Musa Ismail *
Riau Pos, 2 Juni 2013
DI dunia sastra dan seni musik Riau, siapa yang tak kenal Jefri al Malay. Sebelum tercatat sebagai penyair, pemilik nama asli Jefrizal ini, pernah menjadi vokalis Band Sagu. Berbagai prestasi seni (sastra) yang diraih anak jati Melayu ini, khususnya di dunia kepenyairan. Salah satu prestasi seni yang membanggakan, beliau pernah dinobatkan sebagai Johan Penyair Panggung se-Asia Tenggara pada 2011 di Tanjungpinang.
‘’Ke Mana Nak Melenggang’’ (selanjutnya saya singkat KMNM) merupakan kumpulan puisi pertamanya. Buku yang diterbitkan Yayasan Pusaka Riau, 2013 ini, memuat 80 puisi yang terdiri atas 4 sub-bab: Melenggang ke Hulu (2003), Melenggang ke Hilir (2004), Melenggang ke Darat (2005), Melenggang ke Laut (2006), Melenggang ke Bawah (2007), dan Melenggang ke Atas (2008). Puisi-puisi ini merupakan karyanya yang lahir antara kurun waktu 2003-2008.
Dalam setiap puisi yang ditulisnya, penyair ini sangat peka memilih kata yang menandai latar belakang kebudayaan Melayu. Dalam hal diksi, boleh dikatakan Jefri sebagai salah seorang penyair yang mengangkat batang terendam. Dengan puisi, Jefri telah membuat ‘nisan’ yang menandai siapa sebenarnya si penyair ini jika ditinjau dari sudut antropologi dan sosiologi. Tentang kata dan tanda dalam kaitannya dengan puisi, Jefri menulisnya dalam Seulas Kata sebagai berikut.
‘’Puisi bagi saya juga merupakan tanda
Di mana saya mampu bercermin dari tanda-tanda itu;
Fenomena, kecenderungan suatu zaman, suatu generasi
Semangat realita sosial, pertumbuhan diri, dan lain sebagainya
Puisi juga merefleksikan berbagai kegelisahan
Tentang persoalan-persoalan aktual yang dihadapi
Semuanya itu merupakan tanda-tanda kehidupan.
Menulis puisi adalah untuk menandai diri
Bahwa saya sedang menjalani hidup
Mengalami, mengamati, menghayati, merenungi
Serta mengimajinasikan berbagai hal
Yang kemudian saya rangkai
Menjadi rajutan kata-kata
Untuk mengekspresikan diri dalam memaknai
Misteri kehidupan’’
Ini suatu bukti bahwa kata (bahasa)—sampai kapanpun—tetap menjadi yang terpenting sebagai sarana keharmonisan dan penanda historis peristiwa kehidupan. Bukankah pada dasarnya, karya sastra merupakan catatan peristiwa yang dialami oleh penyair. Catatan peristiwa pengalaman yang bercerai-berai itu lalu menggumpal menjadi karya sastra seperti puisi. Pengalaman penyair ini berupa pengalaman batiniah dan rohaniah atau pergumulan keduanya. Tidak salah jika ada aspek historis dalam karya sastra, termasuk puisi. Dari sinilah, lahir teks (puisi) yang menandai dan memaknai kehidupan. Menurut Susanto dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, teks adalah hasil karya manusia yang bermediumkan bahasa. Dalam menghasilkan teks, tentu saja pencipta bermaksud menyampaikan pesan, maksud, dan tujuannya di dalam teks. Selanjutnya, Susanto menjelaskan bahwa dalam kenyataannya teks masuk melalui pengarang dan pembaca, sadar atau tidak, pencipta teks juga mendasarkan diri pada realitas dan sesuatu yang pernah terjadi, yang dialaminya (2011:197-198). Aspek historis ini selalu tidak mendapat perhatian dari pembaca sehingga karya sastra dianggap lamunan semata.
Mencermati puisi-puisi Jefri, pada dasarnya, mencermati peristiwa-peristiwa alamiah Melayu. Rangkaian peristiwa tersebut dikebat secara kuat dengan tali diksi Melayu yang kental. Kita mulai saja membaca judulnya. Kata melenggang, misalnya, suatu kosa kata Melayu yang sangat bermakna. Selain dalam puisi ini, kata melenggang sudah dipakai dalam lirik lagu Tari Lenggang. Secara leksikal, bentuk dasarnya adalah lenggang yang bermakna gerakan tangan berayun-ayun ketika berjalan (2005:659). Jika dikaitkan dengan judul kumpulan puisi ini, terdapat makna tersirat bahwa ada suatu tujuan yang hendak dicapai meskipun sesuatu itu dilakukan dengan suasana yang terlihat agak santai (melenggang). Diksi melenggang itu sebenarnya memberikan rangkaian peristiwa bagi manusia. Misalnya pada kalimat, Gadis itu berjalan melenggang.
Puisi-puisi dalam KMNM didominasi jenis naratif, khususnya romansa. Di samping itu, puisinya pun liris. Puisi naratif adalah puisi yang bersifat seperti narasi, menceritakan, baik sederhana, sugestif, dan kompleks. Jenis puisi ini, yaitu romansa, balada, epik, dan syair. Puisi lirik, menurut Waluyo (1995:136), merupakan gagasan penyair untuk mengungkapkan akulirik atau ide pribadinya. Jenis puisi ini, yaitu elegi (mengungkapkan perasaan duka dan kesedihan, ode (pujaan terhadap seseorang, hal, keadaan), dan serenada (sajak percintaan yang dapat dinyanyikan). Dengan demikian, tidak heran kalau Jefri sebenarnya sangat ekspresif dalam karyanya. Puisi naratif romansa sekaligus liris ini dapat kita cermati dalam Berselingkuh Dalam Kasih yang Teduk (Hulurkan Kepak Maafmu, Eva): Jika riakmu mengebat asa dalam perjalanan waktu yang sungkan/Aku menjadi bagian dari paruh waktunya/Meski terkutuklah aku/…Telah aku gemakan kesendirian/Kulaungkan gemerlap asmara/Tapi hujan mendera… Puisi ini menempatkan akuliris ke dalam jalinan kisah atau dialektika peristiwa dengan ekspresi luka perih, kesunyian, percintaan, perselingkuhan, dan mempertanyakan tentang kesetiaan.
Selain gemar bermain dengan judul panjang, sebagian besar puisi Jefri ditulis dalam bentuk naratif dan liris yang panjang pula. Dialektika naratif dan liris yang kental ekapresif dalam puisi-puisinya terjadi dalam berbagai lingkup estetika: transendental, alamiah, dan manusiawi. Misalnya puisi Air Mata Subuh dan Kerinduan: Dengan kedua mata serta jiwa yang menang, air matanya tergenang/Menciptakan riak-riak layaknya sungai-sungai yang mengalir/Di dalam hutan-hutan, bukit-bukit/Untuk kota-kota yang menanggung kesunyian/Bila menjelma syawal sang penebus kerinduan.
Diksi yang diungkapkan penyair ini memberi kesan tersendiri. Pertama, sebagian besar diksinya berkaitan dengan waktu: subuh, malam, waktu. Kedua, didominasi diksi yang berkaitan dengan alam. Ketiga, memperkenalkan kembali diksi Melayu yang klise: memeram, tekesup, sigau, sebati, rekah-rekah, sekah-sekah, melenjit, lawang, dan sebagainya.
Dialektika naratif yang disuguhkan penyair memiliki vitalitas unik. Vitalitas unik inilah yang membedakan penyair dan karyanya ketika sampai ke tangan publik. Meskipun pada mulanya kata merupakan konvensi publik, tetapi akan berbeda jika kata-kata itu terlahir menjadi puisi. Dari sinilah, kata menjadi terkesan sangat individual dari penyair. Dalam hal ini Sarjono menjelaskan, jika puisi secara intrinsik tidak mampu memandikan kata publik tersebut menjadi kata individu, maka ia tetap akan merupakan kata publik dan akan ditagih maknanya sebagai makna publik (2001:120). Karena itu, tidak heran jika puisi menjadi terputus jika dihubungkan dengan makna publik. Namun, apapun makna yang diberikan publik terhadap suatu puisi, itulah pemahaman yang patut diapresiasi bahwa puisi juga harus mampu dinikmati publik dalam segala keindahan dan keterbatasannya.
Melayu (nusantara) yang selama ini terkenal dengan tradisi berkisah lisannya, seakan-akan menyeruak di balik kepiawaian Jefri. Penyair yang juga berprofesi sebagai guru SMAN 2 Bengkalis ini justru memberikan kesan dialektika mendalam tentang kebudayaan (bahasa) Melayu. Diksi Melayu yang arkais terasa melenggang begitu saja dan menyatu dalam roh setiap puisi yang ditulisnya. Dalam puisinya, kita akan menemukan dialektika narasi romansa, lirik elegi, ode, serta serenada. Dialektika ini membungkus struktur batin puisi begitu kuat dan sangat ekspresif. Kesan dialektika naratif dan lirik ini juga akan lebih hidup ketika kita menyaksikan aksi panggungnya membacakan puisi. Tidak jarang penyair ini justru melagukan beberapa larik puisinya untuk memberikan kesan liris tersebut.
Untuk selanjutnya, saya mengajak kita memaknai puisi yang menjadi tajuk buku ini, yaitu Ke Mana Nak Melenggang: Ke mana nak melenggang/Ke rekah-rekah/Ke patah-patah/Ke mana/Ke mana sajalah. Bait pertama puisi ini menceritakan suatu tujuan yang tak pasti dan mengharapkan suatu kemerdekaan dalam bertindak. Makna ini juga dapat kita temukan pada bait ketiga dan bait ketiga-belas. Pada bait kedua, Lurus jalan ke tikungan/Hendak melenggang kiri dan kanan/Harapkan si tua berikan sokongan/Malah dikasi kami sempadan.
Bait ini memberikan batasan gerak-gerik perbuatan oleh seseorang yang dianggap sesepuh, bisa saja dimaknai dengan berbagai larangan lain yang divonis sebagai ketidakmampuan penerus dalam memimpin. Padahal, sesepuh justru diharapkan menjadi sagang dalam mencapai tujuan. Batasan tersebut pun tergambar dalam bait keempat yang berkaitan dengan kehancuran alamiah. Selanjutnya, kisah kegetiran hidup seperti kedengkian, dendam, kepatuhan, atau surutnya semangat untuk melawan. Namun, di dua bait terakhir puisi ini, penyair sepertinya berpesan untuk mengambil sesuatu yang positif dari suatu peristiwa: Ke mana nak melenggang/Ke melayu/Ke diri sendiri//Buang yang keruh/Ambil yang jernih/Ha…melengganglah…
Makna publik kata melenggang, meskipun tidak semua publik memahaminya, merupakan makna leksikal seperti yang telah dijelaskan dalam kamus. Namun dalam puisi tersebut, interpretasi diksi melenggang tidak bisa kita berikan sempadan demikian sempit. Sadar atau tidak, Jefri memberikan kekuatan makna tersendiri pada diksi yang tentunya sangat Melayu itu. Berdasarkan pemahaman puisi tersebut, diksi melenggang bisa bermakna bermacam-macam. Pertama, melakukan sesuatu dengan menyenangkan, tanpa beban, tanpa tekanan dari siapa dan apa pun. Kedua, kemerdekaan dalam menjalani dan menggapai tujuan hidup. Ketiga, suatu kesenian dan kebudayaan Melayu yang bernilai estetika. Keempat, memaknai tentang kesetiaan hidup sebagai Melayu yang memiliki berbagai nilai kehidupan yang lentur dan manusiawi.
Jefri memang penyair yang penuh semangat. Puisi-puisinya yang panjang itu merupakan suatu bukti dan fakta sejarah tentang semangatnya. Melalui puisinya, Jefri berhasil mengetengahkan celah dialog yang menggema. Pembaca seakan-akan diajak mengalami suatu peristiwa dan berdialog dengan rangkaian peristiwa dalam puisinya. Puisi-puisi dialektika naratif semacam ini, menurut saya, akan melelahkan jika hanya dibaca. Justru puisi-puisi ini akan lebih menyentak jika dipentaskan seperti dramatisasi puisi atau visualisasi puisi.***
*) Musa Ismail, Sastrawan Riau yang rajin menulis berbagai karya seperti sajak, cerpen dan esai. Dia sebagai guru SMAN 3 Bengkalis dan penulis.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/06/ke-mana-nak-melenggang-menandai-melayu.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar