Sutejo
Majalah Dinamika PGRI
Dalam tafsir Ibnu Katsir jilid 4 (hal. 774), ada penafsiran menarik terkait dengan pentingnya menulis. Penjelasan ayat [yang merupakan sumpah Allah], Nuun, demi kalam dan apa yang mereka tulis; terdapat uraian yang menggetarkan saya. Untuk lebih afdalnya dikutipkan sebagai berikut.
Demi kalam, pada zahirnya, ia adalah jenis pena yang dipakai
untuk menulis. Hal ini seperti firman-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu
yang telah menciptakan…. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling mulia. Yang
telah mengajarkan dengan kalam. Yang telah mengajarkan manusia sesuatu
yang tidak diketahuinya.” Kalau begitu, kalam dalam ayat ini merupakan
sumpah dari Allah dan peringatan bagi hamba-hamba-Nya tentang nikmat
yang telah diberikan kepada mereka berupa pengajaran menulis, yang
menjadi wasilah umat mendapatkan berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya
Allah SWT berfirman, “Dan apa yang mereka tulis.” Dikatakan, maksudnya
ialah pena yang merupakan makhluk yang pertama, dalilnya adalah sabda
Rasulullah saw, “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah kalam…”
(Muhammad Nasib Ar-Rifai, 2005:774).
Sungguh menggetarkan! Mengapa kebanyakan muslim tidak menulis?
Berturut-turut tulisan ini akan mengkaji tentang: (i) simbol-simbol
Islam akan pentingnya membaca dan menulis, (ii) sejarah peradaban
ditentukan oleh geliat ilmu, dan (iii) pentingnya berguru pada masa lalu
yang penuh dengan pergulatan keilmuan.
Membaca Simbol
Kehadiran surat Al-‘Alaq, Al-qalam, Al-Muzammil, dan Al-Mudatstsir adalah simbol akan pentingnya ilmu pengetahuan (membaca dan menulis). Surat-surat ini diurutkan dalam urutan diterima nabi. Al-‘Alaq simbol pentingnya membaca dan menulis. Al-qalam adalah pentingnya transformasi ilmu melalui proses wasilah menulis. Al-Muzammil adalah simbol untuk belajar secara intensif (bukan untuk ibadah!). Al-Mudatstsir adalah
simbol untuk beribadah (karena proses kerasulan dimulai dari surat ini,
yang kemudian diikuti turunnya surat Al-Fatihah –yang menjadi inti dari
bacaan shalat–.
Marilah kita eksplorasi keempat simbol itu lebih jauh. Surat Al-‘Alaq dan Al-Qalam adalah simbol pentingnya membaca dan menulis. Isyarat Al-Quran (Al-‘Alaq),
diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata
bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian
pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-Qalam). Konteks surat Al-‘Alaq
sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara
rumit— karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca
(metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan
penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya,
menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu.
Mengapa Tuhan tidak memerintahkan belajarlah tetapi bacalah? Sebagai
permenungan ada baiknya surat itu dikutipkan terjemahnya sebagai
berikut. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ajaibnya,
surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam
konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan [lebih intensif baca tulisan penulis “Membaca itu Wajib, Guru!” yang pernah dimuat Dinamika.
Selanjutnya, mengapa Al-Muzammil simbol belajar intensif? Coba ikuti tafsir surat itu! Hai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali
sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan
perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan
yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan
bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Bukankah Al-Quran adalah sumber segala ilmu? Metaforik dari perintah bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya
adalah segala materi bacaan. Apalagi, kita diperintahkan untuk bangun
malam, di sepertiga malam. Sesungguhnya, hemat saya, ayat ini adalah
perintah untuk belajar secara intensif, bukan beribadah. Sebagian banyak
kita menafsirkan bangun malam ini untuk ibadah mahdzah. Padahal,
konteks surat ini adalah belajar. Mengapa? Karena perintah ibadah baru
muncul setelah surat Al-Mudatstsir, seiring dengan perintah kerasulan yang diterima nabi. Apalagi, surat itu didahului dengan surat sebelumnya: Al ‘Alaq dan Al Qalam.
Hal-hal inilah kemudian yang menyadarkan kita, ternyata membaca dan
menulis itu menjadi intisari kerasulan nabi, bahkan nabi kita diajari
langsung oleh malaikat Jibril. Tidak saja itu, tetapi juga masalah wudlu
dan sholat, nabi Muhammad diajari langsung oleh Jibril sebagaimana
hadis yang berbunyi, “Aku didatangi Jibril as, pada awal-awal turunnya
wahyu kepadaku. Dia mengajarkan kepadaku wudlu dan sholat”. [detailnya,
baca buku Agus Mustofa: Metamorfosis Sang Nabi, dari Buta Huruf Menjadi Ilmuwan Jenius, Padma Press, 2008].
Sejarah Peradaban, Sejarah Ilmu
Pelajaran yang sangat menarik dapat dipetik adalah ketika nabi
membebaskan tawanan musyrik dalam Perang Badar dengan menggantinya
mengajari membaca menulis kepada kaum muslim. Luar biasa keteladanan
nabi! Mengapa? Karena masyoritas umat Islam saat itu buta huruf. Inilah
gerakan awal yang dilakukan nabi. Sebuah konsep yang diorentasikan agar
umat Islam mencapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan.
Di sinilah maka sahabat nabi, Zaid bin Tsabit, adalah contoh sahabat
yang mengungguli para sahabat lainnya. Termasuk mampu menggungguli Abu
Hurairah (sahabat nabi lain yang luar biasa hafalannya) sampai-sampai
dalam hadist Imam Bukhari diuangkapkan, “Tidak ada sahabat nabi yang
hafalan haditsnya melebihi aku.” Akan tetapi, Abu Hurairah kalah
dibandingkan Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit mampu menjadi sekretaris
pribadi Rasulullah dan menjadi penerjemah bahasa Suryani dan Ibrani. Ini
semua karena kemampuan membaca dan menulis yang dimilikinya. Ia adalah
penulis wahyu Rasulullah yang kemana pun dan di manapun nabi berada
selalu ada Zaid bin Tsabit.
Pengalaman “peradaban” inilah kemudian yang menjadi perjalanan
kebudayaan Islam berkembang sangat cepat. Sebuah ruh ilmu pengetahuan
yang ironisnya kini ditinggalkan oleh sebagian besar umat Islam.
Perintah Islam bukan untuk berbicara, tetapi untuk membaca dan menulis!
Berguru kepada sejarah (Islam) dengan simbol nabi Muhammad, maka kita
hanyalah buih laut yang sungguh tidak memiliki arti apapun! Sebuah
kesadaran futuristik, sampai-sampai nabi mengatakan “carilah ilmu sampai
negeri Cina”. Pada zaman nabi, memang sudah banyak sahabat yang
berdagang sampai ke negeri Cina. Nabi Muhammad adalah pemimpin yang
sangat mementingkan pendidikan dan ilmu! Sampai, metode pembebasan
tawanan perang akan dibebaskan kala mereka mampu mengajarkan membaca dan
menulis kepada kaum Muslim. Sungguh, luar biasa.
Sejarah Nabi adalah sejarah perjalanan ilmu pengetahuan. Nabi pun
pernah berkata, “Saat seorang alim bersandar di tempat tidur untuk
memperdalam ilmunya adalah lebih baik daripada ibadah seorang hamba
selama enam puluh tahun.” Skenario apakah ini? Sebuah ruh spiritualitas
ilmu yang menggerakkan! Bahkan, nabi pun sampai mengatakan, “tinta
seorang sarjana lebih suci daripada darah syuhada.” Dan “mencari ilmu
hukumnya wajib bagi seorang Muslim.” Tidak saja itu, dalam hadits yang
diriwayatkan oleh HR Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan
orang yang dapat memberikan syafaat di hari kiamat, yaitu para nabi,
kemudian para ulama (orang-orang berilmu, –bukan sekadar ilmu agama
karena Al-Quran banyak memberikan tuntunan inspiratif tentang ilmu
pengetahuan–), dan para syuhada.”
Simbol-simbol ajaran nabi ini, tentunya menjadi inspirasi bagi para
sahabat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Diawali dengand runtuhnya
Dinasti Ummayah (750) menuju kegemilangan Dinasti Abbasiyah. Apa yang
menarik? Inilah yang dapat kita petik dalam membaca sejarah peradaban
untuk semangat perubahan di masa depan!
Berguru: Membaca dan Menulis
Setelah pemimpin Islam, khalifah pertama Bagdad (kepindahan simbol
kepemimpinan dari Damaskus ke Bagdad), Abu Abbas As-Saffah, awalnya
disibukkan dengan pestabilan pilitik paca tergulingnya Dinasti Umayyah
kemudian mengambil langkah-langkah strategis peradaban yang
mencengangkan! Al-Mansur, khalifah kedua Bagdad kemudian menerjemahkan
dan menyerap ilmu pengetahuan dari Persia, Cina, Romawi, India, dan
Yunani. Saat itulah, temuan-temuan penting dimulai!
Sampai kemudian memunculkan polymath (orang yang menguasai
lebih dari satu ilmu) Islam (Eko Laksono, 2006:39). Al-Khawarizmi yang
menguasai ilmu Matematika (Algoritma, Aljabar, Kalkulus), Astronomi, dan
Geografi sekaligus. Al-Kindi, menguasai Filsafat, Matematika,
Kedokteran, Fisika, Astronomi, Optik, dan Metalurgi. Al-Farabi, yang
menguasai Sosiologi, Logika, Politik, dan ahli musik. Al-Razi yang
menguasai ilmu Kedokteran, Kimia, dan Astronomi. Al-Biruni yang
menguasai Astronomi dan Matematika. Ibnu Shina yang menguasai
Kedokteran, Filsafat, Matematika, dan Astronomi. Al-Ghazali yang
mengusai Sosiologi, Teologi, dan Filsafat. Ibnu Rusyd yang menguasai
Filsafat, Teologi, Hukum, Kedokteran, dan Astronomi. Ibnu Khaldun yang
menguasai Sosiologi, Sejarah, Filsafat, dan Politik.
Di samping penemu-penemu keilmuan macam Ibn Haitham (965-1040) yang
dikenal sebagai “Bapak Ilmu Optik” karena berhasil merumuskan secara
saintifik sistem penglihatan manusia. Ini merupakan temuan hasil
eksperiman yang didasarkan pada kepercayaan ilmuwan Yunani macam Ptolemy
dan Euclid yang memandang bahwa manusia bisa melihat karena mata
mengirimkan cahaya ke benda. Kemudian Ibn Al-Nafis yang menjadi ilmuwan
pertama yang berhasil secara rinci menggambarkan sistem sirkulasi darah,
urat nadi, dan arteri manusia pada pertengahan abad ke-13 di Andalusia
Spanyol. Al-Batani (850-923) dikukuhkan juga sebagai ahli yang berhasil
menghitung panjang satu tahun matahari yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit,
dan 24 detik.
Alangkah mengerikannya ketika kita membaca peradaban dunia
sesungguhnya berasal dari Islam? Peradaban tua Yunani, Romawi, India,
dan Cina memang ada; tetapi revolusi dan temuan-temuan penting lahir
dalam sejarah keilmuan Muslim.
Di sinilah, maka mulai abad ke-12 kebudayaan dan peradaban keilmuan
Islam mulai ditiru Barat. Puncaknya adalah jatuhnya wilayah-wilayan
Muslim ke tangan Kristen dengan epos “Perang Salib”. Di Andalusia
(Spanyol), 1080 Toledo direbut Kristen, 1236 Cordoba dikuasi, 1248
Seville. Kemudian Granada yang mampu bertahan hingga 2,5 abad pun
akhirnya jatuh pada 1492. Mereka memiliki program pengadilan agama untuk
menghabisi Islam dan Yahudi.
Sejak ambang abad ke-15 itulah Eropa terus mengalami perkembangan
zaman yang luar biasa setelah tenggelam dalam kegelapan sekian abad.
Awalnya, tulis Eko Laksono, mereka (Eropa) mengalami masa-masa
keterbelakangan, bahkan sampai 1.000 tahun lamanya (2006:66). Eropa
melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan kaum Muslim dalam masa
perubahan peradaban: menerjemahkan buku, risearch, dan belajar ke
belahan Timur (Islam) untuk menciptakan peradaban baru!
Demikian, juga apa yang dilakukan Jepang, Korea, dan Cina sebagai
penguasa imperium ketiga melakukan hal yang sama sebagaimana bangsa
Muslim dan Eropa sebelumnya. Nah, bagaimana makna belajar sejarah
peradapan ini agar dunia pendidikan kita tergerak untuk melahirkan
peradaban baru yang kokoh? Akankah ini sebuah utopia yang nyaris tidak
mungkin? Atau semacam isapan jepol dan igauan siang hari karena himpitan
mimpi tersembunyi?
Mari Ciptakan Peradaban Baru
Jika kita menengok perubahan peradaban besar sebelumnya, maka ada
beberapa kunci penting yang menarik untuk dipelajari: (1) lahirnya
kultur baca tulis, (2) pelibatgandaan etos dan motivasi, (3) haus dan
kompetitif, dan (4) hindarkan ilmu peradaban dari kencingan politik dan
kekuasaan.
Barangkali penting menarik ingatan kita akan masa kejayaan pemikian
Islam yang tumbuh dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis ini
sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam (dan ini tidak banyak
disadari), bahwa kemunduran pemikiran Islam berawal pada abad ketiga
belas ketika buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban Islam)
dilemparkan ke Sungai Euphrat, dan karena itu, airnya menjadi hitam oleh
tinta sekian banyak buku (lihat: Budi Darma “Memperhitungkan Masa
Lampau” dalam Bukuku Kakiku, 2004:71).
Dengan demikian, dalam sejarah peradaban pemikiran, membaca dan
menulis (buku) identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana
mungkin jika para guru tidak membaca dan menulis akan mampu mewariskan
peradaban dan ilmu pengetahuan? Fakta peradaban yang tidak dapat
dinafikan adalah, terkuaknya kembali pemikiran Yunani Kuno di zaman
Renaisans sehingga membuka tabir baru dalam perjalanan peradaban
pemikiran manusia. Hal ini merupakan fakta historis yang mencengangkan
berkaitan akan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam peradaban
manusia.
Berguru pada sejarah peradaban itu, maka siapa pun kita (organisasi,
lembaga, atau individu) pentingnya untuk merenungkan alternatif langkah
berikut. Pertama, mancapkan kesadaran bahwa perubahan
peradaban itu dimulai dari membaca dan menulis. Nabi saja meletakkan
orang yang mahir membaca dan menulis (Zaid bin Tsabit) sebagai tangan
kanannya mengalahkan penghafal hadist sahih Bukhori, Abu Hurairah.
Mengapa kita tidak pandai belajar dari tabir isyarah demikian?
Langkah PGRI mengadakan bursa buku dapat menjadi inspirasi organisasi
lain untuk menancapkan peradaban. Sebagaimana diketahui, November ini
PGRI bekerjasama dengan Radar Madiun dan Buka Buku Production merintis
kultur baru berorganisasi dengan organ kreatif di dalmnya. Andaikan
kegiatan ini menjadi agenda rutin daerah, dinas-dinas terkait, dan ormas
lainnya; maka peradaban yang berubah dapat kita impikan. Lambat laun,
nuansa Islami kembali ke akarnya yang paling dalam: membuminya tradisi
baca tulis!
Sejarah peradaban Islam dengan nabi sebagai inspirasi adalah
kemultakan yang tak dapat dikesampingkan. Di sinilah, maka nabi
memandang penting (wajib) untuk belajar (tentunya melalui membaca dan
menulis) di satu sisi dan di sisi lain nabi juga menasbihkan etos
pencarian itu dengan ungkapan hadist, “Tuntutlah ilmu sampai negeri
Cina.” Sebuah simbol etos gerak yang dalam dalam sejarah!
Jika Jepang dalam dekade mutakhir mampu mengubah bangsanya menjadi
bangsa pembelajar (satu diantaranya) adalah dengan membeli
sebanyak-banyaknya buku-buku terbaru keluaran Barat (Eko Laksono, Imperium III: Rahasia 1.000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia, 2007:298);
sesungguhnya ini hanyalah meniru apa yang telah dilakukan pada Dinasti
Abaasyiah dan era Eropa abad ke-14 yang banyak menerjemahkan buku-buku
keilmuan Muslim.
Kedua, adanya gerakan tak henti (baik individu dan kolektif)
dalam membudayakan gerakan belajar (membaca dan menulis). Apapun dan
bagaimanapun ia adalah mutiara perabadan yang telah teruji berabad-abad.
Bahkan sejarah kekokohan imperium I, II, dan III penanda utamanya
adalah dunia keilmuan ini. Sekadar mengingatkan, nabi Muhammad ketika
menerima wahyu ayat tentang ilmu pengetahuan (Ali Imran: 190-191),
beliau menangis semalaman. Bahkan ketika harus mengimami shalat subuh,
beliau tidak hadir hingga dijemput oleh bilal. Metafornya adalah penting
mana ilmu dan ibadah? Wallahu a’lam.
Apalagi jika kita menengok ulang kutipan surat Al-Muzammil sebagai simbol belajar yang intensif. Surat ini diturunkan dalam rangkaian surat Al ‘Alaq dan Al Qalam. Perintah
bangun malam sesungguhnya adalah perintah untuk belajar, bukan untuk
beribadah mahdah. Coba ingat kembali terjemahan kutipan surat Al-Muzammil berikut: Hai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali
sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan
perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan
yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan
bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Ketika Al-Quran sebagai sumber segala ilmu, maka perintah membaca bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya adalah segala materi bacaan (karena butuh penafsiran lebih jauh, lebih dalam, dan lebih eksploratif). Karena hidden meanning
bacaan Al-Quran sungguh dalam. Jika Tuhan saja penting mengingatkan
secara langsung, alangkah durhakanya kita kala ingkar akan perintah suci
tentang membaca dan menulis demikian?
Dalam sejarah peradaban Muslim (para ulama terdahulu) banyak
kisah-kisah menakjubkan tentang pergulatan membaca dan menulis ini. Ada
yang hingga buta karena hobi membacanya luar biasa. Ada yang menjual
rumah untuk membeli buku. Ada yang setiap berjalan pasti di tangannya
tergantung kitab. Ada yang setiap tertidur di dada atau mukanya
tertelungkup buku. Dan masih banyak lagi kisah luar biasa ulama Islam
dalam peradaban Muslim.
Terakhir, siapa pun kita perlu menyusun gerakan jihad baru:
jihad membaca dan menulis. Bukankah menuntut ilmu adalah sebuah jihad?
Mari kita alihkan jihad fisik ke jihad yang jauh lebih filosofis untuk
perubahan peradaban baru. Untuk cipatakan kearifan masyarakat yang baru.
Mudah-mudahan –siapapun kita—sedikit dapat berenung dalam memandang
sejarah kemudian mengalungkan niat berubah demi kehidupan yang lebih
maslahah.
Berguru pada Simbol Islam
Dalam buku Spiritual Reading: Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca (Aqwan, 2007:140- ) diungkapkan tentang pentingnya empat kunci membaca: sabar, amalkan, konsentrasi, dan sistematika.
“Sesungguhnya, ilmu itu diperoleh dengan belajar”, hadist
diriwayatkan oleh Al-Khatib (142). Menumbuhkan kebiasaan membaca dan
menulis adalah contoh-contoh peradaban Islam yang luar biasa. Al-Hasan
Al-Lu’lui berkata, “Saya telah melalui masa selama empat puluh tahun
bersama buku yang selalu berada di dadaku, baik ketika bangun maupun
tidur.” ((Jami’u Bayanil-‘Ilmi wa wa Fadhilihi: 2/1231) dalam Raghib As-Sirjani (Aqwan, 2007:143).
Ibnul Qayyim menuturkan, “Saya pernah mengenali orang yang mengalami
sakit kepala dan demam, sementara buku senantiasa berada di kepalanya.
Kalau ia sadar, ia akan membacanya. Kalau ia sakit lagi, ia kan
meletakkan buku tersebut.” ((Raudhatul-Muhibin (hal. 70) dalam Raghib As-Sirjani (Aqwan, 2007:143).
***
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/03/berguru-pada-sejarah-memetik-hikmah-berubah/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar