Nurel Javissyarqi **
http://sastra-indonesia.com
Sebelumnya saya ucapkan Selamat! Atas terbitnya kumpulan sajak berlabel “Burung Gagak dan kupu-kupu”
yang memuat kekaryaannya: Didik Hendrik Y, B. Soeryanto, D’Panca Aulia,
Ainul Khilmiah, RH Suhud, Chidir Amirullah, S. Huda, Muh Ali Sarbini,
Abijar PeA, Rakai Lukman, Aji Ramadhan, dan Gus Bram. Yang dalam
pengantar buku ada catatan semacam ini:
“Gresik,
banyak melahirkan penulis dan penyair besar. Dapat kita lihat, Mardi
Luhung, L. Machalli, Budi Palopo, Taqin, A. Rofiq, Tsalis Aziz,
Mustakim, Dukut Imam Widodo, yang dalam gaya penulisannya mempunyai
wilayah masing-masing, menjadikan Gresik, sebagaikota yang patut
diperhitungkan dalam ranah sastra di regional ataupun nasional, salah
satu di antara mereka, merupakan penyair Asia Tenggara. Nama-nama besar
tersebut, merupakan penopang keberlangsungan kehidupan sastra di
Gresik.”
Karena baru kemarin peroleh datanya lewat e-mail. Jadi tidak mungkin
gegabah menghakimi kekaryaan mereka kecuali sepintas, istilah Mh Zaelani
Tammaka ‘serampangan’ kala menilai puisi saya di TBS tahun
2001 silam. Maka hanya lihat kemungkinan terdekat mengisari kepala
selepas baca sekilas. Hitung-hitung masa pendek dua hari bisa berbagi
pengalaman, kala dialog bedah buku 30 Desember 2012. Semoga tidak
sehakim konyol menentukan pilihan mematenkan nilai, tak grusa-grusu
memandang nasib karya bersama penulisnya. Olehnya, diberangkatkan dari
pijakan diri memandang yang sempat terlintas mengeram antara saya, dan
tlatah Gresik bersama kehadiran para penyair kota pudak.
Di kala masih bocah, mungkin hanya dalam dunia kecil saya, seminimal
lubang telinga pernah dengar sekaligus mata mungil menyaksikan; Gresik
terkenal dengan kerajinan pembuat songkok / kopyah, tepatnya di Bungah.
Ada rekaman kuat di benak, “songkok sedari Bungah, sarungnya (dari)
Samarinda,” dua benda itu menemani saya ke langgar (musholla) masa-masa
belia. Dua lubang telinga, dua mata saya, mungkin juga dirasai bebocah
jaman itu di kampung Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan (tetangga
kabupaten Gresik). Bisa jadi merambati seluruh Jawa Timur, meluas ke
pelosok negeri RI, sebagaimana sarung Samarinda (sebuah nama ibu kota
provinsi) Kalimantan Timur. Di sini, teringat penyebaran Islam oleh
Raden Paku (Sunan Giri, nama lainnya: Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra) lahir di Blambangan tahun 1442.
Dulu agak sering ke areal makam Sunan Giri. Tidak berziarah, sekadar ngopi
di warung dekat parkiran kendaraan peziarah. Biasanya selepas dari Kota
Pahlawan, tepatnya Jalan Semarang di Surabaya, sehabis membeli
buku-buku loakan. Ya, sebelum sampai rumah, beberapa halaman buku saya
habiskan baca di warung kopi di Giri, Kebomas, Gresik. Membaca buku
lama, sambil nyeruput wedang kopi mengepulkan asap rokok depan
makam Joko Samudra, rasanya mendapati ketenangan tersendiri, ketentraman
melestari, meski tak berziarah serupa pengunjung nan terlihat sumringah wewajahnya.
Jarak saya antara peziarah dengan Kanjeng Sunan Giri seakan tersekat
dosa, dari itu memawas diri membetuli jiwa menginsafi kehilafan /
kekentiran terlewat. Yang melahirkan puisi, salah satu lariknya tersemat
di “Kitab Para Malaikat,” Bagian Muqaddimah: Waktu Di Sayap Malaikat, I – XXXIX, di urutan 28-29 menyebut nama lain serta padepokannya Raden ‘Ainul Yaqin:
Apabila menyelami inti sadarnya alam menjernihkan mata batin,
itulah embun di idep-nya kembang Prabusetmata (XXVIII).
Sengaja melibatkan hukum-hukum langit di bukit Giri
tersebab bumi menggosok-gosokkan tubuh mentari kian renta (XXIX).
Hampirlah seluruh daya “Muqaddimah” datang atas Beliau, yang saya tempa di
makamnya Mbah Panji Asmoro, daerah Watucongol, Muntilan, Magelang.
Sungguh melimpah kekayaan lahir-batin sejarah di dataran Nusantara, yang
selayak dijadikan tembang syair. Itu seyogyanya bagi mereka yang
berkehendak menguri-uri (merawat) keadaban, agar peradaban berlangsung indah penuh wibawa sedari nilai-nilai dikandungnya.
Tanah Gresik ada kemiripan dengan Pulau Garam, sebutan telatah Madura
yang saya namakan pulau para penyair. Lantaran telah banyak melahirkan
sastrawan: D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W.M., M. Faizi, Mahwi Air Tawar,
R. Timur Budi Raja, Ahmad Muchlis Amrin, Halimi Zuhdy, seterusnya.
Gresik selain masyarakatnya bertambak udang, ikan bandang dan berdagang,
juga melestarikan tambak garam. Pemandangannya membuat jiwa jenak
menikmati hembusan bayu memutar-mutari kincir anginnya menggarami air
lautan. Di kecamatan Bungah, selain dikenal songkok, terkenal kerajinan
membuat rebana, gitar gambus, alat-alat musik pengiring sholawat;
puja-pujian kepada nabi akhir zaman, sang revolusioner tercepat menurut
Karen Armstrong di bukunya “Muhammad, A Biography of the Prophet.”
Tak diragukan sebagai kota di pesisir pantai utara Jawa, Gresik salah
satu kota santri antara kota-kota di Pantura. Hanya sedikit kota di
wilayah selatan tanah Jawa disebut kota santri: Jombang, Ponorogo,
Magelang, yang masih ada meski tidak semarak, ajaran kejawen bernafas di
sana.
Gresik bersebelahan kota metropolitan terbesar kedua Indonesia
setelah ibu kota Jakarta yakni Surabaya, juga punya pelabuhan lawas
sampai kini digunakan sejalur mengangkuti penumpang menuju pulau Bawean,
letak pelelangan ikan serta aktivitas lain. Tersiar kabar, bakal wujud
pelabuhan berkelas internasional di Kalimireng oleh pemerintahan
kabupaten Gresik, yang berniat mengulang kejayaan masa Maulana Ibrahim
dan Sunan Giri, menjadikan pelabuhan sedenyut nadi lajunya perdagangan,
untuk para saudagar bertebaran di bumi sholawat Cheng Ho.
Setiap gerak pertumbuhan itu niscaya, olehnya canangan nasib bersetia bakal mengunduh
derajatnya. Kala pandangan menyebar bersama kemajuan teknologi di atas
perangkat lunak, harum perkembangan informasi dalam dunia siber (cyber)
tampak kentara ruang-wewaktu renung diringkus percepatannya. Hanya “Luwih begja kang eling lawan waspada” seujaran agung pujangga Surakarta R.Ng. Ronggowarsito pada seratnya Kala Tida.
Membaca peristiwa ini laksana mendapati pulung, bukan karena
apa. Namun saya kerap baca tanda; apakah nama tempat, sebutan desa,
pula bentuk lain nan dapat terserap sedinaya kreatif. Kebetulan pulang
ke kampung halaman di Lamongan dari bumi Reog Ponorogo, kehendaknya
bulan-tahun depan teruskan kembara ke telatah Banten, jadi meski
tertuliskan di rumah, rasanya di persinggahan sementara. Keberuntungan
berasal sedari kata “bungah,” dalam bahasa Jawa bermakna seneng (senang, gembira). Setidaknya menghibur diri seistilah “urip mung mampir ngombe”
di tengah-tengah pengelanaan badan-jiwa. Belajar menyimak tetanda itu
diperkuat pengalaman almarhum guru saya KRT. Suryanto Sastroatmodjo,
disaat dulu berjalan kaki dengan Beliau ke desa-desa terpencil seputar
Yogyakarta.
Di Bungah, terlebih luas Gresik bersederap sejarah masa
silam-semilamnya kekinian, sangat layak bercokol insan intelektual di
pelbagai pilar, tidak terkecuali kesusastraannya. Kota-kota tumbuh
kembang pesantrennya, telah terbitkan berpuluh, kalau kurang pantas
dibilang ratusan penyair handal di Tanah Air kita. Lantaran alam
pesantren pun mempelajari sesyair, sebagai balutan pengajaran Islam.
Mungkin paham sedemikian nekat, tapi nyatalah bibit sumbangsih
generasinya menumbuhi sadar menuntut keilmuan sampai negeri Cina,
semangat kepedulian mengenyam himkah, bersinahu hingga ke liang lahat,
tertanam kuat di benaknya.
Atas kemakmuran lahir-batin sejarah Gresik; pengusaha, pelajar,
seniman, khusus sastrawannya, bersungguh merekam purba jengkalan jejak
perubahan kotanya. Di sadari, persinggungan terjadi di dunia industri,
pendidikan, kesenian; tampaklah pamor mewah kekaryaannya. Secara umum
terpandang karya-karyanya layak. Karena bentuknya serupa kumpulan juga
terbatasnya waktu saya. Maka hanya menyimak tanda langit bagaimana, awan
seperti apa memayungi kreativitas bersastra di kemudian harinya.
Setiap gerak penentu perubahan. Nama penyair di sini tak bisa
dipandang remeh. Kumpulan sajak sekadar penanda esok bakal melangkah
lebih. Sebab cikal-bakalnya mempuni, tinggal mantangkan waktu memanasi
tabungan karya masih tersimpan di laci. Kepenuhan itu dinanti, kepurnaan
ditunggu keyakinan sungguh memeram masa pedih. Seibarat daging muda
disayat pedang jiwa, darah semangat ngucur beringas menderas sembuhkan
luka-luka lama. Yang tidak dihitung mencipta daya membetot suntuk,
dengan paksa tanpa terasa ke lubang jarum keindahan bahasanya.
Diri saya kepincut nama “Kalimireng.” Letak dibangunnya
pelabuhan bertaraf internasional. Persengketaan tentu ada, seperti
gagasan pelabuhan di Paciran, Lamongan. Kata “kalimireng” berasal dua
kata, “kali” dan “mireng.” “Kali” artinya sungai, “mireng” saya maknai
lewat dua perkara. Sebab perangainya terserapi bentuk penulisan bahasa
Indonesia, dan belum tahu yang sebenarnya. Tafsiran melalui dua unsur
belahan, demi mengurangi sifat kecelakaan dari kehilafan saya atau
perubahan di sana, jika dirunut sampai moyangnya pembuat istilah.
“Mire’ng” itu mendengar, kalau memakai huruf: e / i; “mireng atau
miring” berarti tidak tegak, tetapi doyong segaris miring atau huruf tercetak miring.
Awal, Kalimire’ng ialah “sungai mendengar.” Kedua, Kalimireng
diartikan “sungai yang bidang tanahnya mireng / miring.” Sekali lagi
demi menekan tindak serampang berasal dari tumpukan waktu
pergeseran keadaban di sana. Kekeliruan penulisan; tepatnya silang
perbedaan ucap dari generasi berlanjut. Atau sebutan sedari warga
kampungnya dengan warga lain menyatakannya. Dan saya belumlah tahu,
apakah di Kalimireng ada kali-nya (sungai-nya)? Umpama ada, tiada perlu
disoalkan. Andai tidak, bisa terjadi sungainya menghilang, tertimbun
bencana masa silam, airnya mengering, lenyap sumber mata air melewati
tubuhnya. Lalu diuruk (ditutup) tanah baru dari lain tempat sebangsanya.
Saya suka cita pengucapan Kalimireng adalah Kalimire’ng bermakna
“sungai mendengar.” Ini tersimpan peristiwa makna puitika: Gejolak arus
sungai mendengar segala yang dirasai perut bumi, jua yang mengambang di
permukaan airnya. Dipetik suatu kisah, dulu ada seorang ibu memandikan
anaknya yang masih belia, terseret arus deras sehingga si anak hilang.
Sang ibu berkesedihan berat, tidak pulang-pulang sampai larut malam,
berhari-hari mencari anaknya terhanyut. Kepedihan terdalam, perasaan
melangut seawan kembara tanpa tujuan. Ibunda dari anaknya yang hilang
selalu mendengarkan gemericik air kali. Terkadang seolah ada
sekelebat bayangan, halusinasi didorong perut nan lapar, perasaan tidak
tuntas habis, penderitaan berlarut. Dirinya ceburkan badan berenangan,
tetapi tak mendapati jasad dirindu, anaknya yang tersayang.
Tak cukup itu sang suami bersama warga kampung turut mencari. Klenengan puluhan kentongan ditabuh terus bertalu-talu. Oncor (obor)
dinyalakan bagi penerang pencarian malam-malam, tapi Sang Kuasa telah
mengukir nasibnya, juga takdir sungai. Lenyaplah anak beserta keabadian
kisah, sang ibunda senantiasa menanti keajaiban, sambil sesekali
melantunkan untaian kata:
Kalimire’ng
dengarlah senandung batin pedih ini,
remuk sudah harapanku kepada hidup.
Anakku, kau dipersunting dengan maut.
Kidung selalu berkumandang dalam kesadaran pencarian, di bawah sadar
penderitaan bagaikan lenyapnya awan-gemawan. Hikayat terekam kencang di
tiap kepala masyarakat baru Kalimireng. Tumbuhlah tugu penanda kisah
lama patut dilestarikan, sekecilnya di tulisan. Meski didera bayu
kelupaan, kesilapan. Esok bakal dibuka kemungkinan sahaja, seturut
kehendak Sang Maha Esa.
Suatu hari Sultan Abdul Faqih pulang ke Giri melewati desa
Kalimire’ng dari lakon kembaranya. Mendengar cerita berkembang di
penduduk setempat, kalbunya terenyuh. Di temui sang ibu yang kehilangan
anaknnya, dihiburlah dengan ucapan:
“Ibu, tak usah berlarut-larut dalam kesedihan. Semua mewaktu
bersegenap kepemilikannya, hanya milik Allah semata. Kita serahkan
kehadirat SWT. Saya berdoa, semoga tak lama lagi berdiri pelabuhan, demi
mengenang kekisah anak ibu bersama takdirnya. Karena doa-doa peneruslah
memuliakan pandangan mata.”
Sang ibu berlinangkan air mata. Berasa haru pada harapan hampir
hambar nan berangsur manisnya. Setelah Sultan terlepas dari sorot
penglihatannya.
Jika kata “Kalimireng” bukan berarti Kalimire’ng, namun Kalimireng
atau Kalimiring. Asalnya sungai tersebut kerap menyeruak selisih paham.
Pertumpahan darah memperebutkan air dialirkan ke perkebunan. Setiap
lekuk tanah sungai miring, letak pembagian air tidak merata. Sekisah
lama perihal perebutan kuasa, sumber hidup meminta tumbal anak-anaknya.
Atas kedua alir peristiwa, terpetiklah balada. Mungkin lewat jalur
seirama, para penyair berpesta adonan kata-kata, mencari
rahmat-kemungkinan terdekat, merapati bebagian partikel aura kesadaran
bersama anak kalimat. Senandung bunyi menyertai tuntunan inderawi,
sepelangi melengkungi awan siang hari disertai gerimis. Cahaya surya
sepasang bola mata gadis memantuli sungai belum tersentuh kelembutan
bebulu mata lain yang meladeni, juga menyingkap kepurnaan ratri hayati.
Sekumpulan sajak ini pun Kalimire’ng ialah tanda, kata-kata
bersimpankan peristiwa maknawi. Bukan sumpah, maklumat, atau pernyataan
indah di atas harapan yang kemudian hari dikatakan sajak. Seperti
sekelompok jahil menganggap Sumpah Pemuda puisi besar. Yang benar, mereka berbohong besar kepada sejarah, melupa suara-suara lama terekam di kali-kali
kehidupan. Abai sungai-sungai hayati. Mengiranya ringan sajak-sajak
mengalirkan waktu. Senjakala mengalami kebuntuan, apa saja diambil demi
menambal jiwa rapuh. Barangkali pikun, kalau kurang pantas disebut tidak
membaca pelajaran sejarah.
Sengaja titik akhir menyentil Deklarasi Hari Puisi Indonesia menyoal Sumpah Pemuda
di bulan November lalu. Karena dalam tahap penulis Bagian 24: (kupasan
ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden);
bertitel “Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” Catatan ini dalam lingkaran masa-masa penggarapan buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia.”
Menjadi diperturutkan di lelembar lampiran belakang materi, kelak. Ini
saya lakukan demi tidak melupa / terlupa proses dan memudahkan balik
fokus yang terkerjakan. Akhirnya engsung tunggu antologi puisi tunggal sampean, reang nanti bersama tumbuhnya rambut ikal memanjang. Salam…
*) Makalah bedah buku kumpulan sajak “Burung Gagak dan kupu-kupu” di Bungah, Gresik, JaTim.
**) Pengelana asal Lamongan, di antara antologi puisi tunggalnya: Balada-balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat, &ll. Di antara buku kumpulan esainya: Trilogi
Kesadaran (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran dan Ras Pemberontak),
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, &st.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/12/kalimireng-sungai-mendengar-burung-gagak-dan-kupu-kupu/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar