Minggu, 30 Desember 2012

Kalimire’ng (Sungai Mendengar) “Burung Gagak dan kupu-kupu” *

Nurel Javissyarqi **
http://sastra-indonesia.com

Sebelumnya saya ucapkan Selamat! Atas terbitnya kumpulan sajak berlabel “Burung Gagak dan kupu-kupu” yang memuat kekaryaannya: Didik Hendrik Y, B. Soeryanto, D’Panca Aulia, Ainul Khilmiah, RH Suhud, Chidir Amirullah, S. Huda, Muh Ali Sarbini, Abijar PeA, Rakai Lukman, Aji Ramadhan, dan Gus Bram. Yang dalam pengantar buku ada catatan semacam ini:
“Gresik, banyak melahirkan penulis dan penyair besar. Dapat kita lihat, Mardi Luhung, L. Machalli, Budi Palopo, Taqin, A. Rofiq, Tsalis Aziz, Mustakim, Dukut Imam Widodo, yang dalam gaya penulisannya mempunyai wilayah masing-masing, menjadikan Gresik, sebagaikota yang patut diperhitungkan dalam ranah sastra di regional ataupun nasional, salah satu di antara mereka, merupakan penyair Asia Tenggara. Nama-nama besar tersebut, merupakan penopang keberlangsungan kehidupan sastra di Gresik.”

Karena baru kemarin peroleh datanya lewat e-mail. Jadi tidak mungkin gegabah menghakimi kekaryaan mereka kecuali sepintas, istilah Mh Zaelani Tammaka ‘serampangan’ kala menilai puisi saya di TBS tahun 2001 silam. Maka hanya lihat kemungkinan terdekat mengisari kepala selepas baca sekilas. Hitung-hitung masa pendek dua hari bisa berbagi pengalaman, kala dialog bedah buku 30 Desember 2012. Semoga tidak sehakim konyol menentukan pilihan mematenkan nilai, tak grusa-grusu memandang nasib karya bersama penulisnya. Olehnya, diberangkatkan dari pijakan diri memandang yang sempat terlintas mengeram antara saya, dan tlatah Gresik bersama kehadiran para penyair kota pudak.

Di kala masih bocah, mungkin hanya dalam dunia kecil saya, seminimal lubang telinga pernah dengar sekaligus mata mungil menyaksikan; Gresik terkenal dengan kerajinan pembuat songkok / kopyah, tepatnya di Bungah. Ada rekaman kuat di benak, “songkok sedari Bungah, sarungnya (dari) Samarinda,” dua benda itu menemani saya ke langgar (musholla) masa-masa belia. Dua lubang telinga, dua mata saya, mungkin juga dirasai bebocah jaman itu di kampung Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan (tetangga kabupaten Gresik). Bisa jadi merambati seluruh Jawa Timur, meluas ke pelosok negeri RI, sebagaimana sarung Samarinda (sebuah nama ibu kota provinsi) Kalimantan Timur. Di sini, teringat penyebaran Islam oleh Raden Paku (Sunan Giri, nama lainnya: Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra) lahir di Blambangan tahun 1442.

Dulu agak sering ke areal makam Sunan Giri. Tidak berziarah, sekadar ngopi di warung dekat parkiran kendaraan peziarah. Biasanya selepas dari Kota Pahlawan, tepatnya Jalan Semarang di Surabaya, sehabis membeli buku-buku loakan. Ya, sebelum sampai rumah, beberapa halaman buku saya habiskan baca di warung kopi di Giri, Kebomas, Gresik. Membaca buku lama, sambil nyeruput wedang kopi mengepulkan asap rokok depan makam Joko Samudra, rasanya mendapati ketenangan tersendiri, ketentraman melestari, meski tak berziarah serupa pengunjung nan terlihat sumringah wewajahnya. Jarak saya antara peziarah dengan Kanjeng Sunan Giri seakan tersekat dosa, dari itu memawas diri membetuli jiwa menginsafi kehilafan / kekentiran terlewat. Yang melahirkan puisi, salah satu lariknya tersemat di “Kitab Para Malaikat,” Bagian Muqaddimah: Waktu Di Sayap Malaikat, I – XXXIX, di urutan 28-29 menyebut nama lain serta padepokannya Raden ‘Ainul Yaqin:

Apabila menyelami inti sadarnya alam menjernihkan mata batin,
itulah embun di idep-nya kembang Prabusetmata (XXVIII).

Sengaja melibatkan hukum-hukum langit di bukit Giri
tersebab bumi menggosok-gosokkan tubuh mentari kian renta (XXIX).

Hampirlah seluruh daya “Muqaddimah” datang atas Beliau, yang saya tempa di makamnya Mbah Panji Asmoro, daerah Watucongol, Muntilan, Magelang. Sungguh melimpah kekayaan lahir-batin sejarah di dataran Nusantara, yang selayak dijadikan tembang syair. Itu seyogyanya bagi mereka yang berkehendak menguri-uri (merawat) keadaban, agar peradaban berlangsung indah penuh wibawa sedari nilai-nilai dikandungnya.

Tanah Gresik ada kemiripan dengan Pulau Garam, sebutan telatah Madura yang saya namakan pulau para penyair. Lantaran telah banyak melahirkan sastrawan: D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W.M., M. Faizi, Mahwi Air Tawar, R. Timur Budi Raja, Ahmad Muchlis Amrin, Halimi Zuhdy, seterusnya. Gresik selain masyarakatnya bertambak udang, ikan bandang dan berdagang, juga melestarikan tambak garam. Pemandangannya membuat jiwa jenak menikmati hembusan bayu memutar-mutari kincir anginnya menggarami air lautan. Di kecamatan Bungah, selain dikenal songkok, terkenal kerajinan membuat rebana, gitar gambus, alat-alat musik pengiring sholawat; puja-pujian kepada nabi akhir zaman, sang revolusioner tercepat menurut Karen Armstrong di bukunya “Muhammad, A Biography of the Prophet.” Tak diragukan sebagai kota di pesisir pantai utara Jawa, Gresik salah satu kota santri antara kota-kota di Pantura. Hanya sedikit kota di wilayah selatan tanah Jawa disebut kota santri: Jombang, Ponorogo, Magelang, yang masih ada meski tidak semarak, ajaran kejawen bernafas di sana.

Gresik bersebelahan kota metropolitan terbesar kedua Indonesia setelah ibu kota Jakarta yakni Surabaya, juga punya pelabuhan lawas sampai kini digunakan sejalur mengangkuti penumpang menuju pulau Bawean, letak pelelangan ikan serta aktivitas lain. Tersiar kabar, bakal wujud pelabuhan berkelas internasional di Kalimireng oleh pemerintahan kabupaten Gresik, yang berniat mengulang kejayaan masa Maulana Ibrahim dan Sunan Giri, menjadikan pelabuhan sedenyut nadi lajunya perdagangan, untuk para saudagar bertebaran di bumi sholawat Cheng Ho.

Setiap gerak pertumbuhan itu niscaya, olehnya canangan nasib bersetia bakal mengunduh derajatnya. Kala pandangan menyebar bersama kemajuan teknologi di atas perangkat lunak, harum perkembangan informasi dalam dunia siber (cyber) tampak kentara ruang-wewaktu renung diringkus percepatannya. Hanya “Luwih begja kang eling lawan waspada” seujaran agung pujangga Surakarta R.Ng. Ronggowarsito pada seratnya Kala Tida.

Membaca peristiwa ini laksana mendapati pulung, bukan karena apa. Namun saya kerap baca tanda; apakah nama tempat, sebutan desa, pula bentuk lain nan dapat terserap sedinaya kreatif. Kebetulan pulang ke kampung halaman di Lamongan dari bumi Reog Ponorogo, kehendaknya bulan-tahun depan teruskan kembara ke telatah Banten, jadi meski tertuliskan di rumah, rasanya di persinggahan sementara. Keberuntungan berasal sedari kata “bungah,” dalam bahasa Jawa bermakna seneng (senang, gembira). Setidaknya menghibur diri seistilah “urip mung mampir ngombe” di tengah-tengah pengelanaan badan-jiwa. Belajar menyimak tetanda itu diperkuat pengalaman almarhum guru saya KRT. Suryanto Sastroatmodjo, disaat dulu berjalan kaki dengan Beliau ke desa-desa terpencil seputar Yogyakarta.

Di Bungah, terlebih luas Gresik bersederap sejarah masa silam-semilamnya kekinian, sangat layak bercokol insan intelektual di pelbagai pilar, tidak terkecuali kesusastraannya. Kota-kota tumbuh kembang pesantrennya, telah terbitkan berpuluh, kalau kurang pantas dibilang ratusan penyair handal di Tanah Air kita. Lantaran alam pesantren pun mempelajari sesyair, sebagai balutan pengajaran Islam. Mungkin paham sedemikian nekat, tapi nyatalah bibit sumbangsih generasinya menumbuhi sadar menuntut keilmuan sampai negeri Cina, semangat kepedulian mengenyam himkah, bersinahu hingga ke liang lahat, tertanam kuat di benaknya.

Atas kemakmuran lahir-batin sejarah Gresik; pengusaha, pelajar, seniman, khusus sastrawannya, bersungguh merekam purba jengkalan jejak perubahan kotanya. Di sadari, persinggungan terjadi di dunia industri, pendidikan, kesenian; tampaklah pamor mewah kekaryaannya. Secara umum terpandang karya-karyanya layak. Karena bentuknya serupa kumpulan juga terbatasnya waktu saya. Maka hanya menyimak tanda langit bagaimana, awan seperti apa memayungi kreativitas bersastra di kemudian harinya.

Setiap gerak penentu perubahan. Nama penyair di sini tak bisa dipandang remeh. Kumpulan sajak sekadar penanda esok bakal melangkah lebih. Sebab cikal-bakalnya mempuni, tinggal mantangkan waktu memanasi tabungan karya masih tersimpan di laci. Kepenuhan itu dinanti, kepurnaan ditunggu keyakinan sungguh memeram masa pedih. Seibarat daging muda disayat pedang jiwa, darah semangat ngucur beringas menderas sembuhkan luka-luka lama. Yang tidak dihitung mencipta daya membetot suntuk, dengan paksa tanpa terasa ke lubang jarum keindahan bahasanya.

Diri saya kepincut nama “Kalimireng.” Letak dibangunnya pelabuhan bertaraf internasional. Persengketaan tentu ada, seperti gagasan pelabuhan di Paciran, Lamongan. Kata “kalimireng” berasal dua kata, “kali” dan “mireng.” “Kali” artinya sungai, “mireng” saya maknai lewat dua perkara. Sebab perangainya terserapi bentuk penulisan bahasa Indonesia, dan belum tahu yang sebenarnya. Tafsiran melalui dua unsur belahan, demi mengurangi sifat kecelakaan dari kehilafan saya atau perubahan di sana, jika dirunut sampai moyangnya pembuat istilah. “Mire’ng” itu mendengar, kalau memakai huruf: e / i; “mireng atau miring” berarti tidak tegak, tetapi doyong segaris miring atau huruf tercetak miring.

Awal, Kalimire’ng ialah “sungai mendengar.” Kedua, Kalimireng diartikan “sungai yang bidang tanahnya mireng / miring.” Sekali lagi demi menekan tindak serampang berasal dari tumpukan waktu pergeseran keadaban di sana. Kekeliruan penulisan; tepatnya silang perbedaan ucap dari generasi berlanjut. Atau sebutan sedari warga kampungnya dengan warga lain menyatakannya. Dan saya belumlah tahu, apakah di Kalimireng ada kali-nya (sungai-nya)? Umpama ada, tiada perlu disoalkan. Andai tidak, bisa terjadi sungainya menghilang, tertimbun bencana masa silam, airnya mengering, lenyap sumber mata air melewati tubuhnya. Lalu diuruk (ditutup) tanah baru dari lain tempat sebangsanya.

Saya suka cita pengucapan Kalimireng adalah Kalimire’ng bermakna “sungai mendengar.” Ini tersimpan peristiwa makna puitika: Gejolak arus sungai mendengar segala yang dirasai perut bumi, jua yang mengambang di permukaan airnya. Dipetik suatu kisah, dulu ada seorang ibu memandikan anaknya yang masih belia, terseret arus deras sehingga si anak hilang. Sang ibu berkesedihan berat, tidak pulang-pulang sampai larut malam, berhari-hari mencari anaknya terhanyut. Kepedihan terdalam, perasaan melangut seawan kembara tanpa tujuan. Ibunda dari anaknya yang hilang selalu mendengarkan gemericik air kali. Terkadang seolah ada sekelebat bayangan, halusinasi didorong perut nan lapar, perasaan tidak tuntas habis, penderitaan berlarut. Dirinya ceburkan badan berenangan, tetapi tak mendapati jasad dirindu, anaknya yang tersayang.

Tak cukup itu sang suami bersama warga kampung turut mencari. Klenengan puluhan kentongan ditabuh terus bertalu-talu. Oncor (obor) dinyalakan bagi penerang pencarian malam-malam, tapi Sang Kuasa telah mengukir nasibnya, juga takdir sungai. Lenyaplah anak beserta keabadian kisah, sang ibunda senantiasa menanti keajaiban, sambil sesekali melantunkan untaian kata:

Kalimire’ng
dengarlah senandung batin pedih ini,
remuk sudah harapanku kepada hidup.
Anakku, kau dipersunting dengan maut.

Kidung selalu berkumandang dalam kesadaran pencarian, di bawah sadar penderitaan bagaikan lenyapnya awan-gemawan. Hikayat terekam kencang di tiap kepala masyarakat baru Kalimireng. Tumbuhlah tugu penanda kisah lama patut dilestarikan, sekecilnya di tulisan. Meski didera bayu kelupaan, kesilapan. Esok bakal dibuka kemungkinan sahaja, seturut kehendak Sang Maha Esa.

Suatu hari Sultan Abdul Faqih pulang ke Giri melewati desa Kalimire’ng dari lakon kembaranya. Mendengar cerita berkembang di penduduk setempat, kalbunya terenyuh. Di temui sang ibu yang kehilangan anaknnya, dihiburlah dengan ucapan:

“Ibu, tak usah berlarut-larut dalam kesedihan. Semua mewaktu bersegenap kepemilikannya, hanya milik Allah semata. Kita serahkan kehadirat SWT. Saya berdoa, semoga tak lama lagi berdiri pelabuhan, demi mengenang kekisah anak ibu bersama takdirnya. Karena doa-doa peneruslah memuliakan pandangan mata.” 

Sang ibu berlinangkan air mata. Berasa haru pada harapan hampir hambar nan berangsur manisnya. Setelah Sultan terlepas dari sorot penglihatannya.

Jika kata “Kalimireng” bukan berarti Kalimire’ng, namun Kalimireng atau Kalimiring. Asalnya sungai tersebut kerap menyeruak selisih paham. Pertumpahan darah memperebutkan air dialirkan ke perkebunan. Setiap lekuk tanah sungai miring, letak pembagian air tidak merata. Sekisah lama perihal perebutan kuasa, sumber hidup meminta tumbal anak-anaknya. Atas kedua alir peristiwa, terpetiklah balada. Mungkin lewat jalur seirama, para penyair berpesta adonan kata-kata, mencari rahmat-kemungkinan terdekat, merapati bebagian partikel aura kesadaran bersama anak kalimat. Senandung bunyi menyertai tuntunan inderawi, sepelangi melengkungi awan siang hari disertai gerimis. Cahaya surya sepasang bola mata gadis memantuli sungai belum tersentuh kelembutan bebulu mata lain yang meladeni, juga menyingkap kepurnaan ratri hayati.

Sekumpulan sajak ini pun Kalimire’ng ialah tanda, kata-kata bersimpankan peristiwa maknawi. Bukan sumpah, maklumat, atau pernyataan indah di atas harapan yang kemudian hari dikatakan sajak. Seperti sekelompok jahil menganggap Sumpah Pemuda puisi besar. Yang benar, mereka berbohong besar kepada sejarah, melupa suara-suara lama terekam di kali-kali kehidupan. Abai sungai-sungai hayati. Mengiranya ringan sajak-sajak mengalirkan waktu. Senjakala mengalami kebuntuan, apa saja diambil demi menambal jiwa rapuh. Barangkali pikun, kalau kurang pantas disebut tidak membaca pelajaran sejarah.

Sengaja titik akhir menyentil Deklarasi Hari Puisi Indonesia menyoal Sumpah Pemuda di bulan November lalu. Karena dalam tahap penulis Bagian 24: (kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden); bertitel “Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” Catatan ini dalam lingkaran masa-masa penggarapan buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia.” Menjadi diperturutkan di lelembar lampiran belakang materi, kelak. Ini saya lakukan demi tidak melupa / terlupa proses dan memudahkan balik fokus yang terkerjakan. Akhirnya engsung tunggu antologi puisi tunggal sampean, reang nanti bersama tumbuhnya rambut ikal memanjang. Salam…

*) Makalah bedah buku kumpulan sajak “Burung Gagak dan kupu-kupu” di Bungah, Gresik, JaTim.
**) Pengelana asal Lamongan, di antara antologi puisi tunggalnya: Balada-balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat, &ll.  Di antara buku kumpulan esainya: Trilogi Kesadaran (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran dan Ras Pemberontak), Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, &st.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/12/kalimireng-sungai-mendengar-burung-gagak-dan-kupu-kupu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez