Senin, 01 Juli 2013

‘Ke Mana Nak Melenggang’: Menandai Melayu dengan Dialektika Naratif

Musa Ismail *
Riau Pos, 2 Juni 2013

DI dunia sastra dan seni musik Riau, siapa yang tak kenal Jefri al Malay. Sebelum tercatat sebagai penyair, pemilik nama asli Jefrizal ini, pernah menjadi vokalis Band Sagu. Berbagai prestasi seni (sastra) yang diraih anak jati Melayu ini, khususnya di dunia kepenyairan. Salah satu prestasi seni yang membanggakan, beliau pernah dinobatkan sebagai Johan Penyair Panggung se-Asia Tenggara pada 2011 di Tanjungpinang.
‘’Ke Mana Nak Melenggang’’ (selanjutnya saya singkat KMNM) merupakan kumpulan puisi pertamanya. Buku yang diterbitkan Yayasan Pusaka Riau, 2013 ini, memuat 80 puisi yang terdiri atas 4 sub-bab: Melenggang ke Hulu (2003), Melenggang ke Hilir (2004), Melenggang ke Darat (2005), Melenggang ke Laut (2006), Melenggang ke Bawah (2007), dan Melenggang ke Atas (2008). Puisi-puisi ini merupakan karyanya yang lahir antara kurun waktu 2003-2008.

Dalam setiap puisi yang ditulisnya, penyair ini sangat peka memilih kata yang menandai latar belakang kebudayaan Melayu. Dalam hal diksi, boleh dikatakan Jefri sebagai salah seorang penyair yang mengangkat batang terendam. Dengan puisi, Jefri telah membuat ‘nisan’ yang menandai siapa sebenarnya si penyair ini jika ditinjau dari sudut antropologi dan sosiologi. Tentang kata dan tanda dalam kaitannya dengan puisi, Jefri menulisnya dalam Seulas Kata sebagai berikut.

‘’Puisi bagi saya juga merupakan tanda
Di mana saya mampu bercermin dari tanda-tanda itu;
Fenomena, kecenderungan suatu zaman, suatu generasi
Semangat realita sosial, pertumbuhan diri, dan lain sebagainya
Puisi juga merefleksikan berbagai kegelisahan
Tentang persoalan-persoalan aktual yang dihadapi
Semuanya itu merupakan tanda-tanda kehidupan.
Menulis puisi adalah untuk menandai diri
Bahwa saya sedang menjalani hidup
Mengalami, mengamati, menghayati, merenungi
Serta mengimajinasikan berbagai hal
Yang kemudian saya rangkai
Menjadi rajutan kata-kata
Untuk mengekspresikan diri dalam memaknai
Misteri kehidupan’’

Ini suatu bukti bahwa kata (bahasa)—sampai kapanpun—tetap menjadi yang terpenting sebagai sarana keharmonisan dan penanda historis peristiwa kehidupan. Bukankah pada dasarnya, karya sastra merupakan catatan peristiwa yang dialami oleh penyair. Catatan peristiwa pengalaman yang bercerai-berai itu lalu menggumpal menjadi karya sastra seperti puisi. Pengalaman penyair ini berupa pengalaman batiniah dan rohaniah atau pergumulan keduanya. Tidak salah jika ada aspek historis dalam karya sastra, termasuk puisi. Dari sinilah, lahir teks (puisi) yang menandai dan memaknai kehidupan. Menurut Susanto dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, teks adalah hasil karya manusia yang bermediumkan bahasa. Dalam menghasilkan teks, tentu saja pencipta bermaksud menyampaikan pesan, maksud, dan tujuannya di dalam teks. Selanjutnya, Susanto menjelaskan bahwa dalam kenyataannya teks masuk melalui pengarang dan pembaca, sadar atau tidak, pencipta teks juga mendasarkan diri pada realitas dan sesuatu yang pernah terjadi, yang dialaminya (2011:197-198). Aspek historis ini selalu tidak mendapat perhatian dari pembaca sehingga karya sastra dianggap lamunan semata.

Mencermati puisi-puisi Jefri, pada dasarnya, mencermati peristiwa-peristiwa alamiah Melayu. Rangkaian peristiwa tersebut dikebat secara kuat dengan tali diksi Melayu yang kental. Kita mulai saja membaca judulnya. Kata melenggang, misalnya, suatu kosa kata Melayu yang sangat bermakna. Selain dalam puisi ini, kata melenggang sudah dipakai dalam lirik lagu Tari Lenggang. Secara leksikal, bentuk dasarnya adalah lenggang yang bermakna gerakan tangan berayun-ayun ketika berjalan (2005:659). Jika dikaitkan dengan judul kumpulan puisi ini, terdapat makna tersirat bahwa ada suatu tujuan yang hendak dicapai meskipun sesuatu itu dilakukan dengan suasana yang terlihat agak santai (melenggang). Diksi melenggang itu sebenarnya memberikan rangkaian peristiwa bagi manusia. Misalnya pada kalimat, Gadis itu berjalan melenggang.

Puisi-puisi dalam KMNM didominasi jenis naratif, khususnya romansa. Di samping itu, puisinya pun liris. Puisi naratif adalah puisi yang bersifat seperti narasi, menceritakan, baik sederhana, sugestif, dan kompleks. Jenis puisi ini, yaitu romansa, balada, epik, dan syair. Puisi lirik, menurut Waluyo (1995:136), merupakan gagasan penyair untuk mengungkapkan akulirik atau ide pribadinya. Jenis puisi ini, yaitu elegi (mengungkapkan perasaan duka dan kesedihan, ode (pujaan terhadap seseorang, hal, keadaan), dan serenada (sajak percintaan yang dapat dinyanyikan). Dengan demikian, tidak heran kalau Jefri sebenarnya sangat ekspresif dalam karyanya. Puisi naratif romansa sekaligus liris ini dapat kita cermati dalam Berselingkuh Dalam Kasih yang Teduk (Hulurkan Kepak Maafmu, Eva): Jika riakmu mengebat asa dalam perjalanan waktu yang sungkan/Aku menjadi bagian dari paruh waktunya/Meski terkutuklah aku/…Telah aku gemakan kesendirian/Kulaungkan gemerlap asmara/Tapi hujan mendera… Puisi ini menempatkan akuliris ke dalam jalinan kisah atau dialektika peristiwa dengan ekspresi luka perih, kesunyian, percintaan, perselingkuhan, dan mempertanyakan tentang kesetiaan.

Selain gemar bermain dengan judul panjang, sebagian besar puisi Jefri ditulis dalam bentuk naratif dan liris yang panjang pula. Dialektika naratif dan liris yang kental ekapresif dalam puisi-puisinya terjadi dalam berbagai lingkup estetika: transendental, alamiah, dan manusiawi. Misalnya puisi Air Mata Subuh dan Kerinduan: Dengan kedua mata serta jiwa yang menang, air matanya tergenang/Menciptakan riak-riak layaknya sungai-sungai yang mengalir/Di dalam hutan-hutan, bukit-bukit/Untuk kota-kota yang menanggung kesunyian/Bila menjelma syawal sang penebus kerinduan.

Diksi yang diungkapkan penyair ini memberi kesan tersendiri. Pertama, sebagian besar diksinya berkaitan dengan waktu: subuh, malam, waktu. Kedua, didominasi diksi yang berkaitan dengan alam. Ketiga, memperkenalkan kembali diksi Melayu yang klise: memeram, tekesup, sigau, sebati, rekah-rekah, sekah-sekah, melenjit, lawang, dan sebagainya.

Dialektika naratif yang disuguhkan penyair memiliki vitalitas unik. Vitalitas unik inilah yang membedakan penyair dan karyanya ketika sampai ke tangan publik. Meskipun pada mulanya kata merupakan konvensi publik, tetapi akan berbeda jika kata-kata itu terlahir menjadi puisi. Dari sinilah, kata menjadi terkesan sangat individual dari penyair. Dalam hal ini Sarjono menjelaskan, jika puisi secara intrinsik tidak mampu memandikan kata publik tersebut menjadi kata individu, maka ia tetap akan merupakan kata publik dan akan ditagih maknanya sebagai makna publik (2001:120). Karena itu, tidak heran jika puisi menjadi terputus jika dihubungkan dengan makna publik. Namun, apapun makna yang diberikan publik terhadap suatu puisi, itulah pemahaman yang patut diapresiasi bahwa puisi juga harus mampu dinikmati publik dalam segala keindahan dan keterbatasannya.

Melayu (nusantara) yang selama ini terkenal dengan tradisi berkisah lisannya, seakan-akan menyeruak di balik kepiawaian Jefri. Penyair yang juga berprofesi sebagai guru SMAN 2 Bengkalis ini justru memberikan kesan dialektika mendalam tentang kebudayaan (bahasa) Melayu. Diksi Melayu yang arkais terasa melenggang begitu saja dan menyatu dalam roh setiap puisi yang ditulisnya. Dalam puisinya, kita akan menemukan dialektika narasi romansa, lirik elegi, ode, serta serenada. Dialektika ini membungkus struktur batin puisi begitu kuat dan sangat ekspresif. Kesan dialektika naratif dan lirik ini juga akan lebih hidup ketika kita menyaksikan aksi panggungnya membacakan puisi. Tidak jarang penyair ini justru melagukan beberapa larik puisinya untuk memberikan kesan liris tersebut.

Untuk selanjutnya, saya mengajak kita memaknai puisi yang menjadi tajuk buku ini, yaitu Ke Mana Nak Melenggang: Ke mana nak melenggang/Ke rekah-rekah/Ke patah-patah/Ke mana/Ke mana sajalah. Bait pertama puisi ini menceritakan suatu tujuan yang tak pasti dan mengharapkan suatu kemerdekaan dalam bertindak. Makna ini juga dapat kita temukan pada bait ketiga dan bait ketiga-belas. Pada bait kedua, Lurus jalan ke tikungan/Hendak melenggang kiri dan kanan/Harapkan si tua berikan sokongan/Malah dikasi kami sempadan.

Bait ini memberikan batasan gerak-gerik perbuatan oleh seseorang yang dianggap sesepuh, bisa saja dimaknai dengan berbagai larangan lain yang divonis sebagai ketidakmampuan penerus dalam memimpin. Padahal, sesepuh justru diharapkan menjadi sagang dalam mencapai tujuan. Batasan tersebut pun tergambar dalam bait keempat yang berkaitan dengan kehancuran alamiah. Selanjutnya, kisah kegetiran hidup seperti kedengkian, dendam, kepatuhan, atau surutnya semangat untuk melawan. Namun, di dua bait terakhir puisi ini, penyair sepertinya berpesan untuk mengambil sesuatu yang positif dari suatu peristiwa: Ke mana nak melenggang/Ke melayu/Ke diri sendiri//Buang yang keruh/Ambil yang jernih/Ha…melengganglah…

Makna publik kata melenggang, meskipun tidak semua publik memahaminya, merupakan makna leksikal seperti yang telah dijelaskan dalam kamus. Namun dalam puisi tersebut, interpretasi diksi melenggang tidak bisa kita berikan sempadan demikian sempit. Sadar atau tidak, Jefri memberikan kekuatan makna tersendiri pada diksi yang tentunya sangat Melayu itu. Berdasarkan pemahaman puisi tersebut, diksi melenggang bisa bermakna bermacam-macam. Pertama, melakukan sesuatu dengan menyenangkan, tanpa beban, tanpa tekanan dari siapa dan apa pun. Kedua, kemerdekaan dalam menjalani dan menggapai tujuan hidup. Ketiga, suatu kesenian dan kebudayaan Melayu yang bernilai estetika. Keempat, memaknai tentang kesetiaan hidup sebagai Melayu yang memiliki berbagai nilai kehidupan yang lentur dan manusiawi.

Jefri memang penyair yang penuh semangat. Puisi-puisinya yang panjang itu merupakan suatu bukti dan fakta sejarah tentang semangatnya. Melalui puisinya, Jefri berhasil mengetengahkan celah dialog yang menggema. Pembaca seakan-akan diajak mengalami suatu peristiwa dan berdialog dengan rangkaian peristiwa dalam puisinya. Puisi-puisi dialektika naratif semacam ini, menurut saya, akan melelahkan jika hanya dibaca. Justru puisi-puisi ini akan lebih menyentak jika dipentaskan seperti dramatisasi puisi atau visualisasi puisi.***

*) Musa Ismail, Sastrawan Riau yang rajin menulis berbagai karya seperti sajak, cerpen dan esai. Dia sebagai guru SMAN 3 Bengkalis dan penulis.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/06/ke-mana-nak-melenggang-menandai-melayu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez