipercaya dalam
meneliti soal kehidupan yang dilakoni, demi menggapai kejayaan akhirat.
"Keterhalangan
disebabkan oleh diam, sedang diam itu lebih dekat kepada ketiadaan." Ingat SCB mengganti makna
kata ‘Kun’ yang seharusnya ‘Jadilah’ dipandang sebagai ‘Jadi’ atau kata benda,
lalu diulang-ulang demi meyakinkan ke pembaca bahwa jalurnya sudah tepat. Namun
ternyata malah menyeru ke laluan kegelapan, lepas dari prosesi kerja. Mematung
kayak puisi konkret atau sajak jahiliah pra-Islam di tanah suci Makkah yang
ditempel di dinding Ka'bah. "...syair-syair
jahiliah itu akan membantu menghapus keraguan pada suatu makna kata."
Ingat pula perkataan paragrap kedua IK, esai yang saya kupas ini dan di ‘Pidato
Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998’ "Puisi adalah alibi kata-kata." Maka inilah jawaban
paragraf IK 5 dan 6. Saya berharap pembaca tak malas berbolak-balik mecernanya,
demi peroleh keadaan sebenarnya!
***
Sebelum
jauh saya tulis catatan perjalanan terlebih dulu. Saya diperjalankan kembali
oleh laku hidup, dari Ponorogo ke Cabean, Jogjakarta, lalu malam kini berada di
Watucongol, Muntilan, Magelang. Lintasan kali ini seakan menghimpun bulir-bulir
renungan sepuluh tahunan lalu, yang berlalu tak terasa. Atau begitulah hayat
diobang-ambing angin kesadaran, terkadang bayu keterlepasan atas hawa sejuk
melenakan pun lain. Semua serentak menghimpun satuan waktu setali-temali luput
terkadang menjerat langkah, naik-turun seair laut bergelombang. Dan yang
terpahat sekarang, memberi pekerti di hari kemudian.
Terpetik
ungkapan Al Imam Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdurrahman Al Hamdaany dalam
kitabnya "As Sab'iyyaatu fil Mawaa'idhil
Barriyyat" yakni ‘Kuda
diciptakan dari angin.’ Saya tidak sedang berkuda dalam setiap perjalanan,
namun teringat itu, dan tertera petuah Al-Ghazali pada buku yang saya rujuk
dimuka, yaitu ‘Badan bukanlah tempat ruh
dan tempat hati, badan hanyalah alat ruh dan perangkat hati serta tunggangan
jiwa.’ Ya, ruh serta hati saya sedang menunggangi tubuh dan diperjalankan
searah hawa keganjilan. Takdir entah tiada tahu pasti ketika sudah berada di
atas uap dari api tungku menyala-nyala. Air hayati dipanasi menaikkan uap
menempel di kaca cermin berupa bintik-bintik bening tak terkira, nikmat patut
disyukuri meski dalam gugusan suwong.
Begitu
menggetarkan Al-Ghazali terus mewedaran ujarannya, ‘Kebodohan itu masuk dari kemestian jasmani, dan ilmu itu masuk dari kemestian
jiwa.’ Yang berada atau diantara tulisan ini sejenis reaksi kimiawi jiwa
memenuhi bebidang kajian, atau saya dalam pergumulan perasaan penalaran lembut.
Mengolah bahan pertimbangan batin sebelum menempati ruang penentu, putusan dari
kematangan sesudah dilakoni syarat-syarat untuk peroleh pengetahuan. Ialah
perluasan kesadaran denyar cahaya, sepijar jantung gerakkan tubuh, sedang hati
manaungi seawan mengembarai titian rindu. Pada gilirannya menjatuhkan bebulir
hujan sejukkan pelataran, kemuncul kuncup kembang rindu bermekaran. Serbuk-serbuk
menerangi seperasaan pertama, meski berkali-kali tiba waktunya. Ini
mengingatkan Mbah Shalih:
Di
antara murid Sunan Ampel, hanya Mbah Shalih punya peristiwa misteri; mengalami
mati sembilan kali, sehingga kuburannya pun sembilan. Menurut riwayat, Mbah
Shalih salah satu murid Sunan Ampel merangkap tukang sapu masjid. Pekerjaannya
memuaskan Sunan Ampel dan semua orang, menyapu lantai masjid sangat bersih hingga
yang sujud tanpa sajadah tak merasa ada debunya. Setelah Mbah Shalih wafat dan
dimakamkan di muka masjid, baru terasa oleh Sunan Ampel serta orang banyak,
yaitu tiada seorang pun mampu menyapu lantai masjid sebersih sapuannya.
Lebih-lebih para santri tak bisa rutin menyapu, akibatnya keadaan masjid sering
kotor. Melihat demikian, berucaplah Sunan Ampel, "Seandainya Mbah Shalih masih hidup, tentulah masjid ini menjadi
bersih." Tiba-tiba di pengimaman nampak Mbah Shalih sedang menyapu,
lantai masjid pun bersih kembali, semua orang keheranan melihat Mbah Shalih hidup
kembali. Beberapa bulan kemudian wafat lagi, dan dimakamkan di sebelah timur
berdampingan makamnya yang pertama. Sepeninggalnya kedua, keadaan masjid kotor
lagi. Atas kekaromahan Sunan Ampel mengucapkan kata-kata sebagaimana dahulu, dengan
ijin Allah Swt. Mbah Shalih hidup kedua kalinya. Demikian kejadiannya beberapa
kali wafat dan hidup kembali. Sesudah kuburan Mbah Shalih genap delapan, Sunan
Ampel tiba kewafatannya. Sepeninggal Sunan Ampel, Mbah Shalih pun wafat
sehingga kuburannya sebanyak sembilan, kuburan akhir berada di ujung timur.
(Kisah Wali Songo, disusun oleh Baidhowi Syamsuri, 1995 penerbit Apollo
Surabaya).
Dalam
karangan saya 'Kitab Para Malaikat'
tertuang berikut, "Ia tak pernah
menjatuhkan vonis kematian kedua kali, kecuali kau naik banding, serupa mati
surinya pemegang sapu lidi di makam Ampel (II: I)." (Hukum-hukum
Pecinta II: I - CXIII, terbitan PUstaka puJAngga, 2007). Membersihkan bidang
perasaan, menyapu debu perjalanan demi khusyuknya pertemuan. Maka uraian lanjut
saya menunggu kedatangannya, kehadiran inspirasi nan dinanti. Bekal tertanam
kini, semoga menyeruak segetaran nasib menuruti peta sudah tertera jauh, sebelum
saya hidup di bumi.
***
"Abu
Mas'ud 'Uqbah bin Amrin al Anshari al Badri r.a. mengatakan; Rasulullah saw.
bersabda, 'Sesungguhnya, salah satu
ucapan kenabian yang pertama yang diketahui oleh umat manusia adalah apabila
engkau tidak malu, maka lakukanlah sekehendakmu." (H.R. Bukhari).
Hadits Riwayat dalam "Kitab Syarah Hadits Arba'in" karangan Al Imam
Yahya bin Syaraf Al Nawawi, tersebut diperkuat Q.S. Fushshilat: 40, yakni
bentuk larangan atau ancaman dipermanis, istilah Jawa-nya 'dibombong', semacam
'dipangku' dalam perkara akrasa Jawa berarti 'mematikan' pada kalimat "...apabila engkau tidak malu, maka
lakukanlah sekehendakmu."
Maaf,
bagian ini tergambar kurang terkait langsung kajian, karena mengungkap catatan
perjalanan, tetapi Insyaallah terpaut seirama gerak, lantaran teks saya
tuangkan tak lebih cermin hati bergetar oleh cobaan menimpa. Dengan melayarkan
jemari menjatuhkan pilihan demi mengisi reruang jiwa beserta nikmat tak terkira
dari-Nya yang memberi wewaktu luas bersuntuk meskipun dalam kepayahan batin
tengah didera musibah mengepung bak gulungan ombak menggelombang. Semogalah
sampai ke pantai keyakinan; dambaan laku dari peneliti yang diombang-ambingkan hidup
dalam percepatan imbang, "Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (Q.S. Al Qamar: 49).
Dari
ayat tersebut, Al Nawawi mengurutkan ke hadits Nabi diriwayatkan Ibnu Abbas
r.a., "Ketahuilah bahwa seandainya
sekelompok orang bersepakat untuk memberikan manfaat kepadamu, maka tentu
mereka tidak akan dapat memberikan kepadamu
manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah. Sebaliknya,
manakala sekelompok orang bersepakat untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak
akan dapat mecelakakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah.
Pena untuk menulis, takdir telah diangkat dan lembaran-lembaran buku catatan
takdir pun telah habis."
***
Setelah
diiperjalankan dari Gunung Pring (Watucongol,
Muntilan, Magelang), ke Cabean (Yogyakarta),
ke Ngelipar (Gunung Kidul), diantar
lima veteran ke Ponorogo, lalu ke Menturo (Jombang,
ke makam ibunda Emha Ainun Nadjib; Hj. Chalimah yang meninggal pada tanggal 1
September 2012), kemudian ke Langitan (Tuban),
ke Makam Sunan Drajad (Lamongan),
menuju Pasuruan serta Ponorogo lagi, kini saya lanjutkan.
***
Mungkin
lebih sebulanan tak teruskan di atas, selain dinding tebal menjulang persoalan
menghadang juga berkali-kali menempa. Tepatnya sesuaikan hawa prosesi tulisan,
guna tetap pada kesatuan, atau 'bendelan' dapat ditarik pengertian di hari
kemudian. Anggap gaya seolah tak terkait ini pertemuan kebetulan saya
ketengahkan, saudara membaca tentu berbeda esainya IK bertitel "Sastra Indonesia dan Saya, Sebuah
Perjumpaan, Untuk Leo Kleden, Mengenang 23 Juni 1979." Sebenarnya saya
tidak perlu repot menyoroti, hanya jika ada anggapan ceriwis atau bolehlah menebalkan
keyakinan ke muka. Toh saya tak mengharuskan diterima, mungkin hanya 'maaf'
yang terucap, jika saudara sayang tidak meneruskannya.
Ini
kali agak malas, namun rindu berkata-kata. Boleh jadi raginya kumparan gugusan
pandang terlewat, dan saya asyik mencengkeramai diri mengenai kebenaran
teryakini, pun perihal patut digaris bawahi. Tulisan atau hidangan ini sisi
lain terapi, jika ditengok beban menimpa, sejalan tulisan menyehatkan badan-jiwa.
Setidaknya dengan kualitas yang ada bisa menjurus perampokan, tapi
Alhamdulillah diri ini terhanyut ketampanan para pemikir, keuletan peletak
dasar penalaran dari perwujudan wahyu sampai sihir. Sehingga disibukkan
suara-suara kedalaman, lalu menganggap ringan hidup hanya untuk mencari
keselamatan.
Kini
15 Dulkaidah 1945, Senen Pon menurut kalender Jawa, saya balik di Perumahan
Patihan berbentuk aula menghadap ke utara, di depan terhampar lapangan selalu sunyi.
Sebelah barat dan timur masing-masing tak ada lima puluh langkah bangunan
masjid, keduanya tidak terlalu besar jika dibanding masjid-masjid di wilayah
Pantura. Saya sedang tak banyak baca buku tetapi menyerapi bacaan telah lalu,
serupa melilitkan benang-benang jiwa menghitung hati berkaca diri. Sesekali
menghela nafas panjang kini berkeadaan pelahan, sepelan merasakan timbagan hampir
mendekati seimbang.
Dalam
ruangan luas, sebelah barat berderet buku-buku cetakan karya Bapak Sutejo,
calon doktor penemu teori Etnosufistik pada disertasinya "Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto." Di
atas deretan buku, lukisan karya Andry Deblenk dan Sugeng Ariyadi. Kadang
ditemani kicauan beburung prenjak juga beburung lain bebas tidak terkurung
sangkar bikinan manusia. Sebelah selatan letak saya tempati terbentang
pesawahan menghijau meski musim kemarau, terbersitlah karena bagusnya pengairan
di Ponorogo. Mungkin hanya di sini bisa tenangkan diri, setidaknya tak balik ke
Tegalsari pun di Pesantren Joresan, lantaran jika lama di sana batin ini tertekan
kenangan terdekat di hati.
Teman-teman
lukis pun kawan-kawan penulis kerap datang di sebelah waktu sepi, seperti pagi
ini serta pagi-pagi terlewat, pula malam-malam tanpa bayangan, sunyi mencekam,
saya tenggelam dalam renungan laksana patung sendirian. Nyanyian bebacaanlah
menghibur, ruh orang-orang dahulu mampir menyambangi,
datang beraroma harum sejelas kedekatan diri keakraban pribadi mengenalnya. Lantas
menjelma harmoni menemani tapak hidup mengudar pengertian senggang, serasa wewarna
anyar kejadian peleburan di atas karakter pelbagai rupa drajat keadaannya.
Melodi
ini rasanya berbekas pembacaan "Balada
di Bukit Pasir Prahara" minggu lalu di kampus. Kini saatnya mengedarkan
ingatan pada bebagian lalu, pula catatan ini demi menggenapi kisah. Jikalau ada
mengira ini tegur sapa dangkal, maka meski terlambat; ‘Selamat datang wahai
pengembara yang perluas kemungkinan terhampar rahmat-Nya bagi penempuh jalan
kesunyian.’
Di
bagian XVI saya sebut Kun Fayakun
terdapat di penghujung Surat Yaasiin ayat 82, penghujung Surat An-Nahl ayat 40:
"Sesungguhnya perkataan Kami
terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya:
"kun (jadilah)", maka jadilah ia." Dan "Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia."
Setelah
menelusuri, ternyata ada di beberapa ayat pada surat lainnya dalam al-Qur'an,
Al
Baqarah: 117 : "Allah Pencipta
langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka Dia hanya mengatakan
kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia."
Al
An'aam: 73 : "Dan Dialah yang
menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu
Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah
segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang
nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui."
Al
Mu'min: 68 : "Dia-lah yang
menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia
hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia."
Maryam:
35 : "Tidak layak bagi Allah
mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia
hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia."
Ali
'Imran: 47 : "Maryam berkata:
"Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah
disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan
Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila
Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
"Jadilah", lalu jadilah dia."
Ali
'Imran: 59 : "Sesungguhnya misal
(penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
"Jadilah", maka jadilah dia."
Bayangkan,
atau kata lain saya tak paham kaidah berbahasa, namun siapa tahu malah jadi
masukan berharga di tempat berbeda? Dan bayangkan kata ‘Jadi’ kepunyaan SCB
sebagai kata konjungsi (kata penggabung) dalam paragrafnya:
“Pada mulanya Tuhan Sang
Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari
puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi
adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata
yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan
Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ hal 20).
“Pada mulanya Sang Maha
Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari
puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan
pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju,
terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum
Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-, “Bentara” Kompas, 11
Januari 2003, ‘Isyarat’ hal 22).
Pada
beberapa kejadian, peristiwa dalam suatu nuansa, aura atau kurung letak
tertentu, kata ‘jadi’ dalam kebahasaan Indonesia tidak berarti atau tidak
otomatis bermakna ‘ada, wujud,’ tetapi kehadirannya sekadar ‘kata penghubung.’
Sisi lain wewarna perlambang dari kata-kata sama, namun berbeda makna serta
berlainan fungsinya, yang tertemukan kadang kuatkan kalimat, menyamarkan pula
mendangkalkan peristiwa diboyongnya. Di sini, tantangan sastrawan menyuntuki rupa
terkandung sedalam bahasa yang dipunyai.
Maaf,
saya agak geli lantaran seolah-olah guru bahasa, namun tak apa. Misalkan dalam kalimat
ada kata ‘jadi’ yang tidak bernilai ‘ada, atau wujud’: “Sebab SCB berpendapat 'puisi adalah alibi kata-kata', jadi puisinya
asal-asalan." Demikian contoh kata ‘jadi’ yang tidak dimaksudkan ‘wujud
atau ada,’ namun sekadar ‘kata sambung.’ (Bunyi “puisi adalah alibi kata-kata”
terdapat dalam esainya SCB, “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar
1998,” pada Catatan Kebudayaan, Horison, XXXII/5/1998, dan buku “Isyarat,”
kumpulan esai Sutadji Calzoum Bachri, IndonesiaTera, hal 14).
Sebelum
rambahi soal, saya turunkan bayangan di papan kemungkinan. Di beberapa perkara
kata ‘jadi’ yang tidak hanya bermakna ‘wujud atau ada,’ hampir setara kata
konjungsi ‘maka,’ yang dipakai menghubungkan anak kalimat dengan induk kalimat,
pun antar kalimat. Seperti: “Karena
kedinginan, jadi memakai jaket,” dan “Sebab
kehujanan, maka badannya menggigil." Ini bisa dikembangkan setampan
penalaran pelakunya. Apakah termasuk sudah baku? Mengenai baku atau tak,
diterima langsung pun tidak, saya serahkan ke pembaca. Setidaknya di sini
menduduki perkara membuka perihal sudah berlaku yang masih dicurigai. Misal hanya
mengikuti aturan saja, padahal lainnya berlari lincah pula melesat ke ujung
setara dan lebih.
Kelenturan
kata ‘jadi’ juga kekakuannya menampilkan tekanan kokoh, dibanding kata ‘maka’
yang sepintas melahirkan perangai hampir sama antara kalimat yang disambungnya
atau sedikit imbang. Sedangkan kata ‘jadi’ menyerupai penghakiman terhadap peluang
yang diketengahkan sebelumnya. Hukum ini berlaku lantaran kata ‘jadi’ sanggup
memoles parasnya membentuk ‘kata’ tidak melempem, umpama ‘menjadi’ berbeda
‘makanya,’ itu pun dapat diserap ke tubuh ‘jadi,’ menjelma kata ‘jadinya.’
‘Kejadian’
ini. Nah, kata ‘kejadian’ pula berangkat dari kata ‘jadi,’ sedang kata
kunjungsi ‘maka’ tidak sanggup menampilkan perihal demikian mewah. Kejadian
tengah terunggah ini setidaknya sudah mewarnai juga mewabah di masyarakat, dan
kerja penyair menggeluti nada irama menggelinjak pada ruh pencipaan karyanya. Tinggal
menyadarinya luas, atau berpatokan nasib pada aturan senyatanya berselisih paham
antara karya ilmiah atau tak, misalkan.
Bandingkan
kata ‘makanya, olehnya, dengannya’ dengan ‘jadinya,’ yang seakan sudah
meringkus peristiwa yang sedurungnya disampaikan. Inilah kelebihan sekaligus
kekurangan kata ‘jadi.’ Mungkin, Sutardji termasuk penyair cerdas, namun kelewat
batas menggulirkan perkara yang mencoba merombak kata ‘kun’ dari Kun Fayakun, dan ‘kun’ dimaknai ‘jadi.’ Padahal
dalam kebahasaan Arab, kata ‘jadi’ ialah ‘kana’ bukan ‘kun.’ Soal ini saya kira
ahli bahasa pendukungnya bisa jawab lebih lapang, andai saya keliru.
Apakah
para pakar bahasa sudah merambahi kata ‘jadi’ yang disampaikan Sutardji? Saya
tidak yakin, sebab hadirnya buku tipis saya yang sebelumnya dianggap ringan. Maka
diri ini mensyukuri karena bisa berhadapan langsung meluas ke jangkauan yang tak
sempat mereka pikir. Ini bola bekel memantul terbentur dinding karang, yang
pasti keropos oleh desakan ombak berulang. Di waktu keheningan saya lihat bola
tersebut bekerja, meski saya nyenyak tertidur pulas bersama tarian gelombang
pemikiran yang selalu mengukir tahap kebenaran juga mengeroposkan jari-jari
mitos kesusastraan yang ada.
Secara
umum kata ‘maka’ sering digunakan bersamaan kata ‘jika,’ contoh "Jika ia datang, maka saya senang."
Bandingkan, "Jika ia datang,
jadi saya senang," dan "Jika
ia datang, saya jadi senang." Tidakkah kata ‘jadi’ di sana begitu elok
dapat ditaruh sebelum-sesudah kata ‘saya.’ Ini akan fatal kalau diganti, "Jika ia datang, saya maka
senang," yang tampak lucu bin wagu!
Almarhum
kritikus Umar Junus, lahir di Silungkang, Sumatera Barat, Indonesia 2 Mei 1934,
meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal dan bulan sama kelahiran saya ‘8
Maret,’ namun di tahun 2010 kemarin. Junus menulis Sutardji (bukunya "Dari Peristiwa Ke Imajinasi, Wajah
Sastra dan Budaya Indonesia," bagian 16: "Puisi Yang Mantra Di
Indonesia: Suatu Interpretasi," Penerbit Gramedia, Cetakan 2, April
1985), mementingkan unsur bunyi daripada arti dalam puisi-puisi SCB, pun tak
sempat mendedah keteledoran fatal pidato kebudayaan Mastera 2006 dan DKR 2000.
Mungkin kata-kata “Jadi, lantas jadilah!”
dan “Jadi maka jadilah!” Sutardji, dianggap
memiliki kekuatan bunyi yang menyamai kata kerja dalam kata ‘jadi,’ maka alam
susastra masih terselimuti pekabutan mitos paling pekat.
Junus
seperti Dami, banyak mengusung referensi dari luar demi mendukung ‘keserampangan’
Sutadji, dengan abai atau menekan kekurangan manusiawi pada diri penyair
diandalkan. Lewat menaikkan pamor menjulang kekaryaan SCB; seakan kehadirannya
sangat berjasa untuk kemajuan sastra Tanah Air. Sekali lagi tengok siapa saja,
apa pula bunyi jadi patokan, lalu bandingkan paham para tokoh lain yang terbukti
telah menggerakkan nalar peradaban!
'Jika tak mementingkan arti,
tapi bunyi,'
maka contoh kata sambung atau penghubung, atau apa saja dapat saudara gandeng menerus,
bolak-balik jempalitan tanpa harus repot mencari maknanya dari proton sampai
neutron segala. Lewat kaca mata sederhana, para pendukung kekacauan itu semakin
kacau. Dan kita tak peroleh apa-apa selain ketakjuban nalar tak berfaedah,
sebab kerja daripada puisi sangatlah berbeda daripada bom atom misalnya!
Usah
jauh mengkritisi kebesaran Chairil, Sutadji, tengok ‘kengawurannya’ jika ingin
kedewasaan sejarah sastra Indonesia. Mengedepankan boroknya 'tinimbang' pamor
bikinan pesona seolah-olah. Atau rasa-rasanya melebihi kupasan
firman-firman-Nya, sehingga orang-orang seperti saya tidak hadir bersemangat beringas.
Dan saudara layak mendapatkan jika masih berkutat pada kata-kata tanpa manfaat sesama,
kecuali pentas sulapan depan mereka yang haus hiburan malam dengan tepuk tangan
panjang.
Katanya,
"mantra itu -sesuatu yang utuh, yang
tak dapat dipahami melalui unsur pembentuknya,” dan – “sesuatu yang tak komunikatif dengan manusia, sehingga bersifat esoteris
dan misterius, karena ditujukan kepada sesuatu yang gaib, merayunya, kemudian
memerintahkannya untuk melayani kehendak yang mengucapkan mantra."
Sayang, Junus tak banyak menebar contoh menerangkan, sambil membanding
puisi-puisi Sutardji yang menurut saya terbesar sulapan. Bagaimana kita
mempelajari 'yang tak dapat dipahami
melalui unsur pembentuknya?' Tentu dengan misal dan saya telah nyatakan seperti
perusakan Ka'bah di bagian lalu. Lantas dengan apa, para kritikus yang kini
bertengger di singasana kekuasaan membetulkan dari kerusakan dalam memaknai Kun Fayakun, yang dilakukan sastrawan
jempolannya?
Karena
mereka menerangkan 'kemegahan' yang dikritisi, pantas pula pertahankan yang
saya ajukan! Sehingga tak seperti ungkapan Junus sendiri, ‘indah kata dari rupa,’ atau indah berita dari kenyataannya. Sekali
lagi saya suka penyair pula kritikus yang pandai menghipnotis dari dugaan ke
realitas, dan yang kesadarannya terlambat jatuhlah kecewa. Di sini saya mensyukuri
keterlambatan mengenal kritik sastra Indonesia. Karenanya berkewaspadaan
bertingkat tidak langsung menelan mentah yang diterangkan para pendahulu tanpa
curiga. Padahal kekritisan ialah suatu pertahanan dalam sebuah bangsa sedang
krisis!
Jadi
atau maka (sambil mengingat perkara sebelumnya) kita hanya mengenal ‘politik belah bamboo,’ mikul dhuwur,
mendhem jero.’ Yang silap diabaikan, yang terlihat menguntungkan
diperkarakan ke sidang pembaca. Lalu kapan terjadi pertaubatan besar-besar, kekacauan
melebar, lebih tragis bungkam?!
Sesaat
menopang puisi-mantra Sutadji, Junus sampai menuangkan kalimat, "Komunikasi bahasa pada bentuknya yang
paling hakiki dilakukan dengan menggunakan bunyi bahasa." Bagi saya
juga peneliti lawas, mantra tak lebih doa. Saya tidak memungkiri perwujudannya
sejenis ‘komunikasi satu arah.’ Karena bagaimana pun doa tidak sekadar
kata-kata, tapi adanya ruh hakikat yang disampikan ke hadirat Yang Kuasa.
Kekuatannya tidak mementingkan bunyi yang tersampaikan saja, tetapi makna
terkandung di kedalamannya.
Saya
teringat ceramah Gus Najib -Denanyar, Kyai Ghofur pesantren Sunan Drajad, serta
para kyai lain yang kisahkan dirinya bertemu kyai sepuh, lalu peroleh amalan
berbahasa Arab (dari Al-Qur'an). Atau menceritakan kyai kampung dikala
mengimami di mushola, yang dalam pembacaan doa-doa dalam sholat tidak fasih,
namun Kyai Ghofur dan Gus Najib sangat segan kepadanya. Sebab bukan bunyi diutamakan
(pengucapan bahasa Arabnya lebih kental logat Jawa), tetapi makna yang diresapi
kyai sepuh sampai ke tulang sumsumnya keyakinan. Bukan bunyi bahasa yang
hakiki, kesadaran terdalam dari suatu yang diucap itu menjadi penggerak dinaya mantra,
doa.
Ada
cerita lain terdengar dari guru saya sewaktu di bangku Ibtidaiyah; satu
keluarga kota masuk kampung terpencil menikmati hari libur melepaskan penat
melonggarkan benang-benang kesibukan di kepala. Keluarga itu tersesat oleh
jalannya berlika-liku naik-turun gunung, bertanyalah mereka pada penduduk
setempat akan jalan ke kota. Sebelum diberitahu, pemilik pondokan mempersilahkan
tamunya nyeruput wedang, camilan serta makanan, sebagai tanda bahagia ada orang
kota mampir ke rumahnya.
Kala
menikmati suasana melegakan, orang kota melihat-lihat rumah bambu sederhana
yang disinggahi. Pandangannya tertuju pada burung di dalam sangkar yang kicauannya
merdu hingga terpikat. Orang kota dengan ringan ucap ingin membelinya, tapi
tuan rumahnya keberatan. Singkat cerita si pemiliknya belum berkenan, entah
oleh harga ditawar atau menanti kesepakatan anggota keluarga lain yang masih di
ladang. Tetapi memperbolehkan memilikinya jikalau benar-benar suka, dengan
syarat di hari minggu depannya. Lantas balik rombongan itu, sambil membayang
minggu depan mempunyai burung yang diimpikan.
Pada
hari ditentukan, orang kota beserta keluarganya ke kampung nan pernah diampiri.
Sambil menyetir mobil, hati-pikirannya berbunga-bunga, karena kan menambah
koleksi burung menghiasi rumahnya, yakni burung bagus bulu-bulunya dan indah
kicauannya. Jalan dilewati kanan-kiri menghijau, menambah sedap senandung
batinnya sumringah, sementara tuan rumah persiapkan masakan terlezat untuk
tamunya. Antara yang datang pun menanti sama terjerat gulungan masa betapa
mewah. Kabut turun pelahan laksanan kesopanan gadis sedari titian panjang sehabis
mandi di sendang. Kembang bermekaran menebari pesona, halus disapa kerlingan
mata, penciuman santun sebelum memetiknya.
Sampailah
perjumpaan dinanti. Tuan rumah persilahkan tamunya menikmati hidangan yang disuguhkan.
Selepas itu orang kota bertanya mengenai burung di minggu kemarin yang diimpi jadi
kepunyaannya. Semenjak datang sampai habis makanan, dirinya tidak tenang,
karena burung pernah dilihatnya sering berkicau. Dalam pikirannya, burung
tersebut ditaruh di belakang rumah atau sudah dipersiapkan untuk dibawanya
pulang. Namun apakah yang terjadi?
Dengan
tenang si pemilik burung bercerita kalau makanan yang dihidangkan barusan ialah
burung kemarin yang ditanyakan. Kagetlah orang kota seakan-akan tidak percaya
kejadian teralami. Ia kecewa berat, menyesali ‘kebodohan’ (keluguan) orang desa
yang ditemui, sehingga mukanya murung berat menerima realitas yang menimpanya. Orang
kampung mengira orang kota kembali karena masakan yang pernah disediakan minggu
kemarin, lantaran waktu itu jua memasak daging burung. Sementara orang kota
datang sebab terpikat kicauan serta paras ayu bulu-bulu melekat pada burungnya.
Saat
cerita di atas dihubungkan kritikus DJ (Dami dan Junus). Yang satu menekankan
penelitian ke suara, satunya bentuk puisi SCB. Junus lebih condong bahwa
terpenting dari puisi-mantra ialah bunyi bahasa, dan Dami ke perwujudannya,
jadi mendekatkan kajiannya ke bentuk puisi konkret. Keduanya sama tak peroleh
apa-apa yakni kecewa! Saya teringat tulisan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang
bertitel ‘Islam Kaset dan Kebisingannya,’
Tempo, 20 Februari 1982. Atau putar saja rekaman kicauan burung tanpa harus
memeliharanya!
Lebih
jauh huruf-huruf Abjad, Latin, Sansekerta, Hijaiyah, Ibrani, Yunani, Rusia,
Kanji, Jepang, Jawa &st… mengalami perpecahan atau mengaliri anak-anak
sungai berbeda. Berasal dari akar kepahaman atas nenek moyangnya yang menghiasi
dinding-dinding goa tempatnya dulu sembunyi dari binatang buas. Di lembaran
lontar, pahatan-ukiran kayu, relief di bebatuan, dan tersebar di ingatan
manusia senantiasa mengalami prosesi kebermaknaan pada kulit (coraknya) juga
isi (artinya). Oleh merawat kesadaran bersama demi mencapai komunikasi seimbang
sampai menanggulangi selisih pendapat, paham yang bisa berujung tajamnya tombak
peperangan.
Tenunan
pemaknaan lebih diutamakan daripada bunyi, seumpama bebangsa tersebar di
seluruh dunia ialah spesies beburung berkicau, maka keselarasannya di dalam
belantara pemahaman. Demikian bahasa mantra menempati bilik sunyi di ruang
kebahasaan itu, yang kehadirannya dapat dimaknai bagi benar-benar memperdalam
menyinauhi. Maka hanya peneliti tanggung melihat bentuk pula bunyiannya saja?
Analogi ini menjawab kritikus DJ yang tak merunut ke muasal mata air aksara-akrasa
dikajinya. Yang di sana kehadiran maknanya bisa dimengerti secara sadar sebagai
kelanjutan perjalanan panjang anak-anak manusia, bukan sejenis beralibi sebangsanya!
Perkara
penelusuran sampai satuan huruf di antaranya bisa dibaca ulang bagian XVI pada karya
Ibnu ‘Arabi, atau lihat kekaryaan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, al-Hallaj. Pula
karya-karya para mufassir, pensyarah, penakwil, ahli bidang perbintangan sampai
rajah. Di sinilah nafas-nafas permenungan, penghayatan bertemu keseimbangan
antara mereka, yang memunculkan hukum tertentu bagi syarat lakunya. Di samping
pengujian dari pelbagai penganalisaan, yang membentuk kaidah umum untuk
generasi setelahnya.
26
Oktober 2012, Jum'at Sukra Masehi,
10
Besar 1945, Jemuwah Pon Jawa,
10
Dzul Hijjah 1433 Hijriah,
Ponorogo
– Lamongan, Tanah Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar