Rabu, 11 Juni 2014

Ki Ronggowarsito dan Karya-karyanya

http://nusadwipa.blogspot.com

Pada hari Senin Legi tanggal 10 Zulkaidah tahun Jawa 1728 atau tanggal 15 Maret 1802 Masehi kurang lebih jam 12.00 siang lahirlah seorang bayi dirumah kakek yang bernama R. Ng. Yosodipuro I, seorang Pujangga Keraton yang terkenal dijamannya. Bayi yang baru lahir itu diberi nama Bagus Burham. Sejak umur 2 tahun sampai 12 tahun Bagus Burham ikut kakeknya.
Ayahnya bernama R. Tumenggung Sastronegoro yang mengharapkan anaknya dikelak kemudian hari menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negaranya. Maka oleh sang ayah, Bagus Burham dikirim ketempat pendidikan yang memungkinkan dapat mendidik anaknya lebih baik dari dirinya sendiri.Waktu itu pondok Pesantren di kawasan Ponorogo yang dipimpin oleh Kyai Imam Besari terkanal sampai dipusat Kerajaan Surakarta. Kesanalah Bagus Burham dikirim untuk mendapatkan tambahan ilmu lahir batin serta keagamaan. Pondok Tegalsari yang dipimpin Kyai Imam Besari ini mempunyai murid yang banyak dan memiliki kepandaian yang pilih tanding.

Bagus Burham berangkat ke Pesantren Tegalsari disertai embannya yang bernama Ki Tanujoyo. Di tempat yang baru itu Bagus Burham sangat malas. Ditambah lagi lebih suka menjalankan maksiat dari pada mengaji. Berjudi adalah merupakan pekerjaannya setiap hari. Juga pekerjaan maksiat yang lainnya. Adu ayam termasuk kesukaan yang tidak perbah diluangkan. Dari pada mengaji hari-harinya dihabiskan di meja-meja judi dari satu desa ke desa lainnya.

Sehingga terkenallah Bagus Burham bukan sebagai santri yang soleh tetapi sebagai penjudi ulung dikalangan orang-orang di daerah Ponorogo. Dasar seorang anak Tumenggung, uang banyak dan biasanya dimanja oleh orang tua atau kakeknya. Karena kegemarannya bermain judi, adu ayam dan perbuatan-perbuatan maksiat yang lain Bagus Burham banyak berkenalan dengan warok-warok Ponorogo yang satu kegemaran.

Perbuatan putra Tumenggung ini sangat merepotkan hari Kyai Imam Besari. Diharapkan seorang putra priyayi keraton ini akan memberi suri teladan bagi murid-murid (santri-santri) yang lein tetapi ternyata sebaliknya.Seringkali Bagus Burham mendapat teguran dan marah dari Kyai Besari. Namun hal itu tidak merubah sifatnya. Dia tetap penjudi, tetap penyabung ayam, tetap gemar pada tindakan-tindakan yang menjurus ke maksiat. Karena merasa bosan setiap hari mendapat dampratan dari gurunya maka Bagus Burham perni meninggalkan pondok Tegalsari diikuti oleh Ki Tanujoyo.

(Versi lain mengatakan bahwa kepergian Bagus Burham karena Kyai Imam Besari merasa jengkel akan ulah Bagus Burham. Kemudian pimpinan pondok Tegalsari itu memanggil abdi kinasih Ki Tanujoyo dan menseyogyakan Bagus Burham tidak usah belajar mengaji di pondok Tegalsari).

Meninggalkan pondok Tegalsari Bagus Burham tidak mau pulang ke Solo. Dengan diiring oleh oleh abdinya yang bernama Ki Tanujoyo. Bagus Burham bertualang sampai di Madiun. Ditempat itu uang sakunya habis. Ki Tanujoyo kemudian berdagang barang loakan. Sedangkan Bagus Burham tetap pada kegemarannya semula. Betapa bingungnya Raden Tumenggung Sastronegoro tatkala mendapat laporan Kyai Imam Besari bahwa puteranya pergi dari Tegalsari. Kemudian dipanggillah di Josono agar mencari Bagus Burham sampai ketemu. Bila ketemu agar diajal kembali ke Tegalsari. Kyai Imam Besari kembali dari Keraton Solo mendapat laporan dari penduduk Tegalsari bahwa sekarang daerah Tegalsari tidak aman. Banyak pencuri serta tanaman diserang hama. Kyai Imam Besari memohon petunjuak dari Tuhan. Mendapatkan ilham bahwa keadaan daerahnya akan kembali aman damai apabila Bagus Burham kembali ke Tegalsari lagi. Karena itu Kyai Imam Besari segera mengutus ki Kromoleyo agar supaya berangkat mencari kemana gerangan perginya Bagus Burham. Bagi Ki Kromoleyo bukan pekerjaan yang sulit mencari Bagus Burham. Sebab dia tahu kehidupun macam apa yang digemari Bagus Burham. Tempat judi, tempat adu ayam. Itulah sasaran Ki Kromoleyo.

Pada penjudi dan pengadu ayam ditanyakan apakah kenal dengan pemuda yang bernama Bagus Burham. Orangnya tampan. Jejak Bagus Burham akhirnya terbau juga. Ki Kromoleyo dapat menemukan Bagus Burham dan mengajak kembali ke Tegalsari. Namun Bagus Burham tidak mau. Karena bujukan Ki Josono utusan orang tuanya yang kebetulan juga sudah menemukan tempat Bagus Burham maka kembalilah Bagus Burham ke Tegalsari.

Kyai Imam Besari menghadapi Bagus Burham dengan cari lain. Sebab ternyata sekembalinya dari petualangannya Bagus Burham bukan semakin rajin mengaji tetapi semakin boglok dan bodoh. Tampaknya. Menghadapi murid yang demikian Kyai yang sudah berpengalaman itu lalu mengambil jalan lain. Bagus Burham tidak langsung tidak langsung diajar mengaji seperti santri-santri yang lain. Dia bukan keturunang orang biasa tetapi masuk memiliki darah satriya. Maka tidak mengherankan kalau dia juga memiliki/mewarisi sifat-sifat leluhurnya. Gemar sekali kepada hal-hal yang memperlihatkan kejantanan seperti adu ayam dan lain sebagainya.

Menurut serat “CANDRA KANTHA” buatan Raden Ngabehi Tjondropradoto antara lain menyebutkan bahwa : Raden Patah berputera R. Tejo (Pangeran Pamekas). Pangeran Pamekas berputra Panembahan Tejowulan di Jogorogo.

Panembahan Tejowulan berputra Tumenggung Sujonoputro seorang pujangga keraton Pajang. Kemudian Raden Tumenggung Sujonoputro berputra Tumenggung Tirtowiguno. Sedangkan Tumenggung Tirtowiguno ini mempunyai putra R. Ng. Yosodipuro I pujangga keraton Surakarta. Kemudian sang pujangga berputra R. Ng. Yosodipuro II (Raden Tumenggung Sastronegoro) ayah dari Bagus Burham. (Dari sumber lain menyebutkan bahwa R. Tumenggung Sastronegoro bukan ayah Bagus Burham tetapi kakeknya. Ayahnya bernama Mas Ngebehi Ronggowarsito Panewu Carik Kadipaten Anom). Dari silsilah tersebut diketahui bahwa Bagus Burham masih ada keturunan darah raja. Darah bangsawan yang biasanya sangat suka adu jago tetapi gemar melakukan tapa brata. Kesinilah Imam Kyai Besari mengarahkan. Disamping diberi pelajaran mengaji seperti murid yang lain maka Bagus Burham juga disuruh melakukan “tapa kungkum”. Dari sini terbukalah hati Bagus Burham. Dikeheningan malam, dengen gemriciknya suara air, diatasnya bintang-bintang berkelap-kelip seolah-oleh menyadarkan Bagus Burham yang usianya juga sudah semakin dewasa itu.

Setelah menjalani tapa kungkum selama 40 hari lamanya maka Bagus Burham tumbuh menjadi anak yang pandai. Kyai Imam Besari tersenyum lega melihat perkembangan anak asuhnya yang paling bengal itu. Terapinya kena sekali. Padahal terapi itu hanya berdasarkan dongeng yang pernah didengarnya. Bahwa dahulu kala ada seorang pemuda yang bengal, nakal, penjudi, pemalas, perampok yang bernama Ken Arok. Namun karena ketekunan seorang pendidik yang bernama Loh Gawe maka akhirnya Ken Arok enjadi raja di Singosari. Menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Dari Mojopahit sampai ke Surakarta semua menurut silsilah masih keturunan langsung dari Ken Arok.

Dan R. Patah pun keturunan Ken Arok. Jadi Bagus Burham juga keturunan Ken Arok. Siapa tahu kenakalannya juga turunan yang dikelak kemudian hari akan menjadi orang yang luar biasa. Bagus Burham menjadi murid yang terpandai.

Selama 4 tahun dipondok Tegalsari ilmu gurunya sudah terkuran habis. Tidak ada sisanya lagi. Kyai Imam Besari memuji keluhuran Tuhannya. Dia melimpahkan habis ilmunya kepada muridnya. Setelah dirasa cukup maka Bagus Burham kembali ke Surakarta. Oleh tuanya Bagus Burham disuruh langsung ke Demak untuk belajar mengenal sastra Arab dan kebatinan jawa pada Pangeran Kadilangu.

Apakah ayahnya punya maksud agar kelak anaknya dapat menandingi kepandaian rajanya? Bagus Burham seorang kutu buku yang luar biasa. Dengan bekal kepandaian yang dimiliki dari beberapa guru-gurunya, Bagus Burham kemudian menekuni soal kesusastraan Jawa serta peninggalan-peninggalan nenek moyang. Buku-buku berbahasa kawi kuna ditelaah dan dipelajarai sebaik-baiknya.

Jiwa petualang masih juga membara dalam kalbunya. Dia seringkali mengadakan perjalanan dari satu daerah kedaerah yang lain. Bagus Burham meninjau tempat-tempat yang bersejarah, tempat-tempat yang mengandung nilai-nilai historis, tempat-tempat yang keramat, ke candi-candi dan tempat-tempat penting lainnya. Disembarang tempat dipelbagai daerah kalau dianggap ada orang yang memiliki kepandaian lebih maka tidak malu-malu Bagus Burham berguru para orang tersebut. Tidak peduli dia hanyalah seorang juru kunci atau orang biasa.

Pada usia 18 tahun sebagaimana kebiasaan anak priyayi waktu itu ingin mengabdikan dirinya kepada keraton. Caranya haruslah dengan magang (pegawai percobaan) pada Kadipaten Anom. Jiwa senimannya atau darah kepujanggaannya terasa mengalir deras ditubuhnya. TIdak merasa puas dengan pekerjaan magang tersebut. Maka Bagus Burham mohon pamit sebab dirasa tidak ada kemajuan. Dia ingin mengembara ingin bertualan menuruti gejolak darah senimannya. Hampir seluruh pelosok pulau Jawa telah dijelajahi oleh Bagus Burham. Bahkan juga luar jawa sepeti Bali, Lombok, Ujung Pandang, Banjarmasin bahkan ada sumber yang mengatakan pengembaraan Bagus Burham sampai di India dan Srilanka. Melihat perjalanan hidupnya seperti tersebut diatas pantaslah kalau Bagus Burham menjadi manusia yang kritis menghadapi suatu persoalan. (Ungkapan perasaannya tampak ada karyanya “Serat Kala Tida”.

Pulang dari pengembarannya Bagus Burham kawin. Karena sang mertua diangkat menjadi Bupati di Kediri maka Bagus Burhampun mengikuti ke Kediri. Ditempat tersebut yang terkenal sebagai tempat bersejarah banyak peninggalan-peninggalan dari jaman terdahulu. Di Kediri pernah berdiri kerajaan besar dimana salah satu rajanya adalah Sang Prabu Joyoboyo. Waktu sang prabu berkuasa agaknya keadaan negara sangat tenteram dan damai terbukti lahirnya beberapa karya sastra besar.

Sang Prabu memerintahkan kepada Empu Sedah dan Empu Panuluh agar menceritakan kembali atau menyusun ceritera BARATAYUDAHA dalam bahasa yang lebih muda diambil dari buku Maha Barata asli dari India. Demikian indahnya gubahan tersebut sehingga banyak yang mengira bahwa kejadian itu terjadi di tanah Jawa. Sebelum raja Joyoboyo, di Kediri juga lahir hasil sastra yang tinggi mutunya. Smara Dahana kitab karya Empu Darmaja, juga buku Sumana Sentaka karya Triguna merupakan hasil sastra yang sulit dicari bandingannya. Di daerah yang seperti itu tentu saja banyak peninggalan-peninggalan berupa rontal-rontal yang dimiliki penduduk warisan dari nenek moyang. Dengan tekun Bagus Burham di Kediri waktunya dihabiskan untuk mempelajari rontal-rontal yang dapat dikumpulkan dari perbagai daerah. Dari rontal-rontal, pengalaman/pengetahuan selama mengembara dan berguru itulah dia dapat menimba pelbagai ilmu.

Baru setelah Bagus Burham berumur 38 tahun mulai produktif dengan karya sastranya. Dan pada tahun 1844 pihak keraton mengangkat menjadi Kliwon Carik dan disyahkan menjadi Pujangga Keraton. Namanya Raden Ngabehi Ronggowarsito dan semakin tenar. Kariernya tidak licin sebab agaknya juga dipengaruhi bahwa orang tuanya (Raden Tumenggung Sastronegoro) dianggap bersalah kepada kompeni Belanda sebab pernah merencanakan akan menggempur benteng Kompeni diwaku jaman pemberontakan Diponegoro (1825-1830). Akhirnya R.T. Sastronegoro dibuang dan makamnya ada di Jakarta.

SERAT JOKO LODANG
Gambuh
1. Jaka Lodang gumandhul
Praptaning ngethengkrang sru muwus
Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi
Gunung mendhak jurang mbrenjul
Ingusir praja prang kasor

Joko Lodang datang berayun-ayun diantara dahan-dahan pohon
kemudian duduk tanpa kesopanan dan berkata dengan keras.
Ingat-ingatlah sudah menjadi kehendak Tuhan
bahwa gunung-gunung yang tinggi itu akan merendah
sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan
(akan terjadi wolak waliking jaman),
karena kalah perang maka akan diusir dari negerinya.

2.Nanging awya kliru
Sumurupa kanda kang tinamtu
Nadyan mendak mendaking gunung wis pasti
Maksih katon tabetipun
Beda lawan jurang gesong

Namun jangan salah terima menguraikan kata-kata ini.
Sebab bagaimanapun juga meskipun merendah kalau gunung
akan tetap masih terlihat bekasnya.
Lain sekali dengan jurang yang curam.

3. Nadyan bisa mbarenjul
Tanpa tawing enggal jugrugipun
Kalakone karsaning Hyang wus pinasti
Yen ngidak sangkalanipun
Sirna tata estining wong

Jurang yang curam itu meskipun dapat melembung,
namun kalau tidak ada tanggulnya sangat rawan dan mudah longsor.
(Ket. Karena ini hasil sastra maka tentu saja multi dimensi.
Yang dimaksud dengan jurang dan gunung bukanlah pisik
tetapi hanyalah sebagai yang dilambangkan).
Semuanya yang dituturkan diatas
sudah menjadi kehendak Tuhan
akan terjadi pada tahun Jawa 1850.
(Sirna=0, Tata=5, Esthi=8 dan Wong=1).
Tahun Masehi kurang lebih 1919-1920.

Sinom
1. Sasedyane tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang reraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudireng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira

Waktu itu seluruh kehendaki tidak ada yang terwujud,
apa yang dicita-citakan buyar,
apa yang dirancang berantakan,
segalanya salah perhitungan,
ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela.
Orang besar kehilangan kebesarannya,
lebih baik tercemar nama daripada mati,
sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya.

2. Wong alim-alim pulasan
Njaba putih njero kuning
Ngulama mangsah maksiat
Madat madon minum main
Kaji-kaji ambataning
Dulban kethu putih mamprung
Wadon nir wadorina
Prabaweng salaka rukmi
Kabeh-kabeh mung marono tingalira

Banyak orang yang tampaknya alim,
tetapi hanyalah semu belaka.
Diluar tampak baik tetapi didalamnya tidak.
Banyak ulama berbuat maksiat.
Mengerjakan madat,
madon minum dan berjudi.
Para haji melemparkan ikat kepala hajinya.
Orang wanita kehilangan kewanitaannya
karena terkena pengaruh harta benda.
Semua saja waktu itu hanya harta bendalah
yang menjadi tujuan.

3. Para sudagar ingargya
Jroning jaman keneng sarik
Marmane saisiningrat
Sangsarane saya mencit
Nir sad estining urip
Iku ta sengkalanipun
Pantoging nandang sudra
Yen wus tobat tanpa mosik
Sru nalangsa narima ngandel ing suksma

Hanya harta bendalah yang dihormati pada jaman tersebut.
Karena itu seluruh isi dunia penderitaan kesengsaraannya makin
menjadi-jadi. Tahun Jawa menunjuk tahun 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1). Tahun Masehi kurang lebih tahun 1930. Penghabisan penderitaan bila semua sudah mulai bertobat dan menyerahkan diri kepada kekuasaan Tuhan seru sekalian alam.

Megatruh
1. Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu
Jaka Lodang nabda malih
Nanging ana marmanipun
Ing waca kang wus pinesthi
Estinen murih kelakon

Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.
Kemudian Joko Lodang berkata lagi:
“Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab,
di dalam ramalan yang sudah ditentukan
haruslah diusahakan supaya
segera dan dapat terjadi.”

2. Sangkalane maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning madya akir
Wiku Sapta ngesthi Ratu
Adil parimarmeng dasih
Ing kono kersaning Manon

Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman.
Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1).
Bertepatan dengan tahun Masehi 1945.
Akan ada keadilan antara sesama manusia.
Itu sudah menjadi kehendak Tuhan.

3. Tinemune wong ngantuk anemu kethuk
Malenuk samargi-margi
Marmane bungah kang nemu
Marga jroning kethuk isi
Kencana sesotya abyor

Di waktu itulah seolah-olah orang yang mengantuk
mendapat kethuk (gong kecil) yang berada banyak dijalan.
Yang mendapat gembira hatinya sebab didalam benda tersebut
isinya tidak lain emas dan kencana.

SERAT SABDO JATI
Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu
MarGAne suka basuki
Dimen luWAR kang kinayun
Kalising panggawe SIsip
Ingkang TAberi prihatos

Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan
serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan,
caranya haruslah gemar prihatin.

2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen awya kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon

Dalam hidup keprihatinan ini
pandanglah dengan seksama,
intropeksi,
telitilah jangan sampai salah,
endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.

3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos

Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran,
dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini
kosong namun sebenarnya akan menemukan
cipta yang sejati.

4. Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon

Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.

5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon

Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis,
senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan,
kerepotan-kerepotan,
tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik,
seolah-olah mabuk kepayang.

6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon

Bila sudah terlanjur demikian
tidak tertarik terhadap perbuatan
yang menuju kepada kebajikan.
Segala yang baik-baik lari dari dirinya,
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya.
Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.

7. Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon

Namun demikian yang melihat,
bagaikan matanya kemasukan pasir,
tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat,
sehingga yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.

8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor

Namun bagi yang bijaksana,
sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut.
Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.

9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon

Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan,
yang menitahkan bumi dan langit,
siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya
akan mendapatkan kebahagiaan.
Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.

10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon

Segala permintaan umatNya akan selalu diberi,
bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan,
sandang pangan tercukupi
segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.

11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon

Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung
yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh
Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon

Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,
cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi,
banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran,
keagungan jiwa sudah tidak tampak.

13. Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos

Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin,
merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri
melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.

14. Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong

Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877 (Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1.
Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari,
menghitung banyaknya orang.

15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon

Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu.
Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria,
tidak kekurangan sandang dan makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.

16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon

Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai,
bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

17.Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon

Yang terlihat hanya kurang 8 hai lagi,
sudah sampai waktunya,
kembali menghadap Tuhannya.
Tepatnya pada hari Rabu Pon.

18. Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon

Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.

19. Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti

Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802.
(Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi
1873).

SERAT KALATIDA
Sinom
1. Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaturi
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun kala tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda

Keadaan negara waktu sekarang,
sudah semakin merosot.
Situasi (keadaan tata negara) telah rusah,
karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi.
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah lama.
Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha
(jaman yang penuh keragu-raguan).
Suasananya mencekam
Karena dunia penuh dengan kerepotan.

2. Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Paranedene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angrebedi
Beda-beda ardaning wong saknegara

Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik,
Patihnya juga cerdik,
semua anak buah hatinya baik,
pemuka-pemuka masyarakat baik,
namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan.
Oleh karena daya jaman Kala Bendu.
Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi.
Lain orang lain pikiran dan maksudnya.

3.Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka

Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis,
penuh kesedihan,
mendapatkan hinaan dan malu,
akibat dari perbuatan seseorang.
Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur
sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.

4.Dasar karoban pawarta
Bebaratun ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yan pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka

Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu.
Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sebenarnya kalah direnungkan,
apa sih gunanya menjadi pemuka/pemimpin?
Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja.
Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri,
hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.

5. Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhuk angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna

Menurut buku Panitisastra (ahli sastra),
sebenarnya sudah ada peringatan.
Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini,
orang yang berbudi tidak terpakai.
Demikianlah jika kita meneliti.
Apakah gunanya meyakini kabar angin
akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja.
Lebih baik membuat karya-karya kisah jaman dahulu kala.

6. Keni kinarta darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-Puluh anglakoni kaelokan

Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala,
guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul.
Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama,
mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati,
akhirnya “nrima” dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan.
Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.

7. Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada

Hidup didalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati,
tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman
tidak mendapat apapun juga.
Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan.
Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia
namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa
ingat dan waspada.

8. Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

Yah segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati.
Betul bukan?
Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian.
Namun sebenarnya didalam hati repot juga.
Sekarang sudah tua, apa pula yang dicari.
Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan dari Tuhan.

9.Beda lan kang wus santosa
Kinarilah ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ikhtiyar

Lain lagi bagi yang sudah kuat.
Mendapat rakhmat Tuhan.
Bagaimanapun nasibnya selalu baik.
Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah.
Namun demikian masih juga berikhtiar.

10. Sakadare linakonan
Mung tumindak mara ati
Angger tan dadi prakara
Karana riwayat muni
Ikhtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma

Apapun dilaksanakan.
Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak menimbulkan persoalan.
Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa
manusia itu wajib ikhtiar,
hanya harus memilih jalan yang baik.
Bersamaan dengan usaha tersebut
juga harus awas dan waspada
agar mendapat rakhmat Tuhan.

11. Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan

Ya Allah ya Rasulullah,
yang bersifat murah dan asih,
mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu
disaat-saat menjelang akhir ini.
Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana.
Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.

12. Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruraha
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya

Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa,
seolah-olah dapat mati didalam hidup.
Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan.
Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU
agar mendapat ampunan sekedarnya.
Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami.

SABDA TAMA
Gambuh
1. Rasaning tyas kayungyun
Angayomi lukitaning kalbu
Gambir wanakalawan hening ing ati
Kabekta kudu pitutur
Sumingkiring reh tyas mirong

Tumbuhlah suatu keinginan melahirkan perasaan
dengan hati yang hening
disebabkan ingin memberikan petuah-petuah
agar dapat menyingkirkan hal-hal yang salah.

2. Den samya amituhu
Ing sajroning Jaman Kala Bendu
Yogya samyanyenyuda hardaning ati
Kang anuntun mring pakewuh
Uwohing panggawe awon

Diharap semuanya maklum bahwa dijaman Kala Bendu
sebaiknya mengurangi nafsu pribadi
yang akan membenturkan kepada kerepotan.
Hasilnya hanyalah perbuatan yang buruk.

3.Ngajapa tyas rahayu
Nyayomana sasameng tumuwuh
Wahanane ngendhakke angkara klindhih
Ngendhangken pakarti dudu
Dinulu luwar tibeng doh

Sebaiknya selalu berbuat menuju hal-hal yang baik.
Dapat memberi perlindungan kepada siapapun juga.
Perbuatan demikian akan melenyapkan angkara murka,
melenyapkan perbuatan yang bukan-bukan dan terbuang jauh.

4. Beda kang ngaji mumpung
Nir waspada rubedane tutut
Kakinthilan manggon anggung atut wuri
Tyas riwut ruwet dahuru
Korup sinerung agoroh

Hal ini memang lain dengan yang ngaji pumpung.
Hilang kewaspadaannya dan kerepotanlah yang selalu dijumpai,
selalu mengikuti hidupnya.
Hati senantiasa ruwet karena selalu berdusta.

5. Ilang budayanipun
Tanpa bayu weyane ngalumpuk
Sakciptane wardaya ambebayani
Ubayane nora payu
Kari ketaman pakewoh

Lenyap kebudayaannya.
Tidak memiliki kekuatan dan ceroboh.
Apa yang dipikir hanyalah hal-hal yang berbahaya.
Sumpah dan janji hanyalah dibibir belaka tidak seorangpun mempercayainya. Akhirnya hanyalah kerepotan saja.

6. Rong asta wus katekuk
Kari ura-ura kang pakantuk
Dandanggula lagu palaran sayekti
Ngleluri para leluhur
Abot ing sih swami karo

Sudah tidak berdaya.
Hanya tinggallah berdendang.
Mendendangkan lagu dandang gula palaran
hasil karya nenek moyang dahulu kala,
betapa beratnya hidup ini seperti orang dimadu saja.

7. Galak gangsuling tembung
Ki Pujangga panggupitanipun
Rangu-rangu pamanguning reh harjanti
Tinanggap prana tumambuh
Katenta nawung prihatos

Ki Pujangga didalam membuat karyanya
mungkin ada kelebihan dan kekurangannya.
Olah karena itu ada perasaan ragu-ragu dan khawatir,
barangkali terdapat kesalahan/kekeliruan tafsir,
sebab sedang prihatin.

8. Wartine para jamhur
Pamawasing warsita datan wus
Wahanane apan owah angowahi
Yeku sansaya pakewuh
Ewuh aya kang linakon

Menurut pendapat para ahli,
wawasan mereka keadaan selalu berubah-ubah.
Meningkatkan kerepotan apa pula yang hendak dijalankan.

9. Sidining Kala Bendu
Saya ndadra hardaning tyas limut
Nora kena sinirep limpating budi
Lamun durung mangsanipun
Malah sumuke angradon

Azabnya jaman Kala Bendu,
makin menjadi-jadi nafsu angkara murka.
Tidak mungkin dikalahkan oleh budi yang baik.
Bila belum sampai saatnya akibatnya bahkan makin luar biasa.

10. Ing antara sapangu
Pangungaking kahanan wus mirud
Morat-marit panguripaning sesami
Sirna katentremanipun
Wong udrasa sak anggon-anggon

Sementara itu keadaan sudah semakin tidak karu-karuwan,
penghidupan semakin morat-marit,
tidak ketenteraman lagi,
kesedihan disana-sini.

11. Kemang isarat lebur
Bubar tanpa daya kabarubuh
Paribasan tidhem tandhaning dumadi
Begjane ula dahulu
Cangkem silite angaplok

Segala dosa dan cara hancur lebur,
seolah-olah hati dikuasai ketakutan.
Yang beruntung adalah ular berkepala dua,
sebab kepala serta buntutnya dapat makan.

12. Ndhungkari gunung-gunung
Kang geneng-geneng padha jinugrug
Parandene tan ana kang nanggulangi
Wedi kalamun sinembur
Upase lir wedang umob

Gunung-gunung digempur, yang besar-besar dihancurkan
meskipun demikian tidak ada yang berani melawan.
Sebab mereka takut kalau disembur (disemprot ular) berbisa.
Bisa racun ular itu bagaikan air panas.

13. Kalonganing kaluwung
Prabanira kuning abang biru
Sumurupa iku mung soroting warih
Wewarahe para Rasul
Dudu jatining Hyang Manon

Tetapi harap diketahui bahwa lengkungan pelangi yang
berwarna kuning merah dan biru
sebenarnya hanyalah cahaya pantulan air.
Menurut ajaran Nabi
itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya.

14. Supaya pada emut
Amawasa benjang jroning tahun
Windu kuning kono ana wewe putih
Gegamane tebu wulung
Arsa angrebaseng wedhon

Agar diingat-ingat.
Kelak bila sudah menginjak tahun windu kuning
(Kencana) akan ada wewe putih (setan putih),
yang bersenjatakan tebu hitam
akan menghancurkan wedhon (pocongan setan).
(Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).

15. Rasa wes karasuk
Kesuk lawan kala mangsanipun
Kawises kawasanira Hyang Widhi
Cahyaning wahyu tumelung
Tulus tan kena tinegor

Agaknya sudah sampai waktunya,
karena kekuasaan Tuhan telah datang jaman kebaikan,
tidak mungkin dihindari lagi.

16, Karkating tyas katuju
Jibar-jibur adus banyu wayu
Yuwanane turun-temurun tan enting
Liyan praja samyu sayuk
Keringan saenggon-enggon

Kehendak hati pada waktu tersebut
hanya didasarkan kepada ketentraman sampai ke anak cucu.
Negara-negara lain rukun sentosa dan dihormati dimanapun.

17. Tatune kabeh tuntun
Lelarane waluya sadarum
Tyas prihatin ginantun suka mrepeki
Wong ngantuk anemu kethuk
Isine dinar sabokor

Segala luka-luka (penderitaan) sudah hilang.
Perasaan prihatin berobah menjadi gembira ria.
Orang yang sedang mengantuk menemukan kethuk (gong kecil)
yang berisi emas kencana sebesar bokor.

18. Amung padha tinumpuk
Nora ana rusuh colong jupuk
Raja kaya cinancangan angeng nyawi
Tan ana nganggo tinunggu
Parandene tan cinolong

Semua itu hanya ditumpuk saja,
tidak ada yang berbuat curang maupun yang mengambil.
Hewan piraan diikat diluar tanpa ditunggu
namun tidak ada yang dicuri.

19. Diraning durta katut
Anglakoni ing panggawe runtut
Tyase katrem kayoman hayuning budi
Budyarja marjayeng limut
Amawas pangesthi awon

Yang tadinya berbuat angkara
sekarang ikut pula berbuat yang baik-baik.
Perasaannya terbawa oleh kebaikan budi.
Yang baik dapat menghancurkan yang jelek.

20. Ninggal pakarti dudu
Pradapaning parentah ginugu
Mring pakaryan saregep tetep nastiti
Ngisor dhuwur tyase jumbuh
Tan ana wahon winahon

Banyak yang meninggalkan perbuatan yang kurang baik.
Mengikuti peraturan-peraturan pemerintah.
Semuanya rajin mengerjakan tugasnya masing-masing.
Yang dibawah maupun yang diatas hatinya sama saja.
Tidak ada yang saling mencela.

21.Ngratani sapraja agung
Keh sarjana sujana ing kewuh
Nora kewran mring caraka agal alit
Pulih duk jaman runuhun
Tyase teteg teguh tanggon

Keadaan seperti itu terjadi diseluruh negeri.
Banyak sekali orang-orang
ahli dalam bidang surat menyurat.
Kembali seperti dijaman dahulu kala.
Semuanya berhati baja.

RAMALAN JOYOBOYO

Badan Penerbit Kwa Giok Djing, Kudus,
Sapta Pujangga dan Sejarah Indonesia, hal. 55-68
Rawa dadi pada dadi bera
Iblis jalma manungsa
Iblis menjelis
manungsa sara

Wong salah bungah-bungah
Wong bener thenger-thenger.

Miturut ramalan saka Prabu Noto Aji Joyoboyo,
yen wiwit Tanah Jawa diisi manungsa kaping pindone
sahingga besuk tekane Kiamat Kubra (gantining Jaman),
arep ngalami 2100 Taun Surya utawa 2163 taun candra,
kang kabagi dadi telung periode jaman gedhe utawa
diwastani TRIKALI.

Periode Jaman gedhe mau siji-sijine kabagi meneh
dadi Pitung Jaman Cilik utawa kang kasebut SAPTA MALOKO.
Trikali kabagi dadi telu yaiku:

1. Kalisura (Jaman Alam Kaluhuran) suwene 700 Taun Surya.
2. Kalijaga (Jaman Panguripan) suwene 700 Taun Surya.
3. Kalisengoro (Jaman Ngalam Tirta) suwene 700 Taun Surya Ing kene sing arep dibahas namung Kalisengoro, sawijineng Trikali kang pungkasan.

Kalisengoro kabagi dadi Sapta Maloko, yaiku:
1. Kalajangga (Jaman Kembang Gadung)
2. Kalasekti (Jaman Kuasa)
3. Kalajaya (Jaman Hunggul)
4. Kalabendu (Jaman sengsara lan Angkaramurka)
5. Kalisuba (Jaman Kamulyan)
6. Kalisumbaga (Jaman Kasohor)
7. Kalisurata (Jaman Alus)

Dijumput dari: http://nusadwipa.blogspot.com/2009/03/ki-ronggowarsito-dan-karya-karyanya.html
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez